Chapter 1
1.8 "If I say 'I love you, dear', will you say it back?"
Sabtu pagi tiba begitu cepatnya. Sinar matahari pagi di setiap akhir pekan memang tak pernah menyengat kulitku. Tidurku malam sebelumnya sangat nyenyak mengetahui bahwa hari ini tak ada tuntutan sekolah. Seperti biasa, aku memeriksa ponselku barang kali ada sebuah pesan masuk selama aku tertidur. Sesuai dugaanku, ada dua pesan masuk. Satu dari Al dan satu pesan lagi dari operator yang entah mengapa selalu sampai di kotak spam.
BANGUN! Gue udah setengah jam nunggu di depan pager rumah lo! Jadi, nonton pertandingan basket kakak gue, kan?!
Mampus aku! Aku benar-benar melupakan janjiku untuk menemani Al menonton pertandingan kakaknya. Setengah belum sadar, aku berdiri dan hampir terhuyung ke belakang karena belum sempurna membuka mata. Bergegas aku menuju lemari pakaian dan memilih baju sejadi-jadinya. Kemudian, aku panik mencari handuk yang mendadak hilang dari gantungan tempatku biasa meletakkannya. Kenapa di saat butuh semua hal penting selalu secara misterius tidak terlihat?
"Mbok Num!" panggilku sambil melongokkan kepala keluar kamar.
"Ya, Non?" balas Mbok Num.
"Al emangnya udah dari tadi di depan pagar?" tanyaku penasaran. Tidak ada jawaban. Ah, Mbok Num kenapa jadi labil begini? Sebentar bersuara, sebentar lagi hening.
Aku menyeret kakiku sendiri menuju ruang gosok untuk mengambil handuk baru. Langsung aku bergegas ke kamar mandi. Sepertinya, Mbok Num tak menjawab karena memang Al sudah menantiku di luar sana. Aku pun mengutuk pagi hari ini yang seharusnya bisa lebih tenang.
Seusai mandi, aku melihat pilihan bajuku yang tadi seenaknya saja kutarik dari lemari. Rasanya, aku begitu gagal menjadi perempuan melihat pilihan bajuku. Tak ada yang mengesankan rapi dan serasi. Ne, kenapa begitu bodoh? Aku kembali mengaduk-aduk isi lemari pakaianku. Kuambil lagi setelan pakaian yang lumayan cocok untuk dipadupadankan. Celana jeans putih selutut dengan paduan tank-top berwarna aqua dan rompi kulit berwarna cokelat membalut tubuhku. Tak lupa aku memakai kalung berhiasan kumis berwarna hitam-putih dan gelang yang sewarna dengan rompi yang kupakai. Aku menguncir kuda rambutku dan menyisakan sedikit rambut di kanan dan kiri pipiku. Poniku menutupi kening tanpa tersisir rapi. Setelah berhias, aku langsung mengambil tas vintage dan memakai sepatu vans-ku yang berwarna hitam dan berlalu menuju pagar rumahku tempat Al bilang tadi.
Sampai di depan pagar, aku kaget bercampur kesal bahwa Al ternyata sudah menipuku. Ia tak ada di sana, tak sedang menungguku dari setengah jam yang lalu. Bodohnya aku menghamburkan ketenangan pagiku hanya untuk diusilkan Al. Al, aku benar-benar membencimu untuk hal ini!
Tiba-tiba ada dua telapak tangan yang menutupi mataku saat aku menggeram hebat. Aku berusaha mengelak dan melepaskan kedua telapak tangan itu. Yang kudengar hanya suara tawa yang tertahan. Ini pasti Al. Pasti.
"Al! Lepasin!" geramku sambil berusaha melepaskan tangan Al dari wajahku.
Al tertawa terbahak-bahak setelah puas mengerjaiku. Aku memukul lengannya dengan penuh rasa kesal. Namun, usahaku sia-sia karena pukulan itu tak akan memberikan dampak apa-apa pada otot-otot Al. Kesal, aku mendiamkannya sepanjang ia bercakap-cakap. Al menggiringku ke mobilnya, membukakan pintu penumpang, dan mempersilakan aku masuk. Masih memasang wajah kesal, aku masuk dan duduk dengan sangat tak niat di atas jok penumpang sebelah sopir. Al harus membayar kejahilannya yang telah menguras semangat pagiku.
"Jutek banget, Ne," pancing Al sambil memutar setir mobilnya. Ujung bibirnya naik seperti sedang tersenyum puas akan apa yang telah ia lakukan.
Aku menyalakan radio mobil Al. Kucari frekuensi radio yang bisa meminimalisasi percakapan yang akan terjadi antara aku dan Al selama perjalanan. Al sesekali mencuri pandang melirikku diam-diam. Bukan aku tak tahu, aku bisa merasakan matanya yang tertuju tepat padaku. Aku pun melakukan hal yang sama saat Al sedang tidak memerhatikanku.
"Ya Allah, Ne, maafin gue, dong," pinta Al akhirnya. "Lagian, perasaan beberapa hari yang lalu kan, kita udah janjian Sabtu ini mau nonton pertandingan basket kakak gue. Masa lo lupa? Masa ketiduran?"
Aku tetap diam tak berniat menjawab rentetan pertanyaan Al.
"Une," panggil Al setengah memohon. "June Aphrodita Malik!"
Mendengar nama lengkapku diucapkannya sangatlah langka. Al tak pernah menyebutkan nama lengkapku secara cuma-cuma. Dulu, sempat kutanya mengapa ia anti sekali menyebutkan tiga kata itu. Jawaban Al singkat, katanya namaku terlalu istimewa jika diucapkan tanpa maksud apa-apa. Nama Dewi Yunani lebih tepat diucapkan seseorang ketika ingin menganugerahkan sesuatu atau ketika ingin mengungkapkan kata-kata penting. Lalu, nama June, kata Al, terlalu barat untuk gadis sepertiku yang sangat berwajah oriental. Dan kata Malik, atau lebih kukenal dengan sebutan ayahku di kantor, Al selalu segan mengucapkan nama beliau. Namun, baru saja kudengar Al memanggil nama lengkapku. Kaget, aku menoleh ke arahnya.
"Ini saat yang cukup penting buat gue memanggil nama lengkap lo," jawab Al seolah tahu apa yang kuekspresikan dengan wajahku. "Maaf, Ne, gue nguber-nguber lo pagi ini."
Aku membalikkan badanku 90 derajat menghadap Al. "Al, sumpah ya, tadi pagi gue benar-benar lagi kayak putri tidur baru dibangunkan pangeran. Bangun gue tuh, anggun sampai saat gue buka SMS dan ada pesan dari lo. Gue panik nyariin handuk, narikin baju sedapetnya, lari-lari dari kamar mandi ke kamar gue buat pakaian buru-buru karena lo bilang lo udah nunggu setengah jam. Eh, tahunya, pas gue lihat di depan pagar enggak ada siapa-siapa. Terus, lo sok asik banget nutup-nutupin mata gue kayak tadi. Pacar aja bukan, udah pegang-pegang."
Tepat saat lampu merah berdurasi dua menit, Al memutar tubuhnya menghadapku. "Iya, gue minta maaf. Maaf banget, my girl, my best friend, my Aphrodite. Gue enggak akan sok-sok ngejahilin lo lagi deh, di hari libur kayak gini. Gue bakal belajar mengerti kalau lo emang enggak bisa diganggu gugat pas akhir pekan. Jadi, lo lupa lo kemarin-kemarin bilang lo mikirin gue? Ah, lo ngarep banget gue jadi pacar lo, ya, Ne."
Aku menoyor kepala Al sampai membuat Al tertawa. Tangannya berusaha menutupi kepalanya sendiri dari hantamanku berikutnya. Di 30 detik sebelum lampu hijau menyala, aku dan Al masih bergulat hebat di belakang setir mobilnya. Lalu, Al meminta untuk memberhentikan permainan konyol kami ini sementara untuk kembali fokus pada jalan di hadapannya. Bertemu dengan lampu merah lagi, aku memukul lengan kiri Al. Al meringis pura-pura sakit. Kemudian, ia berusaha mengacak-acak poniku. Aku berusaha mengelak.
"Rizal Alqadr! Stop it!" rengekku pada Al sambil menyembunyikan seluruh kepalaku di atas dasbor mobil Al. Al tenggelam dalam tawanya yang riuh mengisi udara mobil ini. Perlahan aku pun ikut tertawa bersamanya.
Inikah yang kusebut-sebut persahabatan? Pantaskah dua orang sahabat tertawa dan bercanda sedekat ini? Wajarkah senyum dan tawanya menghembuskan desir kebahagiaan dalam hatiku? Wajarkah seorang sahabat merasa begitu nyaman sampai-sampai menahannya untuk tidak mencintai orang lain? Inikah yang kunamakan sahabat? Empat tahun bersembunyi di balik kata persahabatan, apakah masih kurang lama? Inikah rasanya jatuh cinta? Atau hanya rasa hangat saja karena terlalu sering bersama? Al, andai kamu bisa menjawabnya karena sampai saat ini aku belum mampu mencari tahu.
Seperti adegan manis dalam film-film romantis, tawa Al dan tawaku seolah-olah terjadi secara slow motion. Baik aku maupun Al menikmati renyahnya suara yang keluar dari rongga mulut kami yang terus menerus mengisi udara mobil ini. Menggantikan sejuknya pendingin yang dari tadi tak pernah kuanggap berfungsi. Ya, mungkin aku sudah jatuh cinta pada Al. Namun, satu lagi sisa pertanyaanku, apakah Al merasakan yang sama?
***
Aku melihatnya tertawa begitu cantik. Gadis ini tak pernah bosan menghadiahkan senyum dan tawanya padaku. Semua pertanyaan berkeliaran di benakku. Tak mampu mencari jawaban, aku berusaha mendiamkan mereka. Sadarkah engkau, Une, bahwa baru saja aku memanggilmu sebagai gadisku. Dewi Aphrodite pribadiku. Apa masih kurang perhatianku agar bisa membuatmu menyadarinya? Apa aku harus benar-benar mengungkapkan cinta padamu hingga kau bisa mengetahui semua itu? Tapi, apa kau akan merasakan hal yang sama? Akan begitu menyakitkan jikalau aku mengatakan segalanya padamu, namun kau sudah mempunyai orang lain yang mengisi hatimu. Zeus mungkin. Aku tahu, kadang kau masih mengingat memori indah bersamanya. Ah, Une...
"Al," panggil Une seusai tawanya.
"Hmmm?" balasku singkat sambil tetap memerhatikan kemudiku.
"Abang lo nomor punggungnya berapa?" tanya Une sambil menatapku penasaran. Jangan bilang Une diam-diam menyukai abangku.
"Kenapa? Lo suka sama abang gue dan niat ngasih sorak-sorai buat dia?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Enggak. Masa gue diajak, tapi gue enggak tahu siapa yang mau didukung?" balas Une masuk akal. Syukurlah, Une hanya bertanya demi formalitas pertandingan basket.
"Abang gue pakai nomor 16," jawabku sambil memutar setir ke kanan memasuki lahan parkir tempat pertandingan basket sedang dilangsungkan. "Siap-siap. Udah sampai."
Une mengangguk dan melepas sabuk keselamatannya. Setelah memosisikan mobil dengan benar di salah satu tempat parkir yang disediakan, aku langsung keluar dan membukakan pintu untuk Une. Satu dari seratus caraku memperlihatkan bahwa aku benar-benar menyayanginya dan ingin dia tahu bahwa dialah gadis yang selama ini aku bicarakan. Une hanya memberikan lekuk senyum khasnya yang kerap semakin besar efeknya untuk degup jantungku.
"Thank you, my gentleman," ucap Une bergurau. Aku tahu ia sedang tidak serius. Aku hanya bisa membalas kata-katanya dengan mengacak-acak poninya. Une menggeram sambil memukul-mukul lenganku. Maaf Ne, tapi tenagamu masih kurang.
Aku dan Une pun berjalan beriringan memasuki lapangan pertandingan. Tempat duduk penonton dan pendukung sudah ramai dengan aneka jersey dan pernak-pernik pendukung lainnya. Sebelum benar-benar menduduki salah satu tempat duduk yang tersisa, aku membelikan Une dan diriku sendiri camilan ringan beserta minuman bersoda untuk kami nikmati selama pertandingan berlangsung.
"Itu ya, abang lo? Yusuf, kan, namanya? Gue lupa-lupa ingat," tanya Une sambil menunjuk tepat menuju posisi abangku berdiri.
"Iya. Abang gue jarang main ke rumah sih, jadi jarang banget ngobrol sama lo," komentarku mengobati rasa penasaran Une. "Lagi sibuk dia, bentar lagi sidang. Doain, Ne, biar abang gue sukses jadi graphic designer. Katanya mau menyelam sambil minum kopi di London sana."
"Hah?" tanya Une setengah ingin tertawa.
"Iya. Dia bilang nanti mau cari beasiswa ke London sekaligus peluang jadi atlet basket di sana," jelasku membeberkan sedikit rencana besar abangku. Une manggut-manggut sok mengerti.
"Gue heran sama kalian berdua, Al. Abang lo basket sekaligus perancang grafis. Lo petinju merangkap pelawak dan orang iseng. Kenapa enggak ngikutin langkah abang lo?" tanya Une penasaran sambil sesekali mengunyah camilan yang tadi kubelikan untuk kami berdua.
Aku tersenyum padanya. "Abang gue sama gue tuh, dulu enggak pernah bisa ngerjain hal yang sama. Misalnya, dulu gue suka main bola sama Papa. Nah, dia pasti gambar-gambar komik di ruang tamu. Selesai sesi gue dan Papa, baru gantian abang gue yang main bola, terus gue yang heboh mainin galon kosong sambil nyanyi-nyanyi lagu rock gitu. Semakin besar, hobi gue sama abang gue semakin tabrakan. Abang gue mulai nyoba renang sama taekwondo. Makanya badannya kayak monas, tinggi menjulang. Sementara gue, gue mulai suka tuh, lari pagi sendirian ngitarin komplek rumah gue yang lama dulu. Betis gue mulai kebentuk. SMP, lo ingat kan, betapa guru olahraga kita suka banget berpendapat gue sering olahraga ke gym? Padahal enggak. Gue cuma disuruh rajin push-up aja sama Papa setiap hari. Makanya bisep dan betis gue kebentuk banget. Nah, pas abang gue mulai fokus kuliah, gue kesempatan deh, nyari peluang apalagi yang bisa gue ikutin selain sekolah. Akhirnya, pas kelas sembilan, gue mulai ikut tinju. Dan di saat yang sama pas gue daftar ke klub tinju, abang gue bilang ke Papa dan Mama kalau dia mau jadi perancang grafis merangkap pemain basket."
Une terlihat tekun mendengarkan ceritaku tentang persaudaranku dengan abangku. Merasa tidak enak, aku menanyakan Une tentang hidupnya. Jarang kami bisa seserius ini membahas masa kecil kami. Une menarik nafas panjang dan mulai bercerita.
"Jadi, dulu gue dan kedua kakak gue itu susah banget akurnya. Kakak gue yang pertama, yang enggak pernah lo lihat, sayangnya, meninggal pas lagi mau nerima hasil skripsinya dia. Padahal dulu itu, dia sempat jadi mahasiswa pilihan. Tapi, ya, memang jalannya bukan melanjutkan kuliah. Jadi, sejak itu gue dan kakak gue yang kedua semakin parah keenggak-akurannya. Abang gue itu dulu dekat banget sama kakak gue yang pertama. Bahkan mereka pas gue kecil suka banget barengan ngejahilin gue. Ya, faktor umur yang agak beda jauh juga, sih. Jadi, gue semacam korban kejahilan mereka. Mulai SD kelas enam, gue dan abang gue mulai bisa akur. Itu juga karena kakak gue yang pertama udah enggak tinggal serumah sama kita. Nah, pas gue kelas tujuh, kakak gue yang pertama itu meninggal dan abang gue semakin sadar kalau tinggal gue saudara dia satu-satunya. Dan dari sana gue mulai bisa akur," cerita Une. "Nah, abang gue pas gue kelas delapan itu lagi nakal-nakalnya SMA. Dia kelas sebelas suka banget setiap pulang sekolah enggak pulang langsung. Pas Bunda sama Ayah menyidang dia di ruang makan, akhirnya dia ngaku dia suka jalan ke perpustakaan UI yang segede apaan tahu itu. Katanya, dia suka baca ensiklopedia sama buku-buku sejarah. Nah, gue mulai sering diajak kesana setiap Sabtu sama dia. Emang menakjubkan banget ngeliat hobi terpendam abang gue, Al. Gue enggak pernah nyangka. Dan dari situ gue belajar banyak. Tentang Indonesia, dunia, sama teori-teori yang sekarang kita pakai tapi ternyata menyalahi peraturan semesta. Pokoknya, hebat, deh. Abang gue makanya sekarang kuliah ahli sejarah di Australia. Lo jarang ngeliat dia pulang, deh. Nah, hobi gue muncul pas abang gue mulai pindah ke sana. Gue jadi suka fotografi, tapi hal-hal yang super kuno. Jadi, kalau ke museum, biasanya gue suka banget, tuh. Selain fotografi, gue senang sama dunia adibusana. Nyocok-nyocokin baju mana yang selaras sama celana apa. Gitu ceritanya."
Aku mengangguk-angguk selama Une bercerita tentang dirinya. Ada sedikit informasi baru tentang gadis ini yang selama ini tak pernah diungkapkannya padaku. Une suka fotografi dan hal-hal kuno. Hal-hal bersejarah. Aku jadi ingin menguraikan setiap hal yang Une suka dalam benakku. Warna selai kacang yang selalu membuat Une tersenyum setiap kali melihatnya, namun ia tak pernah mencintai selai kacang itu sendiri. Lalu, rambut Une yang tidak pernah melebihi dadanya. Kebiasaan Une saat berbohong yang tak pernah berhasil menipuku. Keterbukaan Une akan segala isi pikirannya yang kadang membuatku justru bertanya apa itu saja yang mengitari otaknya selama ini? Lalu, keloyalan Une pada tangki bensin motorku. Yang ini memang menjadi hal favoritku tentang Une. Haha... Dan kini, hobi fotografinya serta kecintaannya dalam dunia mode. Selain itu, ada Une yang jarang sekali mengungkit masa lalu tentang almarhumah kakaknya. Une yang selalu menyimpan rapat persoalan keluarganya, terutama hubungannya dengan abangnya. Bunda Une yang tak pernah alpa memberikan Une segenap ceramah setiap kali Une melakukan kesalahan. Lalu, terakhir... ayah Une yang jarang sekali kulihat ada di rumah, namun selalu setiap ia pulang membawakan Une dan aku sesuatu yang seragam. Une, andai lo tahu apa yang sudah tercatat dalam memori gue selama bersahabat dan jatuh cinta pada lo.
Aku kembali memfokuskan pikiranku pada pertandingan basket ini. Skor masih berhimpit. Tim abangku menang satu poin akibat tembakan tiga-angka oleh salah satu anggotanya. Une sesekali ikut berseru bersama pendukung lainnya membuatku tersenyum.
"Gila, tadi abang lo keren banget. Gue naksir, ah," ucap Une sambil melemparkan botol bekas minuman bersodanya ke dalam tempat sampah.
"Masa naksir direncanain? Nih, Ne, gue kasih tahu sama lo, ya. Kalau kita mencintai seseorang, jangan direncanain. Biarkan aja mengalir sampai mentok," ujarku. "Eh, jangan sampai mentok, nanti susah pindahnya."
Une terkekeh. "Lo tuh, kapan sih, seriusnya?"
"Maunya kapan? Gue bisa nih, diajak serius. Suer!" ucapku seraya mengangkat dua jariku. Une hanya menyengir membalas perkataanku.
Setibanya di mobil, aku membukakan pintu untuknya sebelum masuk ke tempat dudukku sendiri. Perjalanan awal kami cukup hening sampai akhirnya Une menyebut namaku.
"Apa?" tanyaku balik.
***
"Al," ucapku sambil melirik ke arah yang dipanggil.
"Apa?" tanyanya balik.
Aku menggumam cukup lama sampai akhirnya bertanya, "Lo pernah ngerasain jatuh cinta enggak, Al?"
Al tersedak lalu tertawa. "Pertanyaan lo berat banget, Ne."
"Ih, serius!" balasku sambil menepuk lengannnya. "Jawab jujur."
"Pernah. Bahkan sedang jatuh cinta, Ne," jawab Al apa adanya. Aku mengangguk-angguk. Pasti perempuan itu.
"Kalau lo, Ne?" tanya Al membuyarkan seribu kutukanku akan perempuan itu.
"Hah?" balasku tak siap.
"Iya. Lo pernah jatuh cinta, enggak?" tanya Al memperjelas maksudnya.
"Hmm... Sebenarnya, gue enggak ngerti Al, sama perasaan gue yang sekarang ini. Gue bingung apa yang sekarang gue rasain ini cinta apa bukan. Ya, gini deh, kita baru 16 tahun. Gue sama lo cuma beda empat bulan. Apa sih, yang kita tahu soal cinta?" beberku mengeluarkan seluruh kegalauanku tanpa menyebutkan nama Al sekali pun.
Al tersenyum. "Oke, sekarang gue mau serius sama lo. Soalnya, ini menyangkut perasaan sahabat gue tersayang. Dia gimana ke lo, Ne?"
Ah, Al... hanya sahabat tersayang rupanya aku untukmu. "Baik. Baik banget. Perhatian sama kadang-kadang sih, ya, masih ada sifat cowoknya yang teramat menyebalkan. Tapi, selebihnya gue nyaman sama dia. Bahkan, gue dan dia udah kenal cukup lama." Jangan berbohong, Ne. Lo dan Al sudah kenal luar biasa lamanya.
Al mengangguk-angguk. "Hmm... Itu udah bagus, kok, situasinya, Ne. Tinggal lo kasih sinyal sedikit sama dia. Mungkin dia sama kayak gue, suka sama cewek udah lama banget. Udah perhatian banget, tapi takut kalau-kalau si cewek itu enggak suka balik. Padahal, belum tentu. Contohnya, lo dan doi lo ini."
Giliran kini aku yang mengangguk-angguk. "Jadi, gue harus mempertaruhkan harga diri gue supaya kode gue nyampe ke doi?"
Al terkekeh. "Kurang lebih kayak gitu."
Aku terdiam selama beberapa menit. Meresapi kata-kata Al. Andai ia tahu bahwa cowok itu adalah dirinya. Mengapa begitu sulit terbuka pada orang yang selama ini sudah menjadi penopang keluh kesahku? Mengapa begitu sulit mengatakan aku telah jatuh cinta padanya setelah selama ini? Namun, aku tak mau jika nanti aku bersikap jujur, ia malah menyakitiku. Al malah tertawa terpingkal-pingkal mendengar rahasia hatiku yang isinya adalah dirinya sendiri. Dan aku tak mau marah pada reaksi Al kalau-kalau aku benar-benar jadi mengungkapkannya.
"Ne," panggil Al membuyarkan keheninganku. "Kakak gue pernah ngasih gue satu kalimat bagus. Cocok banget buat lo sama gue saat ini."
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Dengerin lagu ini, terus dengerin kata-katanya," pinta Al.
If I say 'I love you, dear', will you say it back?...
0 comments:
Post a Comment