Chapter 3
3.2 "I don't wanna lose you now, I'm looking right at the other half of me." -Justin Timberlake.
Aku terbangun dari tidurku dan disambut oleh sebuah senyum dari seseorang yang baru saja kumimpikan. Une. Memang saat ini hanya dia yang berhasil menguak sisi sensitifku dan yang berhasil membuatku sadar akan arti memiliki, mencintai, dan menghargai cinta. Une masih menggenggam tanganku persis seperti sebelum tadi aku meninggalkannya tidur.
Aku menguap dan menggulat melepas kantuk yang masih tersisa sedikit di mataku. "Bunda masih belum balik?"
"Belum. Tapi, tadi udah nelpon, katanya kamu disuruh jagain aku sampai nanti dia balik," jawabnya. "Kamu bawa baju, kan?"
Aku mengangguk dan tersenyum. "Aku ganti baju dulu, deh. Numpang mandi ya, Ne. Kalau ada apa-apa panggil aku aja."
"Iya. Sana mandi, kamu mulai bau apek!" ledek Une diikuti tawa renyahnya yang tak akan pernah bosan kudengar.
Aku terkekeh. "Kalau enggak bau, bukan cowok namanya."
Une menggeleng-geleng dan melemparkan kaos dari tasku yang kuletakkan di kursi di samping tempat tidurnya tadi. Aku menangkapnya dan segera masuk ke kamar mandi. Tak mau berlama-lama meninggalkan Une, aku memutuskan untuk sekadar cuci wajah dan mengganti baju. Setelah usai, aku kembali keluar menemani Une.
"Cepat banget," komentar Une. Aku hanya tersenyum.
"Kamu mau ngapain, nih? Aku enggak ada ide," ucapku bingung. "Aku gombal aja, gimana?"
"Idih, males ah, digombalin terus," balas Une. "Mending kita rekaman apa kek, gitu di soundcloud. Terus kita share ke teman-teman yang lain."
Aku menautkan kedua alisku bingung. "Ne, aku kan, enggak bisa nyanyi."
"Aku juga enggak bisa, Al. Pede aja lagi!" seru Une.
"Oh, atau aku nyanyiin kamu lagu deh, di soundcloud. Biar kita lebih kelihatan unyu gitu," saranku yang menghasilkan satu pukulan ringan di lenganku dari Une.
"Ya udah, sini mana hp kamu," ucap Une. Aku menyerahkannya ponselku dan membiarkannya mengutak-atik isi ponselku. Kemudian, setelah ia temukan apa yang ia butuhkan, ia menyuruhku bernyanyi.
Kunyanyikan satu bait dari lagu cinta sederhana dari Bruno Mars "Just The Way You Are". Aku memang bukan seorang penyanyi, namun cinta tak perlu melodi yang merdu bukan? Cinta akan menerima kita apa adanya. Betul, kan? Apalagi Une, ia pasti maklum padaku.
"Oke, sebelumnya, maaf gue ngerusuh nih, di sini. Tapi, gue cuma mau bawain lagu spesial buat orang yang spesial juga, Une," ucapku di depan mikrofon ponselku sambil menatap Une. "Ini cuma satu bait aja, soalnya suara gue mahal. Nanti lo semua yang pada denger jadi naksir kan, kasihan cewek gue jadi tertekan."
"Baiklah, enggak pakai basa-basi lagi, ini dia..." beberku kemudian menyanyikan satu bait refrain dari lagu yang kumaksud tadi. Seusainya, Une tertawa dan tawanya terekam dalam rekaman ini. Aku ikut tertawa bersamanya. Tak lama, kami mengunggah klip suara ini dan menunggu sampai benar-benar selurugnya terunggah. Une langsung membeberkannya di berbagai media sosial lain. Nominal pengunjung pada situs Une itu semakin bertambah. Dari satu menjadi lima dab tumbuh menjadi sepuluh sampai nyaris terlalu banyak. Komentar-komentar juga masuk dan sebagian besar relatif sama. 'Duh, unyu bangeeetttt!!!!!', seperti itu rata-rata.
Camilan ringan untuk Une datang, kira-kira dua jam setelah aku dan Une sibuk bermain ponsel. Satu mangkuk bubur kacang hijau dan dua lembar roti tawar. Jenis makanan yang tak mungkin Une tolak. Akhirnya, aku memutuskan untuk menyuapi Une berhubung tangannya tak bisa seluruhnya berfungsi maksimal.
"Apa makanannya, Al?" tanya Une.
"Bubur kacang hijau sama roti tawar," jawabku. "Kamu kusuapin aja, ya."
"Ih, enggak usah. Aku bisa makan sendiri. Kayak anak kecil aja," balas Une. "Sini-sini."
Aku membawakan nampan berisi kedua jenis makanan itu dan meletakkannya ke meja makan khusus pasien.
"Disuapin aja," ujarku. Une tetap menggeleng. Aku menghembuskan nafas mengalah dan membiarkan Une berusaha makan sendiri.
Tak lama seseorang tiba-tiba masuk ke ruangan Une. Baik aku maupun Une sama-sama kaget melihat siapa yang datang. Zeus. Orang ini lagi. Mau apa dia ke sini? Mengganggu kenyamanan saja, terutama kenyamanan hatiku. Lagi pula, Une tak pernah mengharapkannya datang menjenguk. Langsung tekanan darahku naik.
"Ganggu ya, Ne?" tanyanya ketika sudah masuk ruangan.
Une buru-buru meneguk air yang tadi kuletakkan juga di meja itu dan membersihkan remah-remah roti yang ada di bajunya. Kemudian, ia menegakkan duduknya dan memberikan Zeus segaris lengkung senyumnya. Hal yang selalu bisa membuatku cemburu setengah mati. Melihat Une dan Zeus berdekatan di hadapanku, walaupun aku tahu mereka tak menyimpan apa-apa. Namun, perasaanku selalu tak pernah mau menerima dan memaafkan apa yang sudah Zeus lakukan pada Une. Lalu, kini ia datang lagi berusaha mengulang kisah yang dulu itu berharap akan menjadi semakin manis. Bukan aku tak percaya pada Une, tapi ini perihal Zeus. Harusnya, selain aku berusaha melindunginya, ia juga mau mencoba menutup diri untuk laki-laki itu. Aku sudah di sini.
"Enggak ganggu, kok. Cuma lagi makan aja," ucap Une. Tak ada ganjil yang menyelubungi ucapannya itu. Aku semakin merasa cemburu.
"Gimana? Udah baikan?" tanya Zeus masih seolah menghiraukanku dan menganggapku tak ada di sana.
Une tersenyum. "Udah. Ada Al yang jagain. Jadi, udah lumayan baik sekarang."
SKAKMAT, kawan. Gadis incaranmu baru saja mengakui dirinya lebih nyaman denganku di saat seperti ini. Aku merasa teramat bersyukur Une mengucapkan kalimat-kalimat itu. Setidaknya, aku tahu bahwa ia sudah benar-benar ingin menjaga jarak dari Zeus. Bahagia itu masih sederhana...
Zeus tersenyum. "Ini, gue bawain buah, bunga, sama roti buat lo, Ne."
Setangkai mawar putih yang nyaris sama persis dengan pemberianku. Une menyunggingkan senyumnya dan menyuruh Zeus meletakkan barang-barang itu di meja dekat kulkas dalam ruangan ini. Setelah meletakkannya, Zeus kembali berdiri di samping Une. Ia mendekat ke wajah Une. Kemudian, seolah tak sadar sudah melampaui batas, ia mengusap rambut Une lembut. Aku langsung menepis lengannya, nyaris menonjoknya. Emosiku sudah tak bisa kutahan lagi.
"Jaga tangan lo!" tegasku. "Dia cewek orang."
Une menggenggam lenganku. "Al, udah. Ze, lo lebih baik tarik kursi ke sini, biar enggak capek berdiri."
Zeus menepis balik tanganku. "Tapi, dia dulu cewek gue."
Aku tak mendengar ucapan Une. "Dulu. Sekarang dia bukan lagi. Silakan lo angkat kaki!"
Une menatapku berharap aku dapat meredam amarahku. Maaf Une, kali ini tak bisa. Zeus harus pergi.
Zeus berdehem. "Ne, gue balik dulu, ya. Istirahat. Jangan kebanyakan ngobrol sama ketawa. Biar cepat sembuh."
Sindirannya. Dia pikir aku mempan disindirnya? Permainan anak kecil!
"Iya. Makasih ya, Ze, udah jenguk. Salam buat sahabat lo yang dari Singapura itu," ucap Une seraya Zeus melangkah pergi.
Setelah manusia itu benar-benar tak terlihat lagi, Une menatapku kesal. Aku mendiamkannya, merasa sedikit marah padanya. Aku berhak, kan? Une milikku. Bukan lagi punya Zeus.
"Ini rumah sakit, Al. Dan aku lagi sakit," ucap Une. "Zeus datang aja, itu jadi doa kesembuhan buatku. Kamu enggak seharusnya bersikap kayak gitu ke dia."
Aku terkekeh. "Jadi, kalau nanti aku sakit kayak kamu, terus teman cewekku datang dan ngusap rambutku kayak tadi, kamu enggak akan marah? Walaupun kamu tahu, aku pacar kamu. Sahabat kamu."
Une terdiam. "Bukan gitu, Al. Oke, mungkin itu enggak pantas. Tapi, kamu seharusnya udah cukup dewasa buat jaga sikap. Seandainya, aku yang di posisi kamu, aku bakal jaga sikap. Enggak seemosi tadi. Sekali pun kamu pacar aku."
"Ya, Ne," balasku singkat. Tak ingin meneruskan pertengkaran ini karena jika aku yang menang, aku kehilangan Une. Jadi, sebaiknya aku kehilangan kemenanganku daripada harus kehilangan Une.
Kemudian, hening yang panjang. Aku tahu Une sakit hati dan sejujurnya, aku pun begitu. Aku menjauh darinya dan pindah ke sofa di depan televisi. Belum saatnya bermanis lagi pada Une. Kami butuh damai sesaat. Aku butuh berdamai dengan emosi yang memuncak di dalam batinku ini.
Ruangan hening dan hanya dipenuhi dengan suara orang bercakap-cakap dari dalam televisi. Aku pura-pura menikmati acara tanpa tujuan itu dan menahan rasa penasaranku akan apa yang sedang Une pikirkan. Ia masih membela Zeus tadi dan harusnya ia sadar di mana posisinya saat ini bagiku dan di mana posisiku saat ini untuknya. Aku marah, dan sekiranya aku berhak untuk marah.
Ponselku tak lama berdering. Nama Anita, lagi. Kenapa dia jadi terlalu sering menghubungiku?
"Halo?" aku mengangkat telepon dan menyapanya.
"Zal," panggilnya.
"Kenapa, Nit?" balasku.
Anita tertawa aneh. "Gue mau cerita sesuatu. Tadi enggak sempat karena masih ada June. Lo lagi enggak di dekat dia, kan?"
"Oh, enggak. Cerita aja," jawabku.
"Jadi, ceritanya adalah... Eh, tapi jangan gimana-gimana, ya," pinta Anita.
"Iya. Udah buruan cerita aja," balasku kesal.
"Salah enggak sih, tiba-tiba gue jadi ngerasa gimanaaaaaaaaa gitu ke Aqil?" tanya Anita nyaris membuatku tersedak. Aku tertawa mendengar ucapannya itu. Ternyata benar, akan ada kisah cinta lain di kelasku selain...selain aku-Une.
"Kok, bisa?" tanyaku.
Anita terkekeh. "Enggak tahu, Zal. Lagian juga, dianya aneh. Masa tiba-tiba tadi pas papasan pulang, justru nawarin pulang bareng. Kan, gue agak gimana gitu."
Aku tertawa. "Ya udah, santai aja. Gue enggak akan gimana-gimana. Tapi, lucu aja."
"Lucu apaan? Masa abis lo sama June, giliran gue sama Aqil yang jadian?" tanya Anita protes dan terdengar sangat defensif.
"Ya, memang kenapa? Enggak masalah kan, kita samaan," ucapku sambil tertawa-tawa. "Lagian, pasti keren juga kalau kita pergi bareng gitu. Jadi, enggak jomblo banget kan, lo?"
Anita tersedak. "Eh, sialan! Ya udah, cuma mau ngasih tahu itu aja. Gue mohon lo jangan bilangin Aqil. Toloooooooong banget, Zal. Jangan bilang dia."
"Iya, iya," balasku. "Ya udah. Thanks udah ngabarin, loh, Nit."
"Yoi! Diem-diem aja, ya!" serunya. Aku tersenyum kemudian berpamitan dan mengakhiri panggilan itu.
Aku menatap Une dan kini ia sudah terlelap tidur. Aku menghampirinya, ingin memberikan satu kecupan maaf di atas keningnya. Namun, ketika ingin melakukannya, Une mendadak pindah posisi. Aku mengurung niatku dan kembali duduk di depan televisi.
***
Pertengkaran kami menjadi cukup heboh. Aku bukan ingin membela Zeus. Namun, ini tetaplah rumah sakit di mana hal terakhir yang kubutuhkan adalah kerusuhan. Al baru saja hampir memulai kerusuhan. Dan, kupikir aku berhak marah atas tindakannya yang kekanak-kanakan. Apalagi caranya mengibaratkan tadi. Terdengar begitu egois dan sangat tidak pantas. Apa dia tidak sadar aku sakit hati dibuatnya? Terutama jawaban singkat darinya itu. Aku menarik nafas panjang saat ia berjalan menjauh menuju sofa di depan televisi ruanganku ini. Aku tak ingin berkeras kepala dengannya. Tak ingin memulai pertengkaran yang bisa mengakibatkan aku kehilangan dirinya. Lebih baik aku sakit hati sendirian daripada harus kehilangan Al dalam pertengkaran ini. Aku cukup mendiamkannya. Memperbolehkan setiap hening mengisi rongga-rongga udara ini.
Kemudian, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia menjawab panggilan itu. Semoga, bukan Anita. Aku tak mau dihujani perasaan cemburu di saat-saat seperti ini.
"Halo?" sapanya. "Kenapa, Nit?"
Ya Tuhan, kenapa harus Anita?! Rasa itu kembali muncul. Aku mencuri dengan ucapan-ucapan Al. Setiap responnya. Tawanya setelah Anita berkata sesuatu di seberang sana yang tak cukup keras untuk kudengar dari sini.
Aku terbangun dari tidurku dan disambut oleh sebuah senyum dari seseorang yang baru saja kumimpikan. Une. Memang saat ini hanya dia yang berhasil menguak sisi sensitifku dan yang berhasil membuatku sadar akan arti memiliki, mencintai, dan menghargai cinta. Une masih menggenggam tanganku persis seperti sebelum tadi aku meninggalkannya tidur.
Aku menguap dan menggulat melepas kantuk yang masih tersisa sedikit di mataku. "Bunda masih belum balik?"
"Belum. Tapi, tadi udah nelpon, katanya kamu disuruh jagain aku sampai nanti dia balik," jawabnya. "Kamu bawa baju, kan?"
Aku mengangguk dan tersenyum. "Aku ganti baju dulu, deh. Numpang mandi ya, Ne. Kalau ada apa-apa panggil aku aja."
"Iya. Sana mandi, kamu mulai bau apek!" ledek Une diikuti tawa renyahnya yang tak akan pernah bosan kudengar.
Aku terkekeh. "Kalau enggak bau, bukan cowok namanya."
Une menggeleng-geleng dan melemparkan kaos dari tasku yang kuletakkan di kursi di samping tempat tidurnya tadi. Aku menangkapnya dan segera masuk ke kamar mandi. Tak mau berlama-lama meninggalkan Une, aku memutuskan untuk sekadar cuci wajah dan mengganti baju. Setelah usai, aku kembali keluar menemani Une.
"Cepat banget," komentar Une. Aku hanya tersenyum.
"Kamu mau ngapain, nih? Aku enggak ada ide," ucapku bingung. "Aku gombal aja, gimana?"
"Idih, males ah, digombalin terus," balas Une. "Mending kita rekaman apa kek, gitu di soundcloud. Terus kita share ke teman-teman yang lain."
Aku menautkan kedua alisku bingung. "Ne, aku kan, enggak bisa nyanyi."
"Aku juga enggak bisa, Al. Pede aja lagi!" seru Une.
"Oh, atau aku nyanyiin kamu lagu deh, di soundcloud. Biar kita lebih kelihatan unyu gitu," saranku yang menghasilkan satu pukulan ringan di lenganku dari Une.
"Ya udah, sini mana hp kamu," ucap Une. Aku menyerahkannya ponselku dan membiarkannya mengutak-atik isi ponselku. Kemudian, setelah ia temukan apa yang ia butuhkan, ia menyuruhku bernyanyi.
Kunyanyikan satu bait dari lagu cinta sederhana dari Bruno Mars "Just The Way You Are". Aku memang bukan seorang penyanyi, namun cinta tak perlu melodi yang merdu bukan? Cinta akan menerima kita apa adanya. Betul, kan? Apalagi Une, ia pasti maklum padaku.
"Oke, sebelumnya, maaf gue ngerusuh nih, di sini. Tapi, gue cuma mau bawain lagu spesial buat orang yang spesial juga, Une," ucapku di depan mikrofon ponselku sambil menatap Une. "Ini cuma satu bait aja, soalnya suara gue mahal. Nanti lo semua yang pada denger jadi naksir kan, kasihan cewek gue jadi tertekan."
"Baiklah, enggak pakai basa-basi lagi, ini dia..." beberku kemudian menyanyikan satu bait refrain dari lagu yang kumaksud tadi. Seusainya, Une tertawa dan tawanya terekam dalam rekaman ini. Aku ikut tertawa bersamanya. Tak lama, kami mengunggah klip suara ini dan menunggu sampai benar-benar selurugnya terunggah. Une langsung membeberkannya di berbagai media sosial lain. Nominal pengunjung pada situs Une itu semakin bertambah. Dari satu menjadi lima dab tumbuh menjadi sepuluh sampai nyaris terlalu banyak. Komentar-komentar juga masuk dan sebagian besar relatif sama. 'Duh, unyu bangeeetttt!!!!!', seperti itu rata-rata.
Camilan ringan untuk Une datang, kira-kira dua jam setelah aku dan Une sibuk bermain ponsel. Satu mangkuk bubur kacang hijau dan dua lembar roti tawar. Jenis makanan yang tak mungkin Une tolak. Akhirnya, aku memutuskan untuk menyuapi Une berhubung tangannya tak bisa seluruhnya berfungsi maksimal.
"Apa makanannya, Al?" tanya Une.
"Bubur kacang hijau sama roti tawar," jawabku. "Kamu kusuapin aja, ya."
"Ih, enggak usah. Aku bisa makan sendiri. Kayak anak kecil aja," balas Une. "Sini-sini."
Aku membawakan nampan berisi kedua jenis makanan itu dan meletakkannya ke meja makan khusus pasien.
"Disuapin aja," ujarku. Une tetap menggeleng. Aku menghembuskan nafas mengalah dan membiarkan Une berusaha makan sendiri.
Tak lama seseorang tiba-tiba masuk ke ruangan Une. Baik aku maupun Une sama-sama kaget melihat siapa yang datang. Zeus. Orang ini lagi. Mau apa dia ke sini? Mengganggu kenyamanan saja, terutama kenyamanan hatiku. Lagi pula, Une tak pernah mengharapkannya datang menjenguk. Langsung tekanan darahku naik.
"Ganggu ya, Ne?" tanyanya ketika sudah masuk ruangan.
Une buru-buru meneguk air yang tadi kuletakkan juga di meja itu dan membersihkan remah-remah roti yang ada di bajunya. Kemudian, ia menegakkan duduknya dan memberikan Zeus segaris lengkung senyumnya. Hal yang selalu bisa membuatku cemburu setengah mati. Melihat Une dan Zeus berdekatan di hadapanku, walaupun aku tahu mereka tak menyimpan apa-apa. Namun, perasaanku selalu tak pernah mau menerima dan memaafkan apa yang sudah Zeus lakukan pada Une. Lalu, kini ia datang lagi berusaha mengulang kisah yang dulu itu berharap akan menjadi semakin manis. Bukan aku tak percaya pada Une, tapi ini perihal Zeus. Harusnya, selain aku berusaha melindunginya, ia juga mau mencoba menutup diri untuk laki-laki itu. Aku sudah di sini.
"Enggak ganggu, kok. Cuma lagi makan aja," ucap Une. Tak ada ganjil yang menyelubungi ucapannya itu. Aku semakin merasa cemburu.
"Gimana? Udah baikan?" tanya Zeus masih seolah menghiraukanku dan menganggapku tak ada di sana.
Une tersenyum. "Udah. Ada Al yang jagain. Jadi, udah lumayan baik sekarang."
SKAKMAT, kawan. Gadis incaranmu baru saja mengakui dirinya lebih nyaman denganku di saat seperti ini. Aku merasa teramat bersyukur Une mengucapkan kalimat-kalimat itu. Setidaknya, aku tahu bahwa ia sudah benar-benar ingin menjaga jarak dari Zeus. Bahagia itu masih sederhana...
Zeus tersenyum. "Ini, gue bawain buah, bunga, sama roti buat lo, Ne."
Setangkai mawar putih yang nyaris sama persis dengan pemberianku. Une menyunggingkan senyumnya dan menyuruh Zeus meletakkan barang-barang itu di meja dekat kulkas dalam ruangan ini. Setelah meletakkannya, Zeus kembali berdiri di samping Une. Ia mendekat ke wajah Une. Kemudian, seolah tak sadar sudah melampaui batas, ia mengusap rambut Une lembut. Aku langsung menepis lengannya, nyaris menonjoknya. Emosiku sudah tak bisa kutahan lagi.
"Jaga tangan lo!" tegasku. "Dia cewek orang."
Une menggenggam lenganku. "Al, udah. Ze, lo lebih baik tarik kursi ke sini, biar enggak capek berdiri."
Zeus menepis balik tanganku. "Tapi, dia dulu cewek gue."
Aku tak mendengar ucapan Une. "Dulu. Sekarang dia bukan lagi. Silakan lo angkat kaki!"
Une menatapku berharap aku dapat meredam amarahku. Maaf Une, kali ini tak bisa. Zeus harus pergi.
Zeus berdehem. "Ne, gue balik dulu, ya. Istirahat. Jangan kebanyakan ngobrol sama ketawa. Biar cepat sembuh."
Sindirannya. Dia pikir aku mempan disindirnya? Permainan anak kecil!
"Iya. Makasih ya, Ze, udah jenguk. Salam buat sahabat lo yang dari Singapura itu," ucap Une seraya Zeus melangkah pergi.
Setelah manusia itu benar-benar tak terlihat lagi, Une menatapku kesal. Aku mendiamkannya, merasa sedikit marah padanya. Aku berhak, kan? Une milikku. Bukan lagi punya Zeus.
"Ini rumah sakit, Al. Dan aku lagi sakit," ucap Une. "Zeus datang aja, itu jadi doa kesembuhan buatku. Kamu enggak seharusnya bersikap kayak gitu ke dia."
Aku terkekeh. "Jadi, kalau nanti aku sakit kayak kamu, terus teman cewekku datang dan ngusap rambutku kayak tadi, kamu enggak akan marah? Walaupun kamu tahu, aku pacar kamu. Sahabat kamu."
Une terdiam. "Bukan gitu, Al. Oke, mungkin itu enggak pantas. Tapi, kamu seharusnya udah cukup dewasa buat jaga sikap. Seandainya, aku yang di posisi kamu, aku bakal jaga sikap. Enggak seemosi tadi. Sekali pun kamu pacar aku."
"Ya, Ne," balasku singkat. Tak ingin meneruskan pertengkaran ini karena jika aku yang menang, aku kehilangan Une. Jadi, sebaiknya aku kehilangan kemenanganku daripada harus kehilangan Une.
Kemudian, hening yang panjang. Aku tahu Une sakit hati dan sejujurnya, aku pun begitu. Aku menjauh darinya dan pindah ke sofa di depan televisi. Belum saatnya bermanis lagi pada Une. Kami butuh damai sesaat. Aku butuh berdamai dengan emosi yang memuncak di dalam batinku ini.
Ruangan hening dan hanya dipenuhi dengan suara orang bercakap-cakap dari dalam televisi. Aku pura-pura menikmati acara tanpa tujuan itu dan menahan rasa penasaranku akan apa yang sedang Une pikirkan. Ia masih membela Zeus tadi dan harusnya ia sadar di mana posisinya saat ini bagiku dan di mana posisiku saat ini untuknya. Aku marah, dan sekiranya aku berhak untuk marah.
Ponselku tak lama berdering. Nama Anita, lagi. Kenapa dia jadi terlalu sering menghubungiku?
"Halo?" aku mengangkat telepon dan menyapanya.
"Zal," panggilnya.
"Kenapa, Nit?" balasku.
Anita tertawa aneh. "Gue mau cerita sesuatu. Tadi enggak sempat karena masih ada June. Lo lagi enggak di dekat dia, kan?"
"Oh, enggak. Cerita aja," jawabku.
"Jadi, ceritanya adalah... Eh, tapi jangan gimana-gimana, ya," pinta Anita.
"Iya. Udah buruan cerita aja," balasku kesal.
"Salah enggak sih, tiba-tiba gue jadi ngerasa gimanaaaaaaaaa gitu ke Aqil?" tanya Anita nyaris membuatku tersedak. Aku tertawa mendengar ucapannya itu. Ternyata benar, akan ada kisah cinta lain di kelasku selain...selain aku-Une.
"Kok, bisa?" tanyaku.
Anita terkekeh. "Enggak tahu, Zal. Lagian juga, dianya aneh. Masa tiba-tiba tadi pas papasan pulang, justru nawarin pulang bareng. Kan, gue agak gimana gitu."
Aku tertawa. "Ya udah, santai aja. Gue enggak akan gimana-gimana. Tapi, lucu aja."
"Lucu apaan? Masa abis lo sama June, giliran gue sama Aqil yang jadian?" tanya Anita protes dan terdengar sangat defensif.
"Ya, memang kenapa? Enggak masalah kan, kita samaan," ucapku sambil tertawa-tawa. "Lagian, pasti keren juga kalau kita pergi bareng gitu. Jadi, enggak jomblo banget kan, lo?"
Anita tersedak. "Eh, sialan! Ya udah, cuma mau ngasih tahu itu aja. Gue mohon lo jangan bilangin Aqil. Toloooooooong banget, Zal. Jangan bilang dia."
"Iya, iya," balasku. "Ya udah. Thanks udah ngabarin, loh, Nit."
"Yoi! Diem-diem aja, ya!" serunya. Aku tersenyum kemudian berpamitan dan mengakhiri panggilan itu.
Aku menatap Une dan kini ia sudah terlelap tidur. Aku menghampirinya, ingin memberikan satu kecupan maaf di atas keningnya. Namun, ketika ingin melakukannya, Une mendadak pindah posisi. Aku mengurung niatku dan kembali duduk di depan televisi.
***
Pertengkaran kami menjadi cukup heboh. Aku bukan ingin membela Zeus. Namun, ini tetaplah rumah sakit di mana hal terakhir yang kubutuhkan adalah kerusuhan. Al baru saja hampir memulai kerusuhan. Dan, kupikir aku berhak marah atas tindakannya yang kekanak-kanakan. Apalagi caranya mengibaratkan tadi. Terdengar begitu egois dan sangat tidak pantas. Apa dia tidak sadar aku sakit hati dibuatnya? Terutama jawaban singkat darinya itu. Aku menarik nafas panjang saat ia berjalan menjauh menuju sofa di depan televisi ruanganku ini. Aku tak ingin berkeras kepala dengannya. Tak ingin memulai pertengkaran yang bisa mengakibatkan aku kehilangan dirinya. Lebih baik aku sakit hati sendirian daripada harus kehilangan Al dalam pertengkaran ini. Aku cukup mendiamkannya. Memperbolehkan setiap hening mengisi rongga-rongga udara ini.
Kemudian, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia menjawab panggilan itu. Semoga, bukan Anita. Aku tak mau dihujani perasaan cemburu di saat-saat seperti ini.
"Halo?" sapanya. "Kenapa, Nit?"
Ya Tuhan, kenapa harus Anita?! Rasa itu kembali muncul. Aku mencuri dengan ucapan-ucapan Al. Setiap responnya. Tawanya setelah Anita berkata sesuatu di seberang sana yang tak cukup keras untuk kudengar dari sini.
"Ya, memang kenapa? Enggak masalah kan, kita samaan," ucap Al di antara percakapannya. "Lagian, pasti keren juga kalau kita bareng gitu. Jadi, enggak jomblo banget kan, lo?"
Maksud Al apa? Bersama berdua dengan Anita? Oh, setelah membuatku sakit hati, kini ia menginjak-injak perasaanku? Aku mencoba untuk tenang. Ucapan-ucapan Al setelah kalimat itu ibarat seperti angin lalu. Aku meredam emosiku sendiri. Kini, aku benar-benar tidak ingin berbicara dengannya. Tidak setelah ucapannya pada Anita itu. Terserah kini sekarang apa statusku dengannya, yang jelas aku belum mau lagi berurusan dengannya.
Aku berusaha menidurkan diriku sendiri sebelum Al selesai berbicara pada Anita. Kemudian, percakapannya usai. Aku memejamkan mataku secara paksa, mencoba membuat Al mengerti kalau aku sudah tidur. Padahal, nyatanya aku terlalu sakit untuk menatapnya setelah ucapannya pada Anita tadi. Kamu menyebalkan, Al! Sungguh menyebalkan!
Kemudian, aku merasakan deru nafas Al di atas keningku. Semakin dekat dan hangat. Aku mengganti posisi tidurku. Cukup. Aku butuh rehat dan aku belum mau berbicara padamu, Al. Tidak sekarang bahkan mungkin tidak sampai besok.
Ternyata usahaku untuk berpura-pura tidur malah membuatku benar-benar terlelap. Aku terbangun dan menemukan Al duduk di samping ranjangku. Tidak seperti kami yang berjarak tadi. Lalu, ucapan Al pada Anita terulang kembali di benakku. Seketika aku merasa tak ingin berbicara padanya. Rasa sakit hati memang butuh waktu untuk sembuh.
"Udah bangun?" tanya Al hendak merapikan rambutku. Aku berpaling. Terdengar hembusan nafas dari Al. Hembusan nafas kecewa.
Kemudian, hening kembali merasuki udara-udara di sekitarku. Al menunduk dan menutupi kepalanya dengan lengannya yang bertengger di atas pagar tempat tidurku. Pasti tadi ia menaikkan tiang-tiang ini. Aku melirik Al yang masih menunduk. Aku merasakan sakitnya lebih dalam lagi. Bahkan sampai terasa hingga menyentuh mataku layaknya aroma bawang seperti pada hari di mana kami memasak waktu itu. Airmataku nyaris tumpah sesaat sebelum aku mengusapnya diam-diam. Al masih dalam posisinya. Ne, kuat!
Al mengangkat kepalanya kemudian berdiri. Ia menatapku lirih merangsang kembali airmataku yang tadi nyaris tumpah. Damn it, Al! Dan tanpa basa-basi aku menitikkan airmata. Aku benar-benar tidak kuat. Bahkan tidur tadi terasa sangat berat. Bukan malah ringan. Kontan, Al menghampiriku dan memelukku erat. Aku menumpahkan segalanya di atas dadanya di dalam dekapan hangatnya. Lengannya yang kekar dan bisepnya yang senantiasa melindungiku kini melingkari tubuh mungilku. Aku masih dalam posisiku. Terduduk dengan dua tangan terkulai lemas dan tangis tersedu-sedu yang belum akan reda. Al mengelus-elus rambutku dan memelukku semakin erat. Hatiku sakit, Al. Kupikir kamu tak akan menyakitiku seperti ini. Namun, kamu tetap laki-laki. Dan kodrat laki-laki pasti akan menyakiti perempuan di suatu saat dalam hidupnya. Sialnya, perempuan yang kamu sakiti adalah aku saat ini.
Tanpa sadar, aku juga bisa merasakan rasa bersalah yang menjalari tubuh Al. Ia mengecup ubun-ubunku, masih belum mau melepaskan dekapannya. Seolah ia tak mau lagi membiarkan udara di antara kami terisi oleh hening yang mencekam. Namun, kalau ia benar-benar merasa bersalah, mana ucapan maaf itu? Al bukan orang yang menunda ucapan maafnya. Aku tahu betul soal Al dan sifatnya itu.
Tak lama, Al melepaskanku. Kemudian, menangkup wajahku dalam kedua telapaknya. Ia mengusap airmataku yang mengering. Aku tetap melihat ke bawah karena tahu betul jika aku menatap balik ke dalam mata Al, maka aku akan kembali menangis.
"I'm sorry. I'm really sorry and I mean it," ucap Al tulus dan lirih. "Aku bodoh, Ne. Harusnya aku enggak seanak-anak tadi. Aku minta maaf. Aku enggak mau lagi kita kayak tadi. Aku janji lain kali aku bakal nahan emosi aku."
Aku menarik nafas dan memaksakan senyum. Lalu, aku mengangkat wajahku dan menatap Al. Ya, selalu terlihat ketulusan dalam bola matanya. Aku tak pernah bisa melihat kebohongan di balik bola mata indah itu. Al yang selalu tulus dan selalu memegang janjinya. Al yang selalu ada buatku dan yang selalu takut mengecewakanku, membuatku nangis. Al yang selalu tak pernah mau kehilanganku.
"Aku juga minta maaf, ya, Al," balasku kemudian meraih jemari Al. "Aku akuin aku salah membela Zeus tadi. Aku akuin kamu sensitif soal Zeus dan aku. Tapi, aku akuin juga aku cemburu, Al. Aku cemburu sama kamu dan Anita. Apapun itu yang kalian bicarakan yang mungkin enggak pantas aku cemburui. Tapi, faktanya, aku cemburu. Egois, ya? Aku cuma mau kamu sadar posisi kamu sekarang sama aku."
Al tersenyum. "Anita? Kamu cemburu sama dia? Enggak perlu, Ne. Enggak ada yang perlu kamu cemburui. Aku sama Anita cuma teman. Aku sama kamu kan, bukan teman. Kita lebih dari itu dan aku enggak mungkin sayangnya malah ke Anita. Dan aku minta maaf kalau sikapku ke dia memang benar-benar bikin kamu cemburu. Aku minta maaf, Ne."
Kini akulah yang tersenyum. Aku mengalungkan lenganku di leher Al, berusaha memeluknya. Ya, aku tak mau kehilangan Al sebagaimana Al tak pernah mau kehilangan aku. Karena ketika Al hilang, maka Une akan hilang bersamanya. Al-lah yang membuatku bisa menemukan diriku sendiri dan menerima diriku sendiri dan memahami diriku sendiri. Aku tak mungkin mau kehilangan Al. Tidak sekarang, tak akan pernah.
"Kamu nginep aja ya, Al?" tanyaku setelah kondisi kami agak tenang. Al tersenyum.
"Aku sekolah, Ne. Kalau aku enggak sekolah, kamu enggak bisa dapat catatan. Aku juga sama," jawabnya. "Gini aja. Sampai kamu tidur, baru aku pulang. Mama pasti ngertilah aku habis dari mana."
Aku tersenyum. "Kalau gitu, enggak apa-apa, deh. Kamu pulang habis Maghrib aja. Nanti kamu kemaleman sampai rumah jadi kecapekan."
"Bener?" tanya Al. Aku mengangguk mantap dengan senyumku. Al kemudian mengacak-acak poniku. Arggghhhh!!!! Kebiasaannya yang ini kini mulai mengusikku.
"AL!" seruku. Al hanya tertawa.
"Kamu cantik kalau udah kesal. Nyebelin, tapi ngangenin," balas Al menyudahi kejahilannya.
"Gombal mulu. Bosen," ucapku. "Shalat sana! Udah Ashar."
"Siap, Une sayaaaang!" seru Al kemudian bergegas ke kamar mandi mengambil wudhu. Aku terkekeh sendiri. Ya, aku tak akan rela kehilangan Al. Tak akan.
0 comments:
Post a Comment