Monday, January 27, 2014

A Sampai Z, Kita Punya Cerita (6)

Posted by Unknown
Chapter 1

1.6 "It's just a feeling that I have..." -Maroon 5.


Esoknya, setelah sehari izin tidak hadir di sekolah, aku kembali menampakkan wajah di hadapan teman-temanku. Anita memberikanku sejuta tatapan penasaran dan menuntut akan penjelasan yang teramat jelas perihal mengapa aku dan al bisa dengan kompaknya tidak hadir kemarin. Aku menarik nafas panjang sebelum menceritakan segalanya pada Anita. Selain Nadine dan keempat teman laki-lakiku, Anita cukup dekat denganku untuk bisa menguak beberapa hal dariku.
"Jadi, kalian tadi malem dinner? Berdua?! Ahh... So sweet!" seru Anita mulai terdengar menyebalkan.
"Apaan sih, Nit? Gue sama dia tuh, cuma sahabatan lama. Udah sering kali gue sarapan, makan siang, makan malam, bahkan bahkan camilan bareng sama dia. Udah enggak asing lagi kata 'barengan' antara gue dan Al, eh maksudnya Rizal," jelasku panjang lebar.
Anita tersenyum penuh arti sambil memandangku. Selang beberapa waktu, Al datang sambil berdebat hebat dengan Aqil. Bisa kutebak bahwa mereka sedang mendebatkan hal yang tak jauh berbeda dengan apa yang sedang kudiskusikan bersama Anita. Al menghampiri mejaku sambil menyerukan bahwa Aqil sebaiknya meminta penjelasan yang lebih padaku kalau ia tak mau percaya pada apa yang Al katakan.
"Oke, jadi, kemarin kalian makan malam bersama di kafe? Terus, yang bayarin lo, June?" tanya Aqil tepat pada titik berat masalah ini. "Cowok macam apa lu, Al? Masa pacaran yang ngasih ongkos ceweknya?"
Aku kaget setengah ingin mendepak Aqil atas ucapannya. Pacaran?! Sejak kapan rumor ini beredar? Ah, pasti ini kerjanya Anita dan Aqil sendiri pintar-pintar mereka merangkai gosip. Dasar!
"Sumpah, demi langit dan bumi serta pencipta-Nya Yang Mahaagung, gue dan Rizal enggak ada apa-apa. Kita enggak pacaran. Kita cuma bersahabat," balasku setengah menekankan pada kata 'enggak'. Ada sedikit rasa yang ganjil di hatiku saat mengucapkan kalimat deklarasi itu. Aku melirik Al sekilas, mengharapkan setidaknya ada rasa tidak setuju. Sedetik kemudian, aku tersadar bahwa baru saja aku mengharapkan sesuatu yang tak seharusnya pernah kuharapkan. Ah, ada apa denganku?!
"Harusnya, kalian berdua cukup pintar dan sadar dong, sudah dua tahun mengenal gue dan Rizal. Kita cuma bersahabat dekat dan lama. Ya, wajar aja ya, setiap saat pasti kalian selalu melihat gue diekorin dia dan dia mengekor gue ke mana-mana," ucapku membuyarkan pikiranku sendiri. "Ya kan, Al?"
Sambil menunggu jawaban Al dan mendengarkan protes keras Anita dan Aqil, aku setengah berharap Al akan menjawab kontra dari apa yang sudah kunyatakan. Ada secercah harapan yang tiba-tiba saja, setiap ada yang mengungkit perihal kedekatanku bersama Al, pasti akan muncul dan mengapung di permukaan. Harapan yang entah mengapa terasa teramat wajar bagiku jika melihat dan menjalani apa yang sudah kujalani bersama Al selama ini. Terkadang dalam lamunanku akhir-akhir ini, pertanyaan itu perlahan semakin membentuk wujud yang nyata. Sudahkah waktunya aku jatuh cinta...pada Al? Apalagi kami sudah sangat akrab selama hampir empat tahun. Bukankah empat tahun waktu yang sudah terlalu lama untuk terlalu naif menganggap semua rasa nyaman dan aman kami sebatas kasih sayang antarsahabat? Apakah segitu kabur harapan ini sampai-sampai baik aku atau mungkin Al tak mau ambil pusing untuk memikirkannya?
"Iya. June benar, tuh. Harusnya lo, Qil, dan lo, Nit, sudah bisa paham kalau kedekatan gue dan June hanya sebatas sahabat baik. Bahkan bisa dibilang sangat baik dan sangat dekat. Jadi, ayolah... Berpikirlah rasional dan realistis, kami makan malam bersama adalah hal yang teramat wajar dalam hal ini. Oke? Sekarang perdebatan kita selesai, kan?" jawab Al yang tanpa sadar membuat hatiku terasa sangat sakit. Namun, aku berusaha menyangkalnya dan tidak memikirkannya.
Al menyunggingkan senyumnya padaku. Hatiku terlalu sakit untuk membalasnya dengan senyum tulus. Sebisa mungkin aku memamerkan lekuk palsu di atas bibirku agar Al tak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Ya Tuhan, mengapa aku jadi penuh rahasia dan galau seperti ini?

"Nih, minum dulu. Jangan kebanyakan bengong," sapa Al mengacak lamunanku. Aku terkekeh malu karena tertangkap basah sedang melamun.
"Makasih," ucapku singkat. Sambil menyeruput minuman pemberian Al, aku kembali melamun.
"Ne, Al! Gimana nih, perjuangan kalian?" sapa Esa yang muncul entah dari mana.
"Perjuangan apaan?" tanyaku bingung, tepatnya bodoh.
"Itu loh, soal pesta dansa dan tantangan dari Fian. Asli, gue jadi susah buat ngedeketin gebetan gue kalau peraturannya serumit itu," komentar Esa panjang lebar.
Terimakasih, Esa, omonganmu baru saja membawakan mimpi buruk yang akhir-akhir ini tak pernah alpa dari malamku. Aku mengutuk Esa sepenuh hati sambil menghiraukan pertanyaan dan komentarnya.
Al lagi-lagi mengacak lamunanku, kali ini dengan tawa renyahnya. "Gue juga bingung, Sa, Ne. Ada cewek yang udah lama banget jadi pusat perhatian gue. Tapi, masalahnya adalah itu cewek enggak pernah sadar akan kehadiran dan perhatian gue. Yang lebih jadi masalah lagi, gue enggak tahu deh, bakal punya nyali atau enggak buat ngajak dia ke pesta dansa."
Argh! Topik tentang pesta dansa dan perempuan istimewa Al! Lagi-lagi hal ini. Kenapa harus selalu pesta dansa dan perempuan itu? Rasa perih itu kembali lagi tertoreh dalam hatiku membuatku perlahan-lahan membenci Al setiap kali ia mengungkitnya. Dan saat ini adalah salah satu momen di mana rasa benci dan kesalku terhadap Al memuncak. Tanpa sadar, aku beranjak pergi meninggalkan Esa dan Al berdua. Tak perlu aku membalikkan badan pun, aku tahu mereka bingung dengan sikapku. Dan sama seperti mereka, aku juga sedang bingung dengan sikap serta perasaanku sendiri.
"Une!" panggil Al lantang menarik beberapa perhatian siswa yang sedang ramai memenuhi koridor. Dengan cepat Al menyamai langkahku. Salah tingkah, aku pun hanya bisa memalingkan wajahku dari tatapan Al yang terlihat sangat bingung.
"Une, lo kenapa?" tanya Al. Iya, Ne, lo kenapa? batinku menggemakan pertanyaan Al yang menurutku sudah cukup jelas dan tidak perlu diulang.
Aku tersenyum lalu menggeleng. Kebiasaan bodoh yang selalu membuatku gagal berbohong di depan Al. Dan Al tahu inilah kelemahanku. Al menatapku dengan seribu pertanyaan terpancar dari matanya. Ia tahu aku sedang menyimpan sesuatu dan tak berani mengungkapkannya. Namun, membicarakan perasaanku pada Al sama saja membeberkan rahasia yang beberapa hari terakhir ini mulai memenuhi rongga otakku. Apalagi, sebagian besar menyangkut Al dan aku serta hal-hal yang kami ikutsertakan di atas alibi persahabatan. Naif!
"Enggak ada apa-apa dan gue baik-baik aja. Gue cuma lagi enggak stabil aja," jawabku tak memberikan kepuasan untuk Al. Putus asa, Al pun mengangguk lesu. Ia tahu aku tahu aku sedang berbohong. Aku tak akan menyangkalnya.
"Une yang gue kenal selama ini paling anti sama yang namanya nutup-nutupin perasaan," ucap Al begitu tepat mengenai hatiku. Kemudian entah berniat untuk membuatku mengungkapkan segalanya, Al berlalu begitu saja di sampingku. Kesal, aku mengejarnya.
"Nanti deh, gue kasih tahu lo apa yang lagi berkeliaran di dalam kepala gue. Jangan kaget aja," balasku setengah tak sadar aku baru saja akan menelan pahit kenyataan yang akan terlontar dari mulut Al ketika nanti aku memberi tahunya. "Lo kenapa kepo banget, sih?!"
Al tersenyum puas saat berhasil merayuku dengan ucapannya yang telak tadi. "Gue kepo karena gue peduli sama lo, Ne. Lo mau gue enggak memedulikan lo dan beralih memedulikan orang lain?"
Gengsi, aku menjawab, "Enggak masalah. Lagian harusnya nih, ya, lo harus bergerak lebih cepat sekarang untuk mengejar cewek impian lo itu. Otomatis, cepat atau lambat juga lo enggak akan sepeduli ini sama gue. Iya, kan?" Pernyataanku baru saja menuai luka baru di hatiku. Namun, yang kukatakan barusan adalah kemungkinan besar yang akan terjadi jika perempuan yang dikejar-kejar Al menerima kebaikannya sepenuhnya. Kasarnya, ia akan mengambil Al dari sisiku membuat Al melupakan janjinya.
"Kok, lo ngomongnya gitu, Ne? Gue kasih tahu ya, sama lo. Mau sesayang apapun gue sama calon cewek gue itu, masih lebih sayang lagi gue sama lo. Lo sahabat gue dan lebih baik gue mati menjomblo bareng lo daripada harus taken dan melihat lo ngejomblo sendirian," ucap Al tak pernah bisa mengatakan sesuatu yang serius. Bahkan dalam situasi seperti ini. Aku menoyor kepalanya pelan dan tersenyum kecut. Diam-diam dalam hati, aku tahu kalau apa yang dijanjikan Al barusan adalah janji yang dapat kupercaya. Al, meskipun penuh dengan kekonyolan dan gurauan, tetap saja pemegang janji yang teguh.

Jam pelajaran sehabis fisika kebetulan kosong. Kebiasaan kelasku saat pelajaran kosong cukup unik. Kami sering kali berbondong-bondong meninggalkan kelas menuju kantin. Jika ada yang bertanya sepanjang perjalanan singkat kami menuju kantin, dengan sangat mudah dan tak berdosa kami akan kompak menjawab  sedang ada tugas ekonomi kolektif. Dengan jawaban seperti itu, tak akan ada yang protes kami pergi ke kantin sesuka hati. Kali ini, syukurnya tak ada yang bertanya. Sesampainya di kantin, kami semua agak kaget melihat anak kelas lain mengalami keberuntungan yang sama.
Aku dan Anita langsung tanpa basa-basi mengantre di kedai soto langganannya. Sambil bercakap-cakap tentang hal-hal yang sungguh tak penting, kami menunggu pesanan di dekat kedai tersebut. Anehnya, aku merasa seperti sedang diperhatikan oleh seseorang yang tak jauh dariku. Bukan Al, tenang saja. Al sedang sibuk bersama Aqil dan Dadan mengganggu penjual jus di ujung kantin ini.
"June, itu si anak baru kenapa serius banget melihat ke lo?" tanya Anita iseng sekaligus menjawab dugaanku. Anak baru? Zeus?
"Siapa?" tanyaku takut-takut dan tak kuat harus mendengar apa yang tidak ingin kudengar dari Anita.
"Siapa namanya? Yang kayak nama Dewa itu, loh. Aduh, yang ada di film yang pernah kita tonton," jawab Anita susah payah mengingat nama sesederhana itu. Aku sengaja tak mau mewakilinya untuk menjawab. Tiba-tiba, suara lain datang dari belakang Anita.
"Zeus," ucap sang pemilik suara yang tak asing lagi di telingaku. "Nama gue Zeus."
"Ah, iya!" seru Anita bahagia sambil berbalik menghadap orang yang bersangkutan. "Anita. Ini June."
Kulihat Zeus dengan mantap menjabat tangan Anita seperti dulu dia menjabat tanganku saat awal berjumpa. Anita memberikan Zeus senyumnya dan dengan sangat tulus Zeus membalasnya. Mau tak mau, akibat perkenalan singkat Anita dengannya, aku jadi harus ikut menjabat tangan Zeus. Mengulang kembali masa lalu di saat awal bertemu dengannya. Aku tersenyum sekenanya saat pandanganku dan Zeus bertemu. Sumpah, seantusias apapun Anita memperkenalkan aku pada orang ini, aku tak akan mau lagi kenal dengannya. Cukup dua tahun bersamanya dan terperangkap dalam tipuan busuknya hanya untuk terlihat teramat bodoh di hari perpisahan kami. Kalau kupikir lagi, untuk apa dulu aku menangis hebat karenanya?
"Neng, sotonya mau ditaruh di mana?" tanya ibu-ibu penjual soto membuyarkan kilas balik singkat yang baru saja terjadi di dalam benakku.
"Oh iya, di meja itu aja, Bu. Yang ada Rizal dan kawan-kawannya," jawab Anita sambil menunjuk meja tempat Al, Aqil, dan Dadan sedang tertawa-tawa setelah puas mengganggu penjual jus. Ibu penjual soto pun berjalan membawa nampan berisi pesanan Anita dan aku menuju meja tersebut. Tanpa segan sekali pun, Zeus mengekor kami yang berjalan di belakang ibu penjual soto menuju Al.
Setibanya di meja Al, aku langsung mengutuk diriku sendiri telah mempertemukan dua orang yang seharusnya tak boleh bertemu. Rahang Al mengeras melihat aku yang diekori musuhku sendiri. Tatapan Al langsung tertuju padaku meminta penjelasan tentang apa yang sedang dilihatnya. Aku membalas tatapan itu penuh pengharapan agar Al mengerti saat ini bukan waktu yang tepat untuk memulai keributan. Aku tak mau Anita, Aqil, dan Dadan sekali pun tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara Zeus, Al, dan aku dulu.
"Zal, Qil, Dan, ini namanya Zeus. Anak baru yang dari Singapura itu," ucap Anita riang sambil memperkenalkan Zeus pada teman-teman kami. Zeus hanya memberikan mereka senyum andalannya yang misterius tapi selalu bisa membuat orang penasaran. Al bergeming, dingin dan emosi membalut sekujur postur tubuhnya. Aku mengerti situasi ini. Maafkan aku, Al. Tapi ini semua karena ada Anita, batinku memohon.
"Duduk aja," ujar Aqil mempersilakan Zeus duduk. Sangat kebetulan, satu-satunya tempat yang tersisa untuknya duduk adalah di sampingku.
"Enak ya, lo pernah sekolah di Singapura," komentar Anita sambil mengaduk-aduk kuah sotonya yang terlihat menggiurkan. "Kok, pindah?"
Zeus tertawa ringan. "Biasa aja. Lebih enak sekolah di Indonesia. Orang-orangnya lebih hangat dan bersahabat," jawab Zeus singkat sesekali mau menjatuhkan lirikannya padaku yang tepat di sampingnya.
"Oh, jadi karena orang Indonesia bersahabat, lo bosan di Singapura?" tanya Dadan retoris. Zeus mengangguk pasti.
"Gimana di sini?" tanya Anita lagi. "Maksud gue, sekolah di sini gimana? Pasti banyak banget ya, fasilitas yang enggak secanggih di sana?"
Zeus tersenyum setuju. "Tapi, enggak ada masalahnya sama fasilitas ataupun karakter sekolahnya. Dari dulu, orangtua gue selalu bilang, kalau memang kita mau sukses, jangan bergantung sama sekeliling kita."
Aqil manggut-manggut sok mengerti, Dadan pun begitu. Anita seolah tersihir oleh perkataan Zeus. Aku dan Al bergeming tak memberikan komentar apa pun. Mengenal dan mengetahui masa lalu Zeus yang dulu sempat jadi bintang sekolah, tak heran kata-katanya begitu berisi dan cerdas. Untuk urusan ini, kekagumanku padanya tak akan pernah surut. Selain urusan prestasi, aku tak akan pernah mau mengagumi orang seperti Zeus sekali pun dia berubah menjadi ulama hebat dan cerdas. Namun, kurasa itu tak mungkin.
"Gue pamit ke kelas dulu, ya. Mau lihat ada tugas apa enggak," ucap Al tiba-tiba. Melihat reaksi Al seperti itu, aku jadi semakin merasa bersalah. Tapi, ini impas buat kami. Akhir-akhir, selalu saja ia mengungkit topik tentang perempuan incarannya. Kini, bolehlah Zeus mengusiknya sedikit saja untuk membalaskan kesalku padanya.
"Ne, lo enggak nyusul?" goda Aqil membuatku tersenyum.
" Ya sudah, gue juga mau nyusul Al ke kelas. Kalian lanjut aja ngobrolnya. Gue bisa lain kali, kok," ujarku sambil menyudahi makanku. Gue sudah cukup kok, menguak asal-usul Zeus dan kehidupan masa lalunya, aku membatin.
Al belum jauh melangkah menuju kelas kami yang hanya berjarak beberapa meter dari kantin. Aku mengejarnya dan memanggil namanya agar menungguku. Seperti biasa, Al benar-benar menunggu kedatanganku untuk menyamai langkahnya. Ingin sekali aku memohon maaf yang teramat sangat pada Al atas perbuatan Anita yang memang tidak salah, namun begitu ganjil jika berurusan dengan Al dan aku. Tapi, sekali lagi, aku menganggap ini balasan  kecil untuknya karena terlalu sering mengungkit urusan perempuan incarannya di hadapanku. Biarlah kali ini, aku kembali dalam masa lalu dan mengenang manisnya masa bersama Zeus. Kali ini saja, hanya sekali dan setelah itu aku akan kembali membencinya. Aku hanya ingin membuat Al sedikit merasa bahwa jika ia terus membicarakan perempuan itu, aku tak akan segan meninggalkannya sebelum aku ditinggalkan bersama janjinya.
"Hebat," ucap Al singkat. Amarah dan ketegangan kurasakan dalam sepatah kata yang baru saja keluar dari mulutnya. Aku menunduk bersalah.
"Tadi, Anita yang ngajak dia duduk bareng kita," jelasku takut-takut. "Bukan salah lo dan gue juga, Al. Dan bukan salah Anita juga. Dia enggak tahu apa-apa."
Al tersenyum pahit. "Gue gagal ya, menjalankan janji gue? Tidak akan pernah ninggalin lo dan tidak akan pernah biarkan si Zeus itu menyentuh lo. Haha... Busuk. Maafin gue tadi gue malah lebih memilih untuk ngegodain mbak-mbak tukang jualan jus daripada ngekorin lo sama Anita kayak biasanya. Maafin gue juga, gara-gara gue si Zeus jadi duduk persis bahu ke bahu di samping lo."
Maaf Al tidak tulus. Terlalu sinis untuk sebuah permohonan maaf.
***
Aku tersenyum terpaksa pada Une. "Gue gagal ya, menjalankan janji gue? Tidak akan pernah ninggalin lo dan tidak akan pernah biarkan si Zeus itu menyentuh lo. Haha... Busuk. Maafin gue tadi gue malah lebih memilih untuk ngegodain mbak-mbak tukang jualan jus daripada ngekorin lo sama Anita kayak biasanya. Maafin gue juga, gara-gara gue si Zeus jadi duduk persis bahu ke bahu di samping lo."
Permohonan maafku barusan benar-benar murni luapan emosiku. Melihat Zeus kembali dekat dengan Une, meskipun karena kebetulan saja ada posisi kosong di samping Une tadi, sungguh membuatku tak rela. Tak rela kalau-kalau kedekatan sesederhana itu akan mengundang kembali perasaan dan kenangan manis antara mereka. Karena jika itulah yang terjadi nanti, aku tak akan pernah sanggup untuk memertahankan janjiku pada Une. Menjadi sahabat dan tumpahan keluh kesahnya selama empat tahun ini saja sudah sangat berat. Apalagi harus membiarkannya bersama orang yang dulu pernah menyakitinya untuk kedua kali. Mau diapakan perasaan ini? Kutelan sementah itu tanpa ada bumbu lain?

0 comments:

Post a Comment

Blog List

 

Re-A-Lis-Tic Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos