Monday, February 10, 2014

A Sampai Z, Kita Punya Cerita (11)

Posted by Unknown
Chapter 2

2.3 "You make me remember the things I should forget."


"Ne," panggilnya setelah berhasil membuatku tak bernafas selama beberapa detik. "Jadi, lo udah dapat semua hadiah dan petunjuk-petunjuk gue?"
Aku terdiam di posisiku tak berani mengucapkan apapun. Kemudian, kenangan datang tanpa membawa rasa sakit itu. Aneh. Aku tak mungkin bisa luluh padanya lagi. Tidak mungkin. Harusnya pun tak bisa.
"Ne," panggilnya. "Kali ini gue mohon..."
"Lo hebat," pujiku. "Zeus, lo hebat."
Orang ini tersenyum, namun ada rasa bersalah yang amat terlihat di dalam matanya. Jadi, maafku padanya seharga bunga mawar putih dan sederet kejutan indah darinya itu? Segitu murahnya kah?
***
Aku melihat Une berdiri berhadapan dengan orang yang telah menyakitinya. Bunga mawar putih yang sedari tadi tak lepas dari pegangannya masih melekat di antara jemarinya. Gestur Une melembut, tak sekaku dahulu setiap bertemu dengan orang ini. Aku mencium busuk kekalahanku, kelalaianku, dan kegagalanku. Une, gue mohon jangan lo terima dia segampang itu! Lupakah lo sejahat apa dia menyakiti lo...dan gue?
"Lo hebat, Zeus," ucap Une cukup keras untuk sampai ke daun telingaku. "Jujur, gue sangat tersanjung dengan semua pemberian manis lo. Gue merasa enggak asing dengan segala hal lucu dan manis itu. Tapi..."
Tapi apa, Ne? Katakanlah lo enggak kembali jatuh cinta sama dia. Gue mohon...
"Tapi, gue masih butuh waktu, Ze," ucap Une. "Sadar enggak sih, lo? Betapa parah lo rusak perasaan gue waktu itu, Ze? Jadi, sebesar apapun usaha lo buat memohon maaf gue atau semanis apapun cara lo, gue masih belum bisa Ze, belum bisa sepenuhnya...memaafkan lo dan sejujurnya berpindah dari lo."
"Gue tahu, Ne. Apa yang gue buat ke lo dulu emang udah keterlaluan. Tapi, itu kan, sebagian besar karena emang gue masih kecil, Ne. Belum dewasa," jelasnya. Manusia ini... Alasan klise apa lagi?
Tak sanggup menahan amarah dan sakit hati, aku menghampiri Une. Kurangkul tubuh mungilnya yang semakin hari semakin ingin terus kulindungi. Terlebih pada saat seperti ini.
"Ne, lo enggak apa-apa, kan?" tanyaku cemas sambil menatap Une lembut. Une mengangkat kepalanya dan menggeleng sambil tersenyum.
"Ze, dan satu lagi alasan kenapa gue masih perlu waktu..." lanjut Une seperti tak mengindahkan penjelasan lawan bicaranya tadi. "Gue lagi belajar menghargai orang yang lebih tulus menyayangi gue."
"Tapi, lo bakal kasih gue jawaban, kan?" tanya orang itu tak tetlihat bisa menerima pernyataan Une.
Une menatapnya tulus. Matanya, meskipun menyimpan luka, tetap bisa kulihat ada serpih harapan yang masih tersisa walaupun amat kecil. Gadis ini masih diam-diam mengharapkannya?
"Iya. Gue cuma butuh waktu, Ze," jawab Une diikuti seulas senyum. "Dan gue harap lo mau bersabar."
Masih dalam rangkulanku, Une dan aku berjalan meninggalkan Zeus. Setelah mengantarkan Une ke kelas, setangkai bunga yang tadi sempat kubeli, berubah menjadi seonggok sampah di kantong belakang celanaku. Pupus sudah harapanku.

Istirahat kedua, Une memustuskan untuk tetap berdiam di dalam kelas. Aku tahu ia kaget dan nyaris tak mau menelan fakta bahwa penggemar rahasianya sudah terungkap dan bukan seperti harapannya. Aku tak mampu berbuat banyak. Melihat Une sediam ini sejak tadi sudah sangat menyakitkan. Harusnya, sebelum Une mendapat undangan rahasia Zeus tadi, aku sudah menyatakan perasaanku. Ah, Al! Bodoh!

"Ne, gue sebentar ke luar dulu," ucapku sambil mengelus rambutnya, kebiasaan baru yang kunikmati akhir-akhir ini. "Nit, lo jagain dia, ya."
Anita yang duduk di sebelah Une mengangguk. "Zal, gue mau ngomong sebentar. Tapi di luar."
"Kenapa enggak di sini aja?" tanyaku bingung. Anita menggeleng dan langsung menarikku keluar.
"Apaan?" tanyaku tanpa basa-basi pada Anita.
Anita menarik nafas. "Gue tahu, Zal, lo itu sayang banget sama June. Gue bisa lihat tanpa harus sok detektif mengungkap rahasia perasaan lo. Bahkan enggak cuma gue, Zal. Coba lo tanya deh, Fian dan sahabat-sahabat kalian. Pasti mereka juga udah sering atau ya, paling enggak sesekali mengomentari lo dan June. Hubungan kalian berdua..."
Aku terkekeh berusaha menyangkal pernyataan Anita yang tidak salah. "Lo tuh, masih aja sok tahu. Belum beru--"
"Zal, gue minta dengar gue dulu!" potong Anita kali ini setengah menuntut. "Kali ini sok tahu gue adalah sok tahu kebenaran! Lo tatap gue dan bilang, kalau lo emang enggak ada perasaan apa-apa sama June! Coba, Zal!"
Aku menarik nafas. "Gue sahabat Une. Enggak ada hak gue buat mencintai dia atau menyayangi dia lebih dari itu, walaupun perasaan itu muncul dan bukan enggak mungkin."
"Dan lo, Zal, masih terlalu klise. Belum berubah," balas Anita. "Gue enggak tahu udah selama apa kalian bersahabat. Tapi, yang gue tahu adalah baik lo maupun June, gue yakin, kalian merasakan hal yang lebih dari kata sahabat. Gue mohon, Zal, lo berani. Kali ini aja. Jujur ke June. Apa lo enggak sakit melihat June terus-terusan trauma sama cowok? Apa lo enggak jenuh cuma bisa mencintai dia begitu dekat tapi begitu diam?"
Aku terdiam. Kadang memang Anita bisa menjadi sangat menyebalkan perihal perasaan. Terlebih perihal hubungan Une dan aku. Namun, ia nyaris tak pernah salah.
"Apa lo bisa menjamin gue enggak akan sesakit ini setelah gue jujur?" tanyaku memecah hening dan tatapan Anita yang mencengkam.
"Gue janji," ucap Anita singkat. Aku menyunggingkan senyum pasrah. Kemudian, aku kembali pada niatku sebelumnya. Aku pun pamit pada Anita untuk menjalankan niatku.
Kususuri koridor sekolah mencari orang itu. Di mana dia?
"Zeus!" panggilku menarik beberapa pasang mata. Orang yang dipanggil menoleh.
"Apa?" balasnya tengil. Aku menghampirinya, nyaris melayangkan tinjuku padanya.
"Gue minta sama lo, Zeus, untuk jauh-jauh dari Une!" tekanku sarat dengan emosi. "Une adalah tanggung jawab gue. Dan lo, Zeus, lo bukan lagi orang yang butuh atau dibutuhkan Une! Gue pertegas sekali lagi, jauhi Une. Atau akan gue buat lo benar-benar jauh dari dia!"
Saat ini tak hanya sepasang mata yang berhadapan denganku saja yang memerhatikanku. Namun, ada banyak lagi yang mulai mendekat dan mencuri dengar.
Zeus terkekeh meledek. "Lagi-lagi lo. Sahabat menyedihkan Une, yang sudah jelas sekali, punya rasa buat dia. Tapi, ya, itu dia...menyedihkan. Karena perasaan itu tak pernah terbalas dan tidak akan pernah terbalas."
Aku mengepal jemariku, mencoba menekan emosiku lebih dalam. Andai ini bukan sekolah dan mereka tak melihat.
"Dengar ya, otak..." ucap Zeus sambil mengetuk kepalanya dua kali. "...dengan otot," kemudian meninju bisepku. "...akan selalu lebih kuat otak."
"Dan nyali gue, yang notabene bukan sahabat Une, akan selalu merebut...merebut gadis pujaan hati lo itu dari lo dan seluruh perasaan terpendam yang lo kubur itu," ucap Zeus dengan tatapan tengilnya dan nada suaranya yang menantang.
"Tuan Pintar, gue kasih tahu ke lo, ya," ucapku dengan seringai meremehkan. "Otot gue adalah otot yang selama bertahun-tahun ini berhasil melindungi Une. Dan otak gue, yang memang enggak lebih pintar dari lo, adalah otak yang selama ini bisa membuat Une tersenyum. Tulus itu sesederhana bahagia. Enggak perlu pakai rumus dan kata-kata puitis serta ornamen merah hati andalan lo."
Aku berbalik mebelakangi Zeus. Sebelum pergi, aku berkata, "Lo yakin...yakin gue semenyedihkan itu?"
Kemudian, aku melangkah pergi. Orang-orang yang sudah lama memerhatikan perlahan menyebar dan kembali pada kesibukan mereka masing-masing. Zeus, Une milik gue. Selalu jadi milik gue...dulu, sekarang, dan nanti.

"Al, kok, diem aja?" tanya Une padaku saat aku sampai di depan pagar rumahnya.

"Oh...Eh...iya. Lagian Ne, lo juga diem aja," balasku tergagap. Ne, gue diam juga karena lo.
"Tadi pas lo tiba-tiba ngerangkul gue di depan Zeus, lo di situ berapa lama?" tanya Une.
"Lama banget sampai gue kepo lo serius banget bicara sama mantan lo itu," jawabku seperti biasa, penuh canda.
"Jadi, lo udah tahu dong, tadi gue ngomong apa aja?" tanya Une lagi, kali ini agak terdengar malu.
Aku terkekeh. "Lo belum bisa ya, sepenuhnya move on dari cowok sebrengsek itu?"
Une memukul lenganku pelan. "Sebrengsek-brengseknya dia, tetap aja lo lebih brengsek!"
"Idih, kenapa jadi gue?" tanyaku kaget.
"Enggak..." jawab Une diikuti senyum yang selama sehari ini kurindukan. "Eh, gimana si doi? Nerima, kah?"
Aku menggeleng. "Kayaknya, gue enggak akan ke Pesta Dansa, deh."
"Ya sudah, gue juga enggak, deh. Masa gue tega banget ninggalin sahabat gue yang paling ganteng ini ngejomblo?" Une menggodaku sambil memberikan senyum termanisnya.
Aku mengacak-acak rambutnya dan menarik hidungnya. "Lo imut banget ya, kalau ngeledek gue."
Pipi Une memerah saat aku melayangkan pujian itu. Ada getaran asing yang kurasakan dalam hatiku. Ya, inilah mengapa aku terlalu takut menyatakan cinta pada Une.
"Cieeee pipinya merah gitu," godaku sambil merangkul Une. "Udah, mending lo nanti Pesta Dansa enggak usah ikut. Sama gue aja. Kita nanti jalan-jalan."
"Apaan sih, Al," ucap Une salah tingkah. "Ya udah. Jadi, kita ngaku kalah sama Fian?"
"Kita? Lo aja kaleee," ucapku. "Ne, gue punya ide."
"Ide apa?" tanyanya sambil membuka pintu pagar yang sedari tadi tidak dibukanya.
"Ide biar kita enggak bayar uang kekalahan," jawabku. Tiba-tiba saja ada ide gila yang terbesit di otakku tanpa kusadari.
"Apaan? Betewe, masuk, yuk!" ajak Une.
"Motor gue gimana?" tanyaku.
"Ya dimasukkin, ganteeeeeng," ucap Une pasrah. Aku terkekeh. Kali ini rona merah berganti posisi di atas pipiku.
Aku mendorong motor hingga garasi Une. Tak lama, aku mendengar sayup suara ibunya dari dalam rumah.
"Jadi, penasaran enggak lo sama ide bagus gue?" tanyaku. "Tante."
"Al," ucap ibunya Une.
"Apaan sih, emangnya?" tanya Une. "Kalau gila banget, gue enggak mau, ah."
"Jadi, kita pura-pura jadian aja, Ne. Kan, enggak ada alasan Fian nagih kita. Toh, kita dateng berdua. Terus, dia juga bilang kita mirip orang pacaran," jelasku tak sadar atas apa yang baru saja kuucapkan. "Gituuuu. Gimana?"
***
"Gituuuu. Gimana?" tanya Al di akhir penjelasannya.
Berpura-pura pacaran? Ide ini lebih gila sekaligus menyakitkan. Aku bukan tak setuju, namun aku takut dengan status kami di depan semua orang. Dan aku tak ingin terus-menerus membohongi diriku sendiri. Andai Al tahu aku benar-benar ingin ide gila ini tak sekadar pura-pura. Aku ingin kami benar-benar mencoba mencintai satu sama lain lebih dari sahabat.
"Gue sih, setuju aja," jawabku singkat setelah panjang berpikir dan berdiskusi dengan batinku sendiri. "Tapi, kalau di antara kita jadi ada yang suka beneran?"
Pertanyaan itu. Bukankah sudah ada bahkan sebelum sandiwara ini dimulai?
Al terkekeh ringan. "Ya, enggak masalah. Kalau kita jadi saling suka, lebih bagus. Tinggal merealisasikan kepura-puraan itu."
"Bahasa lo, Al," ucapku diikuti seulas senyum. "Jadi, sekarang udah mulai?"
"Yoi," jawab Al sambil meletakkan lengannya di belakang tubuhku. "Mulai sekarang, di depan semua orang lo bukan lagi sahabat gue. Tapi Une gue, pacar gue."
Aku tersenyum pasrah. Rahasia ini hanya Tuhan dan kami yang tahu. Menyakitkan...
"Gue harus bilang yang sama gitu?" tanyaku ragu. Al mengangguk sambil memberikan senyum jahilnya. 
"Iyalah!" seru Al. "Masa gue doang yang memproklamirkan lo cewek gue. Harga diri, Ne."
Aku menoyor kepalanya. "Oke, oke. Mulai sekarang, di depan semua orang, lo adalah cowok gue. Udah. Puas?"
Al mengangguk dengan senyumnya yang sarat candaan. Aku tak bisa menahan rasa penasaran yang hadir di dalam jiwaku melihat Al menerawang kosong dengan senyumnya. Apa yang kau pikirkan, Al?
"Al, kalau Anita tahu, gue rasa dia bakal membunuh gue," ucapku di antara hening yang mulai membuat suasana ini canggung.
Al menarik nafas. "Enggak, Ne. Dia pasti bakal mencincang gue duluan."
Aku tertawa sambil melepaskan rangkulan Al. "Ya, enggak apa-apa, deh."
"Dasar jahat! Pacar macam apa lo?" ledek Al manja. Ya, hal-hal seperti inilah yang harus kuhadapi sampai...sampai kapan?
"Oh iya, status kita ini, sampai kapan?" tanyaku.
"Lo maunya sampai kapan?" tanya Al membuatku terkejut karena tak siap. Jujur, Al, aku tak ingin semua ini berakhir.
"Sampai salah satu dari kita mulai ada yang ngerasa suka beneran," jawabku tanpa berpikir panjang. "Jadi, kalau ada yang idein putus di antara kita nanti, berarti siapa pun itu, adalah orang yang mulai memendam perasaan suka beneran. Oke?"
Al mengetuk-ngetuk dagunya. "Oke."
Al, bahkan jika hal itu benar-benar berlaku ketat, akulah yang akan mengakhiri ini sebelum ini dimulai. Karena sejak lama aku sudah jatuh cinta pada dirimu.

Pagi berikutnya datang. Ada rasa deg-degan dalam hatiku untuk menyambut pagi ini. Terlebih rasa tak kuat menghadapi segala rupa reaksi dari orang-orang nanti menghadapi status baruku. Yang mereka tahu, aku dan Al sudah resmi berpacaran. Namun, yang kutahu adalah lebih dari itu. Kemudian, pikiran itu menghantuiku. Kembali aku mengingat hal yang saat ini seharusnya sudah kulupakan. Zeus. Bagaimana dengannya? Tapi, bukankah hal seperti ini yang bisa membuatnya mengerti aku tak mau lagi berurusan dengannya?
"Non, Mas Al udah di bawah," tegur Mbok Num memecah lamunanku.
"Iya, Mbok. Aku udah siap, kok," jawabku.
Segera aku menyelesaikan sisiranku dan bergegas mendatangi Al. Di bawah sana, Al sudah diundang duduk bersama Ayah dan Bunda untuk sarapan. Kadang hal seperti ini yang membuatku bertanya apa dia sekadar sahabatku atau sudah lebih.
"Om," sapa Al sambil menjabat tangan Ayah. Ayah hanya mengangguk.
"Une, ayo sini duduk di samping Al. Kita makan sama-sama," ujar Bunda sambil menarik kursi makan di samping Al.
Aku menghampiri mereka dan mulai menyantap sarapanku. Diam-diam aku memerhatikan Al yang begitu nyamannya berada di antara keluargaku. Ayah juga tak banyak berkomentar seperti biasanya.
Kami selesai lebih cepat dari waktu biasanya. Aku sudah bisa memprakirakan kalau Al dan aku tak mungkin telat. Sambil aku memakai sepatu, Ayah berbincang-bincang dengan Al. Aku mencuri dengar pembicaraan mereka.
"Gimana Une di sekolah?" tanya Ayah seraya menyeruput kopinya.
"Une rajin kok, Om. Tapi ya, enggak setiap hari. Tergantung mood," beber Al.
"Kamu sendiri?" tanya Ayah lagi.
"Al mah, mengalir aja. Ada tugas, dikerjain. Kalau enggak ada, bersyukur," aku Al membuatku nyaris tergelak. Aku bisa melihat Ayah tersenyum.
"Une udah ada pacarnya?" tanya Ayah lagi kali ini membuatku deg-degan.
"Udah, Om," jawab Al singkat.
"Oh, ya?" balas Ayah. Al mengangguk singkat.
"Siapa pacarnya?" tanya Ayah.
"Al, Om," jawab Al singkat. Aku bisa merasakan geli yang mengalir saat Al mengucapkan kata-kata itu.
"Oh, kamu. Kalau gitu Om enggak perlu khawatir," ucap Ayah.
"Al, ayo," ajakku memecah canggung yang kurasakan sedari tadi.
"Ya udah, kalian berangkat," ujar Ayah. "Une, Al, baik-baik di sekolah."
Aku dan Al menyalim Ayah bergantian. Tak lama, kami sudah berada di antara macatnya perjalanan. Aku memegang pinggang Al seperti biasa. Hari ini, yang semesta tahu adalah aku dan Al sudah resmi berpacaran.

0 comments:

Post a Comment

Blog List

 

Re-A-Lis-Tic Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos