"Mau pulang sekarang, gak?" tawar Aldy setelah Amanda sempat pingsan di ambang pintu ruangan PMR.
"Siapa yang nganter? Aku nggak berani pulang sendiri, terus nggak fit pula," ucap Amanda yang baru terdengar kali ini menggunakan kata 'aku' saat berbicara sama Aldy. Aldy tersenyum mendengar ucapan Amanda itu, tapi berusaha tidak berlebihan.
"Gue. Gue bawa mobil, kok. Udah ada SIM, STNK, KTP. Jadi, elo nggak perlu khawatir lagi. Gue anterin sekarang mumpung masih cuma demo ekskul. Daripada ntar keburu dipanggil Tasya balik ke kelas," jawab Aldy. "Tapi, minum dulu teh manisnya, makan dulu buburnya. Baru gue mau anterin pulang. Gue nggak mau lo pingsan di mobil gue. Bisa lebih berabe."
Amanda terkekeh. "Kok, Kakak baik sama aku?"
Pertanyaan itu membuat Aldy terdiam. "Emang, orang yang mau berbuat baik harus punya alasan, ya, Man?"
"As a matter of fact, iya," jawab Amanda singkat.
"Alasannya, karena gue nggak punya alasan kenapa gue harus jahat sama junior gue pas dia lagi susah. Gue kan, nggak bener-bener jelmaan iblis, Man," goda Aldy mengingatkan Amanda pada ucapannya. Pipi Amanda menjadi merah. "Cie, blushing."
"Apaan, sih?! Aku galak lagi, ya?" ancam Amanda.
"Terserah elo. Gue sih, enakan baik. Kalo galak-galak, cepet tua," jawab Aldy sekenanya.
Amanda memukul lengan Aldy bercanda. Aldy tertawa.
&&&
Setelah resmi jadi siswa sekolahnya, Amanda masuk 10-3 yang kebetulan bekas kelas Aldy. Dia dan Aldy juga sudah mulai dekat dan benar-benar sering diberitakan sedang pacaran. Padahal, nggak sama sekali. Tapi, akhir-akhir ini, semakin sering Aldy mengantar Amanda pulang, semakin deg-degan Amanda menjawab. Antara khawatir perasaan deg-degannya lebih dari deg-degan biasa dan nggak enak mau nolak ajakan.
"Amanda," panggil seseorang yang jelas bukan Aldy.
"Iya, Kak?" jawab Amanda setelah tahu bahwa yang barusan meneriakkan namanya adalah Bima.
"Elo jadi ikut basket, kan?"
"Iya," jawab Amanda. "Kenapa, Kak?"
"Hari ini, ada rapat sebentar. Aldy nggak bilang, ya?" tanya Bima penasaran.
"Nggak. Ya udah. Kak Aldy emang dimana sekarang?" tanya Amanda.
"Di ruang basket. Oh iya, tadi Erlin nyariin elo," ucap Bima lagi.
"Ada apa?" tanya Amanda yang bingung.
"Nggak tau, Man. Lo samperin aja. Ya udah, ya. Kumpul di ruangan basket, deh. Gue ngumumin dulu di meja piket," ujar Bima. Amanda mengangguk dan tersenyum, lalu berjalan menuju ruang basket yang kira-kira lima menit dari tempatnya sekarang. Sekolah ini emang banyak dan luas pula. Makin parahlah..
&&&
Erlin menunggu Amanda di pintu depan ruangan basket. Dari awal MOS, Erlin terkenal sombong, genit, ganjen, kegatelan, dan sederet predikat cewek nggak bener lainnya. Hanya karena abangnya, Vino, yang kebetulan anak basket juga, jadi Prince Charming sekolah ini.
"Eh, elo! Akhirnya, dateng juga. Gue mau ngomong sesuatu," kata Erlin ketus.
"Ngomong aja," ujar Amanda sabar.
"Bego banget sih, lo. Orang yang mau gue omongin ada disini, sinting!"
"Oh."
Setelah agak menjauh dari ruangan basket, Erlin memulai perbincangan sok khusus ini. Ia menceritakan tentang Aldy. Kata Erlin, Aldy sengaja berbaek-baek hati ke Amanda, karena dia ngerencanain buat bales dendam sifat nyolot Amanda ke cowok itu pas MOS. Maka dari itu, Aldy berusaha bakal deketin Amanda dulu, manfaatin, lunakin, baru abis itu lepasin begitu aja. Amanda sedikit tertampar mendengar penjelasan Erlin. Tapi, melihat Erlin yang sifatnya emang nggak jauh-jauh dari tukang gosip, Amanda tidak mau terlalu percaya. Namun, yang dikata pendengaran yang secara langsung diserap otak dan ditelan hati, pasti ada aja yang bakal nyangkut dan dipercaya.
"Jadi, gue harap aja elo sadar kalo Aldy itu nggak setulus yang elo harapkan. Oh iya, Aldy udah punya cewek, Man. Bukan anak sini. Tapi, kata gosip-gosip di sekolah ini, dia lagi deket sama cewek yang ada di deket rumahnya. Siapa dah, tau.. Jadi, jangan berharap tinggi-tinggi," ujar Erlin ngomporin. "Yuk, deh. Bilang Vino, gue keluar basket."
Amanda menelan ludahnya dan berjalan masuk ke ruang basket yang hampir seluruhnya diisi cowok. Aldy yang melihat kedatangan Amanda langsung menghampiri cewek itu. Tapi, Amanda bersikap tidak seperti biasanya.
"Kenapa, Man?" tanya Aldy terusik.
"Nggak kenapa-napa," jawab Amanda singkat. Aldy hanya mengangguk. Kalo cewek tingkahnya lagi kayak gini, biasanya dia lagi PMS. Jadi, Aldy nggak mau ambil pusing.
Vino masuk ke ruang basket nggak lama setelah Amanda masuk. Amanda menghampiri Vino dan memberitahunya kalau adeknya batal ikut basket. Vino terkekeh.
"Gue bakal ngucek mata dua belas kali, kalo sampe Erlin masuk basket. Gak nahan gue bayangin dia kecentilan pas main basket," ucap Vino yang sudah berpraduga. Amanda memaksa untuk tertawa.
Perasaan Amanda hari ini lagi nggak bagus. Bukan karena PMS, bukan karena suasana ruangan basket yang dipenuhi cowok, bukan juga karena capek. Tapi, lebih tepat karena berita yang baru mengiang di telinganya yang berasal dari Erlin. "Aldy baek sama lo cuma buat balas dendam sikap nyolot lo, Man. Gue nggak sengaja nguping rencana dia itu pas dia lagi ngobrol sama Bima. Jadi, hati-hati aja, dah."
"Bengong aja, Man," tegur Aldy melihat Amanda yang tingkahnya emang lagi salah siang ini. Padahal, pagi ini Amanda masih bersikap hangat ke Aldy. "Ntar, pulang bareng, cerita, ya."
"Kak, saya pulang sendiri aja. Ngerepotin," jawab Amanda langsung. Mendengar kata 'saya' yang sudah lama hilang dari percakapan antara Aldy dan Amanda, cowok itu jadi benar-benar khawatir. Takutnya, dia punya salah sama Amanda.
"Kemarin masih mau ngerepotin gue. Kenapa sekarang jadi nggak mau?" tanya Aldy mencoba tidak terlalu terdengar kecewa.
"Udah sadar, kalo ternyata saya ngerepotin. Buktinya, barusan Kakak nyadarin saya kalo kemaren-kemaren ternyata saya beneran ngerepotin. Jadi, saya hari ini pulang sendiri aja," ucap Amanda.
Aldy yang tahu ucapan dan langkahnya salah, langsung mati kutu! Sial! Ini cewek pinter juga. Tapi, gue salah apa ya, sama dia? bisik Aldy dalam hati.
&&&
Latihan basket sudah mulai rutin sekarang. Tiga kali seminggu untuk yang cewek, empat kali seminggu untuk yang cowok. Kapten basket cowok kali ini dipegang kendali oleh Bima, sementara yang cewek ditangani Meli, yang badannya kekar dan bener-bener mirip cewek penggila olahraga. Aldy dan Amanda jadi bendahara umum. Amanda langsung merutuki dirinya dan anggota basket karena sudah menjerumuskan dirinya--lagi-lagi--bersama Aldy.
"Istirahat dulu, deh. Udah pada keringetan gitu," ujar Meli pada teman-teman satu timnya.
"Gitu dong, Mel!"
"Dari tadi seharusnya, Kak!"
"Bagus! Akhirnya..."
Amanda yang nggak tahu deh, kelewat blo'on atau emang dasarnya masih polos, lupa membawa air minum. Mau minjem duit kas basket, nggak enak banget dan dompet kasnya lagi ada di Aldy. Nggak minum sama sekali bisa urusan sama dokter. Aldy, yang juga sedang istirahat, melihat Amanda duduk sendiri tanpa minum, sementara teman setimnya enak minum. Tololnya lagi, duit Amanda cuma bisa dipakek sekali aja buat ongkos pulang.
"Haus, Man?" sapa Aldy. Amanda diam berusaha tidak menggubris. "Sebentar, deh." Aldy berjalan menjauh dan membelikan cewek itu minum. Setelah kembali lagi, Aldy menaruh sebotol Aqua di sebelah Amanda dan duduk di samping cewek itu. "Kalo butuh sesuatu, bilang aja."
"Kalo nggak tulus ngelakuin semuanya, bilang aja, Kak!" balas Amanda yang kemudian berlalu tanpa menyentuh aquanya. Aldy menatap perginya cewek itu.
&&&
"Bim, Amanda kenapa, sih?! Udah seminggu dia nolak gue jemput, gue anter pulang. Bahkan, pas papasan aja, dia nggak mau nengok ke gue," keluh Aldy sambil mengunyah tempe goreng super-renyah.
Bima terkekeh. "Lo suka sama dia, ye?"
Aldy keselek. Pertanyaan itu masih belum bisa dia pastikan jawabannya. Tapi, khusus Bima, sahabat Aldy sejak kelas 8, Aldy bisa terbuka sedikit tentang perasaannya.
"Gue nggak tau, deh. Masa, kadang kalo deket sama Amanda, ada aja keringet dingin dan rasa yang aneh-aneh gitu. Anehnya dalam arti seneng gitu. Nah, parahnya lagi, sejak Amanda jauh dari gue, ada yang kosong dan lagi-lagi ada rasa yang aneh. Sekarang, anehnya dalam arti kebalikan dari seneng," jelas Aldy.
"Duh, Romeo, denger ye... Kalo udah gitu yang elo rasain, nenek-nenek buta aja bisa ngeraba jantung lo dan bakal dengan yakin seyakin-yakinnya perasaan dia, kalo elo itu udah kelewat sayang sama Amanda," jawab Bima. "Juliet lo lagi ngambek. Terakhir gue liat dia masih easy going sama elo pas Erlin, adeknya Vino, nunggu dia di depan ruang basket."
"Lo denger apa yang dibilang Erlin?" tanya Aldy.
"Temen gue..." keluh Bima sadar kalo selama ini dia bergaul sama orang yang otak begonya yang mendominasi. "Kalo gue denger perkata dari omongan Erlin, gue udah ngetawain elo dan siapa tau, hati gue nyuruh gue untuk buat hubungan elo sama Amanda normal lagi. Tapi, gue cuma tau sebagian omongan Erlin, dan itu pun nggak sengaja masuk telinga gue."
"Lo denger apa?" tanya Aldy penasaran.
"Erlin bilang kalo elo nggak tulus baek-baekin Amanda. Udah itu doang yang kuping gue tangkep. Selebihnya, lo tanya sama Tuhan aja," ujar Bima. Aldy menghembuskan nafasnya.
"Terus, gue harus ngapain? Beneran jadi Romeo sang pengejar cinta gitu? Dih, india banget. Romeo aja bukan dari India," ucap Aldy sekenanya.
Bima menyeruput kuah indomie rebus-nya. Lalu, "Mending elo jelasin ke Amanda kalo itu salah sangka. Atau, elo cegat Erlin dulu dan minta dia tanggung jawab sama mulutnya."
"Duh, nggak salah gue gaul sama anak ini. Elo itu bokap gue versi younger," ucap Aldy langsung ngibrit ke kelas Erlin. Terus, dia balik lagi ke kantin. "Bim, bayarin dulu, ye. Ntar, gue bayar elo pas latihan basket."
&&&
"Elo bilang ke apa ke Amanda?" tanya Aldy pada Erlin di depan meja cewek itu di kelas 10-5.
"Maksud Kakak apa?" tanya Erlin dengan tampang pinter yang dipura-purakan bego, atau malah tampang sok-pinter yang aslinya beneran bego.
"Elo tau, Lin, Amanda jadi 'dingin' sama gue sejak elo bicarain sesuatu ke dia tempo lalu pas di depan ruang basket. Jadi, masalahnya nggak bakalan jauh sama yang udah dihasilin mulut lo," ucap Aldy.
"Kalo ternyata masalahnya ada di Kakak, gimana? Saya kan, cuma ngasih tau kebenerannya ke Amanda. Lagian, yang bejat dan bego itu tuh, KAKAK!" ucap Erlin.
Kata-kata itu membuat Aldy sedikit bingung. "Ini anak! Lo terimakasih sama bokap lo karena udah ngebuat elo jadi cewek. Kalo lo bukan cewek, bogem mentah bisa ngecap di pipi lo, Lin!" Sesaat setelah itu, Aldy keluar dari kelas 10-5 sambil diekori banyak pandangan.
&&&
TING! TONG!
Amanda membuka pintu depan dan menemukan orang yang paling malas ia temui di hadapannya. Aldy. Amanda menutup kembali pintunya, tapi sayangnya bundanya melihat adegan kurang sopan itu.
"Man, masa Aldy mau masuk ditutup gitu aja?" tegur bunda membuat Aldy tersenyum menang.
"Tan, saya pinjem Amanda sebentar, boleh?" tanya Aldy sopan.
"Asal jangan disewa aja, ya. Hehe," canda bunda garing. Aldy tertawa dan mengulurkan tangan agar Amanda mau meraihnya.
"Nggak mau! Bun, aku nggak mau kemana-mana sama dia lagi! Cukup di sekolah aku papasan. Di rumah nggak akan ada lagi papasan, meskipun kita satu blok sama dia rumahnya!" bentak Amanda yang tertuju pada Aldy.
Aldy merasa seperti ditampar. Amanda sendiri merasa denyut-denyut di bagian hatinya. Mengucapkan kalimat itu menyakitkannya dan segala perasaannya terhadap cowok yang masih mengulurkan tangannya. Bunda hanya bisa menatap dua pasang mata yang sedang saling tidak bisa mengerti satu sama lain. Bunda turun tangan.
"Aldy, kalo kamu mau nyampein sesuatu ke Amanda, lewat Tante aja. Pasti, nanti Tante sampein ke Amanda," ujar Bunda menenangkan suasana. Amanda yang mengunci diri di kamar sambil menangis hanya bisa mendengar ucapan bundanya pada Aldy samar-samar.
"Amanda kalo lagi ngambek begini ya, Tan?" tanya Aldy berusaha menutup luka barunya.
"Iya. Maafin dia, ya," mohon bunda.
"Itu pasti. Saya cuma pengen minta lima menit, deh, Tan. Terserah Amanda mau bukain pintu kamarnya atau nggak, saya cuma minta lima menit buat ngomong ke dia. Jewer saya kalo waktu lima menit itu udah kelebihan, Tan," pinta Aldy. Mendengar itu, bunda terenyuh dan menyuruh Aldy naik ke atas dan duduk di depan pintu kamar Amanda. Bunda meninggalkan mereka dalam keadaan seperti itu.
"Amanda, kamu kalo marah sama Kakak ngomong aja. Jujur aja semuanya. Walaupun bisa aja nyakitin hati, tapi setidaknya Kakak tau kamu marah pake alasan, Man," mulai Aldy.
Hening.
"Ngomong, dong, Man. Kakak salah apa?" bujuk Aldy.
Masih hening.
"Kalo kamu nggak suka Kakak perhatian sama kamu lebih dari batas normal, Kakak bisa kok, ngurangin perhatian itu. Tapi, Kakak cuma minta satu alasan kamu aja. Itu aja," ucap Aldy yang sudah setengah putus asa.
Amanda berdehem berusaha menutupi isak tangisnya. Aldy yang bisa mendengar sisa tangisan Amanda, semakin merasa sakit. "Jauhin aku, Kak. Kalo Kakak nggak pernah tulus sama perhatian Kakak, jauhin aku. Jangan pernah lagi ngasih semua itu cuma sebatas balas dendam untuk perlakuan aku yang udah lewat. Mendingan, aku dibales secara langsung daripada pelan-pelan, tapi nyakitin."
Aldy nggak ngerti. Bukan karena otak pintarnya lagi mati rasa, tapi karena emang bener-bener nggak tau kemana Amanda membawa pembicaraan ini.
0 comments:
Post a Comment