Friday, January 24, 2014

A Sampai Z, Kita Punya Cerita (2)

Posted by Unknown
Chapter 1

1.2 "Teach me how to play this game."

Pelajaran Bahasa Indonesia berhasil memberikan efek tawa yang tak kunjung berhenti hingga jam pelajaran berganti. Kami membicarakan teks anekdot berisikan lelucon lucu tentang aib-aib dan kericuhan di bidang ekonomi, politik, dan sosial dalam Indonesia. Seusai menyampaikan materi ajar, guru kami membacakan teks anekdot karangannya tentang si Fulan dan hakim yang jatuh cinta. Ah, lagi-lagi ada kata itu. Cinta. Namun, seisi kelas tetap tertawa karena karangan guru kami amat menggelitik.
"Bayangkan saja, si hakim membela wanita itu karena dia jatuh cinta. Itu semacam sogokan gitu, ya?" komentar Anita polos. Aku tertawa.
"Aku mencintainya, Fulan. Dan aku membencimu. Maka, sidang ini kita sudahi dan kau, Fulan, aku masukkan dirimu dalam penjara!" ucap Al sambil berdiri di atas kursi beradu akting dengan Aqil.
"Tapi, Yang Mulia Hakim, Anda saja tak melihat kesalahan saya apa!" balas Aqil dengan ekspresi wajah yang lucu.
"Tuan Fulan, cinta itu buta," Al berkata. "Dan hamba sudah dibutakan oleh cinta Nona ini."
Al menyuruhku berdiri sambil menyodorkan telapak tangannya padaku. Aku membalas kekonyolan Al dengan senang hati.
"Oh, Yang Mulai Hakim, aku amat tersanjung. Perkasa sekali si cinta itu sampai mampu membutakanmu akan salahku yang sudah mencuri hatimu," balasku sambil seolah-olah tersipu oleh rayuan Al. Seisi kelas bereaksi.
"Yang Mulia Hakim, kalau saya ikut mencuri hatimu, akankah saya keluar dari penjara?" ucap Aqil mulai keluar dari topik.
"Sumpah, Qil, gue akui lo ganteng dan agak cerdas, tapi maafkan gue, Qil, gue masih normal," balas Al membuat anak-anak sekelas tertawa terpingkal-pingkal.
"Penonton kecewa!" seru Dadan yang dari tadi belum bereaksi dan hanya tertawa-tawa.
"Ya sudah, kalau Yang Mulia Hakim menolak cinta saya, Nona saja bagaimana?" sambung Aqil memandangkj dan memberikan kedipan sebelah mata padaku. Aku tak kuat menahan gelitik tawa akibat opera kecil ini.
"Nanti saya dimasukkin penjara sama Pak Hakim," ucapku seraya menatap Al.
"Huft. Baiklah, gue sama Dadan aja," ucap Al sambil melompat dari kursinya. "Yuk, Dan!"
Aku dan Aqil pun turun dari kursi kami. Pertunjukkan selesai meskipun efek tawa yang dibawanya belum usai. Aku tak kuasa untuk tak tergelak melihat Al dan Dadan mengitari kelas sambil bergandengan tangan mesra. Anita sudah hampir tak sanggup bernafas melihat aksi Al dan Dadan.
"Ah, cucok banget, deh," seru Aqil sok cemburu.
"Udahan, ah. Lama-lama gue jijik, Bro," ucap Dadan pada Al.
"Sama," balas Al geli.
Tiba-tiba saja kenop pintu kelas bergoyang membuat baik Al maupun Dadan kaget dan langsung melarikan diri ke tempat duduk mereka lagi. Bu Astri masuk dengan wajah familiarnya yang tak kenal senyum. Guru ini mengajarkan Bahasa Inggris dan kalian harus tahu, belajar Bahasa Inggris tanpa senyum itu adalah satu dari sekian banyak stres di dunia ini.

"Kantin, Ne," ajak Al setelah aku memasukkan bukuku kembali ke dalam tas. "Fian barusan sms ada yang mau dia bicarakan."
"Fian? Fiantro? Tumben," ucapku. Kurapikan rokku sesaat setelah berdiri dari kursi. "Ayo!"
Aku dan Al berjalan beriringan menuju kantin. Satu-satunya hal tentang sekolah ini yang membuatku nyaman adalah posisi kelasku yang tak jauh dari kantin. Selain itu, aku cukup membenci sekolah ini. Alasanku sederhana, mereka semua tak pernah puas akan keterbukaanku dan terus mengusik apa yang mereka kira kusembunyikan. Ada saja pertanyaan tentang ini-itu yang melayang di antara udara yang kuhirup. Tak hanya pertanyaan, tapi pernyataan yang spekulatif dan subjektif juga mengambang di sekitarku. Dari hal sepele seperti merek sepatu sampai hal sentimentil tentang keluarga dan teman-temanku, terutama Al.
"Sudah lewat setahun di sini, Al, gue masih aja risih sama mereka," keluhku sambil terus berjalan.
"Nih, cara untuk tidak memedulikan mereka cuma satu, jangan pernah bersihkan telinga lo sampai lo merasa sudah tuli," kata Al memberikan saran konyolnya. "Kalau lo melakukan saran gue, yakin deh, enggak akan ada lagi suara-suara mereka yang terdengar menyebalkan."
"Ya iya, Al. Soalnya, telinga gue juga ikut ketutupan sama kotoran. Jadi tuli," balasku gemas dengan kekonyolan Al. Kadang aku membencinya karena tak pernah menganggap apapun serius. Tak terkecuali pelajaran sekolah.
"Eh, Ne, kira-kira Fiam mau bicara tentang apa?" tanya Al tiba-tiba. "Gue jadi kepo, nih."
"Masa dia cuma bilang mau ngomong aja di sms itu, Al. Dia benar-benar enggak bilang tentang apa?" tanyaku heran. "Eh, itu Fian!"
"Bro, kenapa tiba-tiba sms gitu?" sapa Al diikuti salam khas mereka yang menurutku tak pernah penting melainkan hanya sekadar untuk terlihat keren.
"Lo tau kan, kita tiap tahun setelah libur pasti bakal ada challenge yang harus diikuti. Nah, yang kalah wajib banget traktir kita berenam makan pas liburan selanjutnya kayak waktu Esa kalah," jelas Fian panjang. "Kali ini, berhubung kita dekat lagi sama Pesta Dansa kelas 12, gue mau kita cari pasangan buat ke sana. Tidak terkecuali Une sama Nadine, ya. Yang tidak dapat pasangan, wajib traktir!"
"Fi, curang banget. Lo tau kan, gue sama cowok tuh sangat amat sensitif sejak SMP tahun terakhir. Tega banget," protesku tegas. Apa-apaan Fian?! Baginya mungkin mudah mencari pasangan untuk dibawa ke pesta dansa itu, tapi kan, aku perempuan. Tak mungkin saja aku mengajak laki-laki seenaknya. Gengsi banget, Fian!
"Tenang aja, peraturannya sederhana. Kita bisa saling mengajak satu sama lain dengan syarat harus benar-benar buntu dulu, baru boleh. Jadi, gue yakin, Ne, bakal ada yang ngajak lo. Percaya sama gue," ujar Fian santai.
"Ian, jadi maksud lo tuh, kita harus ngajak atau diajak sama yang lain dulu baru kalau enggak ada yang mau, kita bisa jalan sama teman sendiri? Pertanyaan gue, kalau dari awal kita memang mau ajak salah satu dari teman kita, masa enggak boleh?" tanya Esa logis dan lugas pada Fian. Sudah lama kami bersahabat dan tahu bahwa Esa selalu menyimpan rasa dengan Nadine.
Fian terkekeh. "Nah, itu tantangannya. Dengan adanya permainan seperti ini, kita jadi bisa belajar menerima orang yang kita sayang menyayangi orang lain. Ganjaran buat yang melanggar peraturan juga sederhana aja, cukup ikut patungan buat traktir."
"Kalau kita tolak semua ajakan, terus menunggu si doi sampai melakukan hal yang sama, itu sah, kan?" tanya Esa lagi dengan wajah dan air muka berharap.
"Sah, kok," jawab Fian. "Ada pertanyaan lagi?"
"Fian, gue cuma mau kasih saran sama lo, jangan sampai permainan ini jadi bahan masalah, ya. Soalnya, kita di sini jadi mafia perasaan," ujar Nadine. "Kita bermain soal perasaan. Gue harap ini cuma sekadar senang-senang. Oke?"
"Iyalah, Nad. Kalau pun, ada yang benar-benar jadian di antara kita, gue ikut bahagia," ucap Fian dengan senyumnya.
"Fi, tapi gue trauma," keluhku. "Dulu kan, gue, lo, Nadine, Esa, dan Al sudah tahu gue pernah dibuat gimana sama cowok. Ingat kan, gue nangis hebat setelah dia bersikap kayak gitu?"
"Iya, gue ingat, Ne. Enggak usah khawatir. Bahkan Rangga yang baru kenal lo tahun lalu juga bakal ada buat lo kalau-kalau gara-gara ini lo jadi trauma," ucap Fian sambil menghampiriku dan mengelus pundakku. "Anggap aja, kali ini gue dan kita di sini lagi membantu lo untuk enggak trauma sama cowok."
Al duduk di samping kiriku ikut mengelus pundakku. "Iya, Ne. Anggap aja cowok yang nanti bakal mengajak lo ke pesta itu adalah bagian dari kita berenam. Lo sama gue aja enggak trauma, masa sama yang satu spesies sama gue lo takut?"
"Fi, Al, gue tahu. Tapi, gue bakal terus terang ya, kalau gue mau menyerah dan mengaku kalah dengan konsekuensi traktir seandainya gue bakal berakhir sakit hati lagi," akuku teramat terbuka.
"Iya, Ne. Kita bakal ada di sini buat lo," ujar Fian.
Aku tersenyum simpul. Bersyukur bahwa aku mengenal orang-orang ini, yang selalu ada di saat apapun. Merekalah saksi sakitnya hatiku karena cinta. Karena masa lalu itu aku tak pernah terbuka tentang cinta. Karena dia.

Dua tahun lalu...

Pelepasan kelas tiga SMP-ku sudah di sini. Aku berjalan dengan wajah berhias cantik dan gaun merah bercorak hitam dengan sepatu converse hitam ke dalam gedung pelepasan. Aku melihatnya berdiri di antara teman-teman terdekatku. Al, Fian, Esa, dan dia semua berdiri gagah dalam jas mereka. Rambutku yang diikat seperti ekor kuda terombang-ambing setiap kali aku melangkah. Dia akhirnya menyadari kehadiranku.
"June Aphrodita Malik, you truly look magnificent. Babe, I'm truly in awe," ucapnya saat melihatku.
"Lo juga beda, kok," balasku. "Sesuai nama lo, Zeus. Gagah dan tegas."
Namanya Oktaviano Zeus Arrizq. Kata mereka, aku beruntung dapat menjadi kekasih dari laki-laki dengan gelar Mr. Kharisma. Ya, Zeus memang orang paling berkharisma seantero sekolahku waktu itu. Tak hanya jadi incaran para kaum perempuan, ia juga diincar guru dan kepala sekolah karena mempunyai tak hanya wajah yang memikat tapi otak yang teramat cerdas. Aku memang beruntung. Bahkan, aku sampai terus menerus dijauhi sahabatku beberapa kali karena mereka satu per satu mengaku iri dengan Zeus yang begitu mendekati sempurna.
Namun, hari itu jadi saksi berakhirnya rasa beruntung ini memiliki Zeus selama dua tahun terakhir. Aku tak pernah beruntung, aku justru merasa tertipu. Tepat saat sudah kuterima medali dan karangan bunga dari adik-adik kelas, Zeus mengajakku ke luar dari gedung.
"June, dulu aku berjanji bakal terus ada di samping kamu, kan. Tapi, aku mau minta maaf," ucapnya. "Minggu depan aku berangkat ke Jepang, ayahku dipindahkan dari sini ke sana. Aku juga akan kemo. Aku didiagnosa kanker dan harus melakukan kemo. Jadi..."
Air mataku langsung membanjiri pipiku, merusak segala riasan wajahku. Tak pernah kusangka seseorang seperti Zeus mempunyai ketidaksempurnaan sehebat ini.
"Ze, tapi..." ucapku lirih.
"Kita cuma bisa sampai di sini," ucap Zeus, lalu perlahan tanpa menunggu balasan apapun dariku, ia melangkah pergi.
Namun, bukan itu yang menggoreskan luka yang teramat dalam di hatiku. Kejadian yang menyusul setelahnya pada malam hari itu yang benar-benar menyaksikan rasa sakitku. Aku mengiyakan ajakan sahabatku yang mencoba menghiburku. Pergilah aku bersama mereka ke sebuah mal. Dan di sana, kulihat Zeus bersama salah satu dari teman terdekatku, Aretha. Mereka berdua dan segerombol anak sekolah lain yang mungkin teman-teman Aretha. Aku menghampirinya dengan mata berkaca-kaca.
"GUE BENCI SAMA LO, ZE! HEBAT LO! PINTAR! CERDAS!" bentakku emosi. "BERHASIL LO MEMBODOHI GUE DENGAN CERITA BUSUK LO! HEBAT!"
Rahang Zeus mengeras. Reaksinya setiap kali merasa malu dan bersalah. Aku kenal betul kebiasaannya.
"June..." ucapnya lirih.
"SILAKAN LO LANJUTKAN KENCAN LO SAMA ARETHA! GUE TAHU, DIA PASTI JAUH LEBIH PINTAR DARI GUE DALAM MENGHADAPI TIPUAN LO!" bentakku, lalu meninggalkan Zeus.
Merasakan sakit ini membuat tak hanya pikiranku yang letih, tapi juga badanku sampai-sampai Al harus berlari saat aku hampir tak sadarkan diri agar bisa membopongku. Selama dua minggu setelah kejadian itu, aku masuk rumah sakit. Zeus? Ia tak pernah datang. Tak pernah menjenguk. Dan aku semakin menutup hatiku sejak itu. Trauma dengan perkataan laki-laki, kecuali hal-hal yang keluar dari mulut Al, Fian, Esa, ayahku dan abangku. Dan dengan kejadian itu, pergi juga pribadiku yang begitu naif. Aku mulai menjadi orang terbuka dan apa adanya. Agar kalau pun ada lagi yang ingin menyakitiku, mereka tak akan menemukan apa-apa yang perlu di gali dariku. Apa yang mereka lihat adalah apa adanya aku. Cukup sampai di sana.

0 comments:

Post a Comment

Blog List

 

Re-A-Lis-Tic Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos