Chapter 2
2.7 "Fell in love with you that first night." -Tyler Ward.
"Al," panggilnya lembut beberapa meter di belakangku. Jantungku berdegup kencang tak menentu. Malam ini harus menjadi malam terindah untuknya dan untukku.
Aku memutar tubuhku dan melihatnya berdiri anggun di depan kedua ibu kami. Wajahnya benar-benar tak kukenali. Namun, sorot dan binar matanya masih menyimpan sejati dirinya. Rambutnya tertata indah dengan sebuah klip putih di samping kiri kepalanya. Bibirnya sederhana menghadirkan kesan lugu yang menarik perhatianku. Lengannya yang tak tertutup terkulai anggun di kedua sisi tubuhnya. Perhiasan yang ia pakai di seluruh tubuhnya menghadirkan kesan elegan. Sepatu tinggi yang dipakainya benar-benar membuat tubuh gadis ini menjadi lebih manis dari biasanya. Ia benar-benar menyerupai Dewi cantik yang membawa cinta malam ini layaknya Aphrodite. Ia benar-benar merealisasikan namanya malam ini. Dan aku adalah pria yang beruntung dapat menjadi pendampingnya semalam suntuk ini.
Aku berjalan mendekatinya, menjemput belahan hatiku yang tersimpan di sana. Kuraih poninya yang akhir-akhir ini menjadi bonus tersendiri bagiku. Kusibakkan poni itu agar aku dapat menatap wajahnya lebih dekat dan melebur di kedua bola matanya lebih dalam. Nafasnya menderu menabrak leherku membawakan sensasi hangat ke sekujur tubuhku. Aku teringat akan ide usilku yang melepas kembali dasi kupu-kupu hanya agar ia bisa memakaikannya padaku dalam jarak yang teramat dekat.
"Gue lupa cara pakai dasi, Ne," dustaku, lalu memberikannya dasi mungil itu. Ia tersenyum manis dan menghembuskan nafasnya.
Ia melingkarkan lengannya di leherku. Jarak kami semakin habis. Lagi-lagi deru nafasnya menyentuh leherku dan mengembalikan sensasi itu. Aku menikmatinya berharap bisa terus seperti ini, sedekat ini dengannya. Namun, momen itu berakhir. Ia terdiam di sana.
Aku meraih dagunya takut-takut akan merusak riasan wajahnya yang sudah nyaris sempurna. "Ne, lo..." aku menarik nafas. "You have just taken my whole breath away and even words can't afford how I'm feeling right now."
Ia menunduk malu. "Lebay."
Argh! Malam ini saja, Ne, tak bisakah lo mengakui cantik lo?! Teriak hatiku kesal.
"Lo ngeyel banget sih, sama gue, Ne," protesku frustasi. "Once, I beg you, just let me make you believe how amazing you look right now."
"Oke, gue percaya," balasnya pasrah.
Aku tersenyum dalam hati. "Terus, setelah gue sok bule, lo enggak memuji kegantengan gue?"
Ia menarik nafas. "Ganteng, kok. Cuma gara-gara lo, mata gue berair selama dipakaiin pensil mata."
"Sakit, ya?" tanyaku khawatir. "Mau gue tiupin, enggak?"
Ia menggeleng. Ah, biarlah... Tiup saja agar jarakmu semakin dekat, Al.
"Ah, sini-sini. Gue tiupin yang sakit, ya," ujarku sambil mendekat ke wajahnya. Kutiup matanya lembut.
Tante Shania berdehem membuat Une mendorongku seketika. Aku tersenyum puas dan mendekat lagi untuk merangkulnya.
"Duh, kalian serasi banget," komentar Mama. "Gimana, Al? Mama berhasil, kan?"
Aku mengeratkan rangkulanku pada Une. Setelah lama bercanda dan berbincang-bincang, aku semakin tak sabar ingin memamerkan Une pada semesta betapa cantiknya ia malam ini. Ia menyuruhku untuk segera pergi karena tak ingin ketinggalan perhatian dari senior-senior kami. Gadis ini, sudah bersandiwara pun kami, tetap saja naluri wanitanya masih mengalir.
"Udah jadi pacar juga, tapi kegenitan," protesku sambil meletakkan kepalanya dekat lenganku. Ia berontak ingin melepaskan diri.
Kami berjalan bersisian hingga akhirnya Une terjatuh. Baik Mama maupun Tante Shania berseru kaget. Aku pun begitu. Argh! Bahkan kau masih harus menyakitinya di malam yang spesial ini?!
Une terduduk dan sambil merasa marah pada diriku sendiri, Mama mengindahkannya dengan memberiku omelan pedas. Aku menarik nafas yang sarat dengan emosi.
"Bisa bangkit, enggak?" tanyaku pada Une sambil merasa sangat bersalah. Wajahnya membeku tak percaya. Bodoh, kau baru saja melihatnya jatuh dan ia saat ini terduduk kesakitan, kau masih bertanya seperti itu?! Bodoh!
"Menurut lo?!" balas Une jutek.
Aku menggendong gadis ini hingga mobil. Tante Shania membukakan pintu penumpang dan aku meletakkannya di sana. Setelah menutup pintunya, aku berpamitan pada kedua ibu kami.
"Ini malam spesial, Al. Kamu harus bisa jaga Une dan buat dia ingat sama malam ini," ujar Mama. "Ini mungkin salah satu dari kejadian yang harus kamu hindari. Kamu tidak boleh membuat Une sakit lagi. Tidak malam ini."
Aku menghembuskan nafas tak bisa banyak berkata-kata. Ya, bahkan di malam yang seistimewa ini aku masih belum mampu sepenuhnya memperlakukan Une layaknya seorang putri. Hari ini hari istimewanya bersamaku. Harusnya tak boleh ada ruang untuk rasa sakit.
Aku masuk dan duduk di depan kemudi mobil. Sejuta hal berkeliaraan di benakku. Rasa bersalah dan emosi serta keinginan untuk mengungkapkan perasaanku begitu memuncak. Hening yang diberikan Une menambah tekanan pada batinku hingga akhirnya aku mengatakan sesuatu yang tak pernah kubayangkan akan kuucapkan.
"Harusnya ya, Ne, ini jadi malam tanpa luka," ucapku setelah sunyi yang cukup mencekam. "Gue minta maaf udah buat lo jatuh. Gue minta maaf udah seresek ini sama lo malam ini. Terlebih, gue minta maaf udah minta lo memakaikan dasi itu ke gue yang sebenarnya bisa gue pakai sendiri. Gue minta maaf gue udah..."
Aku merasakan tatapan yang penuh dengan tanda tanya di samping kiriku. Katakan saja padanya, Al. Malam ini...biarkan semua rahasia terbuka.
Aku menoleh dan menatap Une sebagaimana ia menatapku saat ini. Kumatikan mesin mobil di tepi jalan yang sudah sangat dekat dengan tujuan kami. Aku menggenggam jemarinya setelah melepaskan sabuk keselamatanku.
"Ne, gue minta maaf gue udah..." ucapku sekali lagi. "...gue udah jatuh cinta sama lo dari pertama kali kita berteman. Gue udah jatuh cinta sama lo selama empat tahun terakhir ini. Gue minta maaf gue enggak pernah bilang sama lo karena gue ngerasa perasaan ini bukan hak gue yang harus gue perjuangkan."
"Tapi, Ne, malam ini...malam ini terlalu indah buat gue untuk terus bertahan enggak ngasih tahu lo. Lo dengan gaun lo itu...melihat lo setelah diubah sama Mama tadi untuk pertama kalinya, gue sadar gue enggak bisa bertahan diam dengan perasaan gue," jelasku. "Gue minta maaf, Ne."
Une masih diam dalam duduknya. Maafkan gue, Ne, malam ini sudah terlalu egois memaksakan perasaan gue yang sudah tak bisa tertahan lagi.
"Gue enggak menuntut hal yang sama dari lo," lanjutku masih menggenggam Une. "Gue hanya minta satu. Satu untuk malam ini yang bisa jadi malam terakhir gue bakal dengar lo bicara... Berdansalah dengan gue nanti tanpa memikirkan ucapan gue tadi. Setelah itu, gue serahkan semua sama lo. Lo mau gue menjauh, gue bakal menjauh. Tapi, kalau lo merasakan hal yang sama, gue harap lo mau memberikan gue jawaban atas harapan gue."
Une menarik nafas lalu menundukkan kepalanya. Beberapa detik kemudian, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum. Airmatanya mengalir di atas kedua pipinya. Ne, jangan menangis...
***
Aku mendengar semuanya. Al, ternyata kamu merasakan hal yang sama. Ternyata perasaanku tak hanya rasa satu sisi saja. Ternyata bahagia itu sederhana. Namun, mengapa aku tak langsung memelukmu? Mengapa masih ada perasaan ragu dalam hatiku yang belum mau mengatakan hal yang serupa? Padahal, kamu sudah cukup berani memulainya terlebih dahulu? Mengapa aku merasa takut?
Aku menarik nafas dan menundukkan kepalaku. Airmataku mengalir setelah mendengar semua perkataan Al. Ini airmata apa? Apa aku sedih? Atau bahagia? Bahkan aku sendiri tak mengerti. Kau mencintainya, lalu apa yang kau ragukan? Aku mengangkat kepalaku dan membiarkan Al kembali melihat tangisku yang tak pernah bersuara. Aku tak tahu harus menerimanya, meskipun ini bukan ajakan kencan seperti di film romantis yang banyak kutonton. Aku tak tahu harus menolaknya karena terlalu takut untuk mencoba hal yang jauh dari kebiasaanku...dan kebiasaan kami sebagai dua orang sahabat. Aku tak mau menghancurkan hal seindah itu, namun aku juga tak mau kehilangan Al.
"One dance, Al," ucapku mengangkat telunjukku sambil bergetar. Al tersenyum dengan mata yang tak kalah menyedihkannya dengan suaraku saat mengucapkan satu kalimat singkat itu.
"Hanya satu, Ne," ulangnya kemudian mengusap airmataku yang nyaris melunturkan riasan wajahku. Ia mendekat setelah itu lalu mengecup keningku cukup lama. Lagi-lagi membawakan airmata pada diriku. Inikah perpisahan kami? Tapi, bukankah semua pertanyaan sialan itu sudah terjawab kini?
"Malam ini, tolong lo biarkan gue mencintai lo dengan satu dansa aja. Itu sudah cukup buat gue," ucap Al.
Sesampainya di gedung sekolah kami yang sudah berubah drastis, aku berusaha sekuat tenaga menahan rasa canggung itu. Al kembali menjadi dirinya yang seakan-akan tak pernah berkata seperti tadi. Aku mengikuti permainan kecilnya ini dan menelan pahit kenyataan yang akan terjadi besok atau dua hari lagi di sekolah nanti saat bertemu dengannya.
"Loh, kalian jadian?" tanya Nadine terkejut saat melihat aku dan Al jalan bergandeng tangan.
"Iya. Akhirnya," jawab Al singkat seraya merangkulku.
"Bagus, dong. Akhirnya, kalian sadar kalau kalian saling ada perasaan," ucap Nadine lagi.
"Al, keren juga lo," puji Esa pada Al.
Tak lama, Fian dan Rangga datang bersama pasangan mereka yang tak lain adalah teman-teman kami juga. Fian tersenyum melihat aku dan Al sedekat ini. Aku membiarkan Al menjagaku semalaman ini. Ne, apa lagi yang kau ragukan?!
Datanglah saat harus berdansa. Al mengajakku lembut dan di matanya tersimpan harapan besar akan aku. Ya, Al, aku akan mengatakan segalanya padamu suatu saat nanti. Mungkin esok hari, lusa, atau saat kita lulus nanti. Entahlah... Namun, kau harus tahu aku juga memendam rasa padamu.
Lagu Tyler Ward yang berjudul "Falling" memenuhi rongga udara di antara pasangan-pasangan yang berbahagia ini. Al mendekat padaku dan melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku pun melingkarkan lenganku di lehernya. Aku menatap matanya sebagaimana ia menatapku kini.
Kami berdansa dalam diam mengikuti alunan musik saja. Seketika dunia terasa kosong dan hanya ada aku dan Al. Al tersenyum padaku, senyum yang terlihat jauh lebih indah dari biasanya.
Al menyibakkan poniku yang menjuntai menutupi mataku. "I don't know what will happen tomorrow, Ne. Maybe you'll push me away or maybe you'll say the same thing."
Aku menyunggingkan senyum. "I won't push you away. I just need time...to figure out my own feelings. And I know you'll wait for me and I hope it will stay that way."
Al mendekapku dalam peluknya. Beberapa orang memerhatikan kami. Aku menikmati ini. Ya, aku tak akan menjauhinya. Karena kehilangan dirinya adalah hal terakhir yang kuinginkan di antara kami.
Aku memutar tubuhku dan melihatnya berdiri anggun di depan kedua ibu kami. Wajahnya benar-benar tak kukenali. Namun, sorot dan binar matanya masih menyimpan sejati dirinya. Rambutnya tertata indah dengan sebuah klip putih di samping kiri kepalanya. Bibirnya sederhana menghadirkan kesan lugu yang menarik perhatianku. Lengannya yang tak tertutup terkulai anggun di kedua sisi tubuhnya. Perhiasan yang ia pakai di seluruh tubuhnya menghadirkan kesan elegan. Sepatu tinggi yang dipakainya benar-benar membuat tubuh gadis ini menjadi lebih manis dari biasanya. Ia benar-benar menyerupai Dewi cantik yang membawa cinta malam ini layaknya Aphrodite. Ia benar-benar merealisasikan namanya malam ini. Dan aku adalah pria yang beruntung dapat menjadi pendampingnya semalam suntuk ini.
Aku berjalan mendekatinya, menjemput belahan hatiku yang tersimpan di sana. Kuraih poninya yang akhir-akhir ini menjadi bonus tersendiri bagiku. Kusibakkan poni itu agar aku dapat menatap wajahnya lebih dekat dan melebur di kedua bola matanya lebih dalam. Nafasnya menderu menabrak leherku membawakan sensasi hangat ke sekujur tubuhku. Aku teringat akan ide usilku yang melepas kembali dasi kupu-kupu hanya agar ia bisa memakaikannya padaku dalam jarak yang teramat dekat.
"Gue lupa cara pakai dasi, Ne," dustaku, lalu memberikannya dasi mungil itu. Ia tersenyum manis dan menghembuskan nafasnya.
Ia melingkarkan lengannya di leherku. Jarak kami semakin habis. Lagi-lagi deru nafasnya menyentuh leherku dan mengembalikan sensasi itu. Aku menikmatinya berharap bisa terus seperti ini, sedekat ini dengannya. Namun, momen itu berakhir. Ia terdiam di sana.
Aku meraih dagunya takut-takut akan merusak riasan wajahnya yang sudah nyaris sempurna. "Ne, lo..." aku menarik nafas. "You have just taken my whole breath away and even words can't afford how I'm feeling right now."
Ia menunduk malu. "Lebay."
Argh! Malam ini saja, Ne, tak bisakah lo mengakui cantik lo?! Teriak hatiku kesal.
"Lo ngeyel banget sih, sama gue, Ne," protesku frustasi. "Once, I beg you, just let me make you believe how amazing you look right now."
"Oke, gue percaya," balasnya pasrah.
Aku tersenyum dalam hati. "Terus, setelah gue sok bule, lo enggak memuji kegantengan gue?"
Ia menarik nafas. "Ganteng, kok. Cuma gara-gara lo, mata gue berair selama dipakaiin pensil mata."
"Sakit, ya?" tanyaku khawatir. "Mau gue tiupin, enggak?"
Ia menggeleng. Ah, biarlah... Tiup saja agar jarakmu semakin dekat, Al.
"Ah, sini-sini. Gue tiupin yang sakit, ya," ujarku sambil mendekat ke wajahnya. Kutiup matanya lembut.
Tante Shania berdehem membuat Une mendorongku seketika. Aku tersenyum puas dan mendekat lagi untuk merangkulnya.
"Duh, kalian serasi banget," komentar Mama. "Gimana, Al? Mama berhasil, kan?"
Aku mengeratkan rangkulanku pada Une. Setelah lama bercanda dan berbincang-bincang, aku semakin tak sabar ingin memamerkan Une pada semesta betapa cantiknya ia malam ini. Ia menyuruhku untuk segera pergi karena tak ingin ketinggalan perhatian dari senior-senior kami. Gadis ini, sudah bersandiwara pun kami, tetap saja naluri wanitanya masih mengalir.
"Udah jadi pacar juga, tapi kegenitan," protesku sambil meletakkan kepalanya dekat lenganku. Ia berontak ingin melepaskan diri.
Kami berjalan bersisian hingga akhirnya Une terjatuh. Baik Mama maupun Tante Shania berseru kaget. Aku pun begitu. Argh! Bahkan kau masih harus menyakitinya di malam yang spesial ini?!
Une terduduk dan sambil merasa marah pada diriku sendiri, Mama mengindahkannya dengan memberiku omelan pedas. Aku menarik nafas yang sarat dengan emosi.
"Bisa bangkit, enggak?" tanyaku pada Une sambil merasa sangat bersalah. Wajahnya membeku tak percaya. Bodoh, kau baru saja melihatnya jatuh dan ia saat ini terduduk kesakitan, kau masih bertanya seperti itu?! Bodoh!
"Menurut lo?!" balas Une jutek.
Aku menggendong gadis ini hingga mobil. Tante Shania membukakan pintu penumpang dan aku meletakkannya di sana. Setelah menutup pintunya, aku berpamitan pada kedua ibu kami.
"Ini malam spesial, Al. Kamu harus bisa jaga Une dan buat dia ingat sama malam ini," ujar Mama. "Ini mungkin salah satu dari kejadian yang harus kamu hindari. Kamu tidak boleh membuat Une sakit lagi. Tidak malam ini."
Aku menghembuskan nafas tak bisa banyak berkata-kata. Ya, bahkan di malam yang seistimewa ini aku masih belum mampu sepenuhnya memperlakukan Une layaknya seorang putri. Hari ini hari istimewanya bersamaku. Harusnya tak boleh ada ruang untuk rasa sakit.
Aku masuk dan duduk di depan kemudi mobil. Sejuta hal berkeliaraan di benakku. Rasa bersalah dan emosi serta keinginan untuk mengungkapkan perasaanku begitu memuncak. Hening yang diberikan Une menambah tekanan pada batinku hingga akhirnya aku mengatakan sesuatu yang tak pernah kubayangkan akan kuucapkan.
"Harusnya ya, Ne, ini jadi malam tanpa luka," ucapku setelah sunyi yang cukup mencekam. "Gue minta maaf udah buat lo jatuh. Gue minta maaf udah seresek ini sama lo malam ini. Terlebih, gue minta maaf udah minta lo memakaikan dasi itu ke gue yang sebenarnya bisa gue pakai sendiri. Gue minta maaf gue udah..."
Aku merasakan tatapan yang penuh dengan tanda tanya di samping kiriku. Katakan saja padanya, Al. Malam ini...biarkan semua rahasia terbuka.
Aku menoleh dan menatap Une sebagaimana ia menatapku saat ini. Kumatikan mesin mobil di tepi jalan yang sudah sangat dekat dengan tujuan kami. Aku menggenggam jemarinya setelah melepaskan sabuk keselamatanku.
"Ne, gue minta maaf gue udah..." ucapku sekali lagi. "...gue udah jatuh cinta sama lo dari pertama kali kita berteman. Gue udah jatuh cinta sama lo selama empat tahun terakhir ini. Gue minta maaf gue enggak pernah bilang sama lo karena gue ngerasa perasaan ini bukan hak gue yang harus gue perjuangkan."
"Tapi, Ne, malam ini...malam ini terlalu indah buat gue untuk terus bertahan enggak ngasih tahu lo. Lo dengan gaun lo itu...melihat lo setelah diubah sama Mama tadi untuk pertama kalinya, gue sadar gue enggak bisa bertahan diam dengan perasaan gue," jelasku. "Gue minta maaf, Ne."
Une masih diam dalam duduknya. Maafkan gue, Ne, malam ini sudah terlalu egois memaksakan perasaan gue yang sudah tak bisa tertahan lagi.
"Gue enggak menuntut hal yang sama dari lo," lanjutku masih menggenggam Une. "Gue hanya minta satu. Satu untuk malam ini yang bisa jadi malam terakhir gue bakal dengar lo bicara... Berdansalah dengan gue nanti tanpa memikirkan ucapan gue tadi. Setelah itu, gue serahkan semua sama lo. Lo mau gue menjauh, gue bakal menjauh. Tapi, kalau lo merasakan hal yang sama, gue harap lo mau memberikan gue jawaban atas harapan gue."
Une menarik nafas lalu menundukkan kepalanya. Beberapa detik kemudian, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum. Airmatanya mengalir di atas kedua pipinya. Ne, jangan menangis...
***
Aku mendengar semuanya. Al, ternyata kamu merasakan hal yang sama. Ternyata perasaanku tak hanya rasa satu sisi saja. Ternyata bahagia itu sederhana. Namun, mengapa aku tak langsung memelukmu? Mengapa masih ada perasaan ragu dalam hatiku yang belum mau mengatakan hal yang serupa? Padahal, kamu sudah cukup berani memulainya terlebih dahulu? Mengapa aku merasa takut?
Aku menarik nafas dan menundukkan kepalaku. Airmataku mengalir setelah mendengar semua perkataan Al. Ini airmata apa? Apa aku sedih? Atau bahagia? Bahkan aku sendiri tak mengerti. Kau mencintainya, lalu apa yang kau ragukan? Aku mengangkat kepalaku dan membiarkan Al kembali melihat tangisku yang tak pernah bersuara. Aku tak tahu harus menerimanya, meskipun ini bukan ajakan kencan seperti di film romantis yang banyak kutonton. Aku tak tahu harus menolaknya karena terlalu takut untuk mencoba hal yang jauh dari kebiasaanku...dan kebiasaan kami sebagai dua orang sahabat. Aku tak mau menghancurkan hal seindah itu, namun aku juga tak mau kehilangan Al.
"One dance, Al," ucapku mengangkat telunjukku sambil bergetar. Al tersenyum dengan mata yang tak kalah menyedihkannya dengan suaraku saat mengucapkan satu kalimat singkat itu.
"Hanya satu, Ne," ulangnya kemudian mengusap airmataku yang nyaris melunturkan riasan wajahku. Ia mendekat setelah itu lalu mengecup keningku cukup lama. Lagi-lagi membawakan airmata pada diriku. Inikah perpisahan kami? Tapi, bukankah semua pertanyaan sialan itu sudah terjawab kini?
"Malam ini, tolong lo biarkan gue mencintai lo dengan satu dansa aja. Itu sudah cukup buat gue," ucap Al.
Sesampainya di gedung sekolah kami yang sudah berubah drastis, aku berusaha sekuat tenaga menahan rasa canggung itu. Al kembali menjadi dirinya yang seakan-akan tak pernah berkata seperti tadi. Aku mengikuti permainan kecilnya ini dan menelan pahit kenyataan yang akan terjadi besok atau dua hari lagi di sekolah nanti saat bertemu dengannya.
"Loh, kalian jadian?" tanya Nadine terkejut saat melihat aku dan Al jalan bergandeng tangan.
"Iya. Akhirnya," jawab Al singkat seraya merangkulku.
"Bagus, dong. Akhirnya, kalian sadar kalau kalian saling ada perasaan," ucap Nadine lagi.
"Al, keren juga lo," puji Esa pada Al.
Tak lama, Fian dan Rangga datang bersama pasangan mereka yang tak lain adalah teman-teman kami juga. Fian tersenyum melihat aku dan Al sedekat ini. Aku membiarkan Al menjagaku semalaman ini. Ne, apa lagi yang kau ragukan?!
Datanglah saat harus berdansa. Al mengajakku lembut dan di matanya tersimpan harapan besar akan aku. Ya, Al, aku akan mengatakan segalanya padamu suatu saat nanti. Mungkin esok hari, lusa, atau saat kita lulus nanti. Entahlah... Namun, kau harus tahu aku juga memendam rasa padamu.
Lagu Tyler Ward yang berjudul "Falling" memenuhi rongga udara di antara pasangan-pasangan yang berbahagia ini. Al mendekat padaku dan melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku pun melingkarkan lenganku di lehernya. Aku menatap matanya sebagaimana ia menatapku kini.
Kami berdansa dalam diam mengikuti alunan musik saja. Seketika dunia terasa kosong dan hanya ada aku dan Al. Al tersenyum padaku, senyum yang terlihat jauh lebih indah dari biasanya.
Al menyibakkan poniku yang menjuntai menutupi mataku. "I don't know what will happen tomorrow, Ne. Maybe you'll push me away or maybe you'll say the same thing."
Aku menyunggingkan senyum. "I won't push you away. I just need time...to figure out my own feelings. And I know you'll wait for me and I hope it will stay that way."
Al mendekapku dalam peluknya. Beberapa orang memerhatikan kami. Aku menikmati ini. Ya, aku tak akan menjauhinya. Karena kehilangan dirinya adalah hal terakhir yang kuinginkan di antara kami.
0 comments:
Post a Comment