Semua sudah kembali mengemasi barang. Kali ini, kami berpisah. Sebagian masih ada yang mau menginap lagi, sebagian pulang. Aku, Vina, Erik, Yusuf, Aqil, dan Brian serta beberapa orang lainnya memutuskan pulang. Mobil yang terpakai hanya tiga. Jadi, cukup sedikit. Erik, Yusuf, dan Brian memutuskan agar satu mobil dengan Aqil, aku, dan Vina. Kali ini, kami mengendarai Kijang Innova hitam.
“Kok, lo sama Fiona diem-dieman, sih?” tanya Aqil memecah hening.
“Hah?”
“Tumben, kalian nggak ribut rebutan kamera kayak kemaren pas berangkat. Ada apa?” tanya Aqil memperjelas.
“Hmmm… Emang perlu ya, ngeributan soal kayak gitu untuk kedua kalinya, Qil?” tanya Brian. “Gue sama Fiona gak ada masalah, kok.”
“Iya, Qil. Damai itu indah. Jadi, gue males ribut sama Brian,” tambahku.
“Masa?” goda Vina dan Yusuf bergantian.
“Beneran, deh,” jawabku menegaskan.
“Tadi pagi enak ya, nge-date berdua di sekitar vila?” tanya Erik dari jok depan.
“Hah?!” aku dan Brian sama-sama kaget.
“Yang satu alesan mau nyari momen, satu lagi alesan mau nyari udara segar. Bilang aja, janjian mau jalan-jalan bareng,” tambah Yusuf.
Aku memerah dan terkekeh. “Bisa aja. Orang gue ketemu Brian pas di tengah jalan. Gimana mau janjian?”
“Iya, kok. Lagian, nggak salah kan, kalo gue ngikut-ngikut Fiona? Soalnya, tadi gue minjem kameranya dia,” jelas Brian dengan alasan yang tepat.
Yang lain hanya puas mengangguk dengan senyum menggoda yang menggelikan. Ini situasi paling canggung. Kenapa bisa begini, sih?!
***
Sampai di rumah Erik—karena diputuskan untuk bersinggah di sana sebentar—kami semua langsung terkapar di atas sofa dan lantai. Erik sendiri langsung merebahkan tubuh di kasur kecil di depan tivi. Disusul Yusuf dan Brian serta Aqil. Aku dan Vina sengaja mengempaskan badan di sofa dan langsung menyilakan kaki.
“Gila! Gue capek banget!” keluh Vina.
“Gue juga, nih. Pijitin, dong,” pinta Yusuf.
Vina menerjunkan bantal sofa ke Yusuf. “Panggil tukang pijit aja, deh. Gue nggak bakat mijit, Cup!”
“Ya elah, Vin. Nanti kalo udah gede, lo juga ujung-ujungnya jadi mak comblang ditambah mak tukang pijit,” ucap Yusuf. Vina mendengus kesal.
Aku terkekeh sedikit melihat tingkah teman-temanku itu. Merasa diperhatikan, aku jadi salah tingkah. Dari tadi, Brian menatapku, Vina, dan Yusuf secara bergantian. Tapi, selalu aku yang jadi pusatnya. Itu anak kenapa, sih?! Geramku dalam hati.
“Awas, awas! Gue mau ke toilet dulu,” ucap Aqil sambil memegangi perutnya.
Erik kontan tertawa dan bergeser. “Awas, Yan! Ntar lo bisa-bisa kena ‘bom’-nya si Aqil.”
Sebelum Aqil bergegas masuk ke kamar mandi, ia menempeleng kepala Erik. “Sialan lo!” Erik dan Brian tertawa.
Aku tersenyum sendiri memandang Brian tertawa. Bukan karena laugh is contagious. Tapi, gurat wajahnya membuatku ingin tersenyum. Ini gue kenapa, sih?
***
Pukul satu siang, kami bubar dari rumah Erik. Vina sudah pamitan lebih dulu tadi, karena abangnya sudah menunggu di luar. Yusuf dan Aqil malah ngibrit ke warnet. Sementara aku pamit dan berterimakasih pada Erik, diikuti Brian.
“Fi, Yan, tolong kerjain dokumentasinya, ya?” pesan Erik seolah dia berencana sesuatu. “Hari ini juga.”
Aku yang masih bingung dan kaget hanya bisa mengangguk kurang yakin. Brian menghela nafas dan tersenyum pada Erik. Erik menyungging senyum dan kembali masuk ke dalam rumahnya.
“Ngerjainnya di rumah lo, kan?” tanya Brian.
“Terserah,” jawabku sesingkat mungkin.
“Lo mau ngerjain di rumah gue?” tanya Brian lagi.
“Di rumah gue aja, deh,” jawabku.
“Ya udah,” ucap Brian untuk terakhir kalinya sebelum berjalan menuju rumahku.
Setelah kira-kira lima menit—yang berasa seperti satu abad diisi dengan diam—aku dan Brian sampai di depan teras rumahku.
“Fi, kalo nggak selesai hari ini, gue minta di-copy-paste datanya, ya? Biar gue kerjain di rumah sisanya. Soalnya, jam setengah tiga, gue ada acara,” ucap Brian mengingatkan.
“Oh, ya sudah. Lo bawa flashdisk, kan?” tanyaku.
“Bawa, kok,” jawab Brian.
Akhirnya, kami masuk ke rumah dan memulai pekerjaan. Untung di rumah hanya ada Bi Ranti. Kedua kakakku sedang sibuk dengan urusan masing-masing sehingga mereka tidak bisa mengangguku mengerjakan pekerjaan ini.
***
“Makasih ya, Fi. Gue balik dulu,” ucap Brian. “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,” jawabku.
Brian sudah pergi dari rumahku menuju acaranya. Kini, aku merasa senang sekali saat Brian sudah benar-benar balik ke rumahnya. Entah kenapa, selama bersama Brian, aku dan dia banyak tersenyum melihat gambar-gambar kami berdua.
***
Sekolah sudah mulai lagi. Kerjaan dari Erik sudah kuserahkan padanya, setelah Brian menyatukan sisa yang lain. Erik terlihat puas dengan hasilnya. Video yang Brian sunting sengaja dipajang di YouTube dan twitter. Sementara sebagian dari foto-foto itu dipajang di blog alumni kami dan juga di facebook.
“FIONA! FIONA!” teriak Vina heboh saat memasuki kelas.
“Lo heboh banget. Ada apaan, sih?” tanyaku bingung dan sedikit kesal.
“Lo liat mading sama tabloid yang dibagiin anak-anak. Demi, bakal nge-fly setinggi bulan lo,” ucap Vina semakin membuatku bingung tak menentu. “Udah sana!”
Aku berjalan menuju mading diiringi dengan senyum sana-sini dari para siswa. Vina benar, pasti ini sesuatu yang bisa bikin aku sangat tersanjung sampai bisa merasa terbang. Tapi, aku tidak mau mengambil kesimpulang secepat itu. Aku harus melihatnya terlebih dahulu.
Di bagian tangga, aku mendengar anak-anak grasak-grusuk. Ada yang menyebut-nyebut namaku, ada juga yang bersiul-siul, ada yang bertepuktangan. Terparah, ada yang menyanyikan lagu pernikahan. Itu membuatku muak!
Sesaat sampai di anak tangga kedua paling bawah, aku melihat yang ada di sana. Hampir semuanya cowok. Kemudian, aku melihat sosok Brian sedang dikerumuni banyak siswa. Karena sudah membendung sejuta perasaan muak, aku hanya bisa melipat kedua tangan di depan dada dan berusaha untuk sabar.
“Penting banget, sih. Gue balik, deh,” ucapku kesal. Seketika, mereka semua menatapku. Begitu juga Brian.
“Yaaaaaa… Jangan dong, Fi!”
“Jangan, Fi! Masih ada kejutan, nih!”
“Yaaa, patah hati, deh. Pangerannya patah hati!”
“Yaaa…”
Berbagai sorak kecewa terdengar dari beberapa mulut teman-temanku yang berkumpul di sana. Brian menatapku tak percaya. Aku hanya menggeleng kecewa dan kembali naik ke atas. Saat berbalik badan, anak-anak sudah ramai di ujung tangga. Aku menarik nafas dan permisi lewat.
***
Di sekolah jadi ramai, karena perkara ini. Aku sudah diceritakan maksud semua ini oleh Vina. Vina sendiri diceritakan oleh Erik pas istirahat. Erik tahu dari Andi. Andi yang sekelas dengan Brian tahu dari anaknya sendiri.
“Kok lo bego sih, Fi?” tanya Vina yang terdengar sangat mengejek.
“Bego kenapa? Jelas-jelas, dia yang bego. Bikin rame suasana aja dan bikin heboh. Lebay banget,” jawabku membela diri.
“Lo tau kan, dia butuh keberanian super buat ngelakuin ini semua? Kenapa lo enak banget ninggalin dia?” tanya Vina lagi yang seketika membuatku bisu. “Nah, kan, nyadar lo! Pulang sekolah nanti, kalo perlu sekarang, minta maaf ke dia!”
Aku hanya bisa menunduk di bangkuku dan bergumam sendiri tanpa diketahui siapapun. Aku sendiri bahkan belum melihat apa yang ada di tabloid maupun mading sekolah. Aku putuskan untuk melihatnya saat istirahat kedua.
***
Di mading terpampang foto-fotoku saat sedang jalan-jalan bersama alumni kelas 8. Semua foto lebih di-close-up lagi dan ada beberapa caption di bawah setiap foto. Judul madingnya sendiri adalah ‘Dokumentasi Cinta’ lengkap dengan nama perancangnya.
“Lo gak suka, ya?” suara seseorang terdengar di belakangku. Seseorang yang kukenal.
Aku berbalik dan melihat siapa. Benar saja, Brian. “Ng…”
“Jujur aja. Nggak apa-apa, kok, Fi,” ucap Brian.
“Gue suka, kok. Pembawaannya aja berlebihan,” jawabku sejujur mungkin.
“Gitu, ya?”
Aku mengangguk.
“Marah sama gue, ya?”
Aku menggeleng.
“Ngomong dong, Fi. Masa jadi gue yang cerewet?” pancing Brian.
“Gue harus ngomong apa?” aku balik bertanya.
“Terserah lo, deh. Kalo lo nggak mau ngomong panjang lebar, mending gue minggat aja,” jawab Brian. “Ya udah, ya, Fi. Makasih udah diliat.”
Brian berjalan menjauh. Aku meraih tangannya dan menariknya. Brian sempat terkaget sedikit dan membalikkan wajahnya ke arahku.
“Makasih ya, Yan. Kalo masih ada yang kurang, dateng aja ke rumah gue. Gue tunggu, ya,” ucapku berani. Brian tersenyum.
Di ujung lorong, aku melihat Erik dan yang lainnya bersorak gembira. Brian diberikan selamat dan berjuta tepukan di bahu. Aku sendiri tersenyum memandang peristiwa itu. Saat Brian naik melewati tangga depan kelas 8-3, ia menatapku dan tatapan kami bertemu. Brian tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Aku membalas gerakan itu.
***
“Assalamu’alaikum!” seru seseorang di depan rumahku saat sudah lewat jam sekolah.
“Wa’alaikumsalam!” jawabku dari dalam seraya sigap untuk membukakan pintu.
Setelah kubuka, wajah Brian muncul di sana. Aku sedikit kaget, Brian tersenyum dengan manisnya padaku. Aku merasa pipiku seperti kepiting rebus merahnya. Brian terkekeh melihat itu.
“Gue di luar aja ya, sampe besok?” tanya Brian memecah suasana hening yang lucu ini.
“Oh.. Iya, maaf. Masuk aja. Tapi, gue sih, maunya di luar aja. Soalnya, kakak-kakak gue lagi di rumah. Ntar, gue jadi bahan ketawaan mereka,” jawabku jujur.
“Oh ya udah, Fi. Kita sambil jalan-jalan ke taman komplek aja, yuk,” ucap Brian.
Alhasil, jadilah Brian mengajakku mengitari taman komplek. Suasana berubah menjadi biasa. Tidak secanggung tadi, tidak pula seingar-bingar seperti dulu.
“Fi,” panggil Brian.
“Ya?” jawabku.
“Jadi pacar gue, ya?” ucap Brian lembut. Aku terperanjat sedikit dan menunduk. “Kalo lo nggak mau juga nggak apa-apa, kok. Kita bisa tetep temenan. Tapi, lo perlu tau gue sayang sama lo, Fi. Dari dulu sampai sekarang.”
Aku terdiam karena itu. Di otakku, ada seribu macam pikiran. Aku berusaha untuk tenang agar bisa menjawab pertanyaan Brian.
“Jadi…” kata Brian.
“Gue mau, kok,” jawabku mantap diikuti dengan senyum.
Brian menoleh ke arahku dan menatapku kaget. Ia tersenyum, aku juga.
***
Saat itu aku sadar kalau rasa suka bisa datang kapan aja. Kadang, seseorang terlalu lambat menyadarinya sampai suka itu hilang lagi dan mengecewakan keduanya sekaligus. Walaupun bukan sebuah cinta, aku masih beranggapan inilah yang dimaksud ‘cinta’ oleh anak-anak seumurku. ^_^
0 comments:
Post a Comment