Thursday, February 13, 2014

A Sampai Z, Kita Punya Cerita (14)

Posted by Unknown
Chapter 2


2.6 "Feels like I'm falling and I am lost in your eyes." -Taylor Swift.

Aku memasuki rumah bersama Tante Renata, tak siap akan diapakannya. Jujur saja Tante Renata memang pakar dalam hal tata rias wajah. Namun, kali ini aku sungguh merasa gugup. Bagaimana jika Al tetap menganggapku jelek meskipun Mamanya sudah susah payah mendandani orang yang memang terlahir seperti ini? Oke, Une...pasrahlah.
"Kamu mau di-make up di mana?" tanya Tante Renata.
"Di kamar aja, Tan. Aku malu," jawabku. Tante Renata tersenyum. Kami pun segera menuju kamarku.
Bunda melihat kehadiran Tante Renata dan selagi aku mandi sore, mereka menyempatkan mengobrol. Aku menikmati pancuran air yang sudah sangat kurindukan. Semuanya seakan-akan seperti diputar ulang dalam kepalaku seraya aku membasuhnya. Tentang Al dan banyak lagi. Cinta itu masih menjadi hal tersulit untuk dimaknai sampai saat ini. Namun, tanpa rumus pun seseorang sepertiku misalnya, tetap bisa merasakan dan mengiyakan cinta.
Selesai melamun dan membasuh diri, aku kembali pada Tante Renata. Ia pun mempersiapkan segalanya. Bunda ikut membantu di dalam kamar membuatku semakin tak karuan.
"Kamu enggak usah tegang, sayang," ujar Tante Renata sambil mengusap rambutku yang masih basah. "Ada hair drier, enggak?"
"Ini, Ren," ucap Bunda sambil menyodorkan pengering rambut.
Tante Renata mengambilnya dengan senyum dan memulai segalanya. Rambutku yang kata Al semakin hari semakin cokelat ditatanya sedemikian rupa. Ia mengepang rambutku ke samping kanan setelah mengeringkannya. Ditambahnya klip rambut berwarna putih gading di sisi rambutku sebelah kiri. Ia sempat menimang-nimang model rambut ini, lalu membatalkannya dan membiarkan rambutku sementara agar ia bisa kembali menatanya setelah semua selesai.
Beralih dari rambut, Tante Renata pindah pada wajahku. Ia mulai mengusapkan dasar riasan berwarna tak jauh dari kulitku. Sekejap saja wajahku terasa agak berbeda. Kemudian, ia mulai memilih warna-warna yang senada dengan baju yang akan kukenakan. Setelah memoles wajahku, Tante Renata memfokuskan pada kedua mataku. Ia memintaku untuk melihat ke atas agar ia dapat membubuhkan pensil mata di seluruh garis mataku.
"Astagfirullah, Tante," rengekku kesakitan.
"Perih, ya? Duh, maaf ya, sayang," ucap Tante Renata.
"Banget," ucapku dengan mata berair. "Lanjut, Tan. Kalau putus-putus bakal tambah perih."
Tante Renata tertawa. "Tegar banget, ya."
Aku terkekeh pasrah. "Ini semua gara-gara Al. Lain kali dia nih, yang matanya harus diginiin."
Tante Renata tertawa lagi. "Nanti kapan-kapan kita giniin dia, ya."
Aku tersenyum dan membayangkan jika semua benar terjadi. Akan sangat lucu pastinya. Kemudian, aku kembali merasakan perih di mataku. Tak lama, sesi menyakiti diri sendiri ini pun berakhir. Bunda, aku, dan Tante Renata menghembuskan nafas lega disertai tawa.
"Ini kamu mau pakai bulu mata palsu atau mascara saja?" tanya Tante Renata.
"Mascara aja," jawabku pasti. Aku sudah pernah merasakan betapa tidak enaknya memakai bulu mata palsu.
Tante Renata kembali mengerjakan keahliannya di atas wajahku. Sebelum kembali menata rambutku, ia memoleskan pelembab bibir berwarna natural pink di atas bibirku. Sejauh ini, aki masih belum tahu bagaimana hasil pekerjaan spektakuler Tante Renata.
"Une mau dikepang atau dicepol?" tanya Tante Renata.
"Kepang aja. Kalau dicepol mirip tukang jamu," jawabku asal membuat Tante Renata tertawa.
"Kamu tuh, Ne, ada-ada aja. Jadi, Bunda sama Tante mirip tukang jamu gitu kalau rambutnya dicepol?" protes Bunda.
"Ya, enggak," belaku. "Sudah ah, Tan, lanjut aja. Keburu Al datang terus ribut di bawah."
Tante Renata tersenyum dan mulai menata rambutku. Kali ini, ia mengepang secara fishtail membuat rambutku terlihat jauh lebih pendek dari aslinya. Poniku dibiarkannya menjuntai menutupi keningku. Diletakkannya kembali klip rambut di sisi kiri kepalaku untuk menyempurnakan mahakaryanya.
"Selesai!" serunya puas sambil membersihkan tangannya dari taburan bedak dan riasan lainnya.
Bunda menatapku takjub. Di matanya tersurat jelas rasa bangga bahwa aku sudah menjadi seorang gadis dewasa.
"Enggak nyangka anak Bunda secantik ini," puji Bunda. "Ren, kamu memang paling ahli dalam urusan seperti ini, ya."
"Une tuh, Say, enggak perlu dirias juga udah manis, cantik, anggun," tambah Tante Renata membuat pipiku memerah. "Makanya, ada yang kecantol sama dia."
"Ih, Tante, apaan, sih? Bunda juga," ucapku berusaha menahan malu. "Mana ada yang kecantol sama aku, Tan? Al aja tuh, suka aneh bilang aku cantik. Padahal niatnya ngeledek."
Aku menarik nafas panjang dan bayangan Al merasuki rongga otakku. Ya, begitu sering Al memanggilku cantik. Namun, di balik pujiannya dan hal-hal manis lainnya yang sudah terlalu sering dilakukannya, aku tahu maksudnya hanya ingin membuatku tersenyum. Tak lebih. Karena menurutnya, aku jarang mendapatkan pujian itu.
"Jangan sering berprasangka buruk, Ne," ujar Bunda. "Siapa tahu Al tulus."
Aku tersenyum pasrah. "Tan, ini gimana aku pakai gaunnya tanpa ngerusak ini semua?"
"Kamu pakai dari bawah aja," ujar Tante Renata. "Pinggang kamu kan, kecil."
Aku menuruti saran Tante Renata. Kupakai gaun berwarna selai kacang pilihan Al. Mawar putih kecil yang tersebar di ujung bawahnya menjadikanku semakin menyukai gaun ini. Kemudian, kupasangkan ikat pinggang berwarna senada dengan hiasan mawar putih tersebut melingkar di pinggangku. Untuk menambah kesan anggun dan elegan pada pakaianku, Bunda memberikan gelang perak dan anting yang serupa. Aku memakainya dan untuk pertama kalinya setelah hampir berjam-jam duduk tanpa menghadap cermin, aku pun mematut diriku di depan cermin itu.
Siapa gadis cantik yang sedang menganga ini? Aku tak mengenalinya. Namun, sorot matanya menguak jati diriku. Aku tak mungkin secantik ini. Ini semua hanya perhiasan biasa ala Tante Renata. Ini berkatnya dan karunia Tuhan Yang Mahaindah. Aku benar-benar tak tahu harus memberikan reaksi seperti apa. Lalu, bayangan Al kembali muncul. Bayangan atau lebih tepat harapan akan Al yang bakal menerbangkan sejuta pujian akan mahakarya Mamanya atas hasil yang terurai di sekujur tubuhku. Kuharap Al menyukai ini.
"Kamu sebaiknya pakai wedges yang sewarna sama gaun kamu," ujar Tante Renata. "Ada, kan?"
"Ada kok, Tan. Aku kan, penyuka warna selai kacang," beberku. Tante Renata manggut-manggut.
Aku menarik kotak sepatu dari sudut kamarku dekat lemari pakianku. Sepatu yang sudah lama berdiam diri di sana. Aku memakainya dan mulai berjalan. Ya, seperti kaum Hawa lainnya yang mencinta sepatu, aku pun kembali jatuh cinta pada sepatu.
Tak lama, suara klakson mobil terdengar hingga kamarku membuat baik aku maupun Bunda dan Tante Renata terkejut. Al sudah sampai. Dadaku serasa ingin meledak karena jantungku belum usai mereda. Deg-degan yang kurasa sedari tadi masih berlangsung dan kehadiran Al justru memperparah. Apa yang akan Al katakan padaku malam ini?
"Uneeeeeeeee, Assalamu'alaikum," serunya dari bawah hingga terdengar seisi rumah.
"Non, Nyonya, Al sudah di sini," tegur Mbok Num dari bawah.
"Ayo, kita kasih Al kejutan," ucap Tante Renata bersemangat.
Aku menarik nafas panjang berusaha memperlambat degup jantungku. Oke, Ne, ini hanya Al dan sebuah dandanan istimewa. Tak lebih. Jangan gugup. Tenang...
Aku perlahan turun bak putri raja yang akan menemui calon pangerannya di bawah sana. Seperti adegan film bangsawan romantis, langkahku pun melambat seakan-akan ada yang sengaja membuatku begitu. Al berdiri membelakangiku, jadi ia masih belum melihatku. Rasa deg-deganku semakin menjadi. Diamlah, tenanglah...
"Al," panggilku saat sudah berada di lantai yang sama dengannya.
Yang dipanggil menoleh. Al menatapku tak percaya dengan wajah dan mata berbinar. Senyumnya perlahan merekah di atas bibirnya membuatku juga sama tercengangnya. Al terlihat begitu rapi dan berkharisma. Rambutnya yang tertata sedemikian rupa dengan tubuh dibalut jas putih dan sepatu cokelat senada dengan kemejanya membuar penampilannya gagah. Wajahnya terlihat tak biasa dan dari matanya terpancar sinar aneh yang mengirimkan sejuta kupu-kupu ke dalam hatiku.
Al masih tercengang sambil mendekat padaku. Jantungku, Ya Tuhan. Aku menunduk malu karena tak hanya efek pada jantung ternyata jarak antara aku dan Al yang semakin dekat ini membuat pipiku yang sudah terpolas merah muda semakin memerah.
Al mendekat dan meraih poniku. Disibakkannya agar ia bisa melihat wajahku semakin dekat lagi. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya. Kami masih saling diam sama-sama merasa takjub.
"Gue lupa cara pakai dasi, Ne," ucapnya akhirnya sambil memberiku dasi kupu-kupu yang kemarin sempat kupaikan padanya.
Hanya itukah yang ingin ia sampaikan? Aku tersenyum lesu menunggu dan berharap ada lagi kalimat lain yang ingin ia ucapkan mungkin. Kuhembuskan nafas kecewa seraya meraih dasi dari jemari Al.
Aku melingkarkan lenganku di lehernya dan dengan jarak yang lebih dekat ini, aku semakin bisa merasakannya. Hembusan nafas Al yang menyentuh kulitku begitu hangat kurasa. Sambil menikmati momen ini, aku tetap memakaikan dasi itu. Seusainya, aku terdiam.
Al menyentuh daguku dan mengangkatnya. "Ne, lo..." ia menarik nafas. "You have just taken my whole breath away and even words can't afford how I'm feeling right now."
Aku menunduk tersipu malu. "Lebay."
"Lo ngeyel banget sih, sama gue, Ne," bantah Al sarat emosi. "Once, I beg you, just let me make you believe how amazing you look right now."
"Oke, gue percaya," ucapku mengalah.
"Terus, setelah gue sok bule, lo enggak memuji kegantengan gue?" goda Al.
Aku menarik nafas panjang. "Ganteng, kok. Cuma gara-gara lo, mata gue berair selama dipakaiin pensil mata."
"Sakit, ya?" tanya Al melembut. "Mau gue tiupin, enggak?"
Aku menggeleng.
"Ah, sini-sini. Gue tiupin yang sakit, ya," ujar Al seraya mendekat lagi ke wajahku. Aku menahan nafas. Lalu, ditiupkannya dengan lembut mataku.
Aku mendengar suara Bunda berdehem. Kontan aku mendorong Al menjauhiku. Al tersenyum lalu mendekat lagi dan merangkulku.
"Duh, kalian serasi banget," ucap Tante Renata. "Gimana, Al? Mama berhasil, kan?"
Al mengeratkan rangkulannya. "Mama emang enggak pernah ngecewain Al. Une cantik banget sampai tadi Al serasa main film romantis gitu."
Aki menoyor kepalanya. "Udah sok kegantengan, sok artis lagi."
Al menyengir. "Biasanya nih, ya, rambut lo bakal gue acak-acak. Tapi, berhubung lo lagi cantik banget, gue enggak tega."
"Tante, bisa enggak Tante bikin rambut Une kayak gini terus? Jadi, Al enggak akan ngacak-ngacakin lagi," pintaku pada Tante Renata.
Tante Renata dan Bunda tertawa renyah.
"Kalian tuh, ya, setiap ada Bunda atau Tante pasti aja susah akur," komentar Bunda. "Katanya pacaran, tapi kenapa susah banget akur?"
Tante Renata tersenyum penuh tanya pada Al. "Al, kamu enggak bilang ke Mama, ya?"
Al tertawa. "Nanti Al kasih tahu."
"Yuk, ah. Gue kan, masih perlu bikin senior gue kepincut sama dandanan gue. Kalau telat, nanti gue kalah saing sama yang duluan datang," godaku menggandeng lengan Al.
Al menaruh kepalaku ke lengannya. "Udah jadi pacar juga, tapi kegenitan."
Aku berusaha melepaskan diri. Namun, Al malah semakin merangkulku. Ia benar-benar membuatku harua terseret sampai mobilnya. Hingga sepatuku menghianatiku membuatku terjatuh.
"Une!" seru Bunda dan Tante Renata bersamaan dengan Al.
"Al, makanya kamu kalau bercanda jangan keterlaluan. Kasihan kan, Une jadi jatuh," ujar Tante Renata.
"Bisa bangkit, enggak?" tanya Al tak mengindahkan rasa sakitku. Aku menepia tangannya.
"Menurut lo?" balasku jutek.
Tanpa kusangka, Al menggendongku. Aku terkesiap dengan perbuatannya. Namun, aku tak ingin menolak. Seakan mengerti, Bunda membukakan pintu mobil agar Al dapat mendudukkanku. Setelah meletakkanku, ia menutup pintu dan pamit setelah mendapat omelan dari Mamanya sendiri.
Selama perjalanan, aku mendiamkannya. Mata kakiku masih nyeri, namun aku yakin tak separah itu. Hanya jatuh biasa. Yang membuatku kesal setengah mati adalah pertanyaan Al tadi.
"Harusnya ya, Ne, ini jadi malam tanpa luka," ucap Al memecah hening. "Gue minta maaf udah buat lo jatuh. Gue minta maaf udah seresek ini sama lo malam ini. Terlebih, gue minta maaf udah minta lo memakaikan dasi itu ke gue yang sebenarnya bisa pakai sendiri. Gue minta maaf gue udah..."
Aku menoleh pada Al menanti kata-kata berikutnya.

0 comments:

Post a Comment

Blog List

 

Re-A-Lis-Tic Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos