Thursday, April 3, 2014

A Sampai Z, Kita Punya Cerita (19)

Posted by Unknown 0 comments
Chapter 3

3.3 "We break promises; promises break us. We break ourselves."

Yang kulakukan selama Al bersekolah hanya satu. Mencari hobi baru tanpa perlu banyak bergerak. Aku meraih ponselku dan membuka aplikasi catatan. Ada hobi baru yang bisa kulakukan selama Al tidak di sini menemani kekosongan hariku yang kadang tak cukup hanya ditunggui Bunda seorang. Hobi itu adalah menuliskan beberapa kata dan prosa kecil buatanku sendiri dengan kalimat yang dilebih-lebihkan. Akhir-akhir ini, pikiranku selalu terbang dan membentuk sebuah wujud yang terlalu hangat di benakku, Al. Aku memang sudah sangat jatuh cinta padanya sampai setiap mimpiku di dua-tiga hari terakhir ini adalah semua tentang dia dan hal-hal manis yang kami lakukan.

Aku tak pernah mengira bahwa akhirnya dirimulah yang akan hadir mengisi kekosongan dalam diriku yang nyaris dirayapi berjuta laba-laba sakit hati dan debu-debu kekecewaan. Tak pernah kusangka jatuh cinta padamu, sahabatku sendiri, akan seindah ini tapi juga serumit ini. Cinta memang tak pernah menuntut solusi dan cinta tak akan pernah menuntut logika. Cinta tak butuh rumus dan tidak butuh dirumuskan. Cinta juga sering kali tak perlu dimengerti, hanya butuh diterima. Terlepas dari siapa yang dipilih atau memilih cinta. Dan saat ini, dua orang sahabat, aku dan kamu, adalah orang-orang pilihan cinta. Kuharap selamanya... Atau paling tidak sementara, sementara yang cukup lama...
Tanpa sadar aku mengetikkan dan mengarang semua bagian dari prosa kecil barusan. Kubaca ulang rangkaian kalimat-kalimat tadi dan  aku ucapkan kembali dalam hati. Cinta memang sebegitu indah dan mengejutkan. Aku tersenyum sambil mengulang dua kali bacaanku dan terbayang wajah Al. Bagaikan dalam sebuah film romantis, di otakku saat ini terjadi kilas balik yang memutarkan sejuta kenangan yang telah terukir antara aku dan Al. Kondisiku yang sakit dengan emosi yang tak stabil membuat seisi kantong airmataku seakan ingin tumpah. Kalau dipikir-pikir, aku benar-benar tak pernah merencanakan untuk jatuh cinta pada Al, yang notabene adalah sahabatku sendiri. Tak pernah sedikit pun aku membayangkan apa yang terjadi saat ini. Sedikit pun aku tak pernah, tak mau, dan tak berani. Aku selalu menganggap Al bagian dari hidupku yang bisa kupercaya, yang bisa membawaku pada diriku sendiri tanpa pura-pura. Dan karena hal itu serta terlalu lama bersama, aku mulai merasakannya. Mungkin di sisi Al, ia merasakan hal yang sama juga. Entahlah. Aku tak mau tahu. Yang kutahu, aku miliknya dan dia milikku. Kami masih bersahabat, masih saling menyayangi. Namun, kali ini, aku tak akan pernah melepasnya seegois apapun orang akan menilaiku.
Cemburu. Kehilanganmu tak hanya sebatas tak akan pernah melihatmu lagi. Kehilanganmu bisa berarti harus melepaskanmu bebas tanpa ada aku lagi di sisimu. Kehilanganmu bisa berarti membiarkanmu berpindah dari genggamanku ke genggamannya, atau genggaman dia, atau dia, atau dia. Entahlah. Kehilanganmu bukan hanya sebatas tak akan pernah melihatmu lagi. Kehilanganmu bisa berarti tidak berbicara padamu walaupun kita sedekat dua kelingking yang melingkari satu sama lain. Kehilanganmu bisa berarti memenangkan perdebatan konyol kita. Kehilanganmu tidak hanya sebatas tak akan pernah melihatmu lagi. Kehilanganmu bisa berarti aku cemburu. Sesederhana namun semenyakitkan itu....
Ah, kenapa harus tema ini?! Hal ini menguak sisi sensitifku perihal Al. Aku selalu tak bisa melihat Al dekat dengan Anita, walaupun aku tahu mereka tak menyembunyikan apa-apa dariku. Aku tak membenci Anita dan tidak juga memblokade perasaanku pada Al dan perasaannya padaku. Tidak. Aku hanya iri melihat mereka bisa berbicara dan tertawa bersama terkadang meskipun aku dan Al menghabiskan waktu jauh lebih banyak daripada 10 menit durasi tawa antara ia dan Anita. Entah mengapa juga, aku bahkan tidak mengerti. Aku cemburu, jujur saja. Aku tak tahu apa yang harus aku cemburui. Entah mungkin Anita yang supersupel sehingga Al bisa saja membuatnya ikut jatuh cinta pada dirinya. Atau mungkin Al yang selalu terlihat sangat baik, perhatian, dan penuh canda ke banyak teman-teman perempuanku sehingga membuatku tersingkir dan membuat mereka dengan mudah menggeserku dari posisiku di dekat Al. Aku benar-benar tak tahu. Yang kutahu satu, setiap kali Al dan Anita tertawa atau paling tidak berbicara saja, ada rasa takut akan kehilangan dalam hatiku sambil berharap Al dan Anita tak pernah bersatu. Jahat memang, namun aku mencintai Al dan kurasa Tuhan sudah meresmikan itu di suatu saat lampau.

