Chapter 3
3.3 "We break promises; promises break us. We break ourselves."
Yang kulakukan selama Al bersekolah hanya satu. Mencari hobi baru tanpa perlu banyak bergerak. Aku meraih ponselku dan membuka aplikasi catatan. Ada hobi baru yang bisa kulakukan selama Al tidak di sini menemani kekosongan hariku yang kadang tak cukup hanya ditunggui Bunda seorang. Hobi itu adalah menuliskan beberapa kata dan prosa kecil buatanku sendiri dengan kalimat yang dilebih-lebihkan. Akhir-akhir ini, pikiranku selalu terbang dan membentuk sebuah wujud yang terlalu hangat di benakku, Al. Aku memang sudah sangat jatuh cinta padanya sampai setiap mimpiku di dua-tiga hari terakhir ini adalah semua tentang dia dan hal-hal manis yang kami lakukan.
Aku tak pernah mengira bahwa akhirnya dirimulah yang akan hadir mengisi kekosongan dalam diriku yang nyaris dirayapi berjuta laba-laba sakit hati dan debu-debu kekecewaan. Tak pernah kusangka jatuh cinta padamu, sahabatku sendiri, akan seindah ini tapi juga serumit ini. Cinta memang tak pernah menuntut solusi dan cinta tak akan pernah menuntut logika. Cinta tak butuh rumus dan tidak butuh dirumuskan. Cinta juga sering kali tak perlu dimengerti, hanya butuh diterima. Terlepas dari siapa yang dipilih atau memilih cinta. Dan saat ini, dua orang sahabat, aku dan kamu, adalah orang-orang pilihan cinta. Kuharap selamanya... Atau paling tidak sementara, sementara yang cukup lama...
Tanpa sadar aku mengetikkan dan mengarang semua bagian dari prosa kecil barusan. Kubaca ulang rangkaian kalimat-kalimat tadi dan aku ucapkan kembali dalam hati. Cinta memang sebegitu indah dan mengejutkan. Aku tersenyum sambil mengulang dua kali bacaanku dan terbayang wajah Al. Bagaikan dalam sebuah film romantis, di otakku saat ini terjadi kilas balik yang memutarkan sejuta kenangan yang telah terukir antara aku dan Al. Kondisiku yang sakit dengan emosi yang tak stabil membuat seisi kantong airmataku seakan ingin tumpah. Kalau dipikir-pikir, aku benar-benar tak pernah merencanakan untuk jatuh cinta pada Al, yang notabene adalah sahabatku sendiri. Tak pernah sedikit pun aku membayangkan apa yang terjadi saat ini. Sedikit pun aku tak pernah, tak mau, dan tak berani. Aku selalu menganggap Al bagian dari hidupku yang bisa kupercaya, yang bisa membawaku pada diriku sendiri tanpa pura-pura. Dan karena hal itu serta terlalu lama bersama, aku mulai merasakannya. Mungkin di sisi Al, ia merasakan hal yang sama juga. Entahlah. Aku tak mau tahu. Yang kutahu, aku miliknya dan dia milikku. Kami masih bersahabat, masih saling menyayangi. Namun, kali ini, aku tak akan pernah melepasnya seegois apapun orang akan menilaiku.
Cemburu. Kehilanganmu tak hanya sebatas tak akan pernah melihatmu lagi. Kehilanganmu bisa berarti harus melepaskanmu bebas tanpa ada aku lagi di sisimu. Kehilanganmu bisa berarti membiarkanmu berpindah dari genggamanku ke genggamannya, atau genggaman dia, atau dia, atau dia. Entahlah. Kehilanganmu bukan hanya sebatas tak akan pernah melihatmu lagi. Kehilanganmu bisa berarti tidak berbicara padamu walaupun kita sedekat dua kelingking yang melingkari satu sama lain. Kehilanganmu bisa berarti memenangkan perdebatan konyol kita. Kehilanganmu tidak hanya sebatas tak akan pernah melihatmu lagi. Kehilanganmu bisa berarti aku cemburu. Sesederhana namun semenyakitkan itu....
Ah, kenapa harus tema ini?! Hal ini menguak sisi sensitifku perihal Al. Aku selalu tak bisa melihat Al dekat dengan Anita, walaupun aku tahu mereka tak menyembunyikan apa-apa dariku. Aku tak membenci Anita dan tidak juga memblokade perasaanku pada Al dan perasaannya padaku. Tidak. Aku hanya iri melihat mereka bisa berbicara dan tertawa bersama terkadang meskipun aku dan Al menghabiskan waktu jauh lebih banyak daripada 10 menit durasi tawa antara ia dan Anita. Entah mengapa juga, aku bahkan tidak mengerti. Aku cemburu, jujur saja. Aku tak tahu apa yang harus aku cemburui. Entah mungkin Anita yang supersupel sehingga Al bisa saja membuatnya ikut jatuh cinta pada dirinya. Atau mungkin Al yang selalu terlihat sangat baik, perhatian, dan penuh canda ke banyak teman-teman perempuanku sehingga membuatku tersingkir dan membuat mereka dengan mudah menggeserku dari posisiku di dekat Al. Aku benar-benar tak tahu. Yang kutahu satu, setiap kali Al dan Anita tertawa atau paling tidak berbicara saja, ada rasa takut akan kehilangan dalam hatiku sambil berharap Al dan Anita tak pernah bersatu. Jahat memang, namun aku mencintai Al dan kurasa Tuhan sudah meresmikan itu di suatu saat lampau.
Al datang dengan sebuket bunga dan satu kotak kue. Entah berapa kali ia berhasil membuatku tersenyum di hari-hari tidak menyenangkan seperti ini. Aku benar-benar menyayanginya. Namun, seketika di belakangnya terlihat Anita dengan senyumnya. Yang ada di pikiranku hanya satu, mereka pasti satu motor dan pasti Anita begitu dekat dengan Al. Mengapa hatiku panas?
"June! Gimana keadaan lo?" tanya Anita sambil membantu Al meletakkan buket bunga itu dan kotak kue tadi.
"Baik," jawabku dengan seulas senyum. Aku tak pernah membenci Anita, hanya saja aku tak suka kalau ia sudah terlalu sering bersama Al. Al milikku.
"Maaf ya, baru bisa datang. Gue benar-benar sibuk banget beberapa hari ini. Tadi sebenarnya Aqil sama Dadan mau ikut. Tapi, karena mereka masih ada ekskul, jadi katanya mereka nyusul," beber Anita seperti biasanya.
Al menarik kursi dan duduk di samping tempat tidurku. "Bunda mana?"
"Enggak tahu," jawabku berusaha menekan rasa kesalku sendiri.
"Gila ya, Rizal kalau bawa motor main terobos polisi tidur aja. Enggak sadar dia bawa penumpang sama barang-barang ini," komentar Anita kemudian. Ya, berarti benar mereka satu motor. Rasa takut akan kehilangan itu kembali menghampiriku.
***
"Gila ya, Rizal kalau bawa motor main terobos polisi tidur aja. Enggak sadar dia bawa penumpang sama barang-barang ini," ucap Anita membuatku berada dalam posisi teramat bersalah. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya satu, tersenyum memaksa.
Aku memerhatikan raut wajah Une diam-diam sambil berharap hal ini tak lagi mengusik sisi sensitifnya. Aku tahu ia tak pernah suka aku berduaan dengan gadis lain, bahkan aku pun tak suka. Aku sadar ia milikku dan aku miliknya, namun terkadang Une bisa menjadi orang paling posesif dan sedikit menyebalkan karena itu. Tapi, kali ini benar-benar salahku. Akulah yang tadi menawarkan tumpangan pada Anita.
"Iya, Al emang gila," balas Une terdengar dipaksakan. Aku bisa merasakan sakit hatinya.
Aku terkekeh. "Enggak apa-apa, Nit. Latihan sebelum nanti di-bonceng beneran sama si..."
Anita memukul lenganku dan memaksaku untuk tetap diam. Une menaikkan kedua alisnya, penasaran. Namun, aku tahu Une semakin sakit melihat adegan ini. Tapi bagaimana lagi? Tak mungkin saja aku mengusir Anita padahal ia baru datang beberapa menit yang lalu.
"Assalamu'alaikum," ucap dua suara dari pintu ketika hening hendak mengisi ruangan ini.
Aku melihat Aqil dan Dadan berjalan beriringan memasuki ruangan rumah sakit ini. Di tangan Aqil ada sekeranjang buah-buahan yang sudah terbungkus rapi dengan plastik mika. Dadan membawa satu kotak kue yang berasal dari toko yang sama dengan kue yang aku dan Anita beli.
"June!" sapa Aqil sambil menghampiri Une dan membelai lengannya halus.
"Aqil, udah lama enggak ketemu," ucap Une diikuti sebuah senyum.
"June, gimana? Udah enakan?" tanya Dadan yang memang selalu perhatian pada semua perempuan di sekolah kami.
"Udah, alhamdulillah," jawab Une.
Pertemuan ini berlangsung sekitar dua jam sampai akhirnya Dadan pamit lebih dulu. Kemudian, aku mengantarkan Aqil dan Anita keluar ruangan Une, berharap Aqil mau menawarkan Anita tumpangan seperti yang pernah diceritakan Anita padaku.
"Nit, lo balik sama siapa?" tanyaku basa-basi.
"Enggak tahu," jawab Anita.
"Sama gue aja, deh. Udah sore banget, daripada lo sama ojek enggak jelas," ujar Aqil membuatku sedikit lebih lega karena dengan tawarannya itu aku tak perlu repot-repot mengantarkan Anita pulang dan meninggalkan Une sendirian.
"Ya udah, ya, Nit. Lo sama Aqil aja. Maaf banget, gue harus jagain Une lagi," ucapku.
Anita tersenyum, namun tatapan matanya mengutukku. "Ya udah. Padahal tadi gue mau nelpon ojek langganan."
"Mumpung masih ada temen pulang, Nit," olokku kemudian pamit permisi untuk kembali pada Une.
Seraya berjalan kembali ke kamar tempat Une dirawat, aku memikirkan reaksi apa yang akan dimuntahkan Une padaku. Aku tahu ia sudah menunggu nyaris dua setengah jam untuk marah padaku karena aku dan Anita berangkat ke rumah sakit bersama. Al, kali ini berusahalah mengalah...
***
"Boncengan, ya?" tanyaku sesaat setelah Al menutup pintu kamar rumah sakit.
"Hmm," jawab Al singkat seolah tak mau membahas perihal ini.
Aku mendiamkannya. Marah? Seharusnya mungkin tak seberlebihan ini. Namun, tetap saja. Bukankah baru kemarin aku marah padanya karena telepon singkat antara Anita dan Al? Lalu, kenapa ia mengulanginya lagi. Bahkan kali ini sudah sangat dekat sampai satu motor?
"Kamu mau marah, Ne?" tanyanya. Aku diam.
"Ne, tadi aku emang salah nawarin Anita bareng sama aku satu motor. Aku emang salah," jelas Al lagi. "Tapi, bukankah seharusnya kamu sadar kalau kamu jauh lebih istimewa daripada Anita buat aku? Bukankah seharusnya kamu enggak takut dan enggak marah dan mungkin enggak cemburu hanya karena aku mau berbuat baik ke teman kita? Apalagi, Anita cewek. Masa aku tega nyuruh dia sendiri ke sini padahal aku bawa motor?"
Une terkekeh sinis. "Aku sadar. Tapi, aku tetap perempuan, Al. Aku cemburu sama perlakuan kamu ke Anita. Terus, apa aku enggak berhak kayak gitu?"
"Enggak," ucap Al tegas. "Jujur Ne, padahal kamu yang waktu itu belum meresmikan status ini. Lagi pula, bukankah 'kita' ini hanya sebatas status palsu untuk dipamerkan ke teman-teman dan tameng untuk menghindar dari kekalahan dari tantangan yang dikasih Fian?"
Aku terdiam. Rasanya seperti ditusuk pisau yang teramat tajam. Perkataan Al memang tak ada yang salah. Kami memang belum resmi dikatakan pacaran. Namun, apakah selama ini hal itu yang terngiang di kepala Al? Ia melakukan ini semua hanya untuk dipamerkan? Lalu, apa guna tempo hari aku mengatakan aku ingin memilikinya dan ia memiliku? Aku sakit hati. Kali ini terlalu sakit untuk bisa berdamai dengan airmataku yang hendak turun dan orang yang saat ini berdiri menatapku lekat-lekat. Aku kecewa. Sangat kecewa.
"Pulang, Al," suruhku seiring dengan jatuhnya bulir-bulir airmata di pipiku.
"Ne..." panggil Al lirih. Sungguh, bahkan mendengar suaranya saja aku tak sanggup.
"Pulang. Biar Bunda aja yang hari ini, besok, lusa, dan sampai aku pulang nanti yang jagain aku. Kamu enggak usah. Kamu sekolah aja, pulang ke rumah," lanjutku parau diikuti tetes airmata berikutnya hingga seluruh pipiku sudah sepenuhnya basah.
Al meraih ranselnya yang ada di atas kursi di sebelahku. Ia mendekat padaku ingin melakukan kebiasaannya, mencium keningku. Namun, aku berpaling. Rasa sakit hati itu masih terlalu hangat di dalamku. Al menatapku lekat, tak kubalas. Aku merasakan setetes air hangat jatuh di atas jemariku. Aku menatap Al. Ia menangis...
***
Aku tahu kata-kataku tadi sudah keterlaluan. Une memintaku untuk tidak menemuinya lagi setelah ini. Baiklah, ini yang benar-benar harus kulakukan. Aku sudah membunuhnya kali ini. Benar-benar membuatnya sakit dan rusak sampai bahkan aku tak bisa memaafkan diriku sendiri. Seharusnya aku tak mengatakan itu pada Une. Aku menyayangi Une.
Kuraih ranselku dan mendekatkan wajahku ke keningnya. Ia berpaling, menolak kecup sayangku. Tak kuasa aku pun menangis di hadapannya. Kali pertama di depan Une. Melihatnya separau dan sesakit itu juga membunuhku. Dan aku bisa merasakan pedih luka yang baru saja kubuat untuknya dan untuk diriku sendiri.
"Kalau itu yang kamu mau..." ucapku sebelum benar-benar meninggalkan Une sendiri.
Hari-hari setelah pertengkaran dahsyat itu, aku benar-benar menyiksa diriku sendiri. Bahkan semua orang melihat kesedihan yang begitu nyata dalam mataku. Ada yang salah denganku. Aku harus menahan rasa penasaranku tentang kabar Une sekarang sampai akhirnya aku memutuskan untuk izin sekolah dua hari. Mama bilang Une sudah balik dari rumah sakit. Aku cukup lega. Namun, kali ini kurasa akulah yang sakit. Aku mencoba menghubungi Une, berharap ia sudah memaafkanku. Dasar brengsek! Sudah kusakiti ia, tapi aku pulang yang berharap ia memaafkanku? Bodoh! Brengsek!
"Une, angkatlah!" pintaku dengan ponsel menempel di telinga.
Masih balasan yang sama dari sistem. Segitu bencikah Une padaku saat ini?
Aku mencoba mendatangi rumahnya di akhir pekan, berdoa agar Une membukakan pintu. Namun, Mbok Num selalu berkata Une sedang sibuk dan tidak mau diganggu setiap kali aku datang dan menunggu di teras rumahnya.
"Mas Al sama Non Une kenapa, toh?" tanya Mbok Num saat aku memaksa untuk menunggu di suatu sore pada hari Minggu.
"Gitu deh, Mbok. Aku tuh, brengsek banget ke Une. Aku nyakitin perasaannya dia pas dia masih di rumah sakit waktu itu. Kita berantem dan aku egois banget ke Une. Makanya Une jadi gini. Aku yakin pasti dia di kamarnya, nangis, marah, sensitif sambil maki-maki aku dalam hati sampai-sampai setiap aku nyoba datang ke sini selalu aja Mbok Num bilang Une lagi ini-lagi itu," ceritaku pada Mbok Num untuk mendapat sedikit pembelaan.
"Memangnya Mas Al bilang apa ke Non Une?" tanya Mbok Num penasaran.
"Aku bilang aku enggak benar-benar sayang ke dia. Tapi, bukan itu maksudku, Mbok. Aku cuma enggak mau dia cemburu berlebihan ke aku sama Anita, teman kami. Aku mau dia sadar aku benar-benar sayang sama dia dan aku mau dia enggak cemburu," jawabku lagi.
Mbok Num berdecak. "Ya, kalau begitu Non Une enggak salah, Mas. Mas kalau sayang sama Non Une, bukan gitu caranya. Non Une cemburu kan, juga karena dia sayang banget sama Mas Al. Ya, menurut Mbok sih, Non Une enggak salah. Non Une cuma mau Mas Al benar-benar buktiin kalau cuma Non Une-lah yang Mas Al sayang. Bukan malah ngomong kayak tadi."
"Gitu ya, Mbok?" tanyaku bingung dengan nada menyesal.
"Mbok!" panggil suara yang selama berhari-hari ini kutunggu. Aku mendengar suara Une semakin lantang dan jelas. Aku rindu suara itu. Sungguh.
"Ya, Non?" balas Mbok Num.
Une muncul di hadapan aku dan Mbok Num beberapa saat kemudian. Aku melihat ekspresi kaget dan dua mata yang bengkak di hadapanku. Gadisku ini pasti sudah terlalu sering menangis sejak hari itu. Ah, aku benci diriku sendiri.
Une mengacuhkan aku dan berusaha mengajak Mbok Num masuk dan memenuhi perintahnya. Sesaat sebelum membiarkannya kembali ke dalam rumah, aku menarik lengannya. Aku rindu padanya dan pertengkaran ini tak bisa lebih lama lagi kubiarkan.
"Ne, please," ucapku lirih. Une menyentak genggamanku, namun tak begitu kuat untuk membuatnya lepas. Seolah tahu, Mbok Num melarikan diri dari situasi ini dan membiarkan aku dan Une berdua.
"Al, kita kan, bukan apa-apa seperti yang kamu bilang waktu itu. Kita cuma sahabat. Aku memang harusnya enggak pantas cemburu, kok. Kamu benar," ucap Une akhirnya dengan suara bergetar. "Dan kamu, kamu seharusnya enggak perlu repot-repot ke sini dan nyoba hubungi aku dan bertingkah kayak kamu 'siapa'-nya aku. Kalau kita memang bukan apa-apa, maka bersikaplah seperti itu. Hanya seperti sahabat saja."
"Enggak," ucapku tegas. "Kamu pacar aku. Kamu berhak buat cemburu, kamu berhak buat membenci aku saat ini, kamu berhak buat teriak dan maki-maki aku. Kita bukan sahabat lagi. Aku pacar kamu, kamu pacar aku."
Une menatapku kemudian satu tamparan melayang ke pipiku. "Kamu egois!"
Lalu, aku melihat Une menangis dan terisak. Aku memeluknya. Ia memukul-mukul dadaku dan mencoba berontak. Aku menitikkan airmata. Pedih rasanya melihat orang yang paling kausayang menangis sehebat ini di pelukanmu dan menyadari bahwa kaulah penyebabnya. Aku mengeratkan pelukanku namun memberikan cukup ruang untuk Une menuangkan kemarahannya. Ia terus memukul dadaku hingga aku merasakan sakit dan sesak di bagian itu. Une berhenti dan membiarkan aku mendekapnya lebih erat lagi. Aku ingin memberhentikan waktu dan menikmati momen ini. Aku tak akan pernah bisa bertahan untuk tidak menemui gadis ini sekeras apapun aku berusaha. Sungguh.
Setelah Une mereda, aku mengendurkan pelukanku dan menatap Une. Matanya kembali merah dan wajahnya menyedihkan sampai-sampai menyayat hatiku sendiri.
"Udah?" tanyaku lembut sambil menghapuskan airmatanya.
"Kamu egois!" ucap Une di antara isak tangisnya sambil tetap menunduk menghindari tatapan mataku.
"Apa lagi?" pancingku menerima dengan pahit semua sumpah serapah dari Une. Aku pantas mendapatkannya.
"Kamu egois, jahat, brengsek! Al, kamu jahat!" isak Une. Aku tersenyum pahit sambil mengangkat wajah Une untuk menatapku.
"Kamu baik, lucu, imut, ngangenin, cantik. Aku enggak tahu harus gimana lagi buat menghukum diri sendiri karena udah nyakitin gadis kayak kamu. Aku enggak tahu betapa bodoh dan brengseknya aku udah nyakitin kamu. Aku enggak pantas nerima maaf kamu. Tapi, aku terlalu egois buat rela ngelepas kamu begitu aja. Kamu milik aku dan itulah hal paling egois yang bisa kulakukan saat ini untuk tetap jadi orang yang selalu ada di pikiran kamu," ucapku lembut sambil menatap sedalam-dalamnya ke dua bola mata Une. Kemudian, aku menariknya dalam pelukanku dan setelah beberapa hari, Une membalasnya. Aku tersenyum dalam diam.