Chapter 1
1.5 "The way he makes me feel every time he's around..."
1.5 "The way he makes me feel every time he's around..."
Kejadian kemarin sungguh menghabiskan tenagaku. Hari ini, aku izin tidak masuk sekolah. Mendengar kabar ini, Al berusaha keras meyakinkan ibunya untuk mengizinkannya mengambil cuti dari sekolah sepertiku. Akhirnya, Al pun mendapatkan izin dengan catatan Al tidak boleh lagi bertingkah seperti ini dan wajib menuruti semua perintah ibunya. Aku tertawa hebat mendengar Al bercerita lewat telepon tadi pagi. Siangnya, aku menyambut kehadiran Al.
"Mbok Num ada, enggak?" tanya Al tanpa basa-basi. Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.
"Mau ngapain? Pasti minta makan, kan?" tanyaku begitu yakin sambil menjatuhkan tubuh ke sofa. Al mengangguk antusias, lalu berjalan ke dapur mencari orang yang ia idam-idamkan.
"Mas Al, mau request dimasakin apa, nih?" tawar Mbok Num. Lalu, aku tak mendengar jawaban apapun dari Al. Tak penasaran, aku menyalakan televisi. Dalan hati aku meledek Al manja karena setiap kali bertemu Mbok Num, ia selalu memintanya untuk membuat suatu makanan istimewa. Mbok Num memang jago dalam hal masak-memasak. Karena itulah, Al dan segenap temanku yang lain menyukainya.
"Mbok, terus ini diapain lagi? Tinggal dimasukin ke oven, kan?" tanya Al yang terdengar sangat semangat dan penasaran.
Mbok Num menghela nafas. "Iya. Tinggal tunggu setengah jam. Mas Al mending bersih-bersih bantuin Mbok Num. Ini jadi berantakan banget."
"Oke, deh!" seru Al senang. Mendengar mereka membuatku terkikik ringan. Sedang apa mereka di dapur?
Tak lama, Al menghampiriku sambil menyunggingkan senyumnya yang memperlihatkan deretan gigi agak kekuningan efek hobinya meminum kopi. Aku menatapnya bingung sekaligus geli. Anak ini begitu aneh hari ini.
"Kenapa lo?" tanyaku nyaris tertawa.
"Enggak kenapa-kenapa," jawab Al penuh rahasia. Mendengar jawaban itu, aku langsung kembali pada acara televisi yang entah mengapa begitu menarik saat aku tidak bersekolah.
"Kok, lo enggak penasaran, sih?" tanya Al gemas.
"Kok, lo jadi sewot?" tanyaku balik berpura-pura cuek. Nyatanya, aku ingin tertawa melihat reaksi Al.
Al menghembuskan nafas sok kecewa. "Ah, ya sudah. Gue enggak jadi ngasih lo kejutan."
Perkataan Al berhasil membuatku tertarik. Sangat jarang bagiku menerima kejutan Al selama kami bersahabat. Satu-satunya waktu Al akan memberikanku kejutan adalah hari ulangtahunku, selebihnya ia tak pernah repot-repot merancang rencana mengejutkanku. Dan hari ini bukan hari ulangtahunku. Cukup aneh.
"Mas Al, sudah siap," panggil Mbok Num sebelum aku sempat mencari tahu kejutan apa yang Al siapkan untukku.
"Siap, Mbok. Sebentar, aku ambil sesuatu dulu dari motor," ucap Al.
Penasaran, aku melangkah menuju dapur. Baik Mbok Num maupun Al yang hendak berjalan ke garasi menghentikan langkahku dengan seruan mereka.
"Non, Mbok Num belum diperbolehkan ngizinin Non, buat ke dapur sama Mas Al," ucap Mbok Num sambil sedikit memelas.
"Eits! Ne, kalau lo berani menginjakkan kaki ke dapur, gue serang!" ancam Al mencoba terdengar menakutkan.
"Kalian mah, suka rahasia-rahasiaan. Kesal, ah," rengekku mengalah dan berjalan kembali ke sofa. Aku melirik Al sekilas dan ada senyum jahilnya yang tertera jelas yang entah bagaimana caranya membuat jantungku berdegup lebih semangat.
Setelah kurang lebih 20 menit menekan rasa penasaran, Al akhirnya memanggilku ke dapur. Aku memasrahkan diri pada apa yang akan ia berikan padaku. Setibanya di dapur, aku melihat satu loyang brownies cokelat dengan hiasan di atasnya bertuliskan "GWS UNEEEEE!!!" dihias dengan ornamen kue yang bisa dimakan. Lagi-lagi jantungku berdegup kencang seraya aku menatap Al tak percaya.
"Surprise!" seru Al bahagia membuat degup jantungku terasa cukup keras untuk bisa didengarnya.
"Jadi, dari tadi lo sama Mbok Num bisik-bisik tuh, lagi buat ini?" tanyaku sok kaget. "Hebat juga."
Al memberikan senyum termanisnya pada komentarku barusan. "Cicipin, deh. Gue rasa enggak enak."
"Terus kenapa lo kasihin ke gue?" tanyaku heran dengan saran Al.
Al terkekeh. "Bercanda, Non. Gue yakin pasti enak. Soalnya yang lebih banyak kerja Mbok Num. Jadi, lebih pro."
"Yah, kalau gitu berarti ini kejutan bikinan Mbok Num, dong. Bukan bikinan lo," balasku memancing Al untung mengeluarkan protesnya.
"Tapi, kan, gue juga bantuin, Ne," ucap Al sok sedih mendengar kata-kataku barusan. "Ya sudah, sini gue potongin buat lo. Terus, kalau enggak enak, gue paksa lo habisin."
"Idih, lo aja," ucapku singkat lalu menunggu Al memotongkan satu bagian kecil untukku. Aku mencicipinya dan langsung jatuh cinta dengan brownies ini. Tak pernah kusangka, Al dapat berkontribusi dalam pekerjaan Mbok Num soal masak-memasak dan membuat kue.
"Gimana?" tanya Al penasaran.
"Kalau gue bukan sahabat lo, gue rasa gue udah jatuh cinta sama keahlian baru lo ini," jawabku memberikan efek senyum di wajah Al. "This is amazing for a boy who has never baked anything before."
Al terkekeh. "Berarti, gue nanti kalau nembak cewek yang gue incar, tinggal pakai brownies aja, ya?"
Aku mengangguk-angguk meskipun dalam hati aku tidak setuju dengan yang dikatakan Al barusan. Ada perasaan perih setiap kali topik tentang perempuan incaran Al dimunculkan ke permukaan. Namun, aku tak pernah benar-benar ambil pusing tentang hal ini. Ini urusan Al, bukan urusanku.
Tiba-tiba dari salah satu ponsel kami terdengar bunyi telepon masuk. Aku dan Al bergegas menuju sumber panggilan. Aku menemukan ponselku dan ternyata nama Anita tertera di sana. Al sudah lebih dulu mengangkat panggilan untuknya saat aku masih sibuk mencari ponselku tadi.
"Ada apa, Nit?" tanyaku akhirnya.
"Lo sama Rizal janjian izin?" tembak Anita langsung tanpa memanjang-panjangkan waktu.
"Enggak, kok," jawabku singkat sambil menahan tawa saat bertemu pandang dengan Al.
"Terus, kenapa lo berdua bangkunya kosong?" tanya Anita layaknya seorang polisi.
"Bentar, ya," ucapku.
Al dan Aku bertukar ponsel sambil sebisa mungkin menahan tawa. Sebelumnya, Al membisikkan siapa yang sedang meneleponnya. Aqil, kata Al. Aku rasanya ingin meledek Anita dan Aqil yang selalu entah kebetulan atau tidak, kompak dalam beberapa hal.
"Jadi, Nit, gue dan Une, eh maksud gue, June, izin sekolah hari ini tuh, hasil kesepakatan dan kontrak kerjasama," jawab Al pada Anita dengan gaya sok artis.
"Qil, gue sama Rizal tuh, izin bukan mau pacaran. Tapi, disuruh dan dianjurkan orangtua gue dan orangtua Al," ucapku pada Aqil yang dari tadi menunggu jawaban pasti.
"Tapi, June, masa orangtua kalian berdua sesesat itu? Masa anaknya bolos, eh izin, dibolehin?" protes Aqil tak puas.
"Idih, tanya Al, eh Rizal, aja deh, kalau lo enggak percaya," balasku agak kesal.
"Nit, kompak banget lo sama Aqil, ya," komentar Al pada Anita lewat ponselku. Al memberikanku kode agar mengatakan hal yang mirip pada Aqil.
"Qil, kompak ya, lo sama Anita rajin nanyain gue sama Al," ucapku sambil mengigit bibir menahan tawa yang tak kunjung berhasil diredam.
"Idih! Anita aja yang ngikutin gue," sangkal Aqil. Dari balik suara Aqil, terdengar suara Anita yang lumayan keras.
"Apa-apaan, Zal! Aqil tuh, yang sok perhatian sama lo," seru Anita lantang. Al menjauhkan ponselku dari telinganya.
"Santai aja, Bu," balas Al terkekeh.
"Kan, kalian juga lebih kompak lagi sama-sama menyangkal. Awas loh, nanti jadian," godaku pada Aqil.
"June, gue deklarasiin ke lo ya, bahwasannya gue dan Anita enggak akan pernah sekalipun memendam atau bahkan menyimpan rasa saling suka. Janji gue," jawab Aqil tegas.
Al yang kurasa dapat mendengar perkataan Aqil lewat obrolannya bersama Anita tertawa lepas.
"Karma, Qil," komentarku dan Al singkat kemudian menukar kembali ponsel kami.
"Ya sudah, Nit, gue mau istirahat dulu," ucapku pada Anita. "Jangan umbar janji yang enggak bisa ditepati, bilang sama Aqil."
Anita menggeram gemas dan sesaat sebelum ia sempat melanjutkan protesnya, aku memutus panggilan secara sepihak. Berbeda denganku, Al masih bicara dengan Aqil sambil sesekali tertawa-tawa. Aku tahu betul maksud Al memanjangkan obrolannya. Al ingin menjahili Aqil dengan secara pintar menghabiskan pulsa sohibnya itu. Aqil tidak cukup cerdas dengan kenakalan Al. Tak lama, obrolan mereka terputus sepihak dari sisi Aqil. Al dan aku melepas tawa kami. Aku hanya bisa menggelengkan kepala pada kelakuan Al yang teramat jahil.
"Sumpah, gue enggak akan pernah nelpon lo. Takut jadi korban penghamburan pulsa," ucapku sambil mengambil posisi duduk di sebelah Al.
"Ne..." panggil Al pelan, namun cukup untuk terdengar oleh telingaku yang berada dekat mulutnya.
"Hmm?" jawabku. Al terdiam dan saat aku menatapnya, hanya ada satu lekuk senyum di bibirnya. Aku membalasnya sambil menyenderkan kepalaku di pundaknya. Bersahabat dengan Al selama bertahun-tahun tak pernah memunculkan perasaan risih saat kami mulai bermanja seperti ini. Al sudah seperti saudaraku sendiri.
Sorenya, tepat pada jam sekolah kami bubar, aku dan Al bergegas bersiap-siap menyusul kedua ibu kami. Ibuku memberikan pesan agar mengajak Al ke restoran tempat ibuku dan ibunya Al akan bertemu. Lapar, baik aku dan Al menyetujui ajakan kedua ibu kami. Al memang cerdas selalu meninggalkan kaos cadangan di tempat-tempat yang kerap ia kunjungi, contohnya tempat latihan tinjunya serta rumahku. Dengan sigap, ia memintaku mengambilkan kaosnya dari lemari pakaianku. Kebiasaan Al yang satu ini tak pernah membuatku kesal karena hanya inilah kebiasaannya yang bisa kuterima dengan akal sehat. Selebihnya Al adalah otak konyol dan jahil yang berbentuk manusia
Setelah memberikan Al kaosnya, aku menutup pintu kamarku untuk bersiap-siap. Terlahir sebagai perempuan, aku masih agak perhatian dengan penampilanku. Aku mengambil crop-top dan tank-top hitam serta celana bermotif mirip seperti hiasan pada atasanku. Kombinasi ini memberikan efek pecah yang digoreskab motif dari celana bahanku terhadap hiasan pada atasanku. Untuk aksesoris, aku hanya akan membawa tas vintage dan memakai kalung dengan hiasan bunga mawar di ujungnya. Setelah berpakaian, aku mengepang rambutku dengan model fishtail braid ke samping kanan. Al pernah berkomentar soal rambutku yang waktu itu kukepang seperti ini. Katanya, aku terlihat benar-benar seperti perempuan jika berdandan seperti ini. Kulayangkan satu tinju ke lengannya karena merasa setengah terejek oleh perkataan Al.
"Une! Buruan! Ibu gue sudah nelpon," seru Al dari luar kamarku.
"Bentar!" jawabku singkat.
Setelah selesai sempurna, aku keluar dan mengajak Al untuk mempercepat langkahnya untuk memakai sepatu dan menyalakan motor. Kupanggil Mbok Num untuk meminta izin padanya dan menitipkan rumah padanya sampai kami pulang. Mbok Num mengangguk dan berpesan hati-hati padaku.
"Cantik, Ne," komentar Al saat melihat riasanku.
"Mulai, kan, ngeledek," balasku berusaha menyimpan rona merah yang baru saja ditimbulkan Al di pipiku. "Udah, buruan!"
"Ya sudah, kalau enggak mau dibilang cantik," jawab Al putus asa. "Baik, Nona..."
Al pun menginjak pedal gas dan melajukan motornya ke tempat ibuku dan ibunya berada. Perjalanan kami memakan waktu kurang lebih satu jam dikarenakan ada sedikit kemacatan di jalan.
"Tante," ucapku seraya memberikan salam khas perempuan, cium pipi kanan-cium pipi kiri. "Bunda."
Al melakukan hal yang sama tanpa cipika-cipiki sepertiku. Tante Renata, ibunda Al, tak pernah alpa memujiku cantik dan manis. Awal mengenalnya dan mendengar ucapan itu darinya sempat membuatku salah tingkah apalagi Al sesekali mau menambahkan pujiannya di atas pujian ibunya itu. Namun, setelah berjalan dua-tiga tahun bersahabat dengan Al, pujian Tante Renata hanya memberikan efek rasa syukur padaku yang kadang tak pernah mau meyakini bahwa aku cantik. Aku memang tidak cantik.
"Tan, masa tadi kan, Al buatib aku brownies. Nah, kagetnya lagi tuh, browniesnya enak," ucapku di sela-sela sesi makan kami.
"Wah, Al, kamu bisa masak?" tanya ibuku kaget pada Al yang langsung memberikanku tatapan tajam yang sok membunuh.
"Hidden talent, Tan," jawab Al sekenanya membuat ibuku dan Tante Renata tertawa. "Lagian, Al tadi tuh, iseng sama Mbok Num. Berhubung tadi alasan Une enggak masuk sekolah tuh, gara-gara enggak enak badan, ya sudah, Al buatin brownies aja. Ya, sebagian besar sih, ide Al. Mbok Num yang merealisasikannya."
Tante Renata tersenyum, begitu juga ibuku. Entah apa yang berkeliaran di benak mereka saat ini, aku tak ingin tahu. Namun, keduanya menatap penuh harap padaku dan Al bergantian.
Mirip denganku, Tante Renata tak pernah tertutup dengan anaknya dan teman-teman anaknya. Tante Renata adalah oranf yang tanpa rahasia. Terbuka dan penuh kasih sayang. Berbeda dengan ibu yang kadang masih menutup-tutupi beberapa hal dariku, dari Al, dan dari orang-orang sekitarnya. Mungkin, sifatku ini menurun dari sifat Ayah yang begitu terbuka dan blak-blakan dalam berbicara.
"Kalian ini mirip banget sama waktu Tante dan papanya Al lagi pacaran. Main bareng, bolos bareng, bahkan karena kami enggak sekelas dulu, kami sempat bertukar absen di kelas," komentar Tante Renata membuat aku dan Al nyaris tersedak dengan makanan kami yang belum sepenuhnya turun ke lambung.
"Iya. Bunda setuju," tambah ibuku. "Dulu, jamannya Bunda sama Tante SMA, pacaran yang sehat tuh justru yang kayak kalian. Yang cowok selalu dekat ceweknya buat ngelindungin. Tapi, enggak pernah macam-macam. Terus, kalau mau main, ngajakin teman-teman yang lain. Kalau mau keluar berdua, nonton layar tancap, duduknya pasti di antara teman-teman yang lain. Naik motor, dulu sih, becak ya, pasti enggak seaneh anak sekarang. Pokoknya, beradablah."
Al terkekeh. "Tapi, Al sama Une enggak pacaran, Tan, Ma."
Aku mengangguk setuju. Ada sedikit rasa kecewa mendengar kata-kata itu dari Al. Namun, itulah kenyataannya dan aku tak boleh membiarkan perasaan aneh ini mengusik keistimewaan persahabatan kami.
***
"Tapi, Al dan Une enggak pacaran, Tan, Ma," ucapku diikuti rasa sesal yang teramat dalam. Aku melirik Une sesaat, melihatnya mengangguk setuju sungguh menyakitkan. Namun, aku tak boleh membiarkan perasaanku yang sudah tumbuh terlalu besar ini mengusik persahabatan ini. Kehilangan Une sebagai sahabat akan lebih menyakitkan daripada harus melihatnya bahagia bersama orang lain.
"Iya, Bun, Tan. Aku sama Al tuh, cuma sahabat. Kayak saudara sendiri. Lagian, Al juga sudah punya cewek incarannya, kok," tambah Une begitu naif membuatku tersudut.
Aku hanya menyunggingkan senyum pada mama dan Tabte Shania, bundanya Une. Cepat atau lambat, aku mau tidak mau bercerita pada mama tentang hal ini. Hampir lima tahun memendam perasaan pada Une dan menyembunyikannya dari mama adalah dua hal yang cukup berat yang harus selalu kubawa. Melihat Une tersakiti dua tahun lalu juga sungguh amat menyakitkan.
"Siapa, Al?" tanya mama.
"Nanti Al cerita ke mama pas di rumah. Supaya Une tambah penasaran," jawabku sambil tersenyum simpul pada mama dan Une.
Une menguncupkan bibirnya, kebiasaannya setiap kali tak bisa membantahku. "Jahat lo, Al."
Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan Une. Ne, sebenarnya siapa yang jahat? Gue yang sudah menanti lo selama hampir lima tahun tanpa lo menyadarinya atau hal sesepele gue yang belum bisa mengungkapkan perasaan gue ke lo, Ne? aku membatin.
***
Makan siang menjelang sore kali ini cukup menyenangkan karena dihabiskan dengan ibuku, Al, dan ibunya. Selain membahas aku dan Al, ibuku dan Tante Renata sempat berencana membuat liburan keluarga saat libur kenaikan kelas nanti. Aku teringat tantangan dari Fian. Libur bersama keluarga Al keluar kota akan menjauhkanku dari tagihan makan-makan keenam teman-temanku. Ide bagus.
"Setuju, Tan! Une setuju banget!" seruku sambil menyikut Al. Kemudian, aku merogoh tasku dan mengirimkan Al pesan mengenai tantangan Fian agar ia dapat menangkap maksudku.
Setelah membaca pesanku, Al tersenyum dan ikut berseru. Sifat kekanak-kanakan kami tak akan pernah luntur jika berhadapan dengan kedua ibu kami. Tante Renata dan ibuku hanya bisa tersenyum dan terkekeh.
Seusai makan, aku dan Al tidak langsung pulang. Kami berjalan mengitari pusat belanja dekat restoran tadi sebentar sampai waktu makan malam. Untuk menutup hari menyenangkan ini, aku mengajak Al makan malam bersama sekaligus membelikannya bensin seperti biasa. Kami pun pulang sebelum jarum jam menyentuh angka sembilan.
"Ne..." panggil Al sesaat aku hendak melangkah masuk ke rumah.
***
"Ne..." panggilku. Lo cantik, Ne, hari ini. Makasih, udah mau mengajak gue nemenin lo jalan.
"Apa?" jawab Une dengan sebuah pertanyaan.
"Tidur yang nyenyak, ya. Good night," salamku singkat sambil memberikan Une senyum tulusku. Une membalasnya. Ah, Une... Senyum lo memang selalu jadi hal terindah buat gue. Selamat tidur, Une.
Aku bergegas pulang. Kubawa senyum Une yang begitu tulus itu bersamaan dengan laju motorku dan deru angin yang menyambar helmku. Sudahkah lo menangkap maksud gue, Ne? Masih belum cukupkah seloyang brownies istimewa dan pujian dari gue untuk menyadarkan lo?
***
0 comments:
Post a Comment