Orang bilang cinta bisa datang kapan saja tanpa diduga-duga. Aku setuju sekali, karena belum pernah ada sejarahnya aku bisa mengira kapan cinta akan datang padaku. Mengira rasa suka saja aku tidak mampu, apalagi cinta. Selain umurku yang belum bisa dikategorikan cukup dewasa untuk mengenal cinta, aku sendiri juga belum siap. Tapi, setidaknya, di masaku saat ini, kejadian yang kualami dengan lawan jenisku sering kusebut ‘cinta’.
Aku adalah seorang gadis berumur 14 tahun dan duniaku dipenuhi dengan seni. Dari lahir, kedua orangtuaku juga sudah memberikan asupan gizi berupa seni untukku. Jadi, beginilah diriku sekarang. Kalau dibilang bakat, aku menentangnya. Bagiku, seni adalah sesuatu yang dialirkan-Nya di dalam darahku saat aku masih dalam kandungan ibu sampai saat ini. Jadi, tidak mungkin hanya sekedar bakat. Selain seni, aku juga suka fotografi. Nama lainnya—yang kubuat sendiri—adalah seni fotografi. Masih berkisar tentang seni, tapi lebih terdengar modern.
Di sekolah, aku menjabat sebagai Seksi Dokumentasi di OSIS. Di setiap acara penting yang diselenggarakan sekolah, aku sibuk memotret sana-sini dan mengabadikan momennya dalam kameraku. Sebagian dari hasil pemotretannya akan dimasukkan di mading sekolah dan tabloid sekolah. Aku cukup puas dengan seluruh hasil jepretanku.
Tahun ini, sekolahku sepi dari hal-hal seperti itu. Namun, perkara itu tidak menyebabkan semangatku akan fotografi menurun. Karena aku cinta seni, aku jadi tidak habis semangat untuk melakukan hal lainnya agar tetap ‘hidup’. Di waktu luang, aku suka memainkan beberapa musik dan merekam suaraku sendiri—dengan bantuan beberapa temanku, pasti—dan mencampurkan beberapa lagu dalam satu lagu.
Di antara teman-temanku, aku paling akrab dengan Vina. Dia jago sekali menyunting suara dan mencampuradukkan lagu-lagu. Vina juga suka fotografi, sama sepertiku. Jadi, kami memiliki beberapa kesamaan. Selain itu, Vina juga satu sekolah, bahkan satu kelas denganku. Aku dan Vina juga masuk OSIS. Karena itulah, kami berdua dekat. Aku dan Vina sudah seperti kembar dempet.
***
“Gimana, Na? Lo maunya jadi seksi penyusun acara atau dokumentasi?” tanya Erik padaku saat alumni kelas 8 kami berkumpul.
Aku sedikit ragu. “Emangnya, penyusun acaranya masih kurang, Rik?”
“Udah nggak, sih. Tapi, si Arin maunya lo nemenin dia nyusun acara,” jawab Erik.
“Arin mana?” aku celingak-celinguk mencari Arin.
“Apa?” tanya Arin tiba-tiba.
“Gue jadi seksi dokumentasi aja, ya? Lo kan udah sama Irwan dan Sisil,” ucapku.
Arin terlihat seperti berpikir. “Hmm.. Ya udah deh, Fi. Emang dah, seorang Fiona terlahir jadi fotografer dan tukang berseni.”
Erik, Brian, dan beberapa anak yang ada dalam ruangan terkekeh.
Aku mendengus. “Dasar! Tadi, lo mohon-mohon gue nemenin lo nyusun acara, sekarang malah menyindir.”
“Iya, maaf, Fiona cantik,” ucap Arin.
“Ya udah, ya? Sekarang, gue bacain panitianya siapa-siapa aja,” ucap Erik. “Ketuanya gue sama Andre. Sektretaris Dian sama Lintar. Bendahara satu Putri, bendahara dua Erin. Penyusun acaranya Irwan, Sisil, sama Arin. Seksi konsumsi Ririn, Firda, sama Aqil. Seksi perlengkapan Andi, Yusuf, Lina, sama Keila. Seksi kebersihan-keamanan Firdaus, Lintang, Bintang, Langit, sama Vina. Seksi dokumentasi Fiona sama Brian. Udah, kan?”
“Udah, Bos!” jawab nama-nama yang disebutkan tadi.
Erik tersenyum puas dan berkata, “Nah, sekarang gue laper. Makan, yuk!”
Semua langsung terkekeh dan lenyap dalam kesibukan masing-masing. Setiap seksi mendiskusikan pekerjaan anggotanya, sementara tim inti sibuk mengisi perut. Aku dan Brian menyingkirkan diri ke teras rumah Erik, karena hanya di sana aku dan Brian bisa berdiskusi dengan tenang.
“Gue bawa kamera, ya?” tanya Brian.
“Ya, jangan lo, dong. Lo bawa handy-cam aja. Biar gue bawa kameranya,” rengekku.
Brian mendengus. “Enak banget. Tapi, lo bawa tripod-nya. Jadi, gue tinggal bawa handy-cam sama kamera digital. Nah, lo bawa SLR, oke?”
Aku berpikir sejenak. “Ya udah, kalo gitu oke, deh.”
Brian tersenyum. Lalu, kami berdua diam sesaat sampai akhirnya…
“Udah makan, Fi?”
“Masih kenyang. Lo?”
“Gue laper. Makan, yuk!” ajak Brian.
“Gue kan, udah bilang gue masih kenyang, Yan,” ucapku.
“Udah, temenin gue sama yang lain makan. Lama-lama lo juga nanti laper sendiri ngeliat kita-kita makannya lahap,” bujuk Brian.
Aku terkekeh dan menggeleng geli, “Lucu banget, sih. Gue sampe nggak ketawa, nih!”
Brian menarikku masuk ke dalam rumah. Ia benar-benar memaksaku untuk merasa lapar. Alhasil, aku makan juga berkat Brian. Itu anak emang dasarnya tukang maksa orang, jadinya mau tidak mau setiap orang yang dipaksa kemakan bujukkannya juga.
***
Setelah acara kumpul-kumpul alumni kelas 8 berakhir, anak-anak tidak semuanya kembali ke rumah masing-masing. Sebagian dari kami, termasuk aku, masih tetap bertengger di rumah Erik. Lagian, di rumah saat liburan seperti ini tidak ada yang bisa dikerjakan. Jadi, kami-kami yang tersisa di sini lebih baik singgah ke rumah orang untuk menghilangkan bosan.
“Gimana di kelas, Rik?” tanya Yusuf yang sedang asyik mengunyah kentang goreng.
“Ya elah, Suf, lo kan, sekelas sama gue. Ngapain lagi lo tanya-tanya?” Erik menggeleng geli. “Adanya, ya, Suf, lo nanya sama Fiona, Vina, Brian, Aqil, atau nggak sama si Putri, tuh, yang jelas-jelas nggak sekelas sama kita.” Tambah Erik seraya menempeleng kepala Yusuf.
Yusuf terkekeh. “Setidaknya, gue masih care sama lo, Rik. Walaupun, gue udah tau sebenernya lo mau jawab, ‘Kelas mirip neraka! Asli, gue serasa kayak diterkam harimau tiap kali berada di dalem kelas.’ Gue kan juga ngerasain yang sama,” bela Yusuf. “Nah, berhubung tadi lo nyaranin, lo-lo pada gimana di kelas?”
Aku dan Vina saling tatap, “Horor banget, asli!”
“Gue di kelas tetap jadi ‘Justin Bieber’, kok,” ucap Aqil percaya diri.
“Pret, dah, Qil! Kalo lo Justin Bieber, adek gue udah diare kali, ya? Tiap denger lo nyanyi, bawaannya pengen buang air melulu. Nggak tahan sama mulesnya dan pengen muntahnya. Suara lo sama meongnya kucing gue, masih bagusan suara tukang ketoprak mukulin botol,” ucap Yusuf.
Semua tertawa.
“Sialan lo, Cup! Gini-gini, nilai seni menyanyi gue 9, Cuy!” ucap Aqil bangga.
“Iya, Qil Nilai lo 9, yang laen 10,” tambah Putri.
Aqil mendengus kesal dengan ucapan Putri. Brian dan Erik tertawa sambil menepuk pundak kawan mereka itu. Aku dan Vina sibuk menutup mulut, karena kami benar-benar terbahak-bahak mendengar ucapan Putri an Yusuf.
“Si Brian adem ayem aja sama kelasnya, ya?” pancing Erik.
Brian tersenyum. “Gue kan, anak rajin, dermawan, dan baik hati. Jadinya, gue selalu jadi ‘panutan’ bagi temen-temen.”
“PRET!” ucap kami semua.
“Yan, kagak usah belagu, lo! Emang lo panutan di kelas, tapi panutan nyontek!” ucap Putri pedas. Brian mendengus. “Lo pada bayangin dah, si Brian tiap pagi udah muncul aja di sekolah kalo pe-er lagi bejibun. Kan, si Aldo yang pinter itu biasanya rajin dateng pagi, makanya, Brian pake taktik jitu supaya bisa nyontek hasil kerjaan Aldo. Alhasil, jadilah Brian dibilang rajin dateng pagi dan jadi seorang ‘panutan’.”
Aku tertawa. “Gue kalo soal nyontek pe-er juga bakat, Yan. Bahkan, semua murid bakat.”
Brian tambah mendengus. “Tapi, gue gak bakat nyontek pas ulangan. Makanya, nilai gue stabil melulu dari kelas tujuh. Naik iya, turun lebih iya lagi. Gitu-gitu aja dinamikanya. Stabil, kan?”
“Lucu, lo! Yang stabil tuh, nilainya si Lintar. Tinggi terus. Atau nggak, anak alumni 8-9, si Tito. Nilainya rata-rata terus,” ucap Erik.
“Terserah apa kata lo-lo, dah. Yang jelas, gue punya profesi baru di kelas, yaitu Mak Comblang!” kata Vina.
Semua mata di ruangan itu meliriknya. Aku yang sudah tahu kenapa hanya tersenyum geli.
“Kok bisa, Vin?” tanya Brian.
“Gini ceritanya, Yan. Gue kan, dapet sial duduk di antara Cecep sama Sarah, yg mitosnya dari SD sekelas mulu dan punya rasa suka yang dalam. Nah, waktu pelajaran sejarah, tuh bocah berdua ngusik gue dengan cara saling menatap satu sama lain yang jelas-jelas cuma dipisahin gue sama jarak satu ubin dari meja gue dan si Cecep,” jelas Vina. “So pasti, gue jadi risih, kan? Makanya, gue mohon pake airmata kuda supaya Cecep tukeran tempat duduk sama gue, supaya gue nggak berasa jadi tembok transparan antara dua sejoli memuakkan itu. Alhasil, pindahlah si Cecep. Besoknya, Cecep dan Sarah jadian. Sekelas langsung ngasih gue gelar Mak Comblang. Gila, kan?”
Erik dan Yusuf yang dari tadi sudah terkekeh tertawa terbahak-bahak. Brian, Putri, dan aku mengikuti setelahnya. Vina hanya mengerang kesal.
“Kalo gitu, Vin, comblangin gue sama Dita, dong. Anak 9-4 yang pinter piano itu. Sumpah, gue ngeliat dia konser live di restoran waktu itu, cakep banget! Manis, deh. Main pianonya juga keren punya, Cuy,” ucap Yusuf.
Vina mengambil bantal sofa dan memukulkannya ke Yusuf. “Bayar seratus ribu, baru gue mau comblangin si beauty sama si beast.”
“Sialan!” umpat Yusuf tak senang.
Pecakapan berlanjut, hingga akhirnya jam menunjukkan pukul lima sore. Aku sedang berhalangan, jadi hanya Vina, Putri, Brian, Yusuf, dan Erik yang melaksanakan shalat. Selagi mereka melaksanakan shalat, aku berkeliling mengamati barang-barang antik milik orangtua Erik. Semuanya made-in luar negeri. Erik memang anak orang kaya yang terlahir tidak sombong.
***
“Berani pulang sendiri, Fi?” tanya Brian yang membuntutiku dengan motornya.
“Rumah gue cuma beda satu blok, kok, Yan. Beranilah,” jawabku tenang.
“Tapi, ini kan, udah jam setengah tujuh, Fi. Lo cewek lagi. Kalo lo kenapa-napa, Erik yang kena salah. Gue juga. Gue anter, ya?” tawar Brian.
Aku tersenyum. “Udah, makasih, nggak usah. Itu rumah gue udah tinggal belok kanan, lurus, belok kiri nyampe. Udah, lo pulang aja sana.”
“Kalo lo nggak mau gue anter, gue buntutin sampe depan rumah, nih,” ancam Brian memaksa.
Aku menghentikan langkahku dan menatapnya. “Lo emang supermaksa, ya? Ya udah, anterin gue!”
Brian tersenyum penuh kemenangan. “Lo udah satu SD sama gue, satu sekolah dari kecil, tapi baru ngeh sekarang kalo gue itu pemaksa berat?”
“Dari dulu sih, udah ngeh. Tapi, baru mau jujur sekarang aja,” jawabku. Brian menyengirkan deretan giginya dan menyuruhku duduk di jok belakang motornya. Ia benar-benar mengantarkanku pulang.
Sampai di depan rumahku, Brian pamit. Aku hanya menggelengkan kepala dan berterimakasih. Dari dulu, selain Vina, aku dekat dengan Brian. Jadi, dia sudah seperti kakakku sendiri.
***
Acara jalan-jalan bersama dengan alumni kelas 8-2 sudah di sini. Hari ini, kami semua akan berangkat ke puncak. Setelah pengecekkan selesai, kami semua masuk dalam mobil sewa. Panitia terbagi ke dalam dua mobil. Sementara selain panitia mengisi empat mobil sisanya. Aku semobil dengan seksi perlengkapan dan konsumsi. Mobil kami adalah Apifi hitam yang muatannya cukup banyak. Meskipun rada sempit, tapi kami menikmatinya.
Aku duduk diapit Brian dan Aqil. Aqil sendiri sibuk bercakap-cakap dengan Yusuf dan Andi. Sialnya, aku berada di bagian belakang mobil bersama keempat anak laki-laki ini. Tapi, karena tiga di antara mereka sibuk sendiri, yang satu lagi sibuk mengangguku.
“Pinjem SLR-nya, Fi,” pinta Brian.
“Buat apa?” tanyaku.
“Dimakan, Fi. Ya buat motretlah, pintar,” ucap Brian mengejek.
“Dasar, tukang paksa. Ini, nih. Rusak, ganti!” tegasku.
“Kalo gue ganti sama yang lebih bagus, enak di elo, Fi. Ogah, deh,” ucap Brian perlahan memegang SLR-ku.
Kemudian, Brian sibuk dengan potret sana-potret sini. Aku malah berusaha menjadi sibuk dengan iPod-ku. Yang cewek-cewek sedang menghitung ulang jumlah anak dan konsumsi masing-masing yang sudah terdaftar di selembar kertas. Ririn yang duduk di jok depan hanya bisa sesekali menengok ke belakang.