Yasmin Amira Hanan
Pernah berharap punya sahabat cowok? Untuk para cewek, rasanya sahabatan sama cowok itu sweet, enjoy, dan paling penting less-drama. Betul banget. Tapi, nggak selamanya sahabatan sama lawan jenis itu bisa ‘aman’ dari rasa yang ‘aneh’. Kalo setiap kali ketemu dia, curhat, jalan bareng, dan ngelakuin hal gila sama dia, pasti ada aja yang tiba-tiba muncul. Nah, hebatnya, cewek jago ngasih ‘sampul’ buat hal kayak gitu. Dia bilang nggak ada rasa apa-apa dan SEKEDAR sahabat, padahal dalam hati dia ingin lebih dari SEKEDAR sahabat.
###
“Mari kita sambut, Jasmine McJames!” seru pembawa acara Talk-Show yang mengundangku hari ini. Aku berjalan menuju panggung utama dan dipersilakan duduk. “Hai! Apa kabarmu?” sapanya sambil menjabat dan cipika-cipiki denganku.
“Halo, semua! Aku selalu baik! Never better!” jawabku semangat diikuti lambaian santai ke penonton di studio.
Talk-Show in semacam acara yang mirip dengan acara yang dipandu Oprah Winfrey. Dengan tema ‘Young Hollywood’ yang sedang berlangsung, aku terpilih jadi bintang tamu episode kali ini.
“Baiklah. Kita mulai saja,” kata Gee, pembawa acara tersebut. “Aku dengar kamu baru selesai main film, ya? Wah, bagaimana perasaanmu?”
Aku senyum puas dan bangga. “Ya, benar. Perasaanku senang, overwhelmed in a good way, dan luar biasa! Aku bertemu dan beradu akting dengan idola-idolaku seperti Kristen Stewart, Emma Watson, Julia Roberts, dan yang paling mengasyikkan, aku bisa bersaudara dengan celebrity crush-ku dalam film tersebut.”
“Celebrity crush? Siapa dia?” tanya Gee dengan wajah penasaran dan wajah menggoda.
“Ashton Kutcher dan Taylor Lautner. Haha… Memang aneh dan ridiculously funny, tapi mereka sangat mempesona,” komentarku dengan senyum sumringah tidak jelas. “Tapi, mereka terlalu tua buatku. Aku masih 14 tahun. Haha..”
Gee tertawa bersama para penonton. “Selain itu, apa yang terjadi selama pengambilan film itu?’
“Banyak sekali hal menyenangkan. Selama di set, kami sering sekali pranking others. Parahnya, Taylor selalu bisa membuat yang lain benar-benar merasa seperti orang tolol. Dia itu King of Pranksters during the filming,” jawabku sambil memutar ulang kejadian yang kualami. “Tentunya, kami tidak bisa fokus dan kami lebih sering tertawa bersama-sama. Untung saja, Pak Sutradara sangat amat sabar. Kalo nggak, pasti film itu akan penuh dengan retake scenes. Hahaha…”
Penonton ikut tertawa.
“Hmm… Semoga filmmu sukses!” pesan Gee padaku. “Berbicara tentang crush, aku ingin kamu clear all the rumors.”
Aku terkekeh. “Rumors? What rumors?”
“Kamu tidak tahu, ya? Hmm… Ada apa dengan gambar ini?” tanya Gee seraya menampilkan slide-show di layar besar tepat di belakang tempat kami duduk.
Aku terperanjat dan melongo menatap gambar tersebut. Ada diriku dengan salah satu teman baikku, Nathan yang profesinya sama denganku. Kami juga sama-sama berumur 14 tahun. Nathan sebenarnya adalah sahabat selebku. Jadi, karena sama-sama terkenal, kami sering dipergoki paparazzi. Parahnya, mereka selalu mengira kami ada ‘sesuatu’.
Aku tertawa kecil menatap gambar itu dan sedikit memerah. “Aku dan Nathan hanya sahabat biasa saja. Waktu itu, aku sama Nathan hanya ingin makan siang bareng. Nah, karena kita sahabatan, kita jadi sering pegangan tangan, saring rangkul, dan pastinya cekikikan bareng, dong.”
“Hmm… I wonder if that’s all,” komentar Gee memanas-manasi. Aku hanya tersenyum.
###
Nathan sebenarnya hadir saat acara Talk-Show tadi. Tapi, dia menunggu di dressing room. Dia sedang tidak dikontrak film dan benar-benar tidak ada pekerjaan yang menumpuk. Jadi, aku mengajaknya, sebenarnya, memaksanya menemaniku untuk pergi ke Talk-Show ini.
Setelah acara selesai, aku langsung menemuinya. Yang kulihat adalah sosok Nathan dengan mata tertutup dan diselimuti semacam thick-coat buat musim dingin di atas tubuhnya, karena ruangan itu memang dingin. Aku tersenyum.
“Nathan, bangun! Aku udah selesai, nih!” ucapku berusaha selembut mungkin membangunkan sahabatku itu. Nathan menggelengkan kepala, aku menghela nafas. “Dasar kebo!!!! Kerjaannya tidur melulu!” Karena tidak sabar, aku memencet hidung Nathan dan dia langsung gelagapan.
Nathan menyipitkan mata dan menatapku dengan tatapan giliran-kamu-sekarang. Aku mundur beberapa langkah dan lari sekencang mungkin. Nathan dan aku berkejar-kejaran di belakang panggung acara. Beberapa crew sudah mengingatkan, tapi Nathan tidak mau berhenti dan aku tidak mau kena pembalasan.
“JASMINE!!! I’M SO GONNA GET YOU!” teriak Nathan yang mengejarku dengan senyum dan nada jahilnya.
“NOOO!!!!” aku berteriak dan ternyata jalan buntu menyambutku. Akhirnya, aku berhenti dan menatap Nathan dengan penuh sesal (padahal, dalam hati aku tertawa). “Ampun, Than. Beneran, tadi nggak sengaja kepencet. Eh, sengaja, deh. Soalnya, kamu tidurnya kayak kebo banget! Walaupun mukamu lucu, aku tetep harus pulang. Kalo nungguin kamu bangun, sampe aku jenggotan juga, kamu tetep aja merem!”
Nathan mendekat dan membunuh jarak di antara kami dengan cara memelukku. Saat itu juga, ada flash kamera dari beberapa arah di dekat kami. Pelukan Nathan bukan pelukan tulus. Tangannya sudah ada di tempat rawan-geli di bagian tubuhku. Dia tersenyum sebentar menatapku dan aku hanya bisa merapatkan gigi serta menutup mata dengan paksa.
“NATHAAAAAAN!!! GELI! AMPUN! UDAH!!!! SERIUS, NATHAN!!!! GELI!!!” mohonku setengah tertawa karena jari-jari Nathan sudah menyentuh tempat rawan-geli tadi. Aku teriak di telinganya. Nathan tidak bodoh, jadi dia makin menambah kekuatan dan kegelian daya kelitikannya. “NATHAN!!!”
“Bilang dulu, kalo aku itu cowok paling keren, paling hebat, paling romantis, paling asik, paling paling di area ini. Kalo nggak…” ancam Nathan dengan nada superjahil. “Eh, kalo kamu udah bilang gitu, aku bakal lepasin dengan satu syarat, kamu teraktir makan siang selama seminggu! Kalo kamu nggak bilang, kamu nggak akan aku lepas dan parahnya, AKU NGGAK AKAN BIARIN KAMU PULANG!”
Aku menatap Nathan dengan wajah yang pura-pura takut. Beruntung bagiku, bakat aktingku lebih baik daripada Nathan. Sebagai cowok, melihat ketakutan cewek memang hal paling tidak diinginkan. Nathan hampir luluh, tapi tetap saja dia masih berpikir-pikir. Saat itu juga, aku pura-pura hampir menangis. Nathan akhirnya memelukku.
“Jangan nangis dong. Aku kan, becanda. I’m sorry. Please…” terdengar nada sangat menyesal dari mulut Nathan saat mendekapku.
“Gotcha!” ucapku jahil.
Nathan menatapku tidak percaya. Dia hanya tersenyum yang bermakna. “Kamu dapet sifat kayak gitu dari aku, kan? Bersyukur punya temen kayak aku.”
Nathan merangkulku dan berjalan disampingku seperti pasangan cewek-cowok alias pacaran. Aku dan dia sudah terbiasa saling dekat seperti ini karena sahabatan. Lagi-lagi, kamera mengambil fotoku bersama dia.
“Aku takut, Than. Pasti besok berita entertainment penuh sama gosip kita. Aku nggak mau ngebahas yang jelas-jelas nggak nyata,” ucapku khawatir.
Nathan mengangkat wajahku dengan jemarinya yang diletakkan di daguku. “Apapun yang mereka bilang, selama itu nggak ganggu persahabatan kita, itu akan baik-baik saja. Percaya sama aku, cantik.” Aku tersenyum.
###
Aku mengambil cuti dari pekerjaan aktingku. Nathan masih juga menikmati liburannya. Kami liburan bareng ke Disney World, Florida. Orangtua kami ikut, tapi membiarkan kami jalan-jalan berdua saja.
Kini, setiap dekat-dekat dengan Nathan, ada rasa yang beda di benakku, maupun hatiku. Ada kupu-kupu dan kembang api dan pesta besar di perutku tiap kali dia merangkul dan memelukku. Nathan juga terlihat jadi lebih romantis dan sweet saat berbicara padaku. Apa aku yang sudah gila, atau malah memang ini konsekuensi dekat dengan cowok?
“Kamu kok, pucet sih, Min?” tanya Nathan melihat gurat wajahku yang mirip orang gelisah.
“Pucet? Nggak, kok,” jawabku.
“Min, aku udah tau kamu dari kecil, jadi jangan boong. Kamu kenapa?” tanya Nathan seraya menggenggam tanganku.
DAG-DIG-DUG! Aku menarik tanganku dan menunduk.
“Nggak apa-apa,” jawabku. “I swear, I’m okay.”
Ada wajah penasaran dan kaget di sosok yang sedang berhadapan denganku. “Kalo kamu mau cerita-cerita, aku pasti ada disini buat kamu. Karena… Never mind.”
Aku sedikit bingung, tapi berusaha membalas kata-kata itu dengan senyum tulus.
###
Malamnya, aku kesampean insomnia gara-gara perasaan nggak karuan setiap kali berurusan dengan Nathan. Apa aku harus menjauh? Tapi, Nathan kan, nggak salah apa-apa. Nggak masuk akal kalo ngejauhin sahabat hanya karena perasaan aneh timbul gitu aja. Tapi, kalo aku tetep deket sama dia, bisa-bisa dia yang risih dan menjauh ngeliat aku gelisah dan confused… GALAU!!!!
TOK-TOK-TOK!
“Siapa?”
“Nathan.”
“Bisa kamu nggak ganggu aku sekarang?”
Hening sebentar. “Fine. Tapi, ada sesuatu di depan pintu kamar kamu. Kalo kamu masih nggak mau ngambil, besok giliran aku pengen kamu nggak ganggu aku.”
Aku menarik nafas. “Just leave it there.”
Bayangan Nathan sedang menunduk dan mengangguk terlintas di kepalaku. Kasihan dia. Bodohnya aku!!!
Aku membuka pintu kamar hotelku dan melihat sesuatu tadi. Ada kotak kecil dan setangkai bunga tulip ungu, bunga favoritku.
“Nathan?” aku bertanya lebih kepada diri sendiri. “Apa sih, maksudnya?”
###
Esoknya, Nathan sudah tidak ada di kamarnya. Aku sampai panik dan bertanya pada setiap pegawai hotel, sampai-sampai tukang pembersih kolam dan gym aku tanyai juga. Anak ini dimana, sih?!
0 comments:
Post a Comment