Monday, August 1, 2011

Aku dan Mereka (Part 1)

Posted by Unknown
Aku dan Andi bersahabat sejak kami masih balita. Mamaku dan mama Andi bertetangga sudah lama. Papaku, kini, sedang mengurus pekerjaan di luar negeri. Sementara papa Andi bekerja sebagai manajer suatu perusahaan. Andi punya kakak laki-laki bernama Sena dan adik laki-laki bernama Rian. Aku punya sepasang kakak bernama Aldo dan Intan. Di rumah, akulah si bungsu.
            Kini, umurku baru beranjak 14 tahun. Andi berbeda setahun dariku, tapi tetap saja kalau ulang tahun, orangtua kami selalu berinisiatif untuk mengadakan pesta gabungan. Rian, adik Andi, seumuran denganku, sementara Sena tiga tahun lebih tua dariku. Sena dan Intan berpacaran. Aldo adalah teman dekat Sena. Aku sendiri hanya sahabat Rian dan Andi, karena kamilah yang benar-benar tidak ada kaitannya dengan yang tiga lagi.
            Dari pengamatanku, Andi dan Rian itu benar-benar beda. Secara fisik, mereka memang patut jadi most-wanted. Namun, secara emosional, tidak ada yang patut dijadikan most-wanted. Dua-duanya sama-sama keras kepala, suka memaksa, dan kadang egois. Selama ini, aku selalu saja hampir terbawa sifat mereka. Tapi, aku bisa mengatasinya.
            Hari ini, Andi masih dirawat di rumah sakit, karena terkena tifus. Aku diberi pekerjaan untuk menjaga rumah dari mama. Sementara itu, mama bersama Tante Reni, ibu Andi, akan menjaga Andi di rumah sakit. Rian, kata Tante Reni, juga sedang menjaga rumah. Jadilah, aku memutuskan untuk bermain dengannya di sekitar halaman rumah.
            “Din, nggak jenguk Andi?” tanya Rian.
            “Aku dapet giliran jenguk malem, Yan. Jadinya, siangnya aku harus jaga rumah dulu,” jawabku sambil bersedia duduk di atas undak-undak tangga yang ada di bagian depan rumahku.
            Rian mengangguk-angguk. “Hmm… Din, jalan, yuk!”
            “Hah? Kemana? Aku… Ntar, rumah dijagain siapa?” tanyaku kaget.
            “Yaelah, Din, ini kan, di komplek yang jelas-jelas satpamnya dilatih di PPKI, Persatuan Petugas Keamanan Indonesia. Pasti mereka yang jagain, dong,” jawab Rian maksa.
            “Ada-ada aja. PPKI bukannya Panitia Penyusun Kemerdekaan Indonesia, ya? Tau ah, lupa…” ucapku.
            Rian terkekeh. “Habis jalan-jalan, kita langsung ke rumah sakit, deh. Nanti, lo bilang ke mama lo, buruan pulang soalnya rumah nggak ada yang jaga. Gimana?”
            Aku berpikir sejenak. “Ya udah, deh, Yan. Kalo gitu, gue ganti baju dulu.”
            “Sip!” jawab Rian.
&&&
            “Pake motor?” tanyaku saat melihat Rian sudah terlihat cool di atas jok motornya.
            “Pake kuda, Din. Bukan pake motor,” jawab Rian terdengar ini-anak-kok-nggak-bisa-lihat-sih. “Buruan naik. Ini, helm dipake, jangan dipegang!”
            Aku memukul lengan Rian pelan. “Emangnya, aku segitu begonya, harus pake dikasih tau?”
            “Iya, iya… Maaf deh, Din,” ucap Rian memelas.
            Setelah naik dan melingkarkan tanganku di pinggang Rian, ada aliran hangat yang menjalar di tubuhku. Rian mengendarai motor itu dengan kecepatan yang cukup stabil dan bagus. Jadi, aku tidak perlu terlalu mengencangkan lingkaran di pinggangnya.
            “Din, pegangan yang kuat, ya? Gue mau ngebut kalo jalanan sepi kayak begini. Oke?” tanya Rian lantang.
            “Jangan ngebut-ngebut setan, ya!” aku memperingati.
            Kemudian, melajulah motor yang kutumpangi dengan kecepatan tinggi. Aku benar-benar mengencangkan pegangan dan setelah mulai terbiasa, aku mengendurkannya lagi.
            Rian mengajakku ke taman bunga yang selama ini ternyata belum pernah kukunjungi. Kata Rian, dia juga baru kali ini kemari, jadinya kami sama-sama belum tahu. Tak disangka, Rian membawa kamera SLR di dalam bagasi kecil di bawah jok motor. Aku melihatnya mengambil kamera itu dan seketika bersemangat.
            “Lo yang motret, deh. Lo kan, jagonya fotografi. Makanya, sengaja, tadi gue bawa SLR supaya lo semangat jalan-jalan sama gue,” jelas Rian. “Dan, lo juga bisa latihan motret lagi.”
            “Kok, kamu baik sih, Yan?” pujiku setengah bertanya. Rian nyengir dan aku memeluknya dengan satu lenganku. Rian membalas pelukan itu dengan dua lengan.
&&&
            Selama mengitari taman, Rian selalu merangkulku. Meskipun aku sedang memotret, dia terus saja menggangguku. Sampai pada tahap yang benar-benar membuatku geli.
            “Rian, kamu berdiri di sana, terus gaya, deh. Ntar, aku yang foto,” pintaku. Dengan senang hati, Rian berjalan ke posisi yang kutunjuk.
            Saat dia berjalan ke posisi itu, aku melarikan diri. Kemudian, aku tertangkap basah. Rian mengejarku. Dengan spontan, aku teriak sambil setengah mengejek dan tertawa. Rian juga ikut teriak dan berseru “Awas ya, Dina!” sambil menambah tawa yang terdengar licik.
            “Oke, aku nyerah!” aku mengakui.
         Rian yang masih berlari, tidak bisa menghentikan langkahnya dan menabrakku. Hal terakhir yang terjadi adalah aku dan dia ambruk ke tanah dengan posisi Rian di atas, sementara aku di bawah. Jarak antara hidungku dan hidungnya benar-benar sudah tinggal bermili-mili kecilnya. Aku dan Rian saling pandang. Sedetik kemudian, aku mengedipkan kedua mata dan memalingkan wajah.
            Rian yang mungkin merasa aku risih dan tidak betah dalam posisi ini, bangkit dan segera duduk di sebelahku. Aku duduk, lalu menaruh wajahku di telapak tangan dan sebisa mungkin bertahan. Perlahan, punggungku diusap Rian. Aku menolaknya dan Rian kontan kaget.
            “Din, maaf, ya. Gue bener-bener nggak sengaja. Serius, deh. Jangan nangis, dong,” mohon Rian.
            Aku masih diam dan berusaha bertahan.
            “Din, kamu marah sama aku, ya? Please, don’t cry. Maaf ya, Din,” sekarang suara Rian benar-benar merasa bersalah. Tapi, aku tetap merasa sedikit tidak enak, karena kejadian tadi.
            “Kalo gitu, kita pulang aja, deh. Kamu kalo nggak mau pulang bareng aku, aku panggilin taksi. Tapi, please, Din, talk to me,” mohon Rian.
            Aku mengangkat wajahku dan menatap Rian. “Kamu nggak salah, Yan. Aku cuma kaget aja tadi. Beneran, deh. Nggak apa-apa, kok. Lagian, aku nggak ada yang sakit. Adanya, kamu tuh, yang tangannya merah. Tadi kan, yang nahan tubuh aku kan, kamu. Seharusnya, aku yang minta maaf, Yan. Maaf, ya.”
            Rian menghela nafas. “Dina, jangan kayak gitu lagi, dong. Tadi, dikira nangis dan marah. Tau gitu, aku kelitikin aja, deh.”
            Aku terkekeh. “Makanya, jangan kasar sama cewek!”
            Rian mendengus. “Iya, cantik.”
            Aku menoleh ke Rian, karena baru saja dia memanggilku ‘cantik’ dan aku positif sekali bahwa aku tidak salah dengar. “Tadi, kamu panggil aku apa?”
            “Nggak, kok. Nggak manggil apa-apa. Salah denger kali, Din,” sangkal Rian.
            Aku tersenyum geli dan malu. Rian kembali merangkulku dan makin mendekat. Rangkulan ini terasa hangat.
&&&
            “Kalo gitu, mama sama Tante Reni pulang, deh,” ucap mama padaku saat melihatku tiba di rumah sakit.
            Andi yang terkekeh terlihat kaget atas kedatanganku bersama adiknya. Rian segera menghampiri tempat tidur Andi. Aku masih bersalaman dengan mama dan Tante Reni. Setelah itu, aku bergabung bersama kakak-adik itu.
            “Kalian abis dari mana?” tanya Andi langsung pada intinya.
            “Dari taman bunga aja, kok, Di,” jawabku.
            “Berdua aja?”
            Aku mengangguk.
            “Ngapain?”
            “Tadi, Dina gue suruh motret-motret taman dan jalan-jalan aja. Terus, tadi sempet makan. Cuma itu kok, An,” jawab Rian yang terdengar membantu.
            “Yan, boleh gue bicara sama Dina empat mata aja?” pinta Andi.
            “Silakan. Tapi, jangan lama-lama,” jawab Rian. Andi mengangguk. Rian mengungsikan diri ke luar dan aku mendekat dengan wajah merah padam.
            “Cuma itu, Din?”
            “Apanya?”
            “Kamu sama Rian?”
            “Iya. Kamu kenapa, sih?” tanyaku gusar.
            Andi menatapku dalam-dalam. “Aku sayang sama kamu, Din. Tapi…”
            Aku menunggu lanjutan kalimat Andi. Namun, dia masih menggantungnya dan tetap diam. Sesaat kemudian, Andi menarik nafas dan berlagak seperti akan mengaku.
            “Gue mau lo jadi cewek gue.”
            Aku terperanjat dan setengah syok. Pernyataan Andi benar-benar tidak terduga. Aku bingung, galau, dan parahnya, aku saat ini berubah bisu. Bingung dengan perasaan sendiri. Galau karena benar-benar seperti harus memilih. Dan bisu.
            “Kamu minta aku jadi cewek kamu, apa kamu cuma sekedar bilang aja?” tanyaku hati-hati.
            “Aku minta kamu jadi cewekku,” jawab Andi tegas.
            Aku menunduk. “I don’t know.

0 comments:

Post a Comment

Blog List

 

Re-A-Lis-Tic Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos