Monday, January 27, 2014

A Sampai Z, Kita Punya Cerita (7)

Posted by Unknown
Chapter 1

1.7 "I have loved you for a thousand years." -Christina Perri.


"Al, lo enggak salah, kok. Enggak ada yang salah. Lo dan janji lo masih gue simpan rapat-rapat di ingatan gue," ucap Une mencoba mengurangi rasa sesal dan kesalku. "Lagian, meskipun tadi jantung gue olahraga pas Zeus duduk di dekat gue, tetap aja itu cuma karena kebetulan ada bangku kosong di sebelah gue. Masa tega banget dia kita suruh duduk semeter jauhnya dari kita. Padahal, tadi gue lihat Anita antusias banget ngajakin Zeus ngobrol. Bersikap sedikit untuk menutupi masa lalu enggak ada dosanya, Al."
Aku menarik nafas panjang dan berat. Perkataan Une ada benarnya. Namun, tetap saja. Aku masih mengingat dengan sangat jelas bagaimana takut dan gemetarnya cewek yang ada di sampingku saat ini ketika dihadapkan kembali dengan manusia, tepatnya iblis, dari masa lalunya itu. Aku cukup salut dengan sikapnya yang tegar.
"Ya sudah, kita enggak usah urusin masalah ini. Asal lo juga janji sama gue, Ne, jangan pernah lo biarkan dia masuk ke kehidupan lo lagi," ujarku penuh harap. "Soalnya, enggak cuma lo doang yang menderita kesakitan. Gue, Anita, Nadine, Fian, Esa, Rangga, bahkan Aqil dan Dadan sekalipun pasti bakal ngerasain sakit yang sama kayak lo. Ya, terutama gue. Karena kalau lo enggak jaga diri dari dia, sama aja gue udah gagal memenuhi janji gue."
Une memberikan senyumnya. Senyum yang teramat indah dan mempesona yang tak akan pernah bisa kuhapuskan dari hidupku. Senyum yang selalu hadir baik di siang dan malamku saat aku sedang bermimpi. Ne, dan karena senyum lo yang begitu indahlah gue enggak akan pernah rela Zeus dekat-dekat dengan lo untuk hanya menghilangkannya saja.
"Iya, Al, gue janji," jawab Une mantap sambil melingkarkan lengannya di lenganku. "Gue masih punya satu janji buat ngasih tahu lo tentang masalah gue, ya? Ingat, kan?"
Aku tersadar akan pertanyaan Une. "Iya, ya. Ya sudah, nanti kita sebelum sampai rumah makan dulu di mana gitu sambil gue dengarkan lo curhat." Dengan jawabanku, Une pun tersenyum simpul.

Seusai pelajaran terakhir, aku dan Une bergegas meninggalkan gedung-gedung tua ini agar bisa dengan cepat saling bercerita. Entah kenapa, aku begitu semangat untuk mendengarkan curahan hati Une kali ini. Padahal, sudah seribu kali aku menjadi jurnal berjalannya yang menampung ribuan keluh kesah dan pertanyaan-pertanyaan konyolnya.
Kami memesan satu meja di sebuah restoran cepat saji. Sambil memilih-milih menu, aku memerhatikan Une yang sibuk dengan ponselnya. Tebakanku satu, Anita dan rentetan pertanyaan penuh rasa penasaran tentang keberadaan Une dan aku saat ini. Mendengarkan Anita dan Aqil yang sangat ngotot mengatakan bahwa aku dan Une sudah pacaran menghadirkan rasa tersendiri di hatiku. Seperti ada gema yang mengaminkan setiap kata dan praduga mereka. Seperti ada yang mengaminkan dengan harapan setiap kali Aqil atau Anita meledek hubungan aku dan Une. Ini akan terdengar sangat banci saat aku mengucapkannya, tapi kalau boleh jujur, apa benar aku dan Une hanya sebatas sahabat?
"Al, itu ditanya mau pesan apa," tegur Une yang menangkap lamunanku.
"Oh, iya. Saya pesan spaghetti aja, Mbak. Minumnya iced lemon tea," pesanku pada pelayan yang sudah dari tadi menanti pesananku. "Ne, lo udah pesan?"
Une tertawa. "Lo tulalit banget sih, Al. Gue udah dari tadi cerewet nyuruh Mbak-nya nulis pesanan. Lo aja tuh, ngelamun melulu. Sama aja kayak gue."
Giliranku yang menyengir malu. "Maaf ya, Mbak."
Si pelayan tersenyum simpul dan mengulai pesanan kami. Aku dan Une kompak mengangguk seusai ia membacakan seluruh pesanan kami dan meminta kami menunggu sekitar 20 menit sampai pesanan diantar. Aku menatap Une penuh tanya. Dengan cepat Une menangkap maksudku. Ia pura-pura tak mau tahu dan tak mau bicara. Aku menyenggol kakinya yang berada tepat di dekat kakiku di bawah meja makan ini.
"Al!" bentak Une terganggu menghadirkan tawa di wajahku.
"Makanya, ceritaaaaaaa!" rengekku seperti seorang adik kecil. Une sudah biasa menghadapi sikap kekanak-kanakanku, apalagi gurauan yang kerap kulontarkan di sela-sela curahan hatinya.
Une menarik nafas membuatku semakin deg-degan. Kemudian, ia pun bercerita tentang semuanya.
***
"Al!" kubentak Al sepenuh hati karena kesal dengan senggolan kakinya yang amat mengganggu.
"Makanya, ceritaaaaaaa!" rengek Al seperti seorang anak kecil. Bersahabat dengannya, hal seperti ini sudah sangat wajar. Apalagi nanti pasti Al akan melontarkan seribu gurauan dan ledekan untukku saat aku mulai bercerita. Aku menarik nafas panjang seraya menguatkan diriku sendiri untuk mengungkapkan isi pikiranku pada Al. Al sahabatku, bukan? Dia pasti mengerti.
"Jadi, akhir-akhir ini tuh, gue kepikiran lo terus. Enggak tahu kenapa, ya. Jangan kegeeran. Apa mungkin karena Anita sama Aqil ribut banget soal kita makan bareng dan bolos, eh maksudnya izin, bareng kemarin. Gue enggak ngerti kenapa," beberku menelanjangi isi pikiranku sendiri. "Terus, soal pesta dansa itu. Gue agak ngerasa risih setiap kali harus mendengarkan lo, Esa, Nadine, Fian, bahkan Rangga sekali pun di SMS ngomongin itu melulu. Terutama lo sama Fian yang suka banget bawa-bawa cewek incaran kalian ke topik ini. Gue ngerasa kekalahan gue semakin tercium gitu dan penderitaan gue menjabat sebagai jomblo semakin berasa. Esa-Nadine mah, bahagia udah pasti bakal datang berdua menantang segala aturan Fian. Rangga paling ngajak Anita atau siapa itu namanya, Winda? Dinda? Ninda? Siapalah itu... Dia suka cerita sama gue. Ah, pokoknya gue bosen sama cerita kalian."
Al tertawa terbahak-bahak mendengar curahan hatiku. Sudah kuduga akan seperti ini reaksi darinya. Diam-diam aku menyesali keputusanku membeberkan isi kepalaku pada Al. Anak ini pasti tak akan pernah meresponku secara serius. Tak akan benar-benar pernah memberikanku saran bermutu.
"Cieeee kepikiran gue. Jadi, salah tingkah gini gue," ledek Al sambil kembali menyenggol-senggol kakiku. "Mungkin nih, Ne, lo mulai suka sama gue. Jadi, kepikiran terus. Suka ngelamun mikirin gue terus. Atau pas nulis rumus fisika, harusnya angka sama huruf, lo malah nulis nama gue. Ayo, ngaku!"
Aku menampar tangannya yang berada di atas meja. Susah payah aku menutupi rona merah yang muncul di wajahku selama Al menggodaku seperti itu. Sialan, Al! Lagi pula, mengapa aku sesalah tingkah ini?! Anggap saja Al bercanda, Ne. Jangan dianggap serius.
"Kan, mulai salah tingkah gitu. Itu pipinya merah banget," goda Al berusaha meraih dan mencubit pipiku. Berhasil. Ia berhasil membuat jantungku berdegup lebih cepat dari sebelumnya, ia berhasil membentuk rona merah muda di kedua pipiku, ia berhasil membuatku tersenyum tanpa alasan. Selamat, Al!
"Al! Apaan, sih. Jangan kegeeran deh, lo. Maksud gue tuh, gue kepikiran lo terus karena keseringan digosipin ini-itu sama si Anita dan Aqil. Makanya, mungkin kepikiran. Geer banget sih, lo!" ledekku kesal karena merasa amat tersudut oleh tatapan Al yang penuh godaan.
Al tertawa sambil menepuk kedua pipiku dengan telapak tangannya. "Enggak apa-apa juga lo suka sama gue. Setidaknya, kalau kita pacaran, si Fian enggak bisa maksa kita buat traktir karena kalah tantangan. Ya, kan?"
Al! Tak cukupkah rona merah dan degup jantung yang nyaris terdengar ini untuk kata-kata barusan? Kenapa harus dibangunkan harapan yang sudah susah payah kuredam akhir-akhir ini? Apa di ujung sana ada harapan yang sama yang akan saling menjawab nantinya? Al, sialan!
"Ih, ngarep banget, sih," ucapku sok jaga sikap. Aku pura-pura mendiamkannya, padahal kenyataannya, aku berusaha mendiamkan gejolak hatiku sendiri. Al membalasku dengan tawanya yang entah mengapa terdengar sangat renyah dan menghangatkan.
"Soal pesta dansa, lo enggak perlu ngerasa jomblo banget, Ne. Sumpah, gue dan cewek itu tuh, benar-benar... ya... Duh, gue enggak bisa bilang ke lo. Nanti, lo tambah kepikiran sama gue," ledek Al sambil cengar-cengir kuda. Wajahnya kini benar-benar ingin kubalut dengan sejuta kain pel agar tidak memberikan efek macam-macam pada hatiku. Al kembali tertawa mencairkan segalanya.
"Idih, percaya diri banget, ya," ucapku sinis. "Atau, jangan-jangan lo yang suka sama gue, Al. Makanya lo pura-pura ngeledek gue."
Al tertawa renyah. "Idih." Hanya itu. Hanya sepatah kata namun berhasil membuat diriku bertanya-tanya apa yang ada dalam benak Al.
"Jadi, lo kapan mau mengusahakan cinta lo?" tanyaku iseng sambil memainkan garpu yang ada di samping tanganku. Sejujurnya, aku tak mau mendengar jawaban Al. Namun, aku terlalu penasaran akan isi kepalanya yang tak pernah seterbuka isi kepalaku.
Al tersenyum penuh makna menghasilkan pertanyaan besar. Seraya dengan itu, lagi-lagi degup jantungku mempercepat temponya. Kenapa aku ini?
***
"Jadi, lo kapan mau mengusahakan cinta lo?" tanya Une sambil memainkan garpunya. Aku menatapnya lekat-lekat tanpa sepengetahuannya. Ada goresan yang berbeda di mata Une saat bertanya akan hal ini. Ada sebuah tatapan yang tak jauh berbeda dengan tatapanku saat kami bergurau tentang perasaan kami.
Sebelum menjawab aku tersenyum pada Une, mencoba memancing rasa penasarannya. Aku mengingat lagi betapa merah merona pipi Une saat aku menggodanya. Une memikirkanku akhir-akhir ini. Apa karena itu aku merasa agak aneh di dekatnya? Tapi, ia memikirkanku. Mengkhawatirkan pilihanku akan pasanganku untuk pesta dansa. Oh Une, apa lo merasakan hal yang sama? Setengah berharap aku memojokkannya dengan praduga-pradugaku. Une semakin terlihat malu dan salah tingkah. Tuhan, bolehkah aku berharap akan adanya jawaban yang sama atas harapanku? Bolehkah aku berharap akan hati Une yang mungkin juga sedang berharap padaku? Namun, mengapa aku begitu yakin?
"Jadi?" tanya Une sekali lagi membuatku semakin tersenyum. Akhirnya, aku berhasil membuatnya penasaran.
"Februari udah dekat, ya, Ne? Lo mau tahu banget soal rencana gue? Oke," jawabku sambil menyusun rencana untuk mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya pada Une. "Nanti, beberapa hari lagi tepatnya, lo bakal tahu siapa cewek yang selama ini susah banget menyadari keberadaan gue."
Une tersenyum. Senyum yang berbeda. Senyum terluka. Ne, apa lo benar-benar menjawab harapan gue?
"Jangan takut, gue enggak akan bikin lo semakin menyedihkan, kok. Lo enggak akan pergi ke pesta dansa sendirian," janjiku.
***

0 comments:

Post a Comment

Blog List

 

Re-A-Lis-Tic Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos