Wednesday, February 19, 2014

A Sampai Z, Kita Punya Cerita (16)

Posted by Unknown 0 comments
Chapter 2

2.8 "We almost knew what love was." -Ariana Grande ft. Nathan Sykes.

Aku masih dalam dekapan Al ketika lagu baru terdengar di pengeras suara. Layaknya Al, aku belum mau melepaskan dekapan ini walaupun kami sudah berdansa sekali mengikuti lagu sebelumnya. Hangat yang disalurkan Al melalui pelukannya benar-benar melindungiku. Aku menenggelamkan wajahku di dadanya berharap tak mengotori jasnya. Ingin sekali rasanya bisa jujur pada Al. Namun, keraguan masih merayapi hati dan pikiranku.
Lagu selesai dan baik aku maupun Al sama-sama merenggangkan pelukan kami. Al menatapku lama membuat jantungku seperti biasa berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
"Gue harap gue sabar menunggu lo, Ne," ucapnya pelan dan lembut. Aku tersenyum dan diam-diam berharap hal yang sama.

Dua hari setelah Pesta Dansa XII itu, tak ada komunikasi antara aku dan Al. Tidak ada pesan masuk yang memborbardir ponselku seperti sebelum-sebelumnya saat Al menuntut harus bertemu denganku. Tidak ada kunjungan yang serba tiba-tiba hadir di depan pintu rumahku mengusik ketenangan akhir pekanku. Terlebih, tidak ada ajakan yang mendadak untuk pergi menemaninya ke mana pun ia inginkan. Dan baru dua hari saja, aku sudah merindukannya.
"Non, sarapan dulu disuruh Nyonya," ujar Mbok Num menyadarkan lamunanku.
"Nanti aja, Mbok. Aku belum lapar," jawabku.
Aku pun kembali meringkuk menatap ponselku yang sudah 48 jam tak bersuara. Biasanya, pagi-pagi seperti ini ia akan menelponku hanya untuk mengatakan sesuatu yang tidak penting. Lalu, setelah frustasi menunggu sesuatu yang tak kunjung terjadi, aku memutuskan untuk kembali tertidur. Setengah berharap, aku berdoa agar orang yang kutunggu akan hadir saat aku bangun dari mimpi buruk ini.
***
Hari-hari setelah pesta dan dansa terakhirku bersamanya terasa sangat sunyi dan sepi. Harusnya pagi-pagi seperti ini aku sudah menelponnya hanya untuk sekadar mendengar suaranya yang masih mengantuk. Harusnya aku sudah menerima pesan masuk darinya yang mencaci maki diriku karena mengganggu akhir pekannya. Terlebih kepasrahannya akan ajakan-ajakan egoisku yang menyuruhnya segera bersiap untuk kubawa pergi seharian tanpa tujuan yang jelas hanya agar aku dapat menghabiskan waktu dengannya. Apa lagi hari-hari seperti ini. Dan yang terakhir, harusnya aku sudah menyuruh pembantunya menyuruhnya makan pagi walaupun aku tahu ia tak pernah begitu suka dengan sarapan.
Namun, pagi ini berbeda. Ponselku kubiarkan mati tanpa baterai agar aku tak ada niat untuk menelponnya. Padahal hati ini serasa ingin berteriak mengusik tidurnya karena aku ingin mendengar kekesalan dalam suaranya. Seharusnya malam itu tak kuucapkan kata-kata egois yang menandakan keserakahanku akan perasaannya. Seharusnya...
"Al, mau ikut Mama lari pagi, enggak?" tanya Mama setelah mengetuk pintu kamarku.
"Enggak, Ma. Al masih ngantuk," jawabku dengan intonasi yang seakan-akan aku benar-benar mengantuk.
"Ya sudah," balas Mama. "Kalau kamu bosan, minta Une ke sini aja."
Aku tertawa dalam hati mendengar ucapan Mama. Aku belum menceritakan apapun padanya tentang malam itu. Mendengarnya berkata seperti itu sesungguhnya sangat menyakitkan. Apa mau Une kusuruh kemari setelah semua yang terjadi?
***
Pomselku berdering membangunkanku dari tidur pulasku selama dua jam terakhir. Kulihat siapa yang begitu menyebalkan yang telah mengusik tidurku. Nama itu... Nama yang kutunggu-tunggu sejak pagi tadi. Akhirnya ia menelponku juga setelah selama itu. Aku langsung benar-benar duduk tegak sambil mengatur nafasku dan berdehem sebelum menjawabnya.
"Hmm?" jawabku setelah di seberang sana terdengar suaranya memanggil namaku. Gengsi ini masih mengganggu.
"Mama nyuruh lo nemenin gue di sini biar enggak bosen," jawabnya tanpa ekspresi. Aku melongos kecewa. Hanya itu?
"Emang nyokap lo ke mana?" tanyaku berusaha memperpanjang percakapan ini.
"Lari pagi menjelang siang," jawabnya singkat.
Aku menarik nafas. "Al, lo masih mikirin kejadian waktu itu?"
Hening...
"Lo sendiri?" tanyanya balik seperti biasanya. Ia tak pernah rela tersudut dengan pertanyaanku yang terasa begitu tepat.
"A little..." jawabku. A little too much, a little too often... sambungku dalam hati.
Al tertawa renyah. "Dan lo masih butuh waktu?"
Aku terdiam. Pertanyaan inilah yang selama dua hari semenjak ia mengungkapkan perasaannya yang selalu terngiang di kepalaku. Apa aku masih butuh waktu setelah begitu sering memikirkan ucapannya yang nampaknya tak pernah luput dari benakku?
"Enggak tahu, Al," jawabku jujur. "Gue ke rumah lo, deh. Kita ngobrol lagi. Gue...kangen lo usilin."
Iya, Al, aku kangen kamu usilin dengan berbagai perlakuanmu yang entah mengapa walaupun menyebalkan tapi begitu manis. Aku juga kangen caramu mengacak-acak rambutku tiap kali aku meledek atau mengucapkan sesuatu hal tentang dirimu. Aku kangen berada di sampingmu tanpa merasa secanggung malam itu. Aku kangen kamu dan ya, aku mencintaimu. Namun, aku juga butuh bantuanmu untuk menjawab keraguanku ini.
Al tertawa. "Ya udah ke sini aja, Ne. Lo mau dimasakkin apa?"
"Emang lo bisa masak?" tanyaku kaget.
"Enggak bisa. Makanya lo ke sini dulu bantuin gue masak," ujarnya seperti tak pernah ada kecanggungan di antara kami.
Aku terkekeh. "Okelah. Tunggu, ya."
Dan, aku pun dengan semangatnya bersiap-siap. Kuikat rambutku sekenanya dan kupakai baju yang tak muluk-muluk. Ini hanya Al dan ia tak akan mengejekku jelek.
***
Aku memutuskan untuk menelponnya setelah bertengkar dengan diriku sendiri. Aku kangen suaranya dan keputusan untuk membiarkan ponselku mati adalah pilihan bodoh! Kami bercakap seperti biasa lewat panggilan singkat ini. Akhirnya, aku bisa mendengarnya bicara lagi. Ia bertanya padaku perihal kejadian malam itu. Aku terdiam tak dapat banyak berbicara akan hal itu. Aku masih memikirkannya. Dari mulai insiden kecil di depan rumahnya hingga larut malam saat kuantar ia pulang. Aku masih mengingat dan mengulang semuanya sejak hari itu. Perkataanku dan keegoisanku. Gerakan kami di atas lantai dansa yang sangat lambat, namun begitu menghayati. Dekapanku yang dibalasnya dengan mantap. Serta kecupanku di keningnya saat selesai memberi tahunya rahasia besarku. Aku mengingat semuanya bahkan sampai di saat ia menangis di dalam mobilku. Semuanya... Tapi, yang kukatakan pada Une hanya pertanyaan balik yang menandakan betapa pengecutnya diriku.
"Lo sendiri?" tanyaku padanya.
"A little," jawabnya singkat. Ya, untuk apa dia memikirkan semua itu seperti aku?
Aku memaksakan tawaku dan melanjutkan obrolan kami. Ia memutuskan akan pergi ke rumahku siang ini. Kehadirannya di sini, apakah akan membawa perasaan canggung dan bersalah itu lagi?
"... Gue...kangen lo usilin," ucapnya di antara perbincangan kami.
Ya, ia tak pernah tahu betapa aku selalu lebih rindu pada dirinya dan pada kebiasaan usilku yang sering kutumpahkan padanya. Ia tak pernah tahu betapa aku ingin sekali selalu membuatnya kesal karena aku bisa melihat pesona aneh yang terpancar darinya setiap ia memukul lenganku atau menyipitkan matanya. Ia tak pernah tahu aku selalu lebih rindu padanya saat ia tak ada di dekatku walaupun hanya sekadar untuk meninggalkanku ke toilet atau untuk mengurusi kepentingannya yang lain. Ia tak pernah tahu.
Aku membiasakan diri dengan keadaan ini. Kupersilakan ia datang siang ini untuk mendiskusikan perasaannya padaku. Aku berjanji pada diriku sendiri tidak akan memaksakan apapun. Biarkan ia mencintai siapa pun, aku atau orang lain, karena cinta itu tak pernah berniat untuk menyakiti hati satu orang pun. Cinta itu bebas dan sederhana... Sesederhana melihat orang yang kita cintai bahagia walaupun tidak karena kita atau pun tidak untuk kita. Dan inilah yang harus kuyakini pada diriku sendiri. Aku mencintai Une dan apapun yang ia katakan nanti, aku akan membiarkannya memilih kebahagiaannya sendiri.
Une terkekeh. "Okelah. Tunggu, ya."
Always, Ne. Gue akan selalu menunggu lo...

Une datang tak lama setelah memutus panggilanku. Wajahnya kali ini lebih natural tanpa riasan apapun. Jenis cantik yang kusukai. Aku menyunggingkan ssenyum padanya ketika ia memasuki rumahku.

"Makan dulu ya, baru ngobrol," ucapku mengelakkan niat Une untuk membicarakan kejadian malam itu.
"Tadi kan, bilang ngobrol dulu," protesnya. "Kenapa? Lo risih sama gue? Lo enggak enak sama gue?"
Aku menautkan kedua alisku. "Tapi, itu udah gue siapin bahan masaknya."
"Al, lo gimana, sih? Sekali aja Al, gue minta lo serius sama perkataan lo," pinta Une. "Lo pikir gue enggak ngerasa gimana-gimana waktu lo ngomong gitu?"
Aku mengulang perkataan Une barusan dalam hatiku. Oke, satu hal yang terungkap kini bahwasannya Une risih padaku. Baiklah, Al, ini akan menjadi hari yang melelahkan.
"Kalau gitu, ngapain lo datang ke rumah gue?" balasku kesal. Kenapa pula aku kesal? Bukannya aku tak ingin memaksakan Une?
Une terkaget dan terbesir di matanya tatapan kecewa. "Lo masih sahabat gue. Mau gimana pun perasaan gue nanti, atau perasaan lo nanti, kita masih bersahabat, Al. Apa lo enggak menganggap gue seperti itu lagi?"
Aku menarik nafas panjang. "Oke, kita ngobrol dulu."
Une tersenyum lalu berjalan menuju meja makan. Ditariknya salah satu kursi makan agar ia bisa duduk di sana. Aku mengambil posisi berhadapan dengan Une. Santai saja, Al. Kau jujur bukan untuk merasa canggung...
"Gue juga suka sama lo," ucap Une sambil menundukkan kepalanya. Aku nyaris tak bernafas mendengarnya berkata seperti itu.
Une memendam rasa yang sama padaku. Ini bukan mimpi, kan? Kucoba menahan senyum bahagia dari wajahku agar aku tetap terkesan keren di hadapan Une. Aku hanya memberinya anggukan kecil. Sejujurnya, sama seperti orang yang jatuh cinta lainnya, hatiku bersorak bahagia.
"Tapi, gue enggak berani buat melepas persahabatan kita demi status yang bisa jadi enggak bertahan lama," sambung Une.
Aku tersenyum. "Sejujurnya, gue juga enggak berani. Pacaran sama cewek secantik lo."
Une tertawa lalu menendang kakiku yang berada tak jauh dari kakinya di bawah meja makan ini. Aku pura-pura meringis kesakitan. Une mendiamkanku, tahu kalau aku sedang berakting.
"Jadi, lo mau gimana sekarang?" tanyaku menyudahi gurauan singkat itu. Une mengangkat kedua bahunya memberikan jawaban yang begitu abu-abu.
"Enggak tahu, Al," jawabnya. "Lo sendiri?"
Aku menatap Une lalu lagi-lagi tersenyum. "Teman-teman kita udah tahu ini kita 'pacaran'. Kita lanjutin aja. Kali ini sepantasnya. Enggak ada canggung-canggung lagi."
Une mengangkat salah satu alisnya. "Dasar cowok! Modus!"
Aku tertawa. "Bukan gitu, Ne."
"Terus?" tanyanya.
"Di mata mereka, kita memang berpacaran. Tapi, lagi-lagi, ini bakal jadi rahasia," ucapku. "Di antara kita, cuma butuh satu. Dan itu adalah rasa saling memiliki. Gue enggak menuntut lebih."
Une tersenyum malu-malu. "Satu hal lagi."
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Enggak jadi," jawabnya semakin menambah rasa penasaranku.
"Ne, apaan?" tanyaku lagi.
Une tersenyum lagi kali ini dengan dua rona merah menghiasi pipinya. "Lo mungkin suka sama gue sejak pertama kali kita temenan. Jahatnya gue adalah gue selalu menyangkal perasaan suka gue ke lo, Al, selama kurang lebih beberapa bulan terakhir ini."
Aku terkekeh. "Cewek kalau udah jatuh cinta sama cowok ganteng tuh, pasti ngumpet-ngumpet."
"Idih, sok kegantengan banget sih, lo!" ledek Une. "Geli."
"Harusnya lo bersyukur, Ne," balasku. "Mantan lo aja enggak sesetia gue. Ubanan nih, nunggu empat tahun."
Une menyengir. "Ini kenapa gue sampai saat ini enggak mau berganti status sama lo. Gue takut kehilangan hal-hal kayak gini saat nanti kemungkinan buruk terjadi. Gue enggak siap kehilangan lo."
"Gue udah ngerasain kehilangan sahabat dan cewek yang gue sayang dua tahun lalu," ucapku. "Lo dan Zeus. Itu rasanya nyesek banget, Ne. Harusnya lo ganti rugi hati gue, nih."
Une mendengus kesal. "Enggak usah lihat-lihat uang lalu, Al. Lo mau gue gimana buat membetulkan hati Hello Kitty lo itu? Mau gue elus-elus? Atau gue peluk? Atau dicium?"
Aku tertawa. "Cium aja."
"Jangan, ah. Rabies," jawab Une. "Al, laperrrr..."
Aku tergelak mendengar jawaban Une barusan. "Masak, yuk! Kita masak bareng biar romantis."
Une tersipu, namun tetap mengindahkan perkataanku. Ia mulai sibuk pergi ke dapur mengumpulkan bahan-bahan yang akan dipakainya. Aku memerhatikan gerak-geriknya sampai ia sadar bahwa aku tak terlihat ada niat untuk membantunya. Ia menarik lenganku dan memaksaku untuk turun ke dapur bersamanya.
***
"Ne, masak sih, masak. Tapi, kenapa lo nangis gini?" tanya Al menatapku cemas. Bawang yang kuiris ternyata mengiris mataku jauh lebih parah. Bodohnya, aku mengusap airmataku dengan punggung tangan yang beraroma bawang. Bisa dibayangkan betapa perihnya...
"Ini bawangnya," ucapku lemah. "Pedih banget."
Al mendekat padaku dan melepaskan pisau dari tanganku. Ia menampung wajahku yang berlumur airmata dalam telapak tangannya. Kedua ibu jarinya mengusap lembut pipiku. Aku mengedip-kedipkan mata menyisakan rasa perih lainnya yang semakin menusuk-nusuk.
"Jangan dikedipin dulu," pinta Al. "Ini muka lo semua aromanya bawang. Kalau lo kedip, ya aroma itu lagi yang masuk ke mata."
"Abis perih banget, Al," rengekku.
"Ya udah, kita istirahat dulu masaknya," ucap Al. "Lo duduk dulu, gue ambil air dingin sama handuk kecil dulu buat bersihin aroma bawangnya dari muka lo."
Lalu, Al begitu saja pwrgi meninggalkanku. Iya, lebih baik dimanjanya seperti ini daripada harus mesra dan selalu bermanis-manis. Jika memang takdir kami disatukan, maka waktu itu akan datang. Bukan sekarang mungkin, namun pasti waktu yang tepat akan datang.
"Jangan protes apapun yang gue lakukan, ya," ujar Al membawa semangkuk air berisi es dan sehelai handuk kecil. "Merem!"
Aku melakukan yang diperintahkannya. Kupejamkan mataku dan memasrahkan wajahku pada Al. Terdengar perasan air. Al berdesis sesekali karena dingin.
"YA ALLAH! AL, INI DINGIN BANGET!" teriakku ketika handuk kecil yang ditangan Al menyentuh wajahku. Aku menepis tangannya.
"Gue bilang, jangan protes!" tegas Al.
"Tapi, ini dingin banget," rengekku nyaris menangis karena dingin yang mencubit ini. "Al, udaaaaahhhh..."
Al meletakkan handuknya itu, kemudian menangkup wajahku dalam telapaknya yang juga terasa dingin. "Hei, mau pedih lo hilang, kan? Enggak usah manja!"
Aku merengut, mengutyk Al dalam setiap hembusan nafasku. "Lo jahat banget. Sumpah."
"Gue jahat demi kebaikan lo," ucap Al diikuti sehelai handuk dingin yang mendarat di pipiku. Aku meringis kedinginan. Namun, aku tak dapat banyak berprotes. Al akan semakin marah dan malah tak kunjung jera akan rengekkanku.

Setelah insiden bawang itu, Al tak lagi memperbolehkan aku memasak di dapurnya apalagi mendekati bawang-bawang sialan ity. Ia memutuskan untuk memesan makanan cepat saji saja dan meninggalkan kerusuhan bsar di dapurnya. Ini bukan salahku dapur Al menjadi seberantakan itu. Ini murdi ide anehnya.
***
Tak lama setelah menyantap pesanan cepat saji pengganti kegagalan sesi masak kami, Une tertidur di sampingku sehabis kami menghabiskan waktu menonton film bersama. Wajah Une begitu lembut dan lugu. Pose tidurnya juga tidak berantakan. Aku menyingkirkan helai-helai rambut yang mengganggu matanya yang sudah tertutup ini. Une mulai bergerak mengagetkanku. Kukira ia akan bangun, tapi ternyata tidak. Aku tersenyum dan berjalan menuju kamarku untuk mengambilkan jaket agar tubuh Une dapat kututupi. Kuambil jaketku dan kembali turun untuk melakukan niatku. Di sebelah Une, aku perlahan-lahan diserang kantuk yang sama. Dan kami pun larut dalam mimpi masing-masing.

Kejadian setelah tidur siang kami hanya sekadar kedatangan Mama dan Papa. Une tak lama pulang dan aku menikmati malamku. Esoknya, hari baru tiba dan suasana hati baru juga datang menyambutku. Aku menjemput Une seperti biasa.
"Mas Al duduk dulu aja. Non Une masih siap-siap," ucap Mbok Num sesampainya aku di depan pagar rumah Une.
"Suruh cepetan dikit, Mbok," ucapku iseng.
"Loh, ini kan, baru jam setengah tujuh toh, Mas. Kenapa disuruh cepat-cepat?" tanya Mbok Num dengan ekspresi bingung membuatku tertawa.
"Biar Une panik," jawabku singkat.
Mbok Num menggelengkan kepalanya. "Mas Al ini ada-ada saja. Suka banget usil sama Non Une."
Aku tersenyum. "Une kalau diusilin lucu, Mbok. Al suka banget kalau dia udah ngambek."
Mbok Num terkekeh. "Pacaran kok, malah suka bikin ngambek? Eh, tapi kalian itu beneran pacaran, toh?"
"Menurut Mbok Num gimana?" tanyaku balik sambil mengedipkan sebelah mata.
"Wah, Mbok mah, setuju banget, Mas Al. Kalian cantik dan ganteng, jadi Mbok Num bilang sih, cocok," jawab Mbok Num memberikan senyum di wajahku. "Langgeng yo, Mas sama Non Une. Mbok panggil Non Une dulu."
Kemudian, aku ditinggal Mbok Num dengan senyum yang masih membekas di bibirku. Ya, Mbok, semoga kami benar-benar langgeng dalam hubungan ini. Beberapa menit setelah terdengar seruan Mbok Num untuk Une, orang yang dipanggil akhirnya muncul dengan wajah penasaran di hadapanku. Aku menatapnya tak mengerti.
"Itu Mbok Num kenapa senyam-senyum kayak gitu?" tanya Une seraya memakai helm.
Aku tersenyum simpul kemudian memakai helmku. "Kepo banget."
Une melayangkan tinjunya di lenganku. "Oh, jadi main rahasia-rahasiaan lagi. Oke, baiklah. Gue juga bakal main rahasia-rahasiaan."
Aku pun menaiki motorku dan menyuruh Une untuk bergegas naik juga. Setelah ia siap di posisinya, aku menarik kedua lengannya agar melingkar di perutku. Une terkesiap, namun tak ada tolakan darinya. Aku tersenyum di balik kaca helmku.
"Tapi, lo enggak bisa ngerahasiain perasaan lo sekarang, kan?" tanyaku dengan senyum puas yang tak bisa dilihat Une.
Une kini berusaha melepas pelukannya. Aku menahan tangannya seraya menghidupkan mesin motorku. Ia masih tetap berusaha hingga akhirnya menyerah. Lagi-lagi aku tersenyum puas. Kutancapkan gas agar kami lekas sampai di sekolah.
Tempat parkir sudah sarat dengan motor-motor lain. Sialnya, aku jadi harus memarkirkan motorku tepat di posisi yang tidak strategis. Aku menyalahkan Une yang superlelet untuk masalah ini. Ia menoyorku tapi kemudian meminta maaf. Aku mengacak-acak rambutnya seperti biasa membuat kekesalannya semakin menjadi. Une berusaha meraih rambutku, tapi kegagalan menghampirinya. Ia pun meninggalkanku seolah-olah marah padaku. Aku mengejarnya setelah menyimpan rapi helmku dan helmnya di motor.
Kurangkul Une yang sedang berjalan sendirian. "Jomblo banget ya, jalan sendirian."
Une mencoba melepaskan diri. "Apaan sih, lo?"
Aku menyengir. "Itu rambut makanya ditata yang rapi banget biar gue ngerasa bersalah udah ngacak-ngacak."
"Rambut-rambut gue juga! Lo aja tuh, resek banget," balas Une.
"Jangan marah, dong, Ne. Jelek," ucapku sambil merangkulnya lebih erat.
"Lo tuh, jelek!" ledek Une. "Jauh-jauh lo! Gue mau cari cowok lain aja yang enggak resek."
"Resek-resek kayak gini setia loh, Ne!" seruku ketika Une berhasil lepas dari rangkulanku dan sudah jauh berlari. "Jarang ada cowok yang kayak gitu!"
Une memberhentikan langkahnya lalu menoleh ke arahku. Ia menyipitkan matanya kemudian kembali meninggalkanku. Aku tersenyum puas. Lalu, kuputuskan untuk mengejarnya.
Kelasku saat ini ramai dengan berbagai cerita tentang malam Pesta Dansa itu. Une dan aku terdiam menikmati canggung kami lagi. Sesekali aku berani mengusilinya selagi ia tampak serius merapikan buku-bukunya. Kesempatanku menjadi semakin besar untuk mengganggu Une ketika aku sudah duduk di sampingnya.
"Al! Sana-sana! Gue mau belajar," erang Une seraya mendorong tubuhku menjauh darinya.
"Kok, gue-elo sih, Ne? Yang unyu, dong," protesku. "Kita kan, udah pacaran."
Une menoleh ke arahku dan meninju lenganku cukup kuat. Aku meringis kesakitan, namun tak cukup sakit untuk membuat Une khawatir. Ia hanya kembali menyibukkan dirinya sementara aku kembali memikirkan cara lain untuk mengganggunya.
"Ne, ajarin, dong. Enggak ngerti, nih. Kita belajar bareng aja, yuk!" ajakku sambil memohon-mohon pada Une.
Une menghembuskan nafas kesal. "Oke, tapi enggak ada iseng-isengan!"
Aku tersenyum lalu memberi Une hormat. "Siap, Komandan!"
Une membalasnya dengan menoyor kepalaku. "Katanya pacar, kok, jadi 'Komandan'?"
"Cieeeeeee! Akhirnya mau diakui juga, Ne," ledekku lalu melayangkan senyum pada Une sambil menyenggol lengannya. Une tersenyum malu-malu.
Aku mendengar suara Anita berdehem dari bangku yang ada di belakangku. Wajahnya tersenyum penuh arti. Une dibuatnya salah tingkah sehingga terus menunduk memendam wajahnya. Aku sendiri menyengir bahagia.
"Duh, bikin iri deh, yang pacaran sekelas," goda Anita. "Silakan, lanjutin aja. Biar gue mupeng di sini kayak orang galau."
"Makanya, Nit, harusnya lo jadiannya sama Aqil. Jangan sama yang lain biar enggak mupeng," ucapku asal. Tak lama yang dibicarakan datang sambil mengucapkan salam yang lantang.
"Assalamu'alaikum!" sapanya ketika memasuki kelas.
"Wa'alaikumsalam," balas anak-anak sekelas.
"Panjang umur, Nit. Pangeran lo datang," ucap Une mewakilkanku.
Anita bergidik kesal. "Lo jahat, June. Lama-lama kalian ngeselin, ya. Makin pacaran bukannya malah makin bikin happy."
"Qil," sapaku saat Aqil berjalan mendekatiku.
"Pasangan baru, ye? Bahagia banget," ucap Aqil seraya mengambil tempat duduk yang sudah diduduki Anita.
"AQIL! Please, deh! Lo enggak lihat apa gue udah duduk di sini?!" bentak Anita yang nyaris tertimpa Aqil.
Aqil menyumbat telinganya. "Maaf, Nit! Enggak lihat, santai aja, dong. Lo masih pagi udah jelek aja."
Kemudian kekesalan Anita meningkat karena Aqil menoyor kepalanya. Aku dan Une berbagi tawa. Anita memukul-mukul Aqil mencoba menghindar dari perlakuan temanku itu. Aqil justru dengan senang hati menjauhi Anita.
"Jauh-jauh lo dari gue, Qil! Alergi!" seru Anita tidak memperbolehkan Aqil duduk di bangkunya.
"Apa-apaan lo! Ini bangku gue juga," protes Aqil.
"Gini aja. Kalian buat perjanjian duduk," ujarku. "Jatah Anita cuma sebatas bangkunya dan kolong meja bagian dia. Aqil juga gitu. Kalau ada yang melebihi itu, berarti kalian harus sharing laci dan kolong meja selama tiga hari."
Aqil menyipitkan matanya. "Bro, lo jadi kenapa jahat gitu sama gue?"
Anita menganga. "Ogah banget, deh, Zal. Sharing laci sama anak ini?! Ya Allah Gusti! Bisa-bisa barang-barang gue tuh, lewat semua. Kandas!"
"Makanya, kalian coba dulu," tambah Une mendukungku. "Ini namanya permainan kepercayaan, Nit. Lo harus mempercayai Aqil buat enggak ngambil jatah lo. Dan Aqil juga begitu. Itu kalau kalian enggak mau sharing."
Aku tersenyum. "Benar banget nih, my baby cantik."
Une menatapku jijik. "Apaan sih, Al!"
Aku mencolek dagu Une. "Jangan salting gitu, ah. Lama-lama mirip Anita."
"Oke, FINE!" ucap Anita. "Kita coba ide gila lo ya, Zal."
Aqil menghembuskan nafas kecewa. "Oke, gue enggak takut. Sampai lo yang ternyata duluan menyentuh teritori gue, gue cium lo!"
Anita menampar Aqil. "GELI!"
Aku dan Une lagi-lagi tertawa melihat tingkah teman-teman kami. Aqil menyengir pada Anita yang wajahnya penuh dengan kekesalan dan rasa jijik yang memuncak. Cinta itu sederhana, namun bisa menjadi rumit ketika menabrak pasangan yang salah...
***
Jam pelajaran keempat baru saja dimulai setelah sempat terpotong pengumuman berdurasi limas belas menit dari kepala sekolah. Kepalaku mendadak pusing hebat dan membuatku tak bisa berkonsentrasi belajar. Aku terus menunduk di samping Al sambil sesekali memijat keningku sendiri. Al memerhatikanku. Sesekali mau bertanya ada apa, namun aku menjawab bahwa aku masih baik-baik saja. Kami lewati dua jam pelajaran bersama di mana selama itu juga aku berusaha sekuat tenaga menahan pusing yang tiba-tiba itu.
Istirahat akhirnya datang. Anita mengajakku pergi ke kantin. Mencoba menghiraukan rasa sakit kepalaku, aku menurutinya. Tak lama aku melihat Al dan Aqil mengekor dari belakang. Selagi aku berjalan, sekelilingku terasa seperti bergetar layaknya sedang gempa hebat. Aku tak kuat lagi menahan dan tubuhku lunglai. Kesadaranku masih ada, hanya saja kepalaku terasa sangat berat.
"Une!" terdengar suara Al berteriak di belakangku dan langkah kakinya yang panjang. Lengannya menangkapku ketika aku nyaris terhuyung jatuh menyentuh tanah.
"June," panggil Anita ketika Al berhasil menangkapku di tangannya. Aqil mengulang panggilan Anita dengan wajah yang khawatir.
"June, muka lo pucat banget," ucap Aqil yang segera membantu Al memegangiku.
"Ne, lo gue antar pulang sekarang," ujar Al tegas. "Qil, lo tolong dong, ke BK minta surat izin buat Une dan gue. Bilang aja Une pingsan."
Aku menarik nafas yang terasa sesak. "Al, tapi kan, tadi kita berangkat pakai motor."
"Oh, iya!" seru Al kesal. "Qil, lo bawa mobil, enggak?"
"Enggak. Tapi, tadi gue lihat Dadan bawa," beber Aqil. "Gue sekalian ke dia, deh. Pinjam kunci sama STNK dan sebagainya."
"Enggak perlu!" ucap seseorang lainnya. "Une biar gue aja yang bawa ke rumah sakit. Gue tadi bawa mobil, kok."
Al menoleh ke arah sumber suara. Aku melihat Zeus berdiri gagah tak jauh dari posisiku saat ini. Wajah Al mengeras dan memelukku lebih erat seakan tak mau kehilangan diriku pada orang yang sama lagi. Aku terlalu lemas untuk membalas pelukan itu.
"Enggak," bantah Al. "Une cewek gue sekarang. Enggak ada hak buat lo dekat sama dia apalagi sampai nyentuh dia. Ne, lo pulang sama gue pakai mobil Dadan."
Zeus menghembuskan nafasnya lalu mendekat. "Lo masih mau buat dia nunggu jawaban dari teman lo itu dengan kondisi dia yang kayak gini? Sementara gue dengan sangat terbuka mau memberikan dia tumpangan pulang?"
"Al," rintihku.
"Une, please, lo masih kuat, kan?" tanya Al khawatir. Aku menggeleng bukan untuk membuat Al tersudut karena ucapan Zeus, melainkan karena aku sudah benar-benar tidak sanggup untuk menunggu. Al menghembuskan nafasnya.
"Gue pulang sama Une," tegas Al pada Zeus.
Lalu, setelah perdebatan singkat yang membuatku semakin susah bernafas itu, Al menggendongku sampai ke mobil Zeus. Ia bersikeras menopang kepalaku di jok belakang sedan Zeus ini selagi pemilik mobil membawa kami ke rumah sakit terdekat. Nafasku semakin pendek dan kepalaku seolah-olah penuh dengan udara yang terasa berat. Kaki dan tanganku dingin. Aku meremas jemari Al memintanya berbagi rasa dingin yang menjalari tubuhku ini.
Al mencium buku-buku jemariku. "Ne, stay with me."
Aku berusaha menyunggingkan senyum lemah pada Al. "Al...susah na...fas."
"Coba lo tegakin badannya," ujar Zeus sambil mengemudi. "Biar udara di tubuhnya ngalir."
Al melakukan saran Zeus dan menegakkan tubuhku dan menyenderkanku di dadanya. Setengah memelukku, ia ikut membantuku mengatur nafasku yang semakin sesak. Pandanganku sudah abu-abu dan kunang-kunang. Tak lama semua menghitam.
***
"Al...susah na...fas," keluhnya dengan senyum menghadapku. Rasa khawatir dalam diriku memuncak melihat gadis yang teramat kusayang kesakitan seperti ini. Andai ia dapat membagi sakitnya padaku yang insyaAllah lebih kuat...
"Coba lo tegakin badannya," ujar Zeus yang nyaris kuanggap tak ada sejak tadi. "Biar udara di tubuhnya ngalir."
Aku menegakkan tubuh Une dan membiarkannya bersender di dadaku tanpa peduli beban yang akan menimpa bagian depan tubuhku. Aku memeluknya, namun berhati-hati untuk tidak menahannya untuk bernafas. Dalam hati aku berdoa agar Une tetap bersamaku, dalam keadaan sadar, sampai ia menjumpai ranjang rumah sakit. Namun, Tuhan berkata lain. Une tak lama memejamkan mata dan aku tahu Une sudah tak sadarkan diri.
"Ne," panggilku sambil menepuk-nepuk lengan Une. Rasa panik menjalari sekujur tubuhku.
"Ne! Une bangun," ucapku sekali lagi. "Zeus, berapa lama lagi?"
"Satu belokan lagi," jawabnya.
Setelah melewati belokan yang dimaksud, kami pun sampai. Baik aku maupun Zeus sama-sama tak ambil pusing dan langsung membawa Une ke IGD. Dengan sigap perawat beserta satu satpam mengangkat Une dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang rumah sakit. Aku dan Zeus ikut bersama mereka. Dalam kondisi apapun, aku tetap memegang janjiku untuk tak membiarkan Zeus mendekati Une, sekali pun itu darurat. Aku harus menjaga Une karena kini Une tanggungjawabku sebagai sahabat dan orang yang memiliki hatiku. Bukan Zeus lagi.

Tiga puluh menit menunggu di luar ruang gawat darurat rumah sakit bersama seseorang yang paling kau benci adalah hal teramat tidak menyenangkan bagi seseorang. Namun, aku menjalaninya sedari tiga puluh menit yang lalu. Wajah Zeus tak kalah cemas dengan wajahku. Setelah Une masuk dan dijalari infus tadi, aku langsung menelpon kedua orangtuanya beserta orangtuaku. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda kehadiran mereka.
"Udah lo hubungi orangtuanya?" tanya Zeus memecah hening yang lama menyelimuti kami. Aku cukup mengangguk.
"Kalau mereka datang, gue harap lo pulang," ujarku tegas. Zeus menghembuskan nafasnya yang sarat dengan rasa kesal.
"Oke," jawabnya singkat.
Dokter yang saat ini menangani Une akhirnya keluar lagi setelah sebelumnya sempat memintai keterangan tentang Une dan hubunganku beserta Zeus dengan Une. Ia memperbolehkan kami masuk. Seolah mengerti atau mungkin hanya gestur kesopanan, Zeus mempersilakan aku melihat Une terlebih dahulu. Aku pun masuk ke bilik tempat Une masih beristirahat. Une sudah sadar.
"Kamu boleh di sini, temani dia. Tapi, jangan bikin dia capek atau jangan bikin ribut, ya," ujar sang Dokter.
Aku tersenyum lemah. "Une sakit apa, Dok?"
"Dia mengalami shock karena diduga tadi kondisi lambungnya kosong dan seperti orang maag. Sakitnya itu sudah di batas kekuatan si pasien," jelas Dokter itu. "Karena tidak sanggup menahan sakitnya lagi, nafas dan tekanan darahnya semakin sesak dan semakin turun hingga tadi tak sadarkan diri sebentar. Nah, makanya kamu jangan banyak ajak dia bicara atau berpikir dulu. Nanti bisa memicu lagi."
Aku mengangguk-angguk, sedikit banyak mengerti semua penjelasan Dokter itu. Kulihat wajah Une yang saat ini sudah tidak sepucat sebelumnya. Ia masih bisa menyunggingkan senyum untukku dan sang Dokter dalam kondisinya seperti itu. Mau tak mau aku menggelengkan kepala dan merasa ingin tertawa. Gadis ini...
"Ya sudah, kamu silakan temani dia," ucap Dokter. "Kalau ada apa-apa, kasih tahu perawatnya saja."
Aku memberikan Dokter itu senyumku. "Makasih ya, Dok."
Setelah itu, kudekati Une dan duduk di kursi kecil sebelah ranjang Une. Aku meraih jemarinya dan tanpa ragu ia membalas genggamanku. Aku memperlihatkan Une senyumku yang sudah sangat lemah. Melihatnya terbaring dengan segala macam selang dan tusukan infus serta alat-alat lainnya sungguh menyiksa diriku sendiri. Apalagi harus menunggu setengah jam bersama kabut dalam kepalaku sendiri tanpa bisa mengetahui keadaannya. Tuhan, syukurlah Une sudah sadar.
"Al," panggil Une lemah. Aku mendekatkan wajahku dan menenggerkan daguku di tiang ranjang.
"Apa, Ne?" balasku lembut seraya mengelus-elus punggung tangannya.
Sebelum menjawab, ia tersenyum. "Maaf ya, jadi ngerepotin dan ngebuat kamu khawatir."
Giliranku tersenyum. "Ne, enggak usah dipikirin. Gue direpotin, ngehawatirin, bahkan kalau perlu ngejagain lo tuh, udah jadi agenda gue. Lo enggak perlu minta maaf, Ne. Gue sayang sama lo."
Une menarik nafasnya yang masih terdengar sesak. "Gue... Aku juga sayang sama kamu, Al. Makasih, ya."
Aku tersenyum mendengar ucapan Une. Khawatirku, resahku, panikku, semua kabut dalam benakku terasa seperti telah diangkat setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Une itu. Aku menatap Une tulus dan mencari dusta yang mungkin tersimpan di sana di balik kata-kata manis itu. Tidak ada. Kali ini Une benar-benar mengucapkan kata-kata itu apa adanya.
"Lo kan, sudah pasti dirawat nih, Ne," beberku. "Jadi, nanti pas dirawat, lo enggak perlu khawatir sama tugas dan ulangan atau catatan. Gue bakal nge-back-up semuanya buat lo dan setiap hari gue bakal pulang ke sini nemenin lo. Janji."
Une tersenyum lemah. "Iya, iya. Sekali lagi, makasih banyak ya, Al."
Aku mencium punggung tangan Une. Kemudian, aku mendekat ke wajahnya dan mengecup keningnya lama. Cepat sembuh, Ne. Melihat lo sakit sebenarnya juga menyakitkan. Namun, di antara kita, harus ada yang lebih kuat. Dan saat ini, itu tugas gue.

Thursday, February 13, 2014

A Sampai Z, Kita Punya Cerita (15)

Posted by Unknown 0 comments
Chapter 2


2.7 "Fell in love with you that first night." -Tyler Ward.

"Al," panggilnya lembut beberapa meter di belakangku. Jantungku berdegup kencang tak menentu. Malam ini harus menjadi malam terindah untuknya dan untukku.
Aku memutar tubuhku dan melihatnya berdiri anggun di depan kedua ibu kami. Wajahnya benar-benar tak kukenali. Namun, sorot dan binar matanya masih menyimpan sejati dirinya. Rambutnya tertata indah dengan sebuah klip putih di samping kiri kepalanya. Bibirnya sederhana menghadirkan kesan lugu yang menarik perhatianku. Lengannya yang tak tertutup terkulai anggun di kedua sisi tubuhnya. Perhiasan yang ia pakai di seluruh tubuhnya menghadirkan kesan elegan. Sepatu tinggi yang dipakainya benar-benar membuat tubuh gadis ini menjadi lebih manis dari biasanya. Ia benar-benar menyerupai Dewi cantik yang membawa cinta malam ini layaknya Aphrodite. Ia benar-benar merealisasikan namanya malam ini. Dan aku adalah pria yang beruntung dapat menjadi pendampingnya semalam suntuk ini.
Aku berjalan mendekatinya, menjemput belahan hatiku yang tersimpan di sana. Kuraih poninya yang akhir-akhir ini menjadi bonus tersendiri bagiku. Kusibakkan poni itu agar aku dapat menatap wajahnya lebih dekat dan melebur di kedua bola matanya lebih dalam. Nafasnya menderu menabrak leherku membawakan sensasi hangat ke sekujur tubuhku. Aku teringat akan ide usilku yang melepas kembali dasi kupu-kupu hanya agar ia bisa memakaikannya padaku dalam jarak yang teramat dekat.
"Gue lupa cara pakai dasi, Ne," dustaku, lalu memberikannya dasi mungil itu. Ia tersenyum manis dan menghembuskan nafasnya.
Ia melingkarkan lengannya di leherku. Jarak kami semakin habis. Lagi-lagi deru nafasnya menyentuh leherku dan mengembalikan sensasi itu. Aku menikmatinya berharap bisa terus seperti ini, sedekat ini dengannya. Namun, momen itu berakhir. Ia terdiam di sana.
Aku meraih dagunya takut-takut akan merusak riasan wajahnya yang sudah nyaris sempurna. "Ne, lo..." aku menarik nafas. "You have just taken my whole breath away and even words can't afford how I'm feeling right now."
Ia menunduk malu. "Lebay."
Argh! Malam ini saja, Ne, tak bisakah lo mengakui cantik lo?! Teriak hatiku kesal.
"Lo ngeyel banget sih, sama gue, Ne," protesku frustasi. "Once, I beg you, just let me make you believe how amazing you look right now."
"Oke, gue percaya," balasnya pasrah.
Aku tersenyum dalam hati. "Terus, setelah gue sok bule, lo enggak memuji kegantengan gue?"
Ia menarik nafas. "Ganteng, kok. Cuma gara-gara lo, mata gue berair selama dipakaiin pensil mata."
"Sakit, ya?" tanyaku khawatir. "Mau gue tiupin, enggak?"
Ia menggeleng. Ah, biarlah... Tiup saja agar jarakmu semakin dekat, Al.
"Ah, sini-sini. Gue tiupin yang sakit, ya," ujarku sambil mendekat ke wajahnya. Kutiup matanya lembut.
Tante Shania berdehem membuat Une mendorongku seketika. Aku tersenyum puas dan mendekat lagi untuk merangkulnya.
"Duh, kalian serasi banget," komentar Mama. "Gimana, Al? Mama berhasil, kan?"
Aku mengeratkan rangkulanku pada Une. Setelah lama bercanda dan berbincang-bincang, aku semakin tak sabar ingin memamerkan Une pada semesta betapa cantiknya ia malam ini. Ia menyuruhku untuk segera pergi karena tak ingin ketinggalan perhatian dari senior-senior kami. Gadis ini, sudah bersandiwara pun kami, tetap saja naluri wanitanya masih mengalir.
"Udah jadi pacar juga, tapi kegenitan," protesku sambil meletakkan kepalanya dekat lenganku. Ia berontak ingin melepaskan diri.
Kami berjalan bersisian hingga akhirnya Une terjatuh. Baik Mama maupun Tante Shania berseru kaget. Aku pun begitu. Argh! Bahkan kau masih harus menyakitinya di malam yang spesial ini?!
Une terduduk dan sambil merasa marah pada diriku sendiri, Mama mengindahkannya dengan memberiku omelan pedas. Aku menarik nafas yang sarat dengan emosi.
"Bisa bangkit, enggak?" tanyaku pada Une sambil merasa sangat bersalah. Wajahnya membeku tak percaya. Bodoh, kau baru saja melihatnya jatuh dan ia saat ini terduduk kesakitan, kau masih bertanya seperti itu?! Bodoh!
"Menurut lo?!" balas Une jutek.
Aku menggendong gadis ini hingga mobil. Tante Shania membukakan pintu penumpang dan aku meletakkannya di sana. Setelah menutup pintunya, aku berpamitan pada kedua ibu kami.
"Ini malam spesial, Al. Kamu harus bisa jaga Une dan buat dia ingat sama malam ini," ujar Mama. "Ini mungkin salah satu dari kejadian yang harus kamu hindari. Kamu tidak boleh membuat Une sakit lagi. Tidak malam ini."
Aku menghembuskan nafas tak bisa banyak berkata-kata. Ya, bahkan di malam yang seistimewa ini aku masih belum mampu sepenuhnya memperlakukan Une layaknya seorang putri. Hari ini hari istimewanya bersamaku. Harusnya tak boleh ada ruang untuk rasa sakit.
Aku masuk dan duduk di depan kemudi mobil. Sejuta hal berkeliaraan di benakku. Rasa bersalah dan emosi serta keinginan untuk mengungkapkan perasaanku begitu memuncak. Hening yang diberikan Une menambah tekanan pada batinku hingga akhirnya aku mengatakan sesuatu yang tak pernah kubayangkan akan kuucapkan.
"Harusnya ya, Ne, ini jadi malam tanpa luka," ucapku setelah sunyi yang cukup mencekam. "Gue minta maaf udah buat lo jatuh. Gue minta maaf udah seresek ini sama lo malam ini. Terlebih, gue minta maaf udah minta lo memakaikan dasi itu ke gue yang sebenarnya bisa gue pakai sendiri. Gue minta maaf gue udah..."
Aku merasakan tatapan yang penuh dengan tanda tanya di samping kiriku. Katakan saja padanya, Al. Malam ini...biarkan semua rahasia terbuka.
Aku menoleh dan menatap Une sebagaimana ia menatapku saat ini. Kumatikan mesin mobil di tepi jalan yang sudah sangat dekat dengan tujuan kami. Aku menggenggam jemarinya setelah melepaskan sabuk keselamatanku.
"Ne, gue minta maaf gue udah..." ucapku sekali lagi. "...gue udah jatuh cinta sama lo dari pertama kali kita berteman. Gue udah jatuh cinta sama lo selama empat tahun terakhir ini. Gue minta maaf gue enggak pernah bilang sama lo karena gue ngerasa perasaan ini bukan hak gue yang harus gue perjuangkan."
"Tapi, Ne, malam ini...malam ini terlalu indah buat gue untuk terus bertahan enggak ngasih tahu lo. Lo dengan gaun lo itu...melihat lo setelah diubah sama Mama tadi untuk pertama kalinya, gue sadar gue enggak bisa bertahan diam dengan perasaan gue," jelasku. "Gue minta maaf, Ne."
Une masih diam dalam duduknya. Maafkan gue, Ne, malam ini sudah terlalu egois memaksakan perasaan gue yang sudah tak bisa tertahan lagi.
"Gue enggak menuntut hal yang sama dari lo," lanjutku masih menggenggam Une. "Gue hanya minta satu. Satu untuk malam ini yang bisa jadi malam terakhir gue bakal dengar lo bicara... Berdansalah dengan gue nanti tanpa memikirkan ucapan gue tadi. Setelah itu, gue serahkan semua sama lo. Lo mau gue menjauh, gue bakal menjauh. Tapi, kalau lo merasakan hal yang sama, gue harap lo mau memberikan gue jawaban atas harapan gue."
Une menarik nafas lalu menundukkan kepalanya. Beberapa detik kemudian, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum. Airmatanya mengalir di atas kedua pipinya. Ne, jangan menangis...
***
Aku mendengar semuanya. Al, ternyata kamu merasakan hal yang sama. Ternyata perasaanku tak hanya rasa satu sisi saja. Ternyata bahagia itu sederhana. Namun, mengapa aku tak langsung memelukmu? Mengapa masih ada perasaan ragu dalam hatiku yang belum mau mengatakan hal yang serupa? Padahal, kamu sudah cukup berani memulainya terlebih dahulu? Mengapa aku merasa takut?
Aku menarik nafas dan menundukkan kepalaku. Airmataku mengalir setelah mendengar semua perkataan Al. Ini airmata apa? Apa aku sedih? Atau bahagia? Bahkan aku sendiri tak mengerti. Kau mencintainya, lalu apa yang kau ragukan? Aku mengangkat kepalaku dan membiarkan Al kembali melihat tangisku yang tak pernah bersuara. Aku tak tahu harus menerimanya, meskipun ini bukan ajakan kencan seperti di film romantis yang banyak kutonton. Aku tak tahu harus menolaknya karena terlalu takut untuk mencoba hal yang jauh dari kebiasaanku...dan kebiasaan kami sebagai dua orang sahabat. Aku tak mau menghancurkan hal seindah itu, namun aku juga tak mau kehilangan Al.
"One dance, Al," ucapku mengangkat telunjukku sambil bergetar. Al tersenyum dengan mata yang tak kalah menyedihkannya dengan suaraku saat mengucapkan satu kalimat singkat itu.
"Hanya satu, Ne," ulangnya kemudian mengusap airmataku yang nyaris melunturkan riasan wajahku. Ia mendekat setelah itu lalu mengecup keningku cukup lama. Lagi-lagi membawakan airmata pada diriku. Inikah perpisahan kami? Tapi, bukankah semua pertanyaan sialan itu sudah terjawab kini?
"Malam ini, tolong lo biarkan gue mencintai lo dengan satu dansa aja. Itu sudah cukup buat gue," ucap Al.

Sesampainya di gedung sekolah kami yang sudah berubah drastis, aku berusaha sekuat tenaga menahan rasa canggung itu. Al kembali menjadi dirinya yang seakan-akan tak pernah berkata seperti tadi. Aku mengikuti permainan kecilnya ini dan menelan pahit kenyataan yang akan terjadi besok atau dua hari lagi di sekolah nanti saat bertemu dengannya.
"Loh, kalian jadian?" tanya Nadine terkejut saat melihat aku dan Al jalan bergandeng tangan.
"Iya. Akhirnya," jawab Al singkat seraya merangkulku.
"Bagus, dong. Akhirnya, kalian sadar kalau kalian saling ada perasaan," ucap Nadine lagi.
"Al, keren juga lo," puji Esa pada Al.
Tak lama, Fian dan Rangga datang bersama pasangan mereka yang tak lain adalah teman-teman kami juga. Fian tersenyum melihat aku dan Al sedekat ini. Aku membiarkan Al menjagaku semalaman ini. Ne, apa lagi yang kau ragukan?!
Datanglah saat harus berdansa. Al mengajakku lembut dan di matanya tersimpan harapan besar akan aku. Ya, Al, aku akan mengatakan segalanya padamu suatu saat nanti. Mungkin esok hari, lusa, atau saat kita lulus nanti. Entahlah... Namun, kau harus tahu aku juga memendam rasa padamu.
Lagu Tyler Ward yang berjudul "Falling" memenuhi rongga udara di antara pasangan-pasangan yang berbahagia ini. Al mendekat padaku dan melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku pun melingkarkan lenganku di lehernya. Aku menatap matanya sebagaimana ia menatapku kini.
Kami berdansa dalam diam mengikuti alunan musik saja. Seketika dunia terasa kosong dan hanya ada aku dan Al. Al tersenyum padaku, senyum yang terlihat jauh lebih indah dari biasanya.
Al menyibakkan poniku yang menjuntai menutupi mataku. "I don't know what will happen tomorrow, Ne. Maybe you'll push me away or maybe you'll say the same thing."
Aku menyunggingkan senyum. "I won't push you away. I just need time...to figure out my own feelings. And I know you'll wait for me and I hope it will stay that way."
Al mendekapku dalam peluknya. Beberapa orang memerhatikan kami. Aku menikmati ini. Ya, aku tak akan menjauhinya. Karena kehilangan dirinya adalah hal terakhir yang kuinginkan di antara kami.

A Sampai Z, Kita Punya Cerita (14)

Posted by Unknown 0 comments
Chapter 2


2.6 "Feels like I'm falling and I am lost in your eyes." -Taylor Swift.

Aku memasuki rumah bersama Tante Renata, tak siap akan diapakannya. Jujur saja Tante Renata memang pakar dalam hal tata rias wajah. Namun, kali ini aku sungguh merasa gugup. Bagaimana jika Al tetap menganggapku jelek meskipun Mamanya sudah susah payah mendandani orang yang memang terlahir seperti ini? Oke, Une...pasrahlah.
"Kamu mau di-make up di mana?" tanya Tante Renata.
"Di kamar aja, Tan. Aku malu," jawabku. Tante Renata tersenyum. Kami pun segera menuju kamarku.
Bunda melihat kehadiran Tante Renata dan selagi aku mandi sore, mereka menyempatkan mengobrol. Aku menikmati pancuran air yang sudah sangat kurindukan. Semuanya seakan-akan seperti diputar ulang dalam kepalaku seraya aku membasuhnya. Tentang Al dan banyak lagi. Cinta itu masih menjadi hal tersulit untuk dimaknai sampai saat ini. Namun, tanpa rumus pun seseorang sepertiku misalnya, tetap bisa merasakan dan mengiyakan cinta.
Selesai melamun dan membasuh diri, aku kembali pada Tante Renata. Ia pun mempersiapkan segalanya. Bunda ikut membantu di dalam kamar membuatku semakin tak karuan.
"Kamu enggak usah tegang, sayang," ujar Tante Renata sambil mengusap rambutku yang masih basah. "Ada hair drier, enggak?"
"Ini, Ren," ucap Bunda sambil menyodorkan pengering rambut.
Tante Renata mengambilnya dengan senyum dan memulai segalanya. Rambutku yang kata Al semakin hari semakin cokelat ditatanya sedemikian rupa. Ia mengepang rambutku ke samping kanan setelah mengeringkannya. Ditambahnya klip rambut berwarna putih gading di sisi rambutku sebelah kiri. Ia sempat menimang-nimang model rambut ini, lalu membatalkannya dan membiarkan rambutku sementara agar ia bisa kembali menatanya setelah semua selesai.
Beralih dari rambut, Tante Renata pindah pada wajahku. Ia mulai mengusapkan dasar riasan berwarna tak jauh dari kulitku. Sekejap saja wajahku terasa agak berbeda. Kemudian, ia mulai memilih warna-warna yang senada dengan baju yang akan kukenakan. Setelah memoles wajahku, Tante Renata memfokuskan pada kedua mataku. Ia memintaku untuk melihat ke atas agar ia dapat membubuhkan pensil mata di seluruh garis mataku.
"Astagfirullah, Tante," rengekku kesakitan.
"Perih, ya? Duh, maaf ya, sayang," ucap Tante Renata.
"Banget," ucapku dengan mata berair. "Lanjut, Tan. Kalau putus-putus bakal tambah perih."
Tante Renata tertawa. "Tegar banget, ya."
Aku terkekeh pasrah. "Ini semua gara-gara Al. Lain kali dia nih, yang matanya harus diginiin."
Tante Renata tertawa lagi. "Nanti kapan-kapan kita giniin dia, ya."
Aku tersenyum dan membayangkan jika semua benar terjadi. Akan sangat lucu pastinya. Kemudian, aku kembali merasakan perih di mataku. Tak lama, sesi menyakiti diri sendiri ini pun berakhir. Bunda, aku, dan Tante Renata menghembuskan nafas lega disertai tawa.
"Ini kamu mau pakai bulu mata palsu atau mascara saja?" tanya Tante Renata.
"Mascara aja," jawabku pasti. Aku sudah pernah merasakan betapa tidak enaknya memakai bulu mata palsu.
Tante Renata kembali mengerjakan keahliannya di atas wajahku. Sebelum kembali menata rambutku, ia memoleskan pelembab bibir berwarna natural pink di atas bibirku. Sejauh ini, aki masih belum tahu bagaimana hasil pekerjaan spektakuler Tante Renata.
"Une mau dikepang atau dicepol?" tanya Tante Renata.
"Kepang aja. Kalau dicepol mirip tukang jamu," jawabku asal membuat Tante Renata tertawa.
"Kamu tuh, Ne, ada-ada aja. Jadi, Bunda sama Tante mirip tukang jamu gitu kalau rambutnya dicepol?" protes Bunda.
"Ya, enggak," belaku. "Sudah ah, Tan, lanjut aja. Keburu Al datang terus ribut di bawah."
Tante Renata tersenyum dan mulai menata rambutku. Kali ini, ia mengepang secara fishtail membuat rambutku terlihat jauh lebih pendek dari aslinya. Poniku dibiarkannya menjuntai menutupi keningku. Diletakkannya kembali klip rambut di sisi kiri kepalaku untuk menyempurnakan mahakaryanya.
"Selesai!" serunya puas sambil membersihkan tangannya dari taburan bedak dan riasan lainnya.
Bunda menatapku takjub. Di matanya tersurat jelas rasa bangga bahwa aku sudah menjadi seorang gadis dewasa.
"Enggak nyangka anak Bunda secantik ini," puji Bunda. "Ren, kamu memang paling ahli dalam urusan seperti ini, ya."
"Une tuh, Say, enggak perlu dirias juga udah manis, cantik, anggun," tambah Tante Renata membuat pipiku memerah. "Makanya, ada yang kecantol sama dia."
"Ih, Tante, apaan, sih? Bunda juga," ucapku berusaha menahan malu. "Mana ada yang kecantol sama aku, Tan? Al aja tuh, suka aneh bilang aku cantik. Padahal niatnya ngeledek."
Aku menarik nafas panjang dan bayangan Al merasuki rongga otakku. Ya, begitu sering Al memanggilku cantik. Namun, di balik pujiannya dan hal-hal manis lainnya yang sudah terlalu sering dilakukannya, aku tahu maksudnya hanya ingin membuatku tersenyum. Tak lebih. Karena menurutnya, aku jarang mendapatkan pujian itu.
"Jangan sering berprasangka buruk, Ne," ujar Bunda. "Siapa tahu Al tulus."
Aku tersenyum pasrah. "Tan, ini gimana aku pakai gaunnya tanpa ngerusak ini semua?"
"Kamu pakai dari bawah aja," ujar Tante Renata. "Pinggang kamu kan, kecil."
Aku menuruti saran Tante Renata. Kupakai gaun berwarna selai kacang pilihan Al. Mawar putih kecil yang tersebar di ujung bawahnya menjadikanku semakin menyukai gaun ini. Kemudian, kupasangkan ikat pinggang berwarna senada dengan hiasan mawar putih tersebut melingkar di pinggangku. Untuk menambah kesan anggun dan elegan pada pakaianku, Bunda memberikan gelang perak dan anting yang serupa. Aku memakainya dan untuk pertama kalinya setelah hampir berjam-jam duduk tanpa menghadap cermin, aku pun mematut diriku di depan cermin itu.
Siapa gadis cantik yang sedang menganga ini? Aku tak mengenalinya. Namun, sorot matanya menguak jati diriku. Aku tak mungkin secantik ini. Ini semua hanya perhiasan biasa ala Tante Renata. Ini berkatnya dan karunia Tuhan Yang Mahaindah. Aku benar-benar tak tahu harus memberikan reaksi seperti apa. Lalu, bayangan Al kembali muncul. Bayangan atau lebih tepat harapan akan Al yang bakal menerbangkan sejuta pujian akan mahakarya Mamanya atas hasil yang terurai di sekujur tubuhku. Kuharap Al menyukai ini.
"Kamu sebaiknya pakai wedges yang sewarna sama gaun kamu," ujar Tante Renata. "Ada, kan?"
"Ada kok, Tan. Aku kan, penyuka warna selai kacang," beberku. Tante Renata manggut-manggut.
Aku menarik kotak sepatu dari sudut kamarku dekat lemari pakianku. Sepatu yang sudah lama berdiam diri di sana. Aku memakainya dan mulai berjalan. Ya, seperti kaum Hawa lainnya yang mencinta sepatu, aku pun kembali jatuh cinta pada sepatu.
Tak lama, suara klakson mobil terdengar hingga kamarku membuat baik aku maupun Bunda dan Tante Renata terkejut. Al sudah sampai. Dadaku serasa ingin meledak karena jantungku belum usai mereda. Deg-degan yang kurasa sedari tadi masih berlangsung dan kehadiran Al justru memperparah. Apa yang akan Al katakan padaku malam ini?
"Uneeeeeeeee, Assalamu'alaikum," serunya dari bawah hingga terdengar seisi rumah.
"Non, Nyonya, Al sudah di sini," tegur Mbok Num dari bawah.
"Ayo, kita kasih Al kejutan," ucap Tante Renata bersemangat.
Aku menarik nafas panjang berusaha memperlambat degup jantungku. Oke, Ne, ini hanya Al dan sebuah dandanan istimewa. Tak lebih. Jangan gugup. Tenang...
Aku perlahan turun bak putri raja yang akan menemui calon pangerannya di bawah sana. Seperti adegan film bangsawan romantis, langkahku pun melambat seakan-akan ada yang sengaja membuatku begitu. Al berdiri membelakangiku, jadi ia masih belum melihatku. Rasa deg-deganku semakin menjadi. Diamlah, tenanglah...
"Al," panggilku saat sudah berada di lantai yang sama dengannya.
Yang dipanggil menoleh. Al menatapku tak percaya dengan wajah dan mata berbinar. Senyumnya perlahan merekah di atas bibirnya membuatku juga sama tercengangnya. Al terlihat begitu rapi dan berkharisma. Rambutnya yang tertata sedemikian rupa dengan tubuh dibalut jas putih dan sepatu cokelat senada dengan kemejanya membuar penampilannya gagah. Wajahnya terlihat tak biasa dan dari matanya terpancar sinar aneh yang mengirimkan sejuta kupu-kupu ke dalam hatiku.
Al masih tercengang sambil mendekat padaku. Jantungku, Ya Tuhan. Aku menunduk malu karena tak hanya efek pada jantung ternyata jarak antara aku dan Al yang semakin dekat ini membuat pipiku yang sudah terpolas merah muda semakin memerah.
Al mendekat dan meraih poniku. Disibakkannya agar ia bisa melihat wajahku semakin dekat lagi. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya. Kami masih saling diam sama-sama merasa takjub.
"Gue lupa cara pakai dasi, Ne," ucapnya akhirnya sambil memberiku dasi kupu-kupu yang kemarin sempat kupaikan padanya.
Hanya itukah yang ingin ia sampaikan? Aku tersenyum lesu menunggu dan berharap ada lagi kalimat lain yang ingin ia ucapkan mungkin. Kuhembuskan nafas kecewa seraya meraih dasi dari jemari Al.
Aku melingkarkan lenganku di lehernya dan dengan jarak yang lebih dekat ini, aku semakin bisa merasakannya. Hembusan nafas Al yang menyentuh kulitku begitu hangat kurasa. Sambil menikmati momen ini, aku tetap memakaikan dasi itu. Seusainya, aku terdiam.
Al menyentuh daguku dan mengangkatnya. "Ne, lo..." ia menarik nafas. "You have just taken my whole breath away and even words can't afford how I'm feeling right now."
Aku menunduk tersipu malu. "Lebay."
"Lo ngeyel banget sih, sama gue, Ne," bantah Al sarat emosi. "Once, I beg you, just let me make you believe how amazing you look right now."
"Oke, gue percaya," ucapku mengalah.
"Terus, setelah gue sok bule, lo enggak memuji kegantengan gue?" goda Al.
Aku menarik nafas panjang. "Ganteng, kok. Cuma gara-gara lo, mata gue berair selama dipakaiin pensil mata."
"Sakit, ya?" tanya Al melembut. "Mau gue tiupin, enggak?"
Aku menggeleng.
"Ah, sini-sini. Gue tiupin yang sakit, ya," ujar Al seraya mendekat lagi ke wajahku. Aku menahan nafas. Lalu, ditiupkannya dengan lembut mataku.
Aku mendengar suara Bunda berdehem. Kontan aku mendorong Al menjauhiku. Al tersenyum lalu mendekat lagi dan merangkulku.
"Duh, kalian serasi banget," ucap Tante Renata. "Gimana, Al? Mama berhasil, kan?"
Al mengeratkan rangkulannya. "Mama emang enggak pernah ngecewain Al. Une cantik banget sampai tadi Al serasa main film romantis gitu."
Aki menoyor kepalanya. "Udah sok kegantengan, sok artis lagi."
Al menyengir. "Biasanya nih, ya, rambut lo bakal gue acak-acak. Tapi, berhubung lo lagi cantik banget, gue enggak tega."
"Tante, bisa enggak Tante bikin rambut Une kayak gini terus? Jadi, Al enggak akan ngacak-ngacakin lagi," pintaku pada Tante Renata.
Tante Renata dan Bunda tertawa renyah.
"Kalian tuh, ya, setiap ada Bunda atau Tante pasti aja susah akur," komentar Bunda. "Katanya pacaran, tapi kenapa susah banget akur?"
Tante Renata tersenyum penuh tanya pada Al. "Al, kamu enggak bilang ke Mama, ya?"
Al tertawa. "Nanti Al kasih tahu."
"Yuk, ah. Gue kan, masih perlu bikin senior gue kepincut sama dandanan gue. Kalau telat, nanti gue kalah saing sama yang duluan datang," godaku menggandeng lengan Al.
Al menaruh kepalaku ke lengannya. "Udah jadi pacar juga, tapi kegenitan."
Aku berusaha melepaskan diri. Namun, Al malah semakin merangkulku. Ia benar-benar membuatku harua terseret sampai mobilnya. Hingga sepatuku menghianatiku membuatku terjatuh.
"Une!" seru Bunda dan Tante Renata bersamaan dengan Al.
"Al, makanya kamu kalau bercanda jangan keterlaluan. Kasihan kan, Une jadi jatuh," ujar Tante Renata.
"Bisa bangkit, enggak?" tanya Al tak mengindahkan rasa sakitku. Aku menepia tangannya.
"Menurut lo?" balasku jutek.
Tanpa kusangka, Al menggendongku. Aku terkesiap dengan perbuatannya. Namun, aku tak ingin menolak. Seakan mengerti, Bunda membukakan pintu mobil agar Al dapat mendudukkanku. Setelah meletakkanku, ia menutup pintu dan pamit setelah mendapat omelan dari Mamanya sendiri.
Selama perjalanan, aku mendiamkannya. Mata kakiku masih nyeri, namun aku yakin tak separah itu. Hanya jatuh biasa. Yang membuatku kesal setengah mati adalah pertanyaan Al tadi.
"Harusnya ya, Ne, ini jadi malam tanpa luka," ucap Al memecah hening. "Gue minta maaf udah buat lo jatuh. Gue minta maaf udah seresek ini sama lo malam ini. Terlebih, gue minta maaf udah minta lo memakaikan dasi itu ke gue yang sebenarnya bisa pakai sendiri. Gue minta maaf gue udah..."
Aku menoleh pada Al menanti kata-kata berikutnya.

Wednesday, February 12, 2014

A Sampai Z, Kita Punya Cerita (13)

Posted by Unknown 0 comments
Chapter 2

2.5 "God damn, you're beautiful to me." -Chester See.


Aku mengajaknya pergi ke sebuah toko pakaian pesta yang menjadi salah satu tempat langganan Mama. Sejak mencetuskan ide gila itu, aku susah berhenti memikirkannya. Terus menerus aku menerka dan berpikir akan jadi seperti itukah aku dan Une nanti. Apa cerita antara Al dan Une akan menjadi seindah ide gila ini? Aku mengacuhkan pertanyaan itu dan mengajak Une masuk ke toko serba gemerlap ini. Sudah kuniatkan dalam hati, berapa pun nanti biaya yang harus kukeluarkan demi sebuah gaun untuk Une, aku rela. Aku ingin melihatnya terbalut gaun yang teramat cantik agar ia sadar bahwa ia gadis yang jelita.
"Al, emang lo udah punya jas?" tanya Une memecah serabut-serabut rumit di benakku.
"Belum. Makanya gue sekalian mau nyari," jawabku.
"Kenapa enggak pinjam punya ayah lo?" tanyanya lagi.
"Papa? Mana ada Papa nyimpen jas di rumah. Semua jasnya kan, diasingkan di kantor," jelasku. "Lagian, bisep gue enggak muat kalau dibalut sama jas Papa. Bakal kelihatan sempit gitu."
"Sok kekar banget sih, lo," Une menggeleng.
"Emang iya," jawabku sambil mengedipkan sebelah mata padanya. Une membalasku dengan satu tamparan pelan di pipiku.
Tak lama, Une pun terlarut dalam dunianya dan kegemaran akan mode. Aku mengasingkan diri ke bagian laki-laki untuk mencari tuksedo yang sekiranya akan senada dengan gaun yang nantinya dipakai Une. Selera dan keterampilanku akan mode sangat rendah. Jangan salahkan aku, DNA-ku masih sepenuhnya membentuk otak laki-laki. Memang seharusnya tak pandai untuk memilah atau pun memilih pakaian mana yang cocok buatku. Yang penting nyaman. Mulai menyerah, aku akhirnya menunggu Une selesai mengambil beberapa opsi untuk dicoba. Aku menyuruhnya pergi ke kamar pas wanita untuk benar-benar memakai satu per satu gaun pilihannya. Kejahilanku padanya tak akan pernah surut seberapa besar pun aku menyukainya. Melihatnya kesal denganku adalah satu dari banyak kebahagian sederhana. Namun, kepintaran Une untuk mengakali akal-akalanku melebihi dugaanku. Disortirnya beberapa gaun di dalam kamar pas sana hingga aku hanya melihat empat jenis.
Une keluar dari bilik kecil itu memakai sebuah gaun panjang tanpa lengan berwarna putih gading. Melihatnya mengubah penampilannya secepat dan secantik itu mengagetkanku. Namun, aku menggeleng tidak setuju pada pilihan pertama Une. Gaun ini elegan di tubuhnya, namun begitu melampaui wajahnya yang muda. Une kembali masuk ke dalam kamar pas dan beberapa saat kemudian keluar memakai gaun yang berbeda.
Kali ini, balutan warna peach dengan hiasan emas di ujung-ujung jaitannya. Aku berpikir sejenak akan gaun ini. Manis sekali Une. Sejujurnya, gaun apa pun yang dipakainya tak akan pernah membuat Une tak lebih cantik dari dirinya saat ini. Akhirnya, aku menggeleng dan menyuruh Une kembali mencoba yang lain.
Tak lama, Une keluar memakai gaun berwarna violet. Warna paling menyeramkan yang tidak pernah kusukai. Aku selalu memprotes Mama jikalau ia memakai warna serupa. Dan kali ini, cengiran sok polos hadir di wajah Une selagi memaksaku menilai gaun jelek yang dipakainya itu. Kesal, aku mengambil alih pilihannya.
"Gue yang nyari. Gimana?" tanyaku. Une tak menjawab dan kuambil reaksi itu sebagai tanda setuju. Segera aku berkeliling toko ini.
Apa yang Une suka? Warna selai kacang, sesuatu yang oldish, dan mawar putih. Tiga petunjuk sederhana, namun akan menjadi sangat membingungkan jika dihadapkan padaku dan dunia mode. Tapi, aku tetap berusaha mencari setidaknya yang menurutku cocok dengan tiga petunjuk itu. Dan... Tuhan memang Maha Penolong. Aku melihatnya. Gaun berwarna cokelat mirip warna selai kacang dengan hiasan mawar putih kecil yang bertabur di bagian bawah gaun itu serta seikat tali pinggang berwarna serupa dengan mawar putih kecil itu menghiasi seluruh bentuk gaunnya yang menggantung di ujung rak. Tanpa pikir panjang, aku mengambil gaun itu dan membawakannya pada Une.
"Coba," ujarku seraya menyerahkan baik ikat pinggang dan gaun itu pada Une. Mata dan wajahnya berbinar melihat pilihanku barusan. Ada rasa puas yang menyelimuti seluruh tubuhku memerhatikan reaksi Une barusan.
Une kembali masuk ke kamar pas. Kali ini, ia menghabiskan waktu lumayan lama di dalam sana hingga membuatku nyaris mati karena bosan dan penasaran. Dan ketika aku hampir benar-benar merasakan bosan yang memuncak, Une keluar. Seperti adegan slow motion di dalam film-film romantis, aku pun merasakan hal yang serupa. Une keluar dengan anggunnya dalam balutan kain berwarna selai kacang itu. Tuhan, gadis ini begitu cantik...
"Gimana?" tanyanya dengan kedua alis bertaut. Aku terlalu terpesona sampai tak bisa memberikan komentar apa pun. Ne, you're gorgeous and I'm now the luckiest guy to ever live on Earth.
"Ngomong, dong," ucap Une sekali lagi kali ini dengan tatapan takut-takut.
"Ne..." balasku gantung tak tahu harus berkata apa.
"Jelek, ya?" tanyanya sambil menunduk. "Kegedean. Masih harus satu ukuran di bawah ini."
"Lo anggun banget pakai gaun ini. Dan gue lagi enggak bercanda," akuku tanpa memedulikan degup jantungku yang semakin menjadi. "Gue bakal minta sama Mbaknya, supaya harus dapat yang seukuran sama badan lo. Bentar, ya."
Tak peduli akan jawaban apa yang keluar dari mulut Une, aku langsung bergegas mencari pegawai toko ini dan memintanya mencarikan ukuran yang lebih kecil. Setengah tak sabar, aku berseru dalam hati. Selamanya tak akan pernah gue lupakan momen ini. Une...
"Buat siapa sih, Mas? Pacarnya tadi?" tanya Mbak pegawai yang sedang melayani permintaanku.
"Hmm..." jawabku. "Bukan pacar saya, Mbak."
Lawan bicaraku mengangguk penuh maksud. Aku hanya bisa mengaminkan pertanyaannya tadi dan berharap permainanku dengan Une akan status kami berakhir seindah pertanyaan dari pegawai toko ini.
Setelah menunggu sang pegawai mencarikan apa yang kuminta, ia pun menemukannya. Kami kembali pada Une. Aku benar-benar handal dalam menyembunyikan rasa bahagiaku melihat dan menunggu Une barusan. Ah, dan sekarang aku semakin tak sabar membawanya ke Pesta Dansa XII besok malam...
"Cantik banget pacarnya, Mas," ucap si pegawai mengulanginya lagi dan membuatku semakin semangat mengaminkan perkataannya. "Cocok sama Mas."
Aku memaksakan tawa. "Dia sahabat saya, Mbak. Bukan pacar."
"Iya, Mbak. Kita cuma sahabat," ulang Une membawa pahit tersendiri ke kedua gendang telingaku. Suatu saat, Ne, kita tak akan lagi menjawab seperti ini melainkan mengiyakan ucapan Mbak ini. Gue janji...
Setelah mendapatkan gaun untuk Une, kini gilirannya membantuku memilihkan tuksedo yang senada. Aku memintanya, tepatnya memaksanya untuk mencarikan setelan yang harus dan wajib serasi dengan gaunnya. Tanpa protes, aku menyerahkan segala pilihan di atas tangan Une. Ya, aku percaya pada kemampuan Une akan mode.
Une kembali padaku beberapa saat setelah berkeliling mengitari bagian pakaian pria toko ini. Ia membawa satu setel tuksedo berwarna putih gading dan satu lipas kemeja berwarna agak mirip dengan gaunnya. Gadis ini memang tak pernah membuatku tak tersenyum.
"Nih, silakan dicoba. Gue cuma yakin sama yang ini aja," ucap Une sambil menyodorkan tuksedo pilihannya padaku.
Aku tersenyum puas. "Lo emang pintar banget soal baju, ya."
Aku melihat sebuah senyum terlampir di atas wajahnya. Segera aku masuk ke dalam kamar pas dan mencoba pakaian ini. Entah mengapa, pilihan Une begitu nyaman dan sesuai dengan yang kumau. Kupakai kemeja berwarna selai kacang tadi dan kutata rapi. Lalu, kukenakan jas berwarna putih gading di atas kemeja itu. Aku menyisir rambutku agar tampak lebih keren, meskipun aku tahu itu tak perlu karena sesungguhnya aku sudah keren. Oke, mungkin aku terlalu percaya diri. Aku membetulkan kerah jas ini sambil menatap pantulan diriku di cermin. Ya, tinggal gel rambut, setangkai mawar putih, dasi, dan Une. Kami pun akan terlihat benar-benar seperti sepasang kekasih. Aku mengaminkannya. Kemudian, aku berdoa pada Tuhan Yang Mahakuasa agar ketika aku keluar dari bilik kecil ini, Une akan melayangkan pujian yang serupa padaku.
"Ya Allah, semoga ia menyukainya," pintaku dengan suara berbisik. "Amin."
Aku pun keluar untuk memperlihatkan bagaimana sempurnanya tuksedo ini membalut tubuhku. Une tersenyum dan mendekat kepadaku untuk memakaikan dasi kupu-kupu berwarna putih gading. Perlakuannya yang menghabiskan banyak jarak di antara kami membuatku gugup, namun bahagia di waktu yang sama. Ia memasangkan dasi itu begitu dekat di hadapanku. Nafasku mengacak-acak poninya dan nafasnya menyentuh leherku mengirimkan rasa hangat yang ingin selamanya kunikmati. Tanpa sadar, aku hampir melingkarkan lenganku di belakang tubuh Une. Namun, kuurungkan niatku saat ia sudah selesai memakaikan dasi itu.
"Dan lo kece banget, Al," ucapnya. Tuhan, selamanya aku berterimakasih kepadamu...
"Loh, katanya bukan pacar. Tapi kok, pakaiannya serasi gitu?" tanya Mbak yang tadi melayaniku.
"Buat acara sekolah, Mbak," jawab Une. "Jadi, kami tuh, salah satu pasangan gitu. Tapi bukan pacaran. Harus serasi biar bagus."
Aku tertawa renyah seraya Mbak pegawai itu mengangguk-angguk frustasi. Iya, Mbak, gue juga frustasi harus menelan kenyataan sepahit itu. Mending lo, Mbak, baru sekali ketemu kita. Gue udah empat tahun mendampingi cewek ini dan sampai sekarang status gue sama dia masih 'sahabat'. Frustasi! Membuyarkan caci makiku, Une mengajakku membayar semua ini. Benar saja, mahal memang. Namun, ini demi Une dan apapun yang terjadi, Une tak boleh mengeluarkan uang sepeser pun. Kami berdebat hebat setelah keluar dari toko ini. Une memaksaku menerima uang gantinya.
"Anggap aja, ini kado dari gue," ujarku. "Udah lama kan, gue enggak ngasih lo kado?"
"Enggak, ah. Ini mahal banget, Al. Gue juga udah dititipin Bunda uang," protesnya. "Enggak mau. Pokoknya kalau lo enggak mau terima, gue kasih ke nyokap lo."
Aku tersenyum. "Mama juga enggak akan mau nerima. Yakin sama gue."
Une menghembuskan nafas pasrah. "Pokoknya, lain kali, gue yang wajib beliin lo sesuatu semahal ini."
Aku mengangkat kedua bahuku tanda tak setuju, lalu merangkulnya. "Anggap aja, lo hari ini beneran jadi pacar gue. Jadi, semua gue yang bayar."
Ya, Ne, hari ini saja lo bisa menjadi pacar gue kalau lo enggak bisa menjalankannya untuk beberapa tahun ke depan. Hari ini lo adalah permaisuri gue dan hari ini, Ne, lo bakal gue manjakan dengan berbagai macam hal. Dan ketika nanti realita ingin mengganggu, gue rela akan melepas semua keindahan itu.
Une menoleh ke arahku. "Ngarep banget."
Aku tersenyum padanya dan memperat rangkulanku. "Ya sudah. Jarang-jarang loh, Ne, lo pacaran sama orang keren kayak gue."
Kali ini Une menamparku pelan. "Bakal semakin jarang lagi gue rasa, Al."
Aku menghembuskan nafas kecewa. "Oke. Sekarang, lo mau jalan ke mana lagi?"
"Makan, yuk! Gue yang bayar," ajaknya. Aku menggeleng.
"Hari ini, berhubung ceritanya kita baru 'jadian', sebagai 'pacar' yang baik hati dan tidak sombong, gue yang bakal membelikan lo segala hal yang lo mau," ucapku. "Dan lo enggak boleh protes."
"Idih, apaan, sih. Lo tuh, udah terlalu baik, Al. Uang bensin aja belum gue kasih-kasih, kan? Ini mau nraktir lagi," bantah Une. "Pokoknya, gue yang bakal bayarin makan. Habis itu enggak ada belanja apa-apa lagi. Enggak enak sama nyokap lo."
Aku membungkam Une dengan sebelah tanganku. "Baby, nurut aja sama gue. Hari ini aja, Ne. Gue mohon."
Une menghembuskan nafas pasrah sambil berusaha melepaskan diri dari bungkamanku. "Hari ini aja, ya?"
"Sama besok?" pancingku langsung mendapat gelengan hebat dari Une seraya melepaskan bungkamanku tadi. "Besok kan, pestanya. Jadi, mau enggak mau besok juga, Ne."
Une menggeram. "Fine! Selain hari ini dan besok, enggak ada gitu-gituan lagi. Oke?"
Aku terkekeh dan menyengir seperti anak kecil. "Oke, Une-ku sayang yang cantik jelita."
Une meraup wajahku dengan telapak tangannya dan mendorongku menjauh. Kemudian, ia berlari meninggalkanku membuatku mau tak mau harus mengejarnya. Beberapa pasang mata memerhatikan kami sambil tersenyum. Kami hanya sahabat, Tuan dan Nyonya. Tak lebih...

"Saya pesan salmon steak, tapi gravy-nya dipisah ya, Mbak," pinta Une pada pelayan yang sedang mencatat pesanan kami.
"Saya chicken steak aja. Gravy-nya enggak usah dipisah," kini giliranku yang memesan. Si pelayan mengangguk-angguk.
"Minumnya?" tanya pelayan tersebut.
"Iced capuccino, Mbak," jawabku. "Ne?"
"Hot milk-tea," jawab Une.
Setelah mengulangi pesanan kami, si pelayan meminta kami menunggu sepuluh sampai lima belas menit. Aku melihat ponselku sebelum membuka obrolan dengan Une. Mama mengirim pesan ingin menyusulku di sini. Aku segera membalasnya dan mengiyakan. Setelah membalas pesan Mama, aku menatap Une.
"Kenapa lo?" tanyanya.
"Mama mau ke sini," jawabku. Une mengangguk-angguk.
"Besok pasti sekolah berisik bange, deh. Bakal makin banyak tuh, hiasan merah hati dan perintil-perintilannya," ucap Une.
Aku terkekeh. "Lo aneh tahu, Ne. Segitu cintanya sama mode, yang jelas-jelas dunia cewek banget. Tapi, enggak suka sama hal-hal yang semeriah merah hati. Perasaan lo kan, waktu itu bilang masih demen yang begitu-begitu."
"Ya, kalau yang batas sweet, gue masih toleransi. Kalau sampai ada yang heboh teriak-teriak..." aku Une. "Geli tahu."
Aku kembali terkekeh. "Emang dulu pas pacaran sama Zeus, enggak pernah lo heboh salting gitu?"
Une menarik nafas panjang dan membuangnya. "Pernah, sih. Gue dikasih boneka sama banyak lagi. Tapi, udah gitu aja. Ya, the fact kalau gue pacaran sama anak yang dibanggain satu sekolahan aja udah bikin gue panas-dingin dulu. Jadi, itu kebahagiaan sederhana sebelum semuanya dirusak sama dia sendiri."
"Masih lo simpan?" tanyaku.
"Bonekanya masih, tapi enggak gue letakkin di kamar. Alergi," beber Une. Aku tersenyum lega.
"Lo beneran belum move on dari Zeus?" tanyaku lagi.
"Udah, kok," jawab Une. "Kan, udah 'pacaran' sama lo, Al."
Une tersenyum usil membuatku ingin mengacak-acak rambutnya. "Oh, iya."
"Al, lo kok, enggak pernah gue lihat pacaran sama cewek?" tanya Une mengalihkan pembicaraan.
Aku menarik nafas. "Ada satu cewek, Ne, yang dari dulu enggak pernah berhasil gue pacarin. Dan berhubung gue orangnya susah banget suka sama orang atau ngerasa nyaman, ya sudah, gue nungguin dia mulu. Makanya, lo enggak pernah lihat gue pacaran."
Une mengangguk-angguk sok mengerti. Seandainya aku bisa semudah itu mengatakan gadis itu adalah dirinya. Ah, sudahlah nyatanya Al, lo berhasil kok, menjadi pacar pura-puranya Une. Mungkin sejauh itu saja yang bisa kutapaki dalam sejarah mengejar perasaan Une.
"Sumpah ya, kalau orang bilang kita pacaran, gue kadang geli sendiri," komentar Une. Aku menautkan alisku.
"Kok?" tanyaku singkat.
"Iyalah. Perasaan kita mesra aja enggak, udah dibilang pacaran," jawab Une. Aku tersenyum.
"Mungkin orang-orang bilang kita pacaran gara-gara lo kalau natap gue suka berharap gitu," godaku.
"Idih, Al, jangan menyedihkan gitu, ah," balas Une. "Lo kali tuh, suka banget ngegodain gue, ngacak-ngacak rambut gue sampai gue gedeg sendiri."
Aku tertawa. "Lagian, itu poni lo dipelihara sampai mirip rambut gitu. Mana tambah cokelat aja rambut lo. Gue kan, gemes."
"Iya, gue imut sih, makanya lo gemes," ucap Une asal. Aku meraih rambutnya dan mengacak-acaknya.
"Terlalu percaya diri tuh, enggak baik," ujarku.
"Mulai kan, ah! Al, berantakan ini jadinya!" seru Une kesal sambil memukul-mukul tanganku. Aku pun menghentikannya.
"Besok Ne, lo harus dandan biar cantik. Masa gue udah ganteng, lo masih aja tetep kayak gini penampilannya?" ledekku.
Une tersenyum. "Gue janji sama lo, ya. Besok gue bakal make over parah biar nanti lo menelan ledekan lo sendiri. Terus, nanti gue datang ke pestanya sama lo, tapi pulang sama kakak kelas ganteng yang kecantol sama gue. Biarin aja, besok gue pokoknya mau jadi cewek cantik."
Aku tertawa mendengar ucapan Une. Setidaknya, ia akan berdandan dan berhias diri. Meskipun, tanpa riasan apapun gadis ini sudah sangat menarik dan lebih dari cantik bagiku. Apalagi nanti jika sudah dibumbui berbagai macam bedak dan perlengkapan rias wanita lainnya.
"Assalamu'alaikum, Tuan dan Nona," sapa Mama di antara tawaku.
"Wa'alaikumsalam, Tante," jawab Une sambil menyambut tangan Mama dan menciumnya.
"Wa'alaikumsalam, Mamaku nan cantik," balasku.
"Kalian duduk berdua, dong. Masa jadi Mama yang duduk di samping Une?" ujar Mama. Une menurut dan pindah ke sampingku.
"Ma, kata Une, besok dia mau di-make up supercantik," beberku. "Mama aja nanti yang rias Une, ya? Mama kan, jago."
Une melotot ke arahku dan memukul lenganku. "Idih, apaan sih, Al?! Enggak usah, Tante. Sumpah, aku dandan sendiri aja."
"Oh, enggak apa-apa, Ne. Besok sore, sebelum kalian berangkat, Mama bakal ke rumah Une buat dandanin Une," ujar Mama dengan senyumnya yang tulus. "Sekalian mau ngobrol sama Mama kamu juga, Ne."
Une tersenyum segan. "Yah, aku enggak bisa nolak kalau udah gini."
Aku tersenyum simpul menatap kedua wanita ini. Kedua wanita yang mendapat dan memegang hatiku.
Tak lama, pesanan kami datang dan Mama pun menyusul untuk memesan pada pelayan setelah itu. Aku dan Une menikmati sesi makan ini sambil berbincang-bincang. Bahagia itu sederhana...

Hari Pesta Dansa XII sudah di sini. Sekolah bagaikan pasar dengan segala ornamen merah hati yang menjijikkan. Kata-kata romantis menghias hampir seluruh dinding sekolah kami yang aslinya melapuk. Ruang aula sudah disterilkan dan semua dekorasi sudah nyaris rampung dan menyilaukan mata. Mereka yang bernasib malang tanpa pasangan akan berbondong-bondong pergi bersama teman sebangku atau paling tidak pacar mereka yang berbeda sekolah. Dugaan Une tepat, sekolah ramai. Bahkan, Anita pun heboh dengan prihal gaunnya dan riasannya. Sesuai tradisi, seisi sekolah dipulangkan lebih awal. Sengaja aku mengantarkan Une dengan mobil hari ini agar dapat membawa Mama sekaligus sebelum benar-benar memulangkannya ke rumahnya bersama Mama.
"Al jemput jam setengah 6, ya," ucapku saat menurunkan mereka di depan rumah Une. Une tersenyum, begitu juga Mama. Aku pun melaju pulang.
Papa, yang tak biasanya berada di rumah, kini menantiku dengan tuksedo pilihan Une kemarin. Mau apa Papa?
"Ini jasnya?" tanya Papa saat aku keluar dari mobil. Aku mengangguk.
"Papa ngambil dari mana?" tanyaku bingung.
"Ada di atas tempat tidur kamu," jawab Papa. "Pasti Une yang milih, kan?"
Aku tersenyum. "Ya, kalau Al yang milih, jatuhnya jadi nabrak, Pa. Al kan, mana ngerti fashion-fashion gitu."
Papa tertawa. "Papa udah siapin gel rambut sama tadi Mama udah nitip Papa belikan kamu mawar putih, kan? Udah ada semua di kamar kamu. Terus, kamu jangan pakai mobil butut itu. Pakai mobil kantor Papa aja."
"Serius, Pa?" tanyaku takjub. Papa tersenyum simpul. Aku bergegas ke kamarku dan bersiap-siap.
Sebelumnya, aku mandi terlebih dahulu. Kemudian, baru semua kerumitan dimulai. Ini seperti adegan film romantis di mana tokoh prianya akan mengajak kencan pacarnya untuk pertama kali. Semua harus sempurna dan sophisticated. Aku menyemprotkan parfum pria mahal yang jarang sekali kupakai ke seluruh tubuhku. Kemudian, kukenakan kemejaku dan melihat diriku sendiri di cermin. Kebiasaan pria adalah selalu memuji dirinya sendiri keren.
"Lo keren banget, Al," ucapku pada diriku di dalam cermin. Kemudian, aku mengencangkan bisepku.
Kulanjutkan sesi berpakaianku. Aku mengambil jas berwarna putih gading yang tadi dibawakan Papa dan memakainya. Aku mengencangkan bagian kerahnya dan mengancingkannya. Kuusap seluruh bagian depan jas. Jam mahal punyaku yang dihadiahkan Papa saat ia pulang dari dinasnya dulu kulingkarkan di pergelangan tangan kiriku. Kemudian, aku menyisir rambutku yang sebenarnya lebih baik ditinggalkan berantakan seperti tadi agar terlihat seksi. Kuusapkan gel rambut dari Papa dan membuat rambutku lebih mudah diatur. Kumasukkan ponselku ke dalam saku jasku. Sisanya hanya sepasang sepatu pantofel cokelat. Aku memakainya dan sempurna.
Tak disangka, waktu sudah lewat hampir dua jam hanya dengan berdandan serapi ini. Kubayangkan Une dan Mama yang sibuk di rumahnya sana. Kuharap Une akan tampil seelegan yang kuharapkan. Ma, do your magic to my princess...

Blog List

 

Re-A-Lis-Tic Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos