Chapter 2
2.8 "We almost knew what love was." -Ariana Grande ft. Nathan Sykes.
Aku masih dalam dekapan Al ketika lagu baru terdengar di pengeras suara. Layaknya Al, aku belum mau melepaskan dekapan ini walaupun kami sudah berdansa sekali mengikuti lagu sebelumnya. Hangat yang disalurkan Al melalui pelukannya benar-benar melindungiku. Aku menenggelamkan wajahku di dadanya berharap tak mengotori jasnya. Ingin sekali rasanya bisa jujur pada Al. Namun, keraguan masih merayapi hati dan pikiranku.
Lagu selesai dan baik aku maupun Al sama-sama merenggangkan pelukan kami. Al menatapku lama membuat jantungku seperti biasa berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
"Gue harap gue sabar menunggu lo, Ne," ucapnya pelan dan lembut. Aku tersenyum dan diam-diam berharap hal yang sama.
Dua hari setelah Pesta Dansa XII itu, tak ada komunikasi antara aku dan Al. Tidak ada pesan masuk yang memborbardir ponselku seperti sebelum-sebelumnya saat Al menuntut harus bertemu denganku. Tidak ada kunjungan yang serba tiba-tiba hadir di depan pintu rumahku mengusik ketenangan akhir pekanku. Terlebih, tidak ada ajakan yang mendadak untuk pergi menemaninya ke mana pun ia inginkan. Dan baru dua hari saja, aku sudah merindukannya.
"Non, sarapan dulu disuruh Nyonya," ujar Mbok Num menyadarkan lamunanku.
"Nanti aja, Mbok. Aku belum lapar," jawabku.
Aku pun kembali meringkuk menatap ponselku yang sudah 48 jam tak bersuara. Biasanya, pagi-pagi seperti ini ia akan menelponku hanya untuk mengatakan sesuatu yang tidak penting. Lalu, setelah frustasi menunggu sesuatu yang tak kunjung terjadi, aku memutuskan untuk kembali tertidur. Setengah berharap, aku berdoa agar orang yang kutunggu akan hadir saat aku bangun dari mimpi buruk ini.
***
Hari-hari setelah pesta dan dansa terakhirku bersamanya terasa sangat sunyi dan sepi. Harusnya pagi-pagi seperti ini aku sudah menelponnya hanya untuk sekadar mendengar suaranya yang masih mengantuk. Harusnya aku sudah menerima pesan masuk darinya yang mencaci maki diriku karena mengganggu akhir pekannya. Terlebih kepasrahannya akan ajakan-ajakan egoisku yang menyuruhnya segera bersiap untuk kubawa pergi seharian tanpa tujuan yang jelas hanya agar aku dapat menghabiskan waktu dengannya. Apa lagi hari-hari seperti ini. Dan yang terakhir, harusnya aku sudah menyuruh pembantunya menyuruhnya makan pagi walaupun aku tahu ia tak pernah begitu suka dengan sarapan.
Namun, pagi ini berbeda. Ponselku kubiarkan mati tanpa baterai agar aku tak ada niat untuk menelponnya. Padahal hati ini serasa ingin berteriak mengusik tidurnya karena aku ingin mendengar kekesalan dalam suaranya. Seharusnya malam itu tak kuucapkan kata-kata egois yang menandakan keserakahanku akan perasaannya. Seharusnya...
"Al, mau ikut Mama lari pagi, enggak?" tanya Mama setelah mengetuk pintu kamarku.
"Enggak, Ma. Al masih ngantuk," jawabku dengan intonasi yang seakan-akan aku benar-benar mengantuk.
"Ya sudah," balas Mama. "Kalau kamu bosan, minta Une ke sini aja."
Aku tertawa dalam hati mendengar ucapan Mama. Aku belum menceritakan apapun padanya tentang malam itu. Mendengarnya berkata seperti itu sesungguhnya sangat menyakitkan. Apa mau Une kusuruh kemari setelah semua yang terjadi?
***
Pomselku berdering membangunkanku dari tidur pulasku selama dua jam terakhir. Kulihat siapa yang begitu menyebalkan yang telah mengusik tidurku. Nama itu... Nama yang kutunggu-tunggu sejak pagi tadi. Akhirnya ia menelponku juga setelah selama itu. Aku langsung benar-benar duduk tegak sambil mengatur nafasku dan berdehem sebelum menjawabnya.
"Hmm?" jawabku setelah di seberang sana terdengar suaranya memanggil namaku. Gengsi ini masih mengganggu.
"Mama nyuruh lo nemenin gue di sini biar enggak bosen," jawabnya tanpa ekspresi. Aku melongos kecewa. Hanya itu?
"Emang nyokap lo ke mana?" tanyaku berusaha memperpanjang percakapan ini.
"Lari pagi menjelang siang," jawabnya singkat.
Aku menarik nafas. "Al, lo masih mikirin kejadian waktu itu?"
Hening...
"Lo sendiri?" tanyanya balik seperti biasanya. Ia tak pernah rela tersudut dengan pertanyaanku yang terasa begitu tepat.
"A little..." jawabku. A little too much, a little too often... sambungku dalam hati.
Al tertawa renyah. "Dan lo masih butuh waktu?"
Aku terdiam. Pertanyaan inilah yang selama dua hari semenjak ia mengungkapkan perasaannya yang selalu terngiang di kepalaku. Apa aku masih butuh waktu setelah begitu sering memikirkan ucapannya yang nampaknya tak pernah luput dari benakku?
"Enggak tahu, Al," jawabku jujur. "Gue ke rumah lo, deh. Kita ngobrol lagi. Gue...kangen lo usilin."
Iya, Al, aku kangen kamu usilin dengan berbagai perlakuanmu yang entah mengapa walaupun menyebalkan tapi begitu manis. Aku juga kangen caramu mengacak-acak rambutku tiap kali aku meledek atau mengucapkan sesuatu hal tentang dirimu. Aku kangen berada di sampingmu tanpa merasa secanggung malam itu. Aku kangen kamu dan ya, aku mencintaimu. Namun, aku juga butuh bantuanmu untuk menjawab keraguanku ini.
Al tertawa. "Ya udah ke sini aja, Ne. Lo mau dimasakkin apa?"
"Emang lo bisa masak?" tanyaku kaget.
"Enggak bisa. Makanya lo ke sini dulu bantuin gue masak," ujarnya seperti tak pernah ada kecanggungan di antara kami.
Aku terkekeh. "Okelah. Tunggu, ya."
Dan, aku pun dengan semangatnya bersiap-siap. Kuikat rambutku sekenanya dan kupakai baju yang tak muluk-muluk. Ini hanya Al dan ia tak akan mengejekku jelek.
***
Aku memutuskan untuk menelponnya setelah bertengkar dengan diriku sendiri. Aku kangen suaranya dan keputusan untuk membiarkan ponselku mati adalah pilihan bodoh! Kami bercakap seperti biasa lewat panggilan singkat ini. Akhirnya, aku bisa mendengarnya bicara lagi. Ia bertanya padaku perihal kejadian malam itu. Aku terdiam tak dapat banyak berbicara akan hal itu. Aku masih memikirkannya. Dari mulai insiden kecil di depan rumahnya hingga larut malam saat kuantar ia pulang. Aku masih mengingat dan mengulang semuanya sejak hari itu. Perkataanku dan keegoisanku. Gerakan kami di atas lantai dansa yang sangat lambat, namun begitu menghayati. Dekapanku yang dibalasnya dengan mantap. Serta kecupanku di keningnya saat selesai memberi tahunya rahasia besarku. Aku mengingat semuanya bahkan sampai di saat ia menangis di dalam mobilku. Semuanya... Tapi, yang kukatakan pada Une hanya pertanyaan balik yang menandakan betapa pengecutnya diriku.
"Lo sendiri?" tanyaku padanya.
"A little," jawabnya singkat. Ya, untuk apa dia memikirkan semua itu seperti aku?
Aku memaksakan tawaku dan melanjutkan obrolan kami. Ia memutuskan akan pergi ke rumahku siang ini. Kehadirannya di sini, apakah akan membawa perasaan canggung dan bersalah itu lagi?
"... Gue...kangen lo usilin," ucapnya di antara perbincangan kami.
Ya, ia tak pernah tahu betapa aku selalu lebih rindu pada dirinya dan pada kebiasaan usilku yang sering kutumpahkan padanya. Ia tak pernah tahu betapa aku ingin sekali selalu membuatnya kesal karena aku bisa melihat pesona aneh yang terpancar darinya setiap ia memukul lenganku atau menyipitkan matanya. Ia tak pernah tahu aku selalu lebih rindu padanya saat ia tak ada di dekatku walaupun hanya sekadar untuk meninggalkanku ke toilet atau untuk mengurusi kepentingannya yang lain. Ia tak pernah tahu.
Aku membiasakan diri dengan keadaan ini. Kupersilakan ia datang siang ini untuk mendiskusikan perasaannya padaku. Aku berjanji pada diriku sendiri tidak akan memaksakan apapun. Biarkan ia mencintai siapa pun, aku atau orang lain, karena cinta itu tak pernah berniat untuk menyakiti hati satu orang pun. Cinta itu bebas dan sederhana... Sesederhana melihat orang yang kita cintai bahagia walaupun tidak karena kita atau pun tidak untuk kita. Dan inilah yang harus kuyakini pada diriku sendiri. Aku mencintai Une dan apapun yang ia katakan nanti, aku akan membiarkannya memilih kebahagiaannya sendiri.
Une terkekeh. "Okelah. Tunggu, ya."
Always, Ne. Gue akan selalu menunggu lo...
Une datang tak lama setelah memutus panggilanku. Wajahnya kali ini lebih natural tanpa riasan apapun. Jenis cantik yang kusukai. Aku menyunggingkan ssenyum padanya ketika ia memasuki rumahku.
"Makan dulu ya, baru ngobrol," ucapku mengelakkan niat Une untuk membicarakan kejadian malam itu.
"Tadi kan, bilang ngobrol dulu," protesnya. "Kenapa? Lo risih sama gue? Lo enggak enak sama gue?"
Aku menautkan kedua alisku. "Tapi, itu udah gue siapin bahan masaknya."
"Al, lo gimana, sih? Sekali aja Al, gue minta lo serius sama perkataan lo," pinta Une. "Lo pikir gue enggak ngerasa gimana-gimana waktu lo ngomong gitu?"
Aku mengulang perkataan Une barusan dalam hatiku. Oke, satu hal yang terungkap kini bahwasannya Une risih padaku. Baiklah, Al, ini akan menjadi hari yang melelahkan.
"Kalau gitu, ngapain lo datang ke rumah gue?" balasku kesal. Kenapa pula aku kesal? Bukannya aku tak ingin memaksakan Une?
Une terkaget dan terbesir di matanya tatapan kecewa. "Lo masih sahabat gue. Mau gimana pun perasaan gue nanti, atau perasaan lo nanti, kita masih bersahabat, Al. Apa lo enggak menganggap gue seperti itu lagi?"
Aku menarik nafas panjang. "Oke, kita ngobrol dulu."
Une tersenyum lalu berjalan menuju meja makan. Ditariknya salah satu kursi makan agar ia bisa duduk di sana. Aku mengambil posisi berhadapan dengan Une. Santai saja, Al. Kau jujur bukan untuk merasa canggung...
"Gue juga suka sama lo," ucap Une sambil menundukkan kepalanya. Aku nyaris tak bernafas mendengarnya berkata seperti itu.
Une memendam rasa yang sama padaku. Ini bukan mimpi, kan? Kucoba menahan senyum bahagia dari wajahku agar aku tetap terkesan keren di hadapan Une. Aku hanya memberinya anggukan kecil. Sejujurnya, sama seperti orang yang jatuh cinta lainnya, hatiku bersorak bahagia.
"Tapi, gue enggak berani buat melepas persahabatan kita demi status yang bisa jadi enggak bertahan lama," sambung Une.
Aku tersenyum. "Sejujurnya, gue juga enggak berani. Pacaran sama cewek secantik lo."
Une tertawa lalu menendang kakiku yang berada tak jauh dari kakinya di bawah meja makan ini. Aku pura-pura meringis kesakitan. Une mendiamkanku, tahu kalau aku sedang berakting.
"Jadi, lo mau gimana sekarang?" tanyaku menyudahi gurauan singkat itu. Une mengangkat kedua bahunya memberikan jawaban yang begitu abu-abu.
"Enggak tahu, Al," jawabnya. "Lo sendiri?"
Aku menatap Une lalu lagi-lagi tersenyum. "Teman-teman kita udah tahu ini kita 'pacaran'. Kita lanjutin aja. Kali ini sepantasnya. Enggak ada canggung-canggung lagi."
Une mengangkat salah satu alisnya. "Dasar cowok! Modus!"
Aku tertawa. "Bukan gitu, Ne."
"Terus?" tanyanya.
"Di mata mereka, kita memang berpacaran. Tapi, lagi-lagi, ini bakal jadi rahasia," ucapku. "Di antara kita, cuma butuh satu. Dan itu adalah rasa saling memiliki. Gue enggak menuntut lebih."
Une tersenyum malu-malu. "Satu hal lagi."
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Enggak jadi," jawabnya semakin menambah rasa penasaranku.
"Ne, apaan?" tanyaku lagi.
Une tersenyum lagi kali ini dengan dua rona merah menghiasi pipinya. "Lo mungkin suka sama gue sejak pertama kali kita temenan. Jahatnya gue adalah gue selalu menyangkal perasaan suka gue ke lo, Al, selama kurang lebih beberapa bulan terakhir ini."
Aku terkekeh. "Cewek kalau udah jatuh cinta sama cowok ganteng tuh, pasti ngumpet-ngumpet."
"Idih, sok kegantengan banget sih, lo!" ledek Une. "Geli."
"Harusnya lo bersyukur, Ne," balasku. "Mantan lo aja enggak sesetia gue. Ubanan nih, nunggu empat tahun."
Une menyengir. "Ini kenapa gue sampai saat ini enggak mau berganti status sama lo. Gue takut kehilangan hal-hal kayak gini saat nanti kemungkinan buruk terjadi. Gue enggak siap kehilangan lo."
"Gue udah ngerasain kehilangan sahabat dan cewek yang gue sayang dua tahun lalu," ucapku. "Lo dan Zeus. Itu rasanya nyesek banget, Ne. Harusnya lo ganti rugi hati gue, nih."
Une mendengus kesal. "Enggak usah lihat-lihat uang lalu, Al. Lo mau gue gimana buat membetulkan hati Hello Kitty lo itu? Mau gue elus-elus? Atau gue peluk? Atau dicium?"
Aku tertawa. "Cium aja."
"Jangan, ah. Rabies," jawab Une. "Al, laperrrr..."
Aku tergelak mendengar jawaban Une barusan. "Masak, yuk! Kita masak bareng biar romantis."
Une tersipu, namun tetap mengindahkan perkataanku. Ia mulai sibuk pergi ke dapur mengumpulkan bahan-bahan yang akan dipakainya. Aku memerhatikan gerak-geriknya sampai ia sadar bahwa aku tak terlihat ada niat untuk membantunya. Ia menarik lenganku dan memaksaku untuk turun ke dapur bersamanya.
***
"Ne, masak sih, masak. Tapi, kenapa lo nangis gini?" tanya Al menatapku cemas. Bawang yang kuiris ternyata mengiris mataku jauh lebih parah. Bodohnya, aku mengusap airmataku dengan punggung tangan yang beraroma bawang. Bisa dibayangkan betapa perihnya...
"Ini bawangnya," ucapku lemah. "Pedih banget."
Al mendekat padaku dan melepaskan pisau dari tanganku. Ia menampung wajahku yang berlumur airmata dalam telapak tangannya. Kedua ibu jarinya mengusap lembut pipiku. Aku mengedip-kedipkan mata menyisakan rasa perih lainnya yang semakin menusuk-nusuk.
"Jangan dikedipin dulu," pinta Al. "Ini muka lo semua aromanya bawang. Kalau lo kedip, ya aroma itu lagi yang masuk ke mata."
"Abis perih banget, Al," rengekku.
"Ya udah, kita istirahat dulu masaknya," ucap Al. "Lo duduk dulu, gue ambil air dingin sama handuk kecil dulu buat bersihin aroma bawangnya dari muka lo."
Lalu, Al begitu saja pwrgi meninggalkanku. Iya, lebih baik dimanjanya seperti ini daripada harus mesra dan selalu bermanis-manis. Jika memang takdir kami disatukan, maka waktu itu akan datang. Bukan sekarang mungkin, namun pasti waktu yang tepat akan datang.
"Jangan protes apapun yang gue lakukan, ya," ujar Al membawa semangkuk air berisi es dan sehelai handuk kecil. "Merem!"
Aku melakukan yang diperintahkannya. Kupejamkan mataku dan memasrahkan wajahku pada Al. Terdengar perasan air. Al berdesis sesekali karena dingin.
"YA ALLAH! AL, INI DINGIN BANGET!" teriakku ketika handuk kecil yang ditangan Al menyentuh wajahku. Aku menepis tangannya.
"Gue bilang, jangan protes!" tegas Al.
"Tapi, ini dingin banget," rengekku nyaris menangis karena dingin yang mencubit ini. "Al, udaaaaahhhh..."
Al meletakkan handuknya itu, kemudian menangkup wajahku dalam telapaknya yang juga terasa dingin. "Hei, mau pedih lo hilang, kan? Enggak usah manja!"
Aku merengut, mengutyk Al dalam setiap hembusan nafasku. "Lo jahat banget. Sumpah."
"Gue jahat demi kebaikan lo," ucap Al diikuti sehelai handuk dingin yang mendarat di pipiku. Aku meringis kedinginan. Namun, aku tak dapat banyak berprotes. Al akan semakin marah dan malah tak kunjung jera akan rengekkanku.
Setelah insiden bawang itu, Al tak lagi memperbolehkan aku memasak di dapurnya apalagi mendekati bawang-bawang sialan ity. Ia memutuskan untuk memesan makanan cepat saji saja dan meninggalkan kerusuhan bsar di dapurnya. Ini bukan salahku dapur Al menjadi seberantakan itu. Ini murdi ide anehnya.
***
Tak lama setelah menyantap pesanan cepat saji pengganti kegagalan sesi masak kami, Une tertidur di sampingku sehabis kami menghabiskan waktu menonton film bersama. Wajah Une begitu lembut dan lugu. Pose tidurnya juga tidak berantakan. Aku menyingkirkan helai-helai rambut yang mengganggu matanya yang sudah tertutup ini. Une mulai bergerak mengagetkanku. Kukira ia akan bangun, tapi ternyata tidak. Aku tersenyum dan berjalan menuju kamarku untuk mengambilkan jaket agar tubuh Une dapat kututupi. Kuambil jaketku dan kembali turun untuk melakukan niatku. Di sebelah Une, aku perlahan-lahan diserang kantuk yang sama. Dan kami pun larut dalam mimpi masing-masing.
Kejadian setelah tidur siang kami hanya sekadar kedatangan Mama dan Papa. Une tak lama pulang dan aku menikmati malamku. Esoknya, hari baru tiba dan suasana hati baru juga datang menyambutku. Aku menjemput Une seperti biasa.
"Mas Al duduk dulu aja. Non Une masih siap-siap," ucap Mbok Num sesampainya aku di depan pagar rumah Une.
"Suruh cepetan dikit, Mbok," ucapku iseng.
"Loh, ini kan, baru jam setengah tujuh toh, Mas. Kenapa disuruh cepat-cepat?" tanya Mbok Num dengan ekspresi bingung membuatku tertawa.
"Biar Une panik," jawabku singkat.
Mbok Num menggelengkan kepalanya. "Mas Al ini ada-ada saja. Suka banget usil sama Non Une."
Aku tersenyum. "Une kalau diusilin lucu, Mbok. Al suka banget kalau dia udah ngambek."
Mbok Num terkekeh. "Pacaran kok, malah suka bikin ngambek? Eh, tapi kalian itu beneran pacaran, toh?"
"Menurut Mbok Num gimana?" tanyaku balik sambil mengedipkan sebelah mata.
"Wah, Mbok mah, setuju banget, Mas Al. Kalian cantik dan ganteng, jadi Mbok Num bilang sih, cocok," jawab Mbok Num memberikan senyum di wajahku. "Langgeng yo, Mas sama Non Une. Mbok panggil Non Une dulu."
Kemudian, aku ditinggal Mbok Num dengan senyum yang masih membekas di bibirku. Ya, Mbok, semoga kami benar-benar langgeng dalam hubungan ini. Beberapa menit setelah terdengar seruan Mbok Num untuk Une, orang yang dipanggil akhirnya muncul dengan wajah penasaran di hadapanku. Aku menatapnya tak mengerti.
"Itu Mbok Num kenapa senyam-senyum kayak gitu?" tanya Une seraya memakai helm.
Aku tersenyum simpul kemudian memakai helmku. "Kepo banget."
Une melayangkan tinjunya di lenganku. "Oh, jadi main rahasia-rahasiaan lagi. Oke, baiklah. Gue juga bakal main rahasia-rahasiaan."
Aku pun menaiki motorku dan menyuruh Une untuk bergegas naik juga. Setelah ia siap di posisinya, aku menarik kedua lengannya agar melingkar di perutku. Une terkesiap, namun tak ada tolakan darinya. Aku tersenyum di balik kaca helmku.
"Tapi, lo enggak bisa ngerahasiain perasaan lo sekarang, kan?" tanyaku dengan senyum puas yang tak bisa dilihat Une.
Une kini berusaha melepas pelukannya. Aku menahan tangannya seraya menghidupkan mesin motorku. Ia masih tetap berusaha hingga akhirnya menyerah. Lagi-lagi aku tersenyum puas. Kutancapkan gas agar kami lekas sampai di sekolah.
Tempat parkir sudah sarat dengan motor-motor lain. Sialnya, aku jadi harus memarkirkan motorku tepat di posisi yang tidak strategis. Aku menyalahkan Une yang superlelet untuk masalah ini. Ia menoyorku tapi kemudian meminta maaf. Aku mengacak-acak rambutnya seperti biasa membuat kekesalannya semakin menjadi. Une berusaha meraih rambutku, tapi kegagalan menghampirinya. Ia pun meninggalkanku seolah-olah marah padaku. Aku mengejarnya setelah menyimpan rapi helmku dan helmnya di motor.
Kurangkul Une yang sedang berjalan sendirian. "Jomblo banget ya, jalan sendirian."
Une mencoba melepaskan diri. "Apaan sih, lo?"
Aku menyengir. "Itu rambut makanya ditata yang rapi banget biar gue ngerasa bersalah udah ngacak-ngacak."
"Rambut-rambut gue juga! Lo aja tuh, resek banget," balas Une.
"Jangan marah, dong, Ne. Jelek," ucapku sambil merangkulnya lebih erat.
"Lo tuh, jelek!" ledek Une. "Jauh-jauh lo! Gue mau cari cowok lain aja yang enggak resek."
"Resek-resek kayak gini setia loh, Ne!" seruku ketika Une berhasil lepas dari rangkulanku dan sudah jauh berlari. "Jarang ada cowok yang kayak gitu!"
Une memberhentikan langkahnya lalu menoleh ke arahku. Ia menyipitkan matanya kemudian kembali meninggalkanku. Aku tersenyum puas. Lalu, kuputuskan untuk mengejarnya.
Kelasku saat ini ramai dengan berbagai cerita tentang malam Pesta Dansa itu. Une dan aku terdiam menikmati canggung kami lagi. Sesekali aku berani mengusilinya selagi ia tampak serius merapikan buku-bukunya. Kesempatanku menjadi semakin besar untuk mengganggu Une ketika aku sudah duduk di sampingnya.
"Al! Sana-sana! Gue mau belajar," erang Une seraya mendorong tubuhku menjauh darinya.
"Kok, gue-elo sih, Ne? Yang unyu, dong," protesku. "Kita kan, udah pacaran."
Une menoleh ke arahku dan meninju lenganku cukup kuat. Aku meringis kesakitan, namun tak cukup sakit untuk membuat Une khawatir. Ia hanya kembali menyibukkan dirinya sementara aku kembali memikirkan cara lain untuk mengganggunya.
"Ne, ajarin, dong. Enggak ngerti, nih. Kita belajar bareng aja, yuk!" ajakku sambil memohon-mohon pada Une.
Une menghembuskan nafas kesal. "Oke, tapi enggak ada iseng-isengan!"
Aku tersenyum lalu memberi Une hormat. "Siap, Komandan!"
Une membalasnya dengan menoyor kepalaku. "Katanya pacar, kok, jadi 'Komandan'?"
"Cieeeeeee! Akhirnya mau diakui juga, Ne," ledekku lalu melayangkan senyum pada Une sambil menyenggol lengannya. Une tersenyum malu-malu.
Aku mendengar suara Anita berdehem dari bangku yang ada di belakangku. Wajahnya tersenyum penuh arti. Une dibuatnya salah tingkah sehingga terus menunduk memendam wajahnya. Aku sendiri menyengir bahagia.
"Duh, bikin iri deh, yang pacaran sekelas," goda Anita. "Silakan, lanjutin aja. Biar gue mupeng di sini kayak orang galau."
"Makanya, Nit, harusnya lo jadiannya sama Aqil. Jangan sama yang lain biar enggak mupeng," ucapku asal. Tak lama yang dibicarakan datang sambil mengucapkan salam yang lantang.
"Assalamu'alaikum!" sapanya ketika memasuki kelas.
"Wa'alaikumsalam," balas anak-anak sekelas.
"Panjang umur, Nit. Pangeran lo datang," ucap Une mewakilkanku.
Anita bergidik kesal. "Lo jahat, June. Lama-lama kalian ngeselin, ya. Makin pacaran bukannya malah makin bikin happy."
"Qil," sapaku saat Aqil berjalan mendekatiku.
"Pasangan baru, ye? Bahagia banget," ucap Aqil seraya mengambil tempat duduk yang sudah diduduki Anita.
"AQIL! Please, deh! Lo enggak lihat apa gue udah duduk di sini?!" bentak Anita yang nyaris tertimpa Aqil.
Aqil menyumbat telinganya. "Maaf, Nit! Enggak lihat, santai aja, dong. Lo masih pagi udah jelek aja."
Kemudian kekesalan Anita meningkat karena Aqil menoyor kepalanya. Aku dan Une berbagi tawa. Anita memukul-mukul Aqil mencoba menghindar dari perlakuan temanku itu. Aqil justru dengan senang hati menjauhi Anita.
"Jauh-jauh lo dari gue, Qil! Alergi!" seru Anita tidak memperbolehkan Aqil duduk di bangkunya.
"Apa-apaan lo! Ini bangku gue juga," protes Aqil.
"Gini aja. Kalian buat perjanjian duduk," ujarku. "Jatah Anita cuma sebatas bangkunya dan kolong meja bagian dia. Aqil juga gitu. Kalau ada yang melebihi itu, berarti kalian harus sharing laci dan kolong meja selama tiga hari."
Aqil menyipitkan matanya. "Bro, lo jadi kenapa jahat gitu sama gue?"
Anita menganga. "Ogah banget, deh, Zal. Sharing laci sama anak ini?! Ya Allah Gusti! Bisa-bisa barang-barang gue tuh, lewat semua. Kandas!"
"Makanya, kalian coba dulu," tambah Une mendukungku. "Ini namanya permainan kepercayaan, Nit. Lo harus mempercayai Aqil buat enggak ngambil jatah lo. Dan Aqil juga begitu. Itu kalau kalian enggak mau sharing."
Aku tersenyum. "Benar banget nih, my baby cantik."
Une menatapku jijik. "Apaan sih, Al!"
Aku mencolek dagu Une. "Jangan salting gitu, ah. Lama-lama mirip Anita."
"Oke, FINE!" ucap Anita. "Kita coba ide gila lo ya, Zal."
Aqil menghembuskan nafas kecewa. "Oke, gue enggak takut. Sampai lo yang ternyata duluan menyentuh teritori gue, gue cium lo!"
Anita menampar Aqil. "GELI!"
Aku dan Une lagi-lagi tertawa melihat tingkah teman-teman kami. Aqil menyengir pada Anita yang wajahnya penuh dengan kekesalan dan rasa jijik yang memuncak. Cinta itu sederhana, namun bisa menjadi rumit ketika menabrak pasangan yang salah...
***
Jam pelajaran keempat baru saja dimulai setelah sempat terpotong pengumuman berdurasi limas belas menit dari kepala sekolah. Kepalaku mendadak pusing hebat dan membuatku tak bisa berkonsentrasi belajar. Aku terus menunduk di samping Al sambil sesekali memijat keningku sendiri. Al memerhatikanku. Sesekali mau bertanya ada apa, namun aku menjawab bahwa aku masih baik-baik saja. Kami lewati dua jam pelajaran bersama di mana selama itu juga aku berusaha sekuat tenaga menahan pusing yang tiba-tiba itu.
Istirahat akhirnya datang. Anita mengajakku pergi ke kantin. Mencoba menghiraukan rasa sakit kepalaku, aku menurutinya. Tak lama aku melihat Al dan Aqil mengekor dari belakang. Selagi aku berjalan, sekelilingku terasa seperti bergetar layaknya sedang gempa hebat. Aku tak kuat lagi menahan dan tubuhku lunglai. Kesadaranku masih ada, hanya saja kepalaku terasa sangat berat.
"Une!" terdengar suara Al berteriak di belakangku dan langkah kakinya yang panjang. Lengannya menangkapku ketika aku nyaris terhuyung jatuh menyentuh tanah.
"June," panggil Anita ketika Al berhasil menangkapku di tangannya. Aqil mengulang panggilan Anita dengan wajah yang khawatir.
"June, muka lo pucat banget," ucap Aqil yang segera membantu Al memegangiku.
"Ne, lo gue antar pulang sekarang," ujar Al tegas. "Qil, lo tolong dong, ke BK minta surat izin buat Une dan gue. Bilang aja Une pingsan."
Aku menarik nafas yang terasa sesak. "Al, tapi kan, tadi kita berangkat pakai motor."
"Oh, iya!" seru Al kesal. "Qil, lo bawa mobil, enggak?"
"Enggak. Tapi, tadi gue lihat Dadan bawa," beber Aqil. "Gue sekalian ke dia, deh. Pinjam kunci sama STNK dan sebagainya."
"Enggak perlu!" ucap seseorang lainnya. "Une biar gue aja yang bawa ke rumah sakit. Gue tadi bawa mobil, kok."
Al menoleh ke arah sumber suara. Aku melihat Zeus berdiri gagah tak jauh dari posisiku saat ini. Wajah Al mengeras dan memelukku lebih erat seakan tak mau kehilangan diriku pada orang yang sama lagi. Aku terlalu lemas untuk membalas pelukan itu.
"Enggak," bantah Al. "Une cewek gue sekarang. Enggak ada hak buat lo dekat sama dia apalagi sampai nyentuh dia. Ne, lo pulang sama gue pakai mobil Dadan."
Zeus menghembuskan nafasnya lalu mendekat. "Lo masih mau buat dia nunggu jawaban dari teman lo itu dengan kondisi dia yang kayak gini? Sementara gue dengan sangat terbuka mau memberikan dia tumpangan pulang?"
"Al," rintihku.
"Une, please, lo masih kuat, kan?" tanya Al khawatir. Aku menggeleng bukan untuk membuat Al tersudut karena ucapan Zeus, melainkan karena aku sudah benar-benar tidak sanggup untuk menunggu. Al menghembuskan nafasnya.
"Gue pulang sama Une," tegas Al pada Zeus.
Lalu, setelah perdebatan singkat yang membuatku semakin susah bernafas itu, Al menggendongku sampai ke mobil Zeus. Ia bersikeras menopang kepalaku di jok belakang sedan Zeus ini selagi pemilik mobil membawa kami ke rumah sakit terdekat. Nafasku semakin pendek dan kepalaku seolah-olah penuh dengan udara yang terasa berat. Kaki dan tanganku dingin. Aku meremas jemari Al memintanya berbagi rasa dingin yang menjalari tubuhku ini.
Al mencium buku-buku jemariku. "Ne, stay with me."
Aku berusaha menyunggingkan senyum lemah pada Al. "Al...susah na...fas."
"Coba lo tegakin badannya," ujar Zeus sambil mengemudi. "Biar udara di tubuhnya ngalir."
Al melakukan saran Zeus dan menegakkan tubuhku dan menyenderkanku di dadanya. Setengah memelukku, ia ikut membantuku mengatur nafasku yang semakin sesak. Pandanganku sudah abu-abu dan kunang-kunang. Tak lama semua menghitam.
***
"Al...susah na...fas," keluhnya dengan senyum menghadapku. Rasa khawatir dalam diriku memuncak melihat gadis yang teramat kusayang kesakitan seperti ini. Andai ia dapat membagi sakitnya padaku yang insyaAllah lebih kuat...
"Coba lo tegakin badannya," ujar Zeus yang nyaris kuanggap tak ada sejak tadi. "Biar udara di tubuhnya ngalir."
Aku menegakkan tubuh Une dan membiarkannya bersender di dadaku tanpa peduli beban yang akan menimpa bagian depan tubuhku. Aku memeluknya, namun berhati-hati untuk tidak menahannya untuk bernafas. Dalam hati aku berdoa agar Une tetap bersamaku, dalam keadaan sadar, sampai ia menjumpai ranjang rumah sakit. Namun, Tuhan berkata lain. Une tak lama memejamkan mata dan aku tahu Une sudah tak sadarkan diri.
"Ne," panggilku sambil menepuk-nepuk lengan Une. Rasa panik menjalari sekujur tubuhku.
"Ne! Une bangun," ucapku sekali lagi. "Zeus, berapa lama lagi?"
"Satu belokan lagi," jawabnya.
Setelah melewati belokan yang dimaksud, kami pun sampai. Baik aku maupun Zeus sama-sama tak ambil pusing dan langsung membawa Une ke IGD. Dengan sigap perawat beserta satu satpam mengangkat Une dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang rumah sakit. Aku dan Zeus ikut bersama mereka. Dalam kondisi apapun, aku tetap memegang janjiku untuk tak membiarkan Zeus mendekati Une, sekali pun itu darurat. Aku harus menjaga Une karena kini Une tanggungjawabku sebagai sahabat dan orang yang memiliki hatiku. Bukan Zeus lagi.
Tiga puluh menit menunggu di luar ruang gawat darurat rumah sakit bersama seseorang yang paling kau benci adalah hal teramat tidak menyenangkan bagi seseorang. Namun, aku menjalaninya sedari tiga puluh menit yang lalu. Wajah Zeus tak kalah cemas dengan wajahku. Setelah Une masuk dan dijalari infus tadi, aku langsung menelpon kedua orangtuanya beserta orangtuaku. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda kehadiran mereka.
"Udah lo hubungi orangtuanya?" tanya Zeus memecah hening yang lama menyelimuti kami. Aku cukup mengangguk.
"Kalau mereka datang, gue harap lo pulang," ujarku tegas. Zeus menghembuskan nafasnya yang sarat dengan rasa kesal.
"Oke," jawabnya singkat.
Dokter yang saat ini menangani Une akhirnya keluar lagi setelah sebelumnya sempat memintai keterangan tentang Une dan hubunganku beserta Zeus dengan Une. Ia memperbolehkan kami masuk. Seolah mengerti atau mungkin hanya gestur kesopanan, Zeus mempersilakan aku melihat Une terlebih dahulu. Aku pun masuk ke bilik tempat Une masih beristirahat. Une sudah sadar.
"Kamu boleh di sini, temani dia. Tapi, jangan bikin dia capek atau jangan bikin ribut, ya," ujar sang Dokter.
Aku tersenyum lemah. "Une sakit apa, Dok?"
"Dia mengalami shock karena diduga tadi kondisi lambungnya kosong dan seperti orang maag. Sakitnya itu sudah di batas kekuatan si pasien," jelas Dokter itu. "Karena tidak sanggup menahan sakitnya lagi, nafas dan tekanan darahnya semakin sesak dan semakin turun hingga tadi tak sadarkan diri sebentar. Nah, makanya kamu jangan banyak ajak dia bicara atau berpikir dulu. Nanti bisa memicu lagi."
Aku mengangguk-angguk, sedikit banyak mengerti semua penjelasan Dokter itu. Kulihat wajah Une yang saat ini sudah tidak sepucat sebelumnya. Ia masih bisa menyunggingkan senyum untukku dan sang Dokter dalam kondisinya seperti itu. Mau tak mau aku menggelengkan kepala dan merasa ingin tertawa. Gadis ini...
"Ya sudah, kamu silakan temani dia," ucap Dokter. "Kalau ada apa-apa, kasih tahu perawatnya saja."
Aku memberikan Dokter itu senyumku. "Makasih ya, Dok."
Setelah itu, kudekati Une dan duduk di kursi kecil sebelah ranjang Une. Aku meraih jemarinya dan tanpa ragu ia membalas genggamanku. Aku memperlihatkan Une senyumku yang sudah sangat lemah. Melihatnya terbaring dengan segala macam selang dan tusukan infus serta alat-alat lainnya sungguh menyiksa diriku sendiri. Apalagi harus menunggu setengah jam bersama kabut dalam kepalaku sendiri tanpa bisa mengetahui keadaannya. Tuhan, syukurlah Une sudah sadar.
"Al," panggil Une lemah. Aku mendekatkan wajahku dan menenggerkan daguku di tiang ranjang.
"Apa, Ne?" balasku lembut seraya mengelus-elus punggung tangannya.
Sebelum menjawab, ia tersenyum. "Maaf ya, jadi ngerepotin dan ngebuat kamu khawatir."
Giliranku tersenyum. "Ne, enggak usah dipikirin. Gue direpotin, ngehawatirin, bahkan kalau perlu ngejagain lo tuh, udah jadi agenda gue. Lo enggak perlu minta maaf, Ne. Gue sayang sama lo."
Une menarik nafasnya yang masih terdengar sesak. "Gue... Aku juga sayang sama kamu, Al. Makasih, ya."
Aku tersenyum mendengar ucapan Une. Khawatirku, resahku, panikku, semua kabut dalam benakku terasa seperti telah diangkat setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Une itu. Aku menatap Une tulus dan mencari dusta yang mungkin tersimpan di sana di balik kata-kata manis itu. Tidak ada. Kali ini Une benar-benar mengucapkan kata-kata itu apa adanya.
"Lo kan, sudah pasti dirawat nih, Ne," beberku. "Jadi, nanti pas dirawat, lo enggak perlu khawatir sama tugas dan ulangan atau catatan. Gue bakal nge-back-up semuanya buat lo dan setiap hari gue bakal pulang ke sini nemenin lo. Janji."
Une tersenyum lemah. "Iya, iya. Sekali lagi, makasih banyak ya, Al."
Aku mencium punggung tangan Une. Kemudian, aku mendekat ke wajahnya dan mengecup keningnya lama. Cepat sembuh, Ne. Melihat lo sakit sebenarnya juga menyakitkan. Namun, di antara kita, harus ada yang lebih kuat. Dan saat ini, itu tugas gue.
***
Hari-hari setelah pesta dan dansa terakhirku bersamanya terasa sangat sunyi dan sepi. Harusnya pagi-pagi seperti ini aku sudah menelponnya hanya untuk sekadar mendengar suaranya yang masih mengantuk. Harusnya aku sudah menerima pesan masuk darinya yang mencaci maki diriku karena mengganggu akhir pekannya. Terlebih kepasrahannya akan ajakan-ajakan egoisku yang menyuruhnya segera bersiap untuk kubawa pergi seharian tanpa tujuan yang jelas hanya agar aku dapat menghabiskan waktu dengannya. Apa lagi hari-hari seperti ini. Dan yang terakhir, harusnya aku sudah menyuruh pembantunya menyuruhnya makan pagi walaupun aku tahu ia tak pernah begitu suka dengan sarapan.
Namun, pagi ini berbeda. Ponselku kubiarkan mati tanpa baterai agar aku tak ada niat untuk menelponnya. Padahal hati ini serasa ingin berteriak mengusik tidurnya karena aku ingin mendengar kekesalan dalam suaranya. Seharusnya malam itu tak kuucapkan kata-kata egois yang menandakan keserakahanku akan perasaannya. Seharusnya...
"Al, mau ikut Mama lari pagi, enggak?" tanya Mama setelah mengetuk pintu kamarku.
"Enggak, Ma. Al masih ngantuk," jawabku dengan intonasi yang seakan-akan aku benar-benar mengantuk.
"Ya sudah," balas Mama. "Kalau kamu bosan, minta Une ke sini aja."
Aku tertawa dalam hati mendengar ucapan Mama. Aku belum menceritakan apapun padanya tentang malam itu. Mendengarnya berkata seperti itu sesungguhnya sangat menyakitkan. Apa mau Une kusuruh kemari setelah semua yang terjadi?
***
Pomselku berdering membangunkanku dari tidur pulasku selama dua jam terakhir. Kulihat siapa yang begitu menyebalkan yang telah mengusik tidurku. Nama itu... Nama yang kutunggu-tunggu sejak pagi tadi. Akhirnya ia menelponku juga setelah selama itu. Aku langsung benar-benar duduk tegak sambil mengatur nafasku dan berdehem sebelum menjawabnya.
"Hmm?" jawabku setelah di seberang sana terdengar suaranya memanggil namaku. Gengsi ini masih mengganggu.
"Mama nyuruh lo nemenin gue di sini biar enggak bosen," jawabnya tanpa ekspresi. Aku melongos kecewa. Hanya itu?
"Emang nyokap lo ke mana?" tanyaku berusaha memperpanjang percakapan ini.
"Lari pagi menjelang siang," jawabnya singkat.
Aku menarik nafas. "Al, lo masih mikirin kejadian waktu itu?"
Hening...
"Lo sendiri?" tanyanya balik seperti biasanya. Ia tak pernah rela tersudut dengan pertanyaanku yang terasa begitu tepat.
"A little..." jawabku. A little too much, a little too often... sambungku dalam hati.
Al tertawa renyah. "Dan lo masih butuh waktu?"
Aku terdiam. Pertanyaan inilah yang selama dua hari semenjak ia mengungkapkan perasaannya yang selalu terngiang di kepalaku. Apa aku masih butuh waktu setelah begitu sering memikirkan ucapannya yang nampaknya tak pernah luput dari benakku?
"Enggak tahu, Al," jawabku jujur. "Gue ke rumah lo, deh. Kita ngobrol lagi. Gue...kangen lo usilin."
Iya, Al, aku kangen kamu usilin dengan berbagai perlakuanmu yang entah mengapa walaupun menyebalkan tapi begitu manis. Aku juga kangen caramu mengacak-acak rambutku tiap kali aku meledek atau mengucapkan sesuatu hal tentang dirimu. Aku kangen berada di sampingmu tanpa merasa secanggung malam itu. Aku kangen kamu dan ya, aku mencintaimu. Namun, aku juga butuh bantuanmu untuk menjawab keraguanku ini.
Al tertawa. "Ya udah ke sini aja, Ne. Lo mau dimasakkin apa?"
"Emang lo bisa masak?" tanyaku kaget.
"Enggak bisa. Makanya lo ke sini dulu bantuin gue masak," ujarnya seperti tak pernah ada kecanggungan di antara kami.
Aku terkekeh. "Okelah. Tunggu, ya."
Dan, aku pun dengan semangatnya bersiap-siap. Kuikat rambutku sekenanya dan kupakai baju yang tak muluk-muluk. Ini hanya Al dan ia tak akan mengejekku jelek.
***
Aku memutuskan untuk menelponnya setelah bertengkar dengan diriku sendiri. Aku kangen suaranya dan keputusan untuk membiarkan ponselku mati adalah pilihan bodoh! Kami bercakap seperti biasa lewat panggilan singkat ini. Akhirnya, aku bisa mendengarnya bicara lagi. Ia bertanya padaku perihal kejadian malam itu. Aku terdiam tak dapat banyak berbicara akan hal itu. Aku masih memikirkannya. Dari mulai insiden kecil di depan rumahnya hingga larut malam saat kuantar ia pulang. Aku masih mengingat dan mengulang semuanya sejak hari itu. Perkataanku dan keegoisanku. Gerakan kami di atas lantai dansa yang sangat lambat, namun begitu menghayati. Dekapanku yang dibalasnya dengan mantap. Serta kecupanku di keningnya saat selesai memberi tahunya rahasia besarku. Aku mengingat semuanya bahkan sampai di saat ia menangis di dalam mobilku. Semuanya... Tapi, yang kukatakan pada Une hanya pertanyaan balik yang menandakan betapa pengecutnya diriku.
"Lo sendiri?" tanyaku padanya.
"A little," jawabnya singkat. Ya, untuk apa dia memikirkan semua itu seperti aku?
Aku memaksakan tawaku dan melanjutkan obrolan kami. Ia memutuskan akan pergi ke rumahku siang ini. Kehadirannya di sini, apakah akan membawa perasaan canggung dan bersalah itu lagi?
"... Gue...kangen lo usilin," ucapnya di antara perbincangan kami.
Ya, ia tak pernah tahu betapa aku selalu lebih rindu pada dirinya dan pada kebiasaan usilku yang sering kutumpahkan padanya. Ia tak pernah tahu betapa aku ingin sekali selalu membuatnya kesal karena aku bisa melihat pesona aneh yang terpancar darinya setiap ia memukul lenganku atau menyipitkan matanya. Ia tak pernah tahu aku selalu lebih rindu padanya saat ia tak ada di dekatku walaupun hanya sekadar untuk meninggalkanku ke toilet atau untuk mengurusi kepentingannya yang lain. Ia tak pernah tahu.
Aku membiasakan diri dengan keadaan ini. Kupersilakan ia datang siang ini untuk mendiskusikan perasaannya padaku. Aku berjanji pada diriku sendiri tidak akan memaksakan apapun. Biarkan ia mencintai siapa pun, aku atau orang lain, karena cinta itu tak pernah berniat untuk menyakiti hati satu orang pun. Cinta itu bebas dan sederhana... Sesederhana melihat orang yang kita cintai bahagia walaupun tidak karena kita atau pun tidak untuk kita. Dan inilah yang harus kuyakini pada diriku sendiri. Aku mencintai Une dan apapun yang ia katakan nanti, aku akan membiarkannya memilih kebahagiaannya sendiri.
Une terkekeh. "Okelah. Tunggu, ya."
Always, Ne. Gue akan selalu menunggu lo...
Une datang tak lama setelah memutus panggilanku. Wajahnya kali ini lebih natural tanpa riasan apapun. Jenis cantik yang kusukai. Aku menyunggingkan ssenyum padanya ketika ia memasuki rumahku.
"Makan dulu ya, baru ngobrol," ucapku mengelakkan niat Une untuk membicarakan kejadian malam itu.
"Tadi kan, bilang ngobrol dulu," protesnya. "Kenapa? Lo risih sama gue? Lo enggak enak sama gue?"
Aku menautkan kedua alisku. "Tapi, itu udah gue siapin bahan masaknya."
"Al, lo gimana, sih? Sekali aja Al, gue minta lo serius sama perkataan lo," pinta Une. "Lo pikir gue enggak ngerasa gimana-gimana waktu lo ngomong gitu?"
Aku mengulang perkataan Une barusan dalam hatiku. Oke, satu hal yang terungkap kini bahwasannya Une risih padaku. Baiklah, Al, ini akan menjadi hari yang melelahkan.
"Kalau gitu, ngapain lo datang ke rumah gue?" balasku kesal. Kenapa pula aku kesal? Bukannya aku tak ingin memaksakan Une?
Une terkaget dan terbesir di matanya tatapan kecewa. "Lo masih sahabat gue. Mau gimana pun perasaan gue nanti, atau perasaan lo nanti, kita masih bersahabat, Al. Apa lo enggak menganggap gue seperti itu lagi?"
Aku menarik nafas panjang. "Oke, kita ngobrol dulu."
Une tersenyum lalu berjalan menuju meja makan. Ditariknya salah satu kursi makan agar ia bisa duduk di sana. Aku mengambil posisi berhadapan dengan Une. Santai saja, Al. Kau jujur bukan untuk merasa canggung...
"Gue juga suka sama lo," ucap Une sambil menundukkan kepalanya. Aku nyaris tak bernafas mendengarnya berkata seperti itu.
Une memendam rasa yang sama padaku. Ini bukan mimpi, kan? Kucoba menahan senyum bahagia dari wajahku agar aku tetap terkesan keren di hadapan Une. Aku hanya memberinya anggukan kecil. Sejujurnya, sama seperti orang yang jatuh cinta lainnya, hatiku bersorak bahagia.
"Tapi, gue enggak berani buat melepas persahabatan kita demi status yang bisa jadi enggak bertahan lama," sambung Une.
Aku tersenyum. "Sejujurnya, gue juga enggak berani. Pacaran sama cewek secantik lo."
Une tertawa lalu menendang kakiku yang berada tak jauh dari kakinya di bawah meja makan ini. Aku pura-pura meringis kesakitan. Une mendiamkanku, tahu kalau aku sedang berakting.
"Jadi, lo mau gimana sekarang?" tanyaku menyudahi gurauan singkat itu. Une mengangkat kedua bahunya memberikan jawaban yang begitu abu-abu.
"Enggak tahu, Al," jawabnya. "Lo sendiri?"
Aku menatap Une lalu lagi-lagi tersenyum. "Teman-teman kita udah tahu ini kita 'pacaran'. Kita lanjutin aja. Kali ini sepantasnya. Enggak ada canggung-canggung lagi."
Une mengangkat salah satu alisnya. "Dasar cowok! Modus!"
Aku tertawa. "Bukan gitu, Ne."
"Terus?" tanyanya.
"Di mata mereka, kita memang berpacaran. Tapi, lagi-lagi, ini bakal jadi rahasia," ucapku. "Di antara kita, cuma butuh satu. Dan itu adalah rasa saling memiliki. Gue enggak menuntut lebih."
Une tersenyum malu-malu. "Satu hal lagi."
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Enggak jadi," jawabnya semakin menambah rasa penasaranku.
"Ne, apaan?" tanyaku lagi.
Une tersenyum lagi kali ini dengan dua rona merah menghiasi pipinya. "Lo mungkin suka sama gue sejak pertama kali kita temenan. Jahatnya gue adalah gue selalu menyangkal perasaan suka gue ke lo, Al, selama kurang lebih beberapa bulan terakhir ini."
Aku terkekeh. "Cewek kalau udah jatuh cinta sama cowok ganteng tuh, pasti ngumpet-ngumpet."
"Idih, sok kegantengan banget sih, lo!" ledek Une. "Geli."
"Harusnya lo bersyukur, Ne," balasku. "Mantan lo aja enggak sesetia gue. Ubanan nih, nunggu empat tahun."
Une menyengir. "Ini kenapa gue sampai saat ini enggak mau berganti status sama lo. Gue takut kehilangan hal-hal kayak gini saat nanti kemungkinan buruk terjadi. Gue enggak siap kehilangan lo."
"Gue udah ngerasain kehilangan sahabat dan cewek yang gue sayang dua tahun lalu," ucapku. "Lo dan Zeus. Itu rasanya nyesek banget, Ne. Harusnya lo ganti rugi hati gue, nih."
Une mendengus kesal. "Enggak usah lihat-lihat uang lalu, Al. Lo mau gue gimana buat membetulkan hati Hello Kitty lo itu? Mau gue elus-elus? Atau gue peluk? Atau dicium?"
Aku tertawa. "Cium aja."
"Jangan, ah. Rabies," jawab Une. "Al, laperrrr..."
Aku tergelak mendengar jawaban Une barusan. "Masak, yuk! Kita masak bareng biar romantis."
Une tersipu, namun tetap mengindahkan perkataanku. Ia mulai sibuk pergi ke dapur mengumpulkan bahan-bahan yang akan dipakainya. Aku memerhatikan gerak-geriknya sampai ia sadar bahwa aku tak terlihat ada niat untuk membantunya. Ia menarik lenganku dan memaksaku untuk turun ke dapur bersamanya.
***
"Ne, masak sih, masak. Tapi, kenapa lo nangis gini?" tanya Al menatapku cemas. Bawang yang kuiris ternyata mengiris mataku jauh lebih parah. Bodohnya, aku mengusap airmataku dengan punggung tangan yang beraroma bawang. Bisa dibayangkan betapa perihnya...
"Ini bawangnya," ucapku lemah. "Pedih banget."
Al mendekat padaku dan melepaskan pisau dari tanganku. Ia menampung wajahku yang berlumur airmata dalam telapak tangannya. Kedua ibu jarinya mengusap lembut pipiku. Aku mengedip-kedipkan mata menyisakan rasa perih lainnya yang semakin menusuk-nusuk.
"Jangan dikedipin dulu," pinta Al. "Ini muka lo semua aromanya bawang. Kalau lo kedip, ya aroma itu lagi yang masuk ke mata."
"Abis perih banget, Al," rengekku.
"Ya udah, kita istirahat dulu masaknya," ucap Al. "Lo duduk dulu, gue ambil air dingin sama handuk kecil dulu buat bersihin aroma bawangnya dari muka lo."
Lalu, Al begitu saja pwrgi meninggalkanku. Iya, lebih baik dimanjanya seperti ini daripada harus mesra dan selalu bermanis-manis. Jika memang takdir kami disatukan, maka waktu itu akan datang. Bukan sekarang mungkin, namun pasti waktu yang tepat akan datang.
"Jangan protes apapun yang gue lakukan, ya," ujar Al membawa semangkuk air berisi es dan sehelai handuk kecil. "Merem!"
Aku melakukan yang diperintahkannya. Kupejamkan mataku dan memasrahkan wajahku pada Al. Terdengar perasan air. Al berdesis sesekali karena dingin.
"YA ALLAH! AL, INI DINGIN BANGET!" teriakku ketika handuk kecil yang ditangan Al menyentuh wajahku. Aku menepis tangannya.
"Gue bilang, jangan protes!" tegas Al.
"Tapi, ini dingin banget," rengekku nyaris menangis karena dingin yang mencubit ini. "Al, udaaaaahhhh..."
Al meletakkan handuknya itu, kemudian menangkup wajahku dalam telapaknya yang juga terasa dingin. "Hei, mau pedih lo hilang, kan? Enggak usah manja!"
Aku merengut, mengutyk Al dalam setiap hembusan nafasku. "Lo jahat banget. Sumpah."
"Gue jahat demi kebaikan lo," ucap Al diikuti sehelai handuk dingin yang mendarat di pipiku. Aku meringis kedinginan. Namun, aku tak dapat banyak berprotes. Al akan semakin marah dan malah tak kunjung jera akan rengekkanku.
Setelah insiden bawang itu, Al tak lagi memperbolehkan aku memasak di dapurnya apalagi mendekati bawang-bawang sialan ity. Ia memutuskan untuk memesan makanan cepat saji saja dan meninggalkan kerusuhan bsar di dapurnya. Ini bukan salahku dapur Al menjadi seberantakan itu. Ini murdi ide anehnya.
***
Tak lama setelah menyantap pesanan cepat saji pengganti kegagalan sesi masak kami, Une tertidur di sampingku sehabis kami menghabiskan waktu menonton film bersama. Wajah Une begitu lembut dan lugu. Pose tidurnya juga tidak berantakan. Aku menyingkirkan helai-helai rambut yang mengganggu matanya yang sudah tertutup ini. Une mulai bergerak mengagetkanku. Kukira ia akan bangun, tapi ternyata tidak. Aku tersenyum dan berjalan menuju kamarku untuk mengambilkan jaket agar tubuh Une dapat kututupi. Kuambil jaketku dan kembali turun untuk melakukan niatku. Di sebelah Une, aku perlahan-lahan diserang kantuk yang sama. Dan kami pun larut dalam mimpi masing-masing.
Kejadian setelah tidur siang kami hanya sekadar kedatangan Mama dan Papa. Une tak lama pulang dan aku menikmati malamku. Esoknya, hari baru tiba dan suasana hati baru juga datang menyambutku. Aku menjemput Une seperti biasa.
"Mas Al duduk dulu aja. Non Une masih siap-siap," ucap Mbok Num sesampainya aku di depan pagar rumah Une.
"Suruh cepetan dikit, Mbok," ucapku iseng.
"Loh, ini kan, baru jam setengah tujuh toh, Mas. Kenapa disuruh cepat-cepat?" tanya Mbok Num dengan ekspresi bingung membuatku tertawa.
"Biar Une panik," jawabku singkat.
Mbok Num menggelengkan kepalanya. "Mas Al ini ada-ada saja. Suka banget usil sama Non Une."
Aku tersenyum. "Une kalau diusilin lucu, Mbok. Al suka banget kalau dia udah ngambek."
Mbok Num terkekeh. "Pacaran kok, malah suka bikin ngambek? Eh, tapi kalian itu beneran pacaran, toh?"
"Menurut Mbok Num gimana?" tanyaku balik sambil mengedipkan sebelah mata.
"Wah, Mbok mah, setuju banget, Mas Al. Kalian cantik dan ganteng, jadi Mbok Num bilang sih, cocok," jawab Mbok Num memberikan senyum di wajahku. "Langgeng yo, Mas sama Non Une. Mbok panggil Non Une dulu."
Kemudian, aku ditinggal Mbok Num dengan senyum yang masih membekas di bibirku. Ya, Mbok, semoga kami benar-benar langgeng dalam hubungan ini. Beberapa menit setelah terdengar seruan Mbok Num untuk Une, orang yang dipanggil akhirnya muncul dengan wajah penasaran di hadapanku. Aku menatapnya tak mengerti.
"Itu Mbok Num kenapa senyam-senyum kayak gitu?" tanya Une seraya memakai helm.
Aku tersenyum simpul kemudian memakai helmku. "Kepo banget."
Une melayangkan tinjunya di lenganku. "Oh, jadi main rahasia-rahasiaan lagi. Oke, baiklah. Gue juga bakal main rahasia-rahasiaan."
Aku pun menaiki motorku dan menyuruh Une untuk bergegas naik juga. Setelah ia siap di posisinya, aku menarik kedua lengannya agar melingkar di perutku. Une terkesiap, namun tak ada tolakan darinya. Aku tersenyum di balik kaca helmku.
"Tapi, lo enggak bisa ngerahasiain perasaan lo sekarang, kan?" tanyaku dengan senyum puas yang tak bisa dilihat Une.
Une kini berusaha melepas pelukannya. Aku menahan tangannya seraya menghidupkan mesin motorku. Ia masih tetap berusaha hingga akhirnya menyerah. Lagi-lagi aku tersenyum puas. Kutancapkan gas agar kami lekas sampai di sekolah.
Tempat parkir sudah sarat dengan motor-motor lain. Sialnya, aku jadi harus memarkirkan motorku tepat di posisi yang tidak strategis. Aku menyalahkan Une yang superlelet untuk masalah ini. Ia menoyorku tapi kemudian meminta maaf. Aku mengacak-acak rambutnya seperti biasa membuat kekesalannya semakin menjadi. Une berusaha meraih rambutku, tapi kegagalan menghampirinya. Ia pun meninggalkanku seolah-olah marah padaku. Aku mengejarnya setelah menyimpan rapi helmku dan helmnya di motor.
Kurangkul Une yang sedang berjalan sendirian. "Jomblo banget ya, jalan sendirian."
Une mencoba melepaskan diri. "Apaan sih, lo?"
Aku menyengir. "Itu rambut makanya ditata yang rapi banget biar gue ngerasa bersalah udah ngacak-ngacak."
"Rambut-rambut gue juga! Lo aja tuh, resek banget," balas Une.
"Jangan marah, dong, Ne. Jelek," ucapku sambil merangkulnya lebih erat.
"Lo tuh, jelek!" ledek Une. "Jauh-jauh lo! Gue mau cari cowok lain aja yang enggak resek."
"Resek-resek kayak gini setia loh, Ne!" seruku ketika Une berhasil lepas dari rangkulanku dan sudah jauh berlari. "Jarang ada cowok yang kayak gitu!"
Une memberhentikan langkahnya lalu menoleh ke arahku. Ia menyipitkan matanya kemudian kembali meninggalkanku. Aku tersenyum puas. Lalu, kuputuskan untuk mengejarnya.
Kelasku saat ini ramai dengan berbagai cerita tentang malam Pesta Dansa itu. Une dan aku terdiam menikmati canggung kami lagi. Sesekali aku berani mengusilinya selagi ia tampak serius merapikan buku-bukunya. Kesempatanku menjadi semakin besar untuk mengganggu Une ketika aku sudah duduk di sampingnya.
"Al! Sana-sana! Gue mau belajar," erang Une seraya mendorong tubuhku menjauh darinya.
"Kok, gue-elo sih, Ne? Yang unyu, dong," protesku. "Kita kan, udah pacaran."
Une menoleh ke arahku dan meninju lenganku cukup kuat. Aku meringis kesakitan, namun tak cukup sakit untuk membuat Une khawatir. Ia hanya kembali menyibukkan dirinya sementara aku kembali memikirkan cara lain untuk mengganggunya.
"Ne, ajarin, dong. Enggak ngerti, nih. Kita belajar bareng aja, yuk!" ajakku sambil memohon-mohon pada Une.
Une menghembuskan nafas kesal. "Oke, tapi enggak ada iseng-isengan!"
Aku tersenyum lalu memberi Une hormat. "Siap, Komandan!"
Une membalasnya dengan menoyor kepalaku. "Katanya pacar, kok, jadi 'Komandan'?"
"Cieeeeeee! Akhirnya mau diakui juga, Ne," ledekku lalu melayangkan senyum pada Une sambil menyenggol lengannya. Une tersenyum malu-malu.
Aku mendengar suara Anita berdehem dari bangku yang ada di belakangku. Wajahnya tersenyum penuh arti. Une dibuatnya salah tingkah sehingga terus menunduk memendam wajahnya. Aku sendiri menyengir bahagia.
"Duh, bikin iri deh, yang pacaran sekelas," goda Anita. "Silakan, lanjutin aja. Biar gue mupeng di sini kayak orang galau."
"Makanya, Nit, harusnya lo jadiannya sama Aqil. Jangan sama yang lain biar enggak mupeng," ucapku asal. Tak lama yang dibicarakan datang sambil mengucapkan salam yang lantang.
"Assalamu'alaikum!" sapanya ketika memasuki kelas.
"Wa'alaikumsalam," balas anak-anak sekelas.
"Panjang umur, Nit. Pangeran lo datang," ucap Une mewakilkanku.
Anita bergidik kesal. "Lo jahat, June. Lama-lama kalian ngeselin, ya. Makin pacaran bukannya malah makin bikin happy."
"Qil," sapaku saat Aqil berjalan mendekatiku.
"Pasangan baru, ye? Bahagia banget," ucap Aqil seraya mengambil tempat duduk yang sudah diduduki Anita.
"AQIL! Please, deh! Lo enggak lihat apa gue udah duduk di sini?!" bentak Anita yang nyaris tertimpa Aqil.
Aqil menyumbat telinganya. "Maaf, Nit! Enggak lihat, santai aja, dong. Lo masih pagi udah jelek aja."
Kemudian kekesalan Anita meningkat karena Aqil menoyor kepalanya. Aku dan Une berbagi tawa. Anita memukul-mukul Aqil mencoba menghindar dari perlakuan temanku itu. Aqil justru dengan senang hati menjauhi Anita.
"Jauh-jauh lo dari gue, Qil! Alergi!" seru Anita tidak memperbolehkan Aqil duduk di bangkunya.
"Apa-apaan lo! Ini bangku gue juga," protes Aqil.
"Gini aja. Kalian buat perjanjian duduk," ujarku. "Jatah Anita cuma sebatas bangkunya dan kolong meja bagian dia. Aqil juga gitu. Kalau ada yang melebihi itu, berarti kalian harus sharing laci dan kolong meja selama tiga hari."
Aqil menyipitkan matanya. "Bro, lo jadi kenapa jahat gitu sama gue?"
Anita menganga. "Ogah banget, deh, Zal. Sharing laci sama anak ini?! Ya Allah Gusti! Bisa-bisa barang-barang gue tuh, lewat semua. Kandas!"
"Makanya, kalian coba dulu," tambah Une mendukungku. "Ini namanya permainan kepercayaan, Nit. Lo harus mempercayai Aqil buat enggak ngambil jatah lo. Dan Aqil juga begitu. Itu kalau kalian enggak mau sharing."
Aku tersenyum. "Benar banget nih, my baby cantik."
Une menatapku jijik. "Apaan sih, Al!"
Aku mencolek dagu Une. "Jangan salting gitu, ah. Lama-lama mirip Anita."
"Oke, FINE!" ucap Anita. "Kita coba ide gila lo ya, Zal."
Aqil menghembuskan nafas kecewa. "Oke, gue enggak takut. Sampai lo yang ternyata duluan menyentuh teritori gue, gue cium lo!"
Anita menampar Aqil. "GELI!"
Aku dan Une lagi-lagi tertawa melihat tingkah teman-teman kami. Aqil menyengir pada Anita yang wajahnya penuh dengan kekesalan dan rasa jijik yang memuncak. Cinta itu sederhana, namun bisa menjadi rumit ketika menabrak pasangan yang salah...
***
Jam pelajaran keempat baru saja dimulai setelah sempat terpotong pengumuman berdurasi limas belas menit dari kepala sekolah. Kepalaku mendadak pusing hebat dan membuatku tak bisa berkonsentrasi belajar. Aku terus menunduk di samping Al sambil sesekali memijat keningku sendiri. Al memerhatikanku. Sesekali mau bertanya ada apa, namun aku menjawab bahwa aku masih baik-baik saja. Kami lewati dua jam pelajaran bersama di mana selama itu juga aku berusaha sekuat tenaga menahan pusing yang tiba-tiba itu.
Istirahat akhirnya datang. Anita mengajakku pergi ke kantin. Mencoba menghiraukan rasa sakit kepalaku, aku menurutinya. Tak lama aku melihat Al dan Aqil mengekor dari belakang. Selagi aku berjalan, sekelilingku terasa seperti bergetar layaknya sedang gempa hebat. Aku tak kuat lagi menahan dan tubuhku lunglai. Kesadaranku masih ada, hanya saja kepalaku terasa sangat berat.
"Une!" terdengar suara Al berteriak di belakangku dan langkah kakinya yang panjang. Lengannya menangkapku ketika aku nyaris terhuyung jatuh menyentuh tanah.
"June," panggil Anita ketika Al berhasil menangkapku di tangannya. Aqil mengulang panggilan Anita dengan wajah yang khawatir.
"June, muka lo pucat banget," ucap Aqil yang segera membantu Al memegangiku.
"Ne, lo gue antar pulang sekarang," ujar Al tegas. "Qil, lo tolong dong, ke BK minta surat izin buat Une dan gue. Bilang aja Une pingsan."
Aku menarik nafas yang terasa sesak. "Al, tapi kan, tadi kita berangkat pakai motor."
"Oh, iya!" seru Al kesal. "Qil, lo bawa mobil, enggak?"
"Enggak. Tapi, tadi gue lihat Dadan bawa," beber Aqil. "Gue sekalian ke dia, deh. Pinjam kunci sama STNK dan sebagainya."
"Enggak perlu!" ucap seseorang lainnya. "Une biar gue aja yang bawa ke rumah sakit. Gue tadi bawa mobil, kok."
Al menoleh ke arah sumber suara. Aku melihat Zeus berdiri gagah tak jauh dari posisiku saat ini. Wajah Al mengeras dan memelukku lebih erat seakan tak mau kehilangan diriku pada orang yang sama lagi. Aku terlalu lemas untuk membalas pelukan itu.
"Enggak," bantah Al. "Une cewek gue sekarang. Enggak ada hak buat lo dekat sama dia apalagi sampai nyentuh dia. Ne, lo pulang sama gue pakai mobil Dadan."
Zeus menghembuskan nafasnya lalu mendekat. "Lo masih mau buat dia nunggu jawaban dari teman lo itu dengan kondisi dia yang kayak gini? Sementara gue dengan sangat terbuka mau memberikan dia tumpangan pulang?"
"Al," rintihku.
"Une, please, lo masih kuat, kan?" tanya Al khawatir. Aku menggeleng bukan untuk membuat Al tersudut karena ucapan Zeus, melainkan karena aku sudah benar-benar tidak sanggup untuk menunggu. Al menghembuskan nafasnya.
"Gue pulang sama Une," tegas Al pada Zeus.
Lalu, setelah perdebatan singkat yang membuatku semakin susah bernafas itu, Al menggendongku sampai ke mobil Zeus. Ia bersikeras menopang kepalaku di jok belakang sedan Zeus ini selagi pemilik mobil membawa kami ke rumah sakit terdekat. Nafasku semakin pendek dan kepalaku seolah-olah penuh dengan udara yang terasa berat. Kaki dan tanganku dingin. Aku meremas jemari Al memintanya berbagi rasa dingin yang menjalari tubuhku ini.
Al mencium buku-buku jemariku. "Ne, stay with me."
Aku berusaha menyunggingkan senyum lemah pada Al. "Al...susah na...fas."
"Coba lo tegakin badannya," ujar Zeus sambil mengemudi. "Biar udara di tubuhnya ngalir."
Al melakukan saran Zeus dan menegakkan tubuhku dan menyenderkanku di dadanya. Setengah memelukku, ia ikut membantuku mengatur nafasku yang semakin sesak. Pandanganku sudah abu-abu dan kunang-kunang. Tak lama semua menghitam.
***
"Al...susah na...fas," keluhnya dengan senyum menghadapku. Rasa khawatir dalam diriku memuncak melihat gadis yang teramat kusayang kesakitan seperti ini. Andai ia dapat membagi sakitnya padaku yang insyaAllah lebih kuat...
"Coba lo tegakin badannya," ujar Zeus yang nyaris kuanggap tak ada sejak tadi. "Biar udara di tubuhnya ngalir."
Aku menegakkan tubuh Une dan membiarkannya bersender di dadaku tanpa peduli beban yang akan menimpa bagian depan tubuhku. Aku memeluknya, namun berhati-hati untuk tidak menahannya untuk bernafas. Dalam hati aku berdoa agar Une tetap bersamaku, dalam keadaan sadar, sampai ia menjumpai ranjang rumah sakit. Namun, Tuhan berkata lain. Une tak lama memejamkan mata dan aku tahu Une sudah tak sadarkan diri.
"Ne," panggilku sambil menepuk-nepuk lengan Une. Rasa panik menjalari sekujur tubuhku.
"Ne! Une bangun," ucapku sekali lagi. "Zeus, berapa lama lagi?"
"Satu belokan lagi," jawabnya.
Setelah melewati belokan yang dimaksud, kami pun sampai. Baik aku maupun Zeus sama-sama tak ambil pusing dan langsung membawa Une ke IGD. Dengan sigap perawat beserta satu satpam mengangkat Une dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang rumah sakit. Aku dan Zeus ikut bersama mereka. Dalam kondisi apapun, aku tetap memegang janjiku untuk tak membiarkan Zeus mendekati Une, sekali pun itu darurat. Aku harus menjaga Une karena kini Une tanggungjawabku sebagai sahabat dan orang yang memiliki hatiku. Bukan Zeus lagi.
Tiga puluh menit menunggu di luar ruang gawat darurat rumah sakit bersama seseorang yang paling kau benci adalah hal teramat tidak menyenangkan bagi seseorang. Namun, aku menjalaninya sedari tiga puluh menit yang lalu. Wajah Zeus tak kalah cemas dengan wajahku. Setelah Une masuk dan dijalari infus tadi, aku langsung menelpon kedua orangtuanya beserta orangtuaku. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda kehadiran mereka.
"Udah lo hubungi orangtuanya?" tanya Zeus memecah hening yang lama menyelimuti kami. Aku cukup mengangguk.
"Kalau mereka datang, gue harap lo pulang," ujarku tegas. Zeus menghembuskan nafasnya yang sarat dengan rasa kesal.
"Oke," jawabnya singkat.
Dokter yang saat ini menangani Une akhirnya keluar lagi setelah sebelumnya sempat memintai keterangan tentang Une dan hubunganku beserta Zeus dengan Une. Ia memperbolehkan kami masuk. Seolah mengerti atau mungkin hanya gestur kesopanan, Zeus mempersilakan aku melihat Une terlebih dahulu. Aku pun masuk ke bilik tempat Une masih beristirahat. Une sudah sadar.
"Kamu boleh di sini, temani dia. Tapi, jangan bikin dia capek atau jangan bikin ribut, ya," ujar sang Dokter.
Aku tersenyum lemah. "Une sakit apa, Dok?"
"Dia mengalami shock karena diduga tadi kondisi lambungnya kosong dan seperti orang maag. Sakitnya itu sudah di batas kekuatan si pasien," jelas Dokter itu. "Karena tidak sanggup menahan sakitnya lagi, nafas dan tekanan darahnya semakin sesak dan semakin turun hingga tadi tak sadarkan diri sebentar. Nah, makanya kamu jangan banyak ajak dia bicara atau berpikir dulu. Nanti bisa memicu lagi."
Aku mengangguk-angguk, sedikit banyak mengerti semua penjelasan Dokter itu. Kulihat wajah Une yang saat ini sudah tidak sepucat sebelumnya. Ia masih bisa menyunggingkan senyum untukku dan sang Dokter dalam kondisinya seperti itu. Mau tak mau aku menggelengkan kepala dan merasa ingin tertawa. Gadis ini...
"Ya sudah, kamu silakan temani dia," ucap Dokter. "Kalau ada apa-apa, kasih tahu perawatnya saja."
Aku memberikan Dokter itu senyumku. "Makasih ya, Dok."
Setelah itu, kudekati Une dan duduk di kursi kecil sebelah ranjang Une. Aku meraih jemarinya dan tanpa ragu ia membalas genggamanku. Aku memperlihatkan Une senyumku yang sudah sangat lemah. Melihatnya terbaring dengan segala macam selang dan tusukan infus serta alat-alat lainnya sungguh menyiksa diriku sendiri. Apalagi harus menunggu setengah jam bersama kabut dalam kepalaku sendiri tanpa bisa mengetahui keadaannya. Tuhan, syukurlah Une sudah sadar.
"Al," panggil Une lemah. Aku mendekatkan wajahku dan menenggerkan daguku di tiang ranjang.
"Apa, Ne?" balasku lembut seraya mengelus-elus punggung tangannya.
Sebelum menjawab, ia tersenyum. "Maaf ya, jadi ngerepotin dan ngebuat kamu khawatir."
Giliranku tersenyum. "Ne, enggak usah dipikirin. Gue direpotin, ngehawatirin, bahkan kalau perlu ngejagain lo tuh, udah jadi agenda gue. Lo enggak perlu minta maaf, Ne. Gue sayang sama lo."
Une menarik nafasnya yang masih terdengar sesak. "Gue... Aku juga sayang sama kamu, Al. Makasih, ya."
Aku tersenyum mendengar ucapan Une. Khawatirku, resahku, panikku, semua kabut dalam benakku terasa seperti telah diangkat setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Une itu. Aku menatap Une tulus dan mencari dusta yang mungkin tersimpan di sana di balik kata-kata manis itu. Tidak ada. Kali ini Une benar-benar mengucapkan kata-kata itu apa adanya.
"Lo kan, sudah pasti dirawat nih, Ne," beberku. "Jadi, nanti pas dirawat, lo enggak perlu khawatir sama tugas dan ulangan atau catatan. Gue bakal nge-back-up semuanya buat lo dan setiap hari gue bakal pulang ke sini nemenin lo. Janji."
Une tersenyum lemah. "Iya, iya. Sekali lagi, makasih banyak ya, Al."
Aku mencium punggung tangan Une. Kemudian, aku mendekat ke wajahnya dan mengecup keningnya lama. Cepat sembuh, Ne. Melihat lo sakit sebenarnya juga menyakitkan. Namun, di antara kita, harus ada yang lebih kuat. Dan saat ini, itu tugas gue.