Al datang dengan sebuket bunga dan satu kotak kue. Entah berapa kali ia berhasil membuatku tersenyum di hari-hari tidak menyenangkan seperti ini. Aku benar-benar menyayanginya. Namun, seketika di belakangnya terlihat Anita dengan senyumnya. Yang ada di pikiranku hanya satu, mereka pasti satu motor dan pasti Anita begitu dekat dengan Al. Mengapa hatiku panas?
"June! Gimana keadaan lo?" tanya Anita sambil membantu Al meletakkan buket bunga itu dan kotak kue tadi.
"Baik," jawabku dengan seulas senyum. Aku tak pernah membenci Anita, hanya saja aku tak suka kalau ia sudah terlalu sering bersama Al. Al milikku.
"Maaf ya, baru bisa datang. Gue benar-benar sibuk banget beberapa hari ini. Tadi sebenarnya Aqil sama Dadan mau ikut. Tapi, karena mereka masih ada ekskul, jadi katanya mereka nyusul," beber Anita seperti biasanya.
Al menarik kursi dan duduk di samping tempat tidurku. "Bunda mana?"
"Enggak tahu," jawabku berusaha menekan rasa kesalku sendiri.
"Gila ya, Rizal kalau bawa motor main terobos polisi tidur aja. Enggak sadar dia bawa penumpang sama barang-barang ini," komentar Anita kemudian. Ya, berarti benar mereka satu motor. Rasa takut akan kehilangan itu kembali menghampiriku.
***
"Gila ya, Rizal kalau bawa motor main terobos polisi tidur aja. Enggak sadar dia bawa penumpang sama barang-barang ini," ucap Anita membuatku berada dalam posisi teramat bersalah. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya satu, tersenyum memaksa.
Aku memerhatikan raut wajah Une diam-diam sambil berharap hal ini tak lagi mengusik sisi sensitifnya. Aku tahu ia tak pernah suka aku berduaan dengan gadis lain, bahkan aku pun tak suka. Aku sadar ia milikku dan aku miliknya, namun terkadang Une bisa menjadi orang paling posesif dan sedikit menyebalkan karena itu. Tapi, kali ini benar-benar salahku. Akulah yang tadi menawarkan tumpangan pada Anita.
"Iya, Al emang gila," balas Une terdengar dipaksakan. Aku bisa merasakan sakit hatinya.
Aku terkekeh. "Enggak apa-apa, Nit. Latihan sebelum nanti di-bonceng beneran sama si..."
Anita memukul lenganku dan memaksaku untuk tetap diam. Une menaikkan kedua alisnya, penasaran. Namun, aku tahu Une semakin sakit melihat adegan ini. Tapi bagaimana lagi? Tak mungkin saja aku mengusir Anita padahal ia baru datang beberapa menit yang lalu.
"Assalamu'alaikum," ucap dua suara dari pintu ketika hening hendak mengisi ruangan ini.
Aku melihat Aqil dan Dadan berjalan beriringan memasuki ruangan rumah sakit ini. Di tangan Aqil ada sekeranjang buah-buahan yang sudah terbungkus rapi dengan plastik mika. Dadan membawa satu kotak kue yang berasal dari toko yang sama dengan kue yang aku dan Anita beli.
"June!" sapa Aqil sambil menghampiri Une dan membelai lengannya halus.
"Aqil, udah lama enggak ketemu," ucap Une diikuti sebuah senyum.
"June, gimana? Udah enakan?" tanya Dadan yang memang selalu perhatian pada semua perempuan di sekolah kami.
"Udah, alhamdulillah," jawab Une.
Pertemuan ini berlangsung sekitar dua jam sampai akhirnya Dadan pamit lebih dulu. Kemudian, aku mengantarkan Aqil dan Anita keluar ruangan Une, berharap Aqil mau menawarkan Anita tumpangan seperti yang pernah diceritakan Anita padaku.
"Nit, lo balik sama siapa?" tanyaku basa-basi.
"Enggak tahu," jawab Anita.
"Sama gue aja, deh. Udah sore banget, daripada lo sama ojek enggak jelas," ujar Aqil membuatku sedikit lebih lega karena dengan tawarannya itu aku tak perlu repot-repot mengantarkan Anita pulang dan meninggalkan Une sendirian.
"Ya udah, ya, Nit. Lo sama Aqil aja. Maaf banget, gue harus jagain Une lagi," ucapku.
Anita tersenyum, namun tatapan matanya mengutukku. "Ya udah. Padahal tadi gue mau nelpon ojek langganan."
"Mumpung masih ada temen pulang, Nit," olokku kemudian pamit permisi untuk kembali pada Une.
Seraya berjalan kembali ke kamar tempat Une dirawat, aku memikirkan reaksi apa yang akan dimuntahkan Une padaku. Aku tahu ia sudah menunggu nyaris dua setengah jam untuk marah padaku karena aku dan Anita berangkat ke rumah sakit bersama. Al, kali ini berusahalah mengalah...
***
"Boncengan, ya?" tanyaku sesaat setelah Al menutup pintu kamar rumah sakit.
"Hmm," jawab Al singkat seolah tak mau membahas perihal ini.
Aku mendiamkannya. Marah? Seharusnya mungkin tak seberlebihan ini. Namun, tetap saja. Bukankah baru kemarin aku marah padanya karena telepon singkat antara Anita dan Al? Lalu, kenapa ia mengulanginya lagi. Bahkan kali ini sudah sangat dekat sampai satu motor?
"Kamu mau marah, Ne?" tanyanya. Aku diam.
"Ne, tadi aku emang salah nawarin Anita bareng sama aku satu motor. Aku emang salah," jelas Al lagi. "Tapi, bukankah seharusnya kamu sadar kalau kamu jauh lebih istimewa daripada Anita buat aku? Bukankah seharusnya kamu enggak takut dan enggak marah dan mungkin enggak cemburu hanya karena aku mau berbuat baik ke teman kita? Apalagi, Anita cewek. Masa aku tega nyuruh dia sendiri ke sini padahal aku bawa motor?"
Une terkekeh sinis. "Aku sadar. Tapi, aku tetap perempuan, Al. Aku cemburu sama perlakuan kamu ke Anita. Terus, apa aku enggak berhak kayak gitu?"
"Enggak," ucap Al tegas. "Jujur Ne, padahal kamu yang waktu itu belum meresmikan status ini. Lagi pula, bukankah 'kita' ini hanya sebatas status palsu untuk dipamerkan ke teman-teman dan tameng untuk menghindar dari kekalahan dari tantangan yang dikasih Fian?"
Aku terdiam. Rasanya seperti ditusuk pisau yang teramat tajam. Perkataan Al memang tak ada yang salah. Kami memang belum resmi dikatakan pacaran. Namun, apakah selama ini hal itu yang terngiang di kepala Al? Ia melakukan ini semua hanya untuk dipamerkan? Lalu, apa guna tempo hari aku mengatakan aku ingin memilikinya dan ia memiliku? Aku sakit hati. Kali ini terlalu sakit untuk bisa berdamai dengan airmataku yang hendak turun dan orang yang saat ini berdiri menatapku lekat-lekat. Aku kecewa. Sangat kecewa.
"Pulang, Al," suruhku seiring dengan jatuhnya bulir-bulir airmata di pipiku.
"Ne..." panggil Al lirih. Sungguh, bahkan mendengar suaranya saja aku tak sanggup.
"Pulang. Biar Bunda aja yang hari ini, besok, lusa, dan sampai aku pulang nanti yang jagain aku. Kamu enggak usah. Kamu sekolah aja, pulang ke rumah," lanjutku parau diikuti tetes airmata berikutnya hingga seluruh pipiku sudah sepenuhnya basah.
Al meraih ranselnya yang ada di atas kursi di sebelahku. Ia mendekat padaku ingin melakukan kebiasaannya, mencium keningku. Namun, aku berpaling. Rasa sakit hati itu masih terlalu hangat di dalamku. Al menatapku lekat, tak kubalas. Aku merasakan setetes air hangat jatuh di atas jemariku. Aku menatap Al. Ia menangis...
***
Aku tahu kata-kataku tadi sudah keterlaluan. Une memintaku untuk tidak menemuinya lagi setelah ini. Baiklah, ini yang benar-benar harus kulakukan. Aku sudah membunuhnya kali ini. Benar-benar membuatnya sakit dan rusak sampai bahkan aku tak bisa memaafkan diriku sendiri. Seharusnya aku tak mengatakan itu pada Une. Aku menyayangi Une.
Kuraih ranselku dan mendekatkan wajahku ke keningnya. Ia berpaling, menolak kecup sayangku. Tak kuasa aku pun menangis di hadapannya. Kali pertama di depan Une. Melihatnya separau dan sesakit itu juga membunuhku. Dan aku bisa merasakan pedih luka yang baru saja kubuat untuknya dan untuk diriku sendiri.
"Kalau itu yang kamu mau..." ucapku sebelum benar-benar meninggalkan Une sendiri.

Hari-hari setelah pertengkaran dahsyat itu, aku benar-benar menyiksa diriku sendiri. Bahkan semua orang melihat kesedihan yang begitu nyata dalam mataku. Ada yang salah denganku. Aku harus menahan rasa penasaranku tentang kabar Une sekarang sampai akhirnya aku memutuskan untuk izin sekolah dua hari. Mama bilang Une sudah balik dari rumah sakit. Aku cukup lega. Namun, kali ini kurasa akulah yang sakit. Aku mencoba menghubungi Une, berharap ia sudah memaafkanku. Dasar brengsek! Sudah kusakiti ia, tapi aku pulang yang berharap ia memaafkanku? Bodoh! Brengsek!
"Une, angkatlah!" pintaku dengan ponsel menempel di telinga.
Masih balasan yang sama dari sistem. Segitu bencikah Une padaku saat ini?
Aku mencoba mendatangi rumahnya di akhir pekan, berdoa agar Une membukakan pintu. Namun, Mbok Num selalu berkata Une sedang sibuk dan tidak mau diganggu setiap kali aku datang dan menunggu di teras rumahnya.
"Mas Al sama Non Une kenapa, toh?" tanya Mbok Num saat aku memaksa untuk menunggu di suatu sore pada hari Minggu.
"Gitu deh, Mbok. Aku tuh, brengsek banget ke Une. Aku nyakitin perasaannya dia pas dia masih di rumah sakit waktu itu. Kita berantem dan aku egois banget ke Une. Makanya Une jadi gini. Aku yakin pasti dia di kamarnya, nangis, marah, sensitif sambil maki-maki aku dalam hati sampai-sampai setiap aku nyoba datang ke sini selalu aja Mbok Num bilang Une lagi ini-lagi itu," ceritaku pada Mbok Num untuk mendapat sedikit pembelaan.
"Memangnya Mas Al bilang apa ke Non Une?" tanya Mbok Num penasaran.
"Aku bilang aku enggak benar-benar sayang ke dia. Tapi, bukan itu maksudku, Mbok. Aku cuma enggak mau dia cemburu berlebihan ke aku sama Anita, teman kami. Aku mau dia sadar aku benar-benar sayang sama dia dan aku mau dia enggak cemburu," jawabku lagi.
Mbok Num berdecak. "Ya, kalau begitu Non Une enggak salah, Mas. Mas kalau sayang sama Non Une, bukan gitu caranya. Non Une cemburu kan, juga karena dia sayang banget sama Mas Al. Ya, menurut Mbok sih, Non Une enggak salah. Non Une cuma mau Mas Al benar-benar buktiin kalau cuma Non Une-lah yang Mas Al sayang. Bukan malah ngomong kayak tadi."
"Gitu ya, Mbok?" tanyaku bingung dengan nada menyesal.
"Mbok!" panggil suara yang selama berhari-hari ini kutunggu. Aku mendengar suara Une semakin lantang dan jelas. Aku rindu suara itu. Sungguh.
"Ya, Non?" balas Mbok Num.
Une muncul di hadapan aku dan Mbok Num beberapa saat kemudian. Aku melihat ekspresi kaget dan dua mata yang bengkak di hadapanku. Gadisku ini pasti sudah terlalu sering menangis sejak hari itu. Ah, aku benci diriku sendiri.
Une mengacuhkan aku dan berusaha mengajak Mbok Num masuk dan memenuhi perintahnya. Sesaat sebelum membiarkannya kembali ke dalam rumah, aku menarik lengannya. Aku rindu padanya dan pertengkaran ini tak bisa lebih lama lagi kubiarkan.
"Ne, please," ucapku lirih. Une menyentak genggamanku, namun tak begitu kuat untuk membuatnya lepas. Seolah tahu, Mbok Num melarikan diri dari situasi ini dan membiarkan aku dan Une berdua.
"Al, kita kan, bukan apa-apa seperti yang kamu bilang waktu itu. Kita cuma sahabat. Aku memang harusnya enggak pantas cemburu, kok. Kamu benar," ucap Une akhirnya dengan suara bergetar. "Dan kamu, kamu seharusnya enggak perlu repot-repot ke sini dan nyoba hubungi aku dan bertingkah kayak kamu 'siapa'-nya aku. Kalau kita memang bukan apa-apa, maka bersikaplah seperti itu. Hanya seperti sahabat saja."
"Enggak," ucapku tegas. "Kamu pacar aku. Kamu berhak buat cemburu, kamu berhak buat membenci aku saat ini, kamu berhak buat teriak dan maki-maki aku. Kita bukan sahabat lagi. Aku pacar kamu, kamu pacar aku."
Une menatapku kemudian satu tamparan melayang ke pipiku. "Kamu egois!"
Lalu, aku melihat Une menangis dan terisak. Aku memeluknya. Ia memukul-mukul dadaku dan mencoba berontak. Aku menitikkan airmata. Pedih rasanya melihat orang yang paling kausayang menangis sehebat ini di pelukanmu dan menyadari bahwa kaulah penyebabnya. Aku mengeratkan pelukanku namun memberikan cukup ruang untuk Une menuangkan kemarahannya. Ia terus memukul dadaku hingga aku merasakan sakit dan sesak di bagian itu. Une berhenti dan membiarkan aku mendekapnya lebih erat lagi. Aku ingin memberhentikan waktu dan menikmati momen ini. Aku tak akan pernah bisa bertahan untuk tidak menemui gadis ini sekeras apapun aku berusaha. Sungguh.
Setelah Une mereda, aku mengendurkan pelukanku dan menatap Une. Matanya kembali merah dan wajahnya menyedihkan sampai-sampai menyayat hatiku sendiri.
"Udah?" tanyaku lembut sambil menghapuskan airmatanya.
"Kamu egois!" ucap Une di antara isak tangisnya sambil tetap menunduk menghindari tatapan mataku.
"Apa lagi?" pancingku menerima dengan pahit semua sumpah serapah dari Une. Aku pantas mendapatkannya.
"Kamu egois, jahat, brengsek! Al, kamu jahat!"  isak Une. Aku tersenyum pahit sambil mengangkat wajah Une untuk menatapku.
"Kamu baik, lucu, imut, ngangenin, cantik. Aku enggak tahu harus gimana lagi buat menghukum diri sendiri karena udah nyakitin gadis kayak kamu. Aku enggak tahu betapa bodoh dan brengseknya aku udah nyakitin kamu. Aku enggak pantas nerima maaf kamu. Tapi, aku terlalu egois buat rela ngelepas kamu begitu aja. Kamu milik aku dan itulah hal paling egois yang bisa kulakukan saat ini untuk tetap jadi orang yang selalu ada di pikiran kamu," ucapku lembut sambil menatap sedalam-dalamnya ke dua bola mata Une. Kemudian, aku menariknya dalam pelukanku dan setelah beberapa hari, Une membalasnya. Aku tersenyum dalam diam.

A Sampai Z, Kita Punya Cerita (18)

Posted by Unknown 0 comments
Chapter 3


3.2 "I don't wanna lose you now, I'm looking right at the other half of me." -Justin Timberlake.

Aku terbangun dari tidurku dan disambut oleh sebuah senyum dari seseorang yang baru saja kumimpikan. Une. Memang saat ini hanya dia yang berhasil menguak sisi sensitifku dan yang berhasil membuatku sadar akan arti memiliki, mencintai, dan menghargai cinta. Une masih menggenggam tanganku persis seperti sebelum tadi aku meninggalkannya tidur.
Aku menguap dan menggulat melepas kantuk yang masih tersisa sedikit di mataku. "Bunda masih belum balik?"
"Belum. Tapi, tadi udah nelpon, katanya kamu disuruh jagain aku sampai nanti dia balik," jawabnya. "Kamu bawa baju, kan?"
Aku mengangguk dan tersenyum. "Aku ganti baju dulu, deh. Numpang mandi ya, Ne. Kalau ada apa-apa panggil aku aja."
"Iya. Sana mandi, kamu mulai bau apek!" ledek Une diikuti tawa renyahnya yang tak akan pernah bosan kudengar.
Aku terkekeh. "Kalau enggak bau, bukan cowok namanya."
Une menggeleng-geleng dan melemparkan kaos dari tasku yang kuletakkan di kursi di samping tempat tidurnya tadi. Aku menangkapnya dan segera masuk ke kamar mandi. Tak mau berlama-lama meninggalkan Une, aku memutuskan untuk sekadar cuci wajah dan mengganti baju. Setelah usai, aku kembali keluar menemani Une.
"Cepat banget," komentar Une. Aku hanya tersenyum.
"Kamu mau ngapain, nih? Aku enggak ada ide," ucapku bingung. "Aku gombal aja, gimana?"
"Idih, males ah, digombalin terus," balas Une. "Mending kita rekaman apa kek, gitu di soundcloud. Terus kita share ke teman-teman yang lain."
Aku menautkan kedua alisku bingung. "Ne, aku kan, enggak bisa nyanyi."
"Aku juga enggak bisa, Al. Pede aja lagi!" seru Une.
"Oh, atau aku nyanyiin kamu lagu deh, di soundcloud. Biar kita lebih kelihatan unyu gitu," saranku yang menghasilkan satu pukulan ringan di lenganku dari Une.
"Ya udah, sini mana hp kamu," ucap Une. Aku menyerahkannya ponselku dan membiarkannya mengutak-atik isi ponselku. Kemudian, setelah ia temukan apa yang ia butuhkan, ia menyuruhku bernyanyi.
Kunyanyikan satu bait dari lagu cinta sederhana dari Bruno Mars "Just The Way You Are". Aku memang bukan seorang penyanyi, namun cinta tak perlu melodi yang merdu bukan? Cinta akan menerima kita apa adanya. Betul, kan? Apalagi Une, ia pasti maklum padaku.
"Oke, sebelumnya, maaf gue ngerusuh nih, di sini. Tapi, gue cuma mau bawain lagu spesial buat orang yang spesial juga, Une," ucapku di depan mikrofon ponselku sambil menatap Une. "Ini cuma satu bait aja, soalnya suara gue mahal. Nanti lo semua yang pada denger jadi naksir kan, kasihan cewek gue jadi tertekan."
"Baiklah, enggak pakai basa-basi lagi, ini dia..." beberku kemudian menyanyikan satu bait refrain dari lagu yang kumaksud tadi. Seusainya, Une tertawa dan tawanya terekam dalam rekaman ini. Aku ikut tertawa bersamanya. Tak lama, kami mengunggah klip suara ini dan menunggu sampai benar-benar selurugnya terunggah. Une langsung membeberkannya di berbagai media sosial lain. Nominal pengunjung pada situs Une itu semakin bertambah. Dari satu menjadi lima dab tumbuh menjadi sepuluh sampai nyaris terlalu banyak. Komentar-komentar juga masuk dan sebagian besar relatif sama. 'Duh, unyu bangeeetttt!!!!!', seperti itu rata-rata.

Camilan ringan untuk Une datang, kira-kira dua jam setelah aku dan Une sibuk bermain ponsel. Satu mangkuk bubur kacang hijau dan dua lembar roti tawar. Jenis makanan yang tak mungkin Une tolak. Akhirnya, aku memutuskan untuk menyuapi Une berhubung tangannya tak bisa seluruhnya berfungsi maksimal.
"Apa makanannya, Al?" tanya Une.
"Bubur kacang hijau sama roti tawar," jawabku. "Kamu kusuapin aja, ya."
"Ih, enggak usah. Aku bisa makan sendiri. Kayak anak kecil aja," balas Une. "Sini-sini."
Aku membawakan nampan berisi kedua jenis makanan itu dan meletakkannya ke meja makan khusus pasien.
"Disuapin aja," ujarku. Une tetap menggeleng. Aku menghembuskan nafas mengalah dan membiarkan Une berusaha makan sendiri.
Tak lama seseorang tiba-tiba masuk ke ruangan Une. Baik aku maupun Une sama-sama kaget melihat siapa yang datang. Zeus. Orang ini lagi. Mau apa dia ke sini? Mengganggu kenyamanan saja, terutama kenyamanan hatiku. Lagi pula, Une tak pernah mengharapkannya datang menjenguk. Langsung tekanan darahku naik.
"Ganggu ya, Ne?" tanyanya ketika sudah masuk ruangan.
Une buru-buru meneguk air yang tadi kuletakkan juga di meja itu dan membersihkan remah-remah roti yang ada di bajunya. Kemudian, ia menegakkan duduknya dan memberikan Zeus segaris lengkung senyumnya. Hal yang selalu bisa membuatku cemburu setengah mati. Melihat Une dan Zeus berdekatan di hadapanku, walaupun aku tahu mereka tak menyimpan apa-apa. Namun, perasaanku selalu tak pernah mau menerima dan memaafkan apa yang sudah Zeus lakukan pada Une. Lalu, kini ia datang lagi berusaha mengulang kisah yang dulu itu berharap akan menjadi semakin manis. Bukan aku tak percaya pada Une, tapi ini perihal Zeus. Harusnya, selain aku berusaha melindunginya, ia juga mau mencoba menutup diri untuk laki-laki itu. Aku sudah di sini.
"Enggak ganggu, kok. Cuma lagi makan aja," ucap Une. Tak ada ganjil yang menyelubungi ucapannya itu. Aku semakin merasa cemburu.
"Gimana? Udah baikan?" tanya Zeus masih seolah menghiraukanku dan menganggapku tak ada di sana.
Une tersenyum. "Udah. Ada Al yang jagain. Jadi, udah lumayan baik sekarang."
SKAKMAT, kawan. Gadis incaranmu baru saja mengakui dirinya lebih nyaman denganku di saat seperti ini. Aku merasa teramat bersyukur Une mengucapkan kalimat-kalimat itu. Setidaknya, aku tahu bahwa ia sudah benar-benar ingin menjaga jarak dari Zeus. Bahagia itu masih sederhana...
Zeus tersenyum. "Ini, gue bawain buah, bunga, sama roti buat lo, Ne."
Setangkai mawar putih yang nyaris sama persis dengan pemberianku. Une menyunggingkan senyumnya dan menyuruh Zeus meletakkan barang-barang itu di meja dekat kulkas dalam ruangan ini. Setelah meletakkannya, Zeus kembali berdiri di samping Une. Ia mendekat ke wajah Une. Kemudian, seolah tak sadar sudah melampaui batas, ia mengusap rambut Une lembut. Aku langsung menepis lengannya, nyaris menonjoknya. Emosiku sudah tak bisa kutahan lagi.
"Jaga tangan lo!" tegasku. "Dia cewek orang."
Une menggenggam lenganku. "Al, udah. Ze, lo lebih baik tarik kursi ke sini, biar enggak capek berdiri."
Zeus menepis balik tanganku. "Tapi, dia dulu cewek gue."
Aku tak mendengar ucapan Une. "Dulu. Sekarang dia bukan lagi. Silakan lo angkat kaki!"
Une menatapku berharap aku dapat meredam amarahku. Maaf Une, kali ini tak bisa. Zeus harus pergi.
Zeus berdehem. "Ne, gue balik dulu, ya. Istirahat. Jangan kebanyakan ngobrol sama ketawa. Biar cepat sembuh."
Sindirannya. Dia pikir aku mempan disindirnya? Permainan anak kecil!
"Iya. Makasih ya, Ze, udah jenguk. Salam buat sahabat lo yang dari Singapura itu," ucap Une seraya Zeus melangkah pergi.
Setelah manusia itu benar-benar tak terlihat lagi, Une menatapku kesal. Aku mendiamkannya, merasa sedikit marah padanya. Aku berhak, kan? Une milikku. Bukan lagi punya Zeus.
"Ini rumah sakit, Al. Dan aku lagi sakit," ucap Une. "Zeus datang aja, itu jadi doa kesembuhan buatku. Kamu enggak seharusnya bersikap kayak gitu ke dia."
Aku terkekeh. "Jadi, kalau nanti aku sakit kayak kamu, terus teman cewekku datang dan ngusap rambutku kayak tadi, kamu enggak akan marah? Walaupun kamu tahu, aku pacar kamu. Sahabat kamu."
Une terdiam. "Bukan gitu, Al. Oke, mungkin itu enggak pantas. Tapi, kamu seharusnya udah cukup dewasa buat jaga sikap. Seandainya, aku yang di posisi kamu, aku bakal jaga sikap. Enggak seemosi tadi. Sekali pun kamu pacar aku."
"Ya, Ne," balasku singkat. Tak ingin meneruskan pertengkaran ini karena jika aku yang menang, aku kehilangan Une. Jadi, sebaiknya aku kehilangan kemenanganku daripada harus kehilangan Une.
Kemudian, hening yang panjang. Aku tahu Une sakit hati dan sejujurnya, aku pun begitu. Aku menjauh darinya dan pindah ke sofa di depan televisi. Belum saatnya bermanis lagi pada Une. Kami butuh damai sesaat. Aku butuh berdamai dengan emosi yang memuncak di dalam batinku ini.
Ruangan hening dan hanya dipenuhi dengan suara orang bercakap-cakap dari dalam televisi. Aku pura-pura menikmati acara tanpa tujuan itu dan menahan rasa penasaranku akan apa yang sedang Une pikirkan. Ia masih membela Zeus tadi dan harusnya ia sadar di mana posisinya saat ini bagiku dan di mana posisiku saat ini untuknya. Aku marah, dan sekiranya aku berhak untuk marah.
Ponselku tak lama berdering. Nama Anita, lagi. Kenapa dia jadi terlalu sering menghubungiku?
"Halo?" aku mengangkat telepon dan menyapanya.
"Zal," panggilnya.
"Kenapa, Nit?" balasku.
Anita tertawa aneh. "Gue mau cerita sesuatu. Tadi enggak sempat karena masih ada June. Lo lagi enggak di dekat dia, kan?"
"Oh, enggak. Cerita aja," jawabku.
"Jadi, ceritanya adalah... Eh, tapi jangan gimana-gimana, ya," pinta Anita.
"Iya. Udah buruan cerita aja," balasku kesal.
"Salah enggak sih, tiba-tiba gue jadi ngerasa gimanaaaaaaaaa gitu ke Aqil?" tanya Anita nyaris membuatku tersedak. Aku tertawa mendengar ucapannya itu. Ternyata benar, akan ada kisah cinta lain di kelasku selain...selain aku-Une.
"Kok, bisa?" tanyaku.
Anita terkekeh. "Enggak tahu, Zal. Lagian juga, dianya aneh. Masa tiba-tiba tadi pas papasan pulang, justru nawarin pulang bareng. Kan, gue agak gimana gitu."
Aku tertawa. "Ya udah, santai aja. Gue enggak akan gimana-gimana. Tapi, lucu aja."
"Lucu apaan? Masa abis lo sama June, giliran gue sama Aqil yang jadian?" tanya Anita protes dan terdengar sangat defensif.
"Ya, memang kenapa? Enggak masalah kan, kita samaan," ucapku sambil tertawa-tawa. "Lagian, pasti keren juga kalau kita pergi bareng gitu. Jadi, enggak jomblo banget kan, lo?"
Anita tersedak. "Eh, sialan! Ya udah, cuma mau ngasih tahu itu aja. Gue mohon lo jangan bilangin Aqil. Toloooooooong banget, Zal. Jangan bilang dia."
"Iya, iya," balasku. "Ya udah. Thanks udah ngabarin, loh, Nit."
"Yoi! Diem-diem aja, ya!" serunya. Aku tersenyum kemudian berpamitan dan mengakhiri panggilan itu.
Aku menatap Une dan kini ia sudah terlelap tidur. Aku menghampirinya, ingin memberikan satu kecupan maaf di atas keningnya. Namun, ketika ingin melakukannya, Une mendadak pindah posisi. Aku mengurung niatku dan kembali duduk di depan televisi.
***
Pertengkaran kami menjadi cukup heboh. Aku bukan ingin membela Zeus. Namun, ini tetaplah rumah sakit di mana hal terakhir yang kubutuhkan adalah kerusuhan. Al baru saja hampir memulai kerusuhan. Dan, kupikir aku berhak marah atas tindakannya yang kekanak-kanakan. Apalagi caranya mengibaratkan tadi. Terdengar begitu egois dan sangat tidak pantas. Apa dia tidak sadar aku sakit hati dibuatnya? Terutama jawaban singkat darinya itu. Aku menarik nafas panjang saat ia berjalan menjauh menuju sofa di depan televisi ruanganku ini. Aku tak ingin berkeras kepala dengannya. Tak ingin memulai pertengkaran yang bisa mengakibatkan aku kehilangan dirinya. Lebih baik aku sakit hati sendirian daripada harus kehilangan Al dalam pertengkaran ini. Aku cukup mendiamkannya. Memperbolehkan setiap hening mengisi rongga-rongga udara ini.
Kemudian, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia menjawab panggilan itu. Semoga, bukan Anita. Aku tak mau dihujani perasaan cemburu di saat-saat seperti ini.
"Halo?" sapanya. "Kenapa, Nit?"
Ya Tuhan, kenapa harus Anita?! Rasa itu kembali muncul. Aku mencuri dengan ucapan-ucapan Al. Setiap responnya. Tawanya setelah Anita berkata sesuatu di seberang sana yang tak cukup keras untuk kudengar dari sini.
"Ya, memang kenapa? Enggak masalah kan, kita samaan," ucap Al di antara percakapannya. "Lagian,  pasti keren juga kalau kita bareng gitu. Jadi, enggak jomblo banget kan, lo?"
Maksud Al apa? Bersama berdua dengan Anita? Oh, setelah membuatku sakit hati, kini ia menginjak-injak perasaanku? Aku mencoba untuk tenang. Ucapan-ucapan Al setelah kalimat itu ibarat seperti angin lalu. Aku meredam emosiku sendiri. Kini, aku benar-benar tidak ingin berbicara dengannya. Tidak setelah ucapannya pada Anita itu. Terserah kini sekarang apa statusku dengannya, yang jelas aku belum mau lagi berurusan dengannya.
Aku berusaha menidurkan diriku sendiri sebelum Al selesai berbicara pada Anita. Kemudian, percakapannya usai. Aku memejamkan mataku secara paksa, mencoba membuat Al mengerti kalau aku sudah tidur. Padahal, nyatanya aku terlalu sakit untuk menatapnya setelah ucapannya pada Anita tadi. Kamu menyebalkan, Al! Sungguh menyebalkan!
Kemudian, aku merasakan deru nafas Al di atas keningku. Semakin dekat dan hangat. Aku mengganti posisi tidurku. Cukup. Aku butuh rehat dan aku belum mau berbicara padamu, Al. Tidak sekarang bahkan mungkin tidak sampai besok.

Ternyata usahaku untuk berpura-pura tidur malah membuatku benar-benar terlelap. Aku terbangun dan menemukan Al duduk di samping ranjangku. Tidak seperti kami yang berjarak tadi. Lalu, ucapan Al pada Anita terulang kembali di benakku. Seketika aku merasa tak ingin berbicara padanya. Rasa sakit hati memang butuh waktu untuk sembuh.
"Udah bangun?" tanya Al hendak merapikan rambutku. Aku berpaling. Terdengar hembusan nafas dari Al. Hembusan nafas kecewa.
Kemudian, hening kembali merasuki udara-udara di sekitarku. Al menunduk dan menutupi kepalanya dengan lengannya yang bertengger di atas pagar tempat tidurku. Pasti tadi ia menaikkan tiang-tiang ini. Aku melirik Al yang masih menunduk. Aku merasakan sakitnya lebih dalam lagi. Bahkan sampai terasa hingga menyentuh mataku layaknya aroma bawang seperti pada hari di mana kami memasak waktu itu. Airmataku nyaris tumpah sesaat sebelum aku mengusapnya diam-diam. Al masih dalam posisinya. Ne, kuat!
Al mengangkat kepalanya kemudian berdiri. Ia menatapku lirih merangsang kembali airmataku yang tadi nyaris tumpah. Damn it, Al! Dan tanpa basa-basi aku menitikkan airmata. Aku benar-benar tidak kuat. Bahkan tidur tadi terasa sangat berat. Bukan malah ringan. Kontan, Al menghampiriku dan memelukku erat. Aku menumpahkan segalanya di atas dadanya di dalam dekapan hangatnya. Lengannya yang kekar dan bisepnya yang senantiasa melindungiku kini melingkari tubuh mungilku. Aku masih dalam posisiku. Terduduk dengan dua tangan terkulai lemas dan tangis tersedu-sedu yang belum akan reda. Al mengelus-elus rambutku dan memelukku semakin erat. Hatiku sakit, Al. Kupikir kamu tak akan menyakitiku seperti ini. Namun, kamu tetap laki-laki. Dan kodrat laki-laki pasti akan menyakiti perempuan di suatu saat dalam hidupnya. Sialnya, perempuan yang kamu sakiti adalah aku saat ini.
Tanpa sadar, aku juga bisa merasakan rasa bersalah yang menjalari tubuh Al. Ia mengecup ubun-ubunku, masih belum mau melepaskan dekapannya. Seolah ia tak mau lagi membiarkan udara di antara kami terisi oleh hening yang mencekam. Namun, kalau ia benar-benar merasa bersalah, mana ucapan maaf itu? Al bukan orang yang menunda ucapan maafnya. Aku tahu betul soal Al dan sifatnya itu.
Tak lama, Al melepaskanku. Kemudian, menangkup wajahku dalam kedua telapaknya. Ia mengusap airmataku yang mengering. Aku tetap melihat ke bawah karena tahu betul jika aku menatap balik ke dalam mata Al, maka aku akan kembali menangis.
"I'm sorry. I'm really sorry and I mean it," ucap Al tulus dan lirih. "Aku bodoh, Ne. Harusnya aku enggak seanak-anak tadi. Aku minta maaf. Aku enggak mau lagi kita kayak tadi. Aku janji lain kali aku bakal nahan emosi aku."
Aku menarik nafas dan memaksakan senyum. Lalu, aku mengangkat wajahku dan menatap Al. Ya, selalu terlihat ketulusan dalam bola matanya. Aku tak pernah bisa melihat kebohongan di balik bola mata indah itu. Al yang selalu tulus dan selalu memegang janjinya. Al yang selalu ada buatku dan yang selalu takut mengecewakanku, membuatku nangis. Al yang selalu tak pernah mau kehilanganku.
"Aku juga minta maaf, ya, Al," balasku kemudian meraih jemari Al. "Aku akuin aku salah membela Zeus tadi. Aku akuin kamu sensitif soal Zeus dan aku. Tapi, aku akuin juga aku cemburu, Al. Aku cemburu sama kamu dan Anita. Apapun itu yang kalian bicarakan yang mungkin enggak pantas aku cemburui. Tapi, faktanya, aku cemburu. Egois, ya? Aku cuma mau kamu sadar posisi kamu sekarang sama aku."
Al tersenyum. "Anita? Kamu cemburu sama dia? Enggak perlu, Ne. Enggak ada yang perlu kamu cemburui. Aku sama Anita cuma teman. Aku sama kamu kan, bukan teman. Kita lebih dari itu dan aku enggak mungkin sayangnya malah ke Anita. Dan aku minta maaf kalau sikapku ke dia memang benar-benar bikin kamu cemburu. Aku minta maaf, Ne."
Kini akulah yang tersenyum. Aku mengalungkan lenganku di leher Al, berusaha memeluknya. Ya, aku tak mau kehilangan Al sebagaimana Al tak pernah mau kehilangan aku. Karena ketika Al hilang, maka Une akan hilang bersamanya. Al-lah yang membuatku bisa menemukan diriku sendiri dan menerima diriku sendiri dan memahami diriku sendiri. Aku tak mungkin mau kehilangan Al. Tidak sekarang, tak akan pernah.
"Kamu nginep aja ya, Al?" tanyaku setelah kondisi kami agak tenang. Al tersenyum.
"Aku sekolah, Ne. Kalau aku enggak sekolah, kamu enggak bisa dapat catatan. Aku juga sama," jawabnya. "Gini aja. Sampai kamu tidur, baru aku pulang. Mama pasti ngertilah aku habis dari mana."
Aku tersenyum. "Kalau gitu, enggak apa-apa, deh. Kamu pulang habis Maghrib aja. Nanti kamu kemaleman sampai rumah jadi kecapekan."
"Bener?" tanya Al. Aku mengangguk mantap dengan senyumku. Al kemudian mengacak-acak poniku. Arggghhhh!!!! Kebiasaannya yang ini kini mulai mengusikku.
"AL!" seruku. Al hanya tertawa.
"Kamu cantik kalau udah kesal. Nyebelin, tapi ngangenin," balas Al menyudahi kejahilannya.
"Gombal mulu. Bosen," ucapku. "Shalat sana! Udah Ashar."
"Siap, Une sayaaaang!" seru Al kemudian bergegas ke kamar mandi mengambil wudhu. Aku terkekeh sendiri. Ya, aku tak akan rela kehilangan Al. Tak akan.

Blog List

 

Re-A-Lis-Tic Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos