"Lo kenapa, Feb?" tanya Alif yang ternyata merhatiin aku. Aku menghempaskan diri di sofa sebelahnya dan memejamkan mata. "Dih, ditanya malah diem."
"Kenapa? Elo perlu tau?" tanyaku kesal.
"Hmm... Inget peraturan kemarin? 'Kalo nggak ada Tante Vita, Alif yang ngurusin dan bantuin semuanya.' Jadi, ada yang bisa gue bantu soal muka kusut lo?" tanya Alif lagi.
Aku menarik nafas panjang, lalu membuangnya. Kemudian, "Sialan temen-temen gue nggak ada yang masuk hari ini. Satu ke Bandung, satu demam. Kalo gitu, seharusnya tadi pagi gue pura-pura ketiduran aja."
"Eh, meskipun temen-temen elo pergi, elo bisa kan, cari temen yang lain di sekolah?" tanya Alif. "Bukan berarti, kalo udah punya mereka, elo harus ngelupain yang lain. Karena ya itu.. Saat dua-duanya nggak ada, elo mau sama siapa selain yang lainnya?"
Aku mengangguk dan kaget denger kata-kata Alif yang yaaaaa mirip-mirip sama perkataan Papa. "Kenapa elo pinter banget?"
"Lebih banyak pengalaman," jawab Alif santai dan melanjutkan nonton tivinya.
~~~
"Lif, bantuin gue ngerjain soal, dong," pintaku agak manja dan memelas. Soalnya, kalo nggak ngerendah, Alif nggak bakal sudi ngebantuin aku.
"Lo kan udah pinter, ngapain gue bantuin?" tanya Alif.
"Kalo gue udah pinter, gue nggak minta bantuan, woy," jawabku.
"Ya udah, sini," jawab Alif mengalah. Aku tersenyum dan duduk di sampingnya ngeliatin cara dia ngerjain. Tinggal main srat-sret-jebret-cret-sreeeeeeeeeeeeet. Selesai. "Nih, lain kali, pake cara gampang aja. Jangan selalu ngikutin buku."
"Sip. Thanks, ya," jawabku sambil berlalu keluar.
~~~
BUK!!!!
"ALIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIFFF!!!" teriakku saat kepalaku kejedod pintu kamar mandi pas Alif ngebuka pintunya.
"Sori, sori, Feb. Nggak sengaja," jawab Alif dengan nada yang terdengar khawatir. "Sori. Sini liat!"
Ia menggenggam wajahku dan melihat jidadku yang kurasa ganti warna dari putih ke merah. Alif sialan!
"Yah, merah. Pusing nggak, Feb?" tanya Alif.
"Pusing. Mata gue kunang-kunang," jawabku sambil merem-melek satu mata.
"Ya udah, gue anter ke sekolah, deh. Kalo pusingnya nggak ilang-ilang," tawar Alif.
"Terus, elo sekolahnya gimana?" tanyaku.
"Yaaaaaaaa... telat. Lagian, SMP elo sama SMA gue searah. Buruan pakean! Daripada telat dua-duanya," ujar Alif. Aku mengangguk dan memegangi kepalaku. Asli, sakit banget!
Pintu kamar mandi emang nggak terbuat dari bahan kayu, tapi tadi kepentoknya itu bener-bener mantep! Serius, deh! Jadi, sakit banget dan yang tadinya migren jadi semuanya ikutan sakit. Alif...
~~~
Pusing kejedod tadi nggak ilang-ilang. Alif udah nyuruh aku pegangan jaketnya, tapi aku nggak mau. Akhirnya, dia menepi dan nyuruh aku berdiri. Jam 7 kurang lima. Udah ketauan, aku nggak bakal jadi sekolah.
"Ih, susah banget ngasih tau cewek keras kepala buat pegangan! Mending kita sama-sama nggak usah sekolah," bentak Alif yang membuatku agak sedikit getar-getir sendiri. "Daripada gue ikutan nggak selamat karena elo nggak mau pegangan, lebih baik kita pulang! Nggak usah sekolah! Gue masih sayang nyawa, Feb!"
Aku, nggak terima, jawab, "Yang buat kepala gue sakit parah kayak gini siapa?! Kalo elo nggak ngelakuin hal bego kayak gini, gue nggak bakal dibonceng elo. Dan kalo elo nggak ngebonceng gue, gue masih bisa sekolah!"
Alif menjawab, "Tapi, elo sekarang seneng kan, nggak jadi sekolah?!"
"Nggak! Lebih baik gue sekolah daripada sehari suntuk ngeliat dan deket-deket sama elo!" bentakku nggak mau keliatan seneng. "Gue pulang sendiri! Persetan gue bakal pingsan di jalan atau nggak!"
~~~
Benar aja, beberapa meter sebelum ngeliat pager rumah, hal yang terakhir aku ingat cuma semuanya berubah jadi hitam dan aku bangun di tempat yang bener-bener empuk. Jadi, kalo orang cerdas bakal bilang, 'elo pingsan, dodol.' Nah, kalo orang jenius nanya, 'tadi, gue pingsan ya?' Aku adalah orang jenius plus plus. Tanpa nanya, aku udah tau tadi aku pingsan.
"Makanya, jadi cewek jangan keras kepala! Untung tadi gue nemuin elo di trotoar deket rumah," ujar Alif sambil ngompres luka di kepala dan tanganku. Kayaknya, dia pelaku penyeretan orang pingsan. Soalnya, entah gimana aku bisa tiba-tiba dapet luka gores di siku dan telapak tangan.
"Elo nyeret gue ke rumah, ya? Kenapa gue jadi luka-luka?" tanyaku.
"Nggak, gue gulingin," jawab Alif santai. "Gue gendonglah, bloon."
Aku kaget, tapi nggak mau terlihat kaget. Soalnya, bakal komuk. "Kuat?"
"Kalo nggak kuat, elo nggak nyampe rumah, woy," jawab Alif masuk akal.
"Well, ini semua gara-gara elo," jawabku masih nggak mau kalah.
"Iya, deh," jawab Alif capek.
~~~
"Munafik lo, Feb! MU-NA-FIK!" bentak Vera dan Wini di hadapanku.
"Emang elo munafik! Elo bilang elo nggak bakal ngejalanin cinta monyet! Haha.. Ternyata, sekarang elo malah lebih mentingin dia daripada kita!" Wini menyemburkan amarahnya.
"Elo kemakan 'monyet' lo sendiri! MUNAFIK!" tambah Vera.
Kemudian, Alif datang. "Feb, pulang, yuk!" ajak Alif. Aku diam dan menunduk. Alif menggenggam tanganku. "Kamu kenapa? Cerita sama aku, deh." Aku diam dan hanya menitikkan airmata. "Jangan nangis, cantik. Nanti cantiknya ilang." Aku terus terisak, sampai akhirnya Alif mendekapku dan aku melebur dalam dekapannya.
"Hahaha... NYESEL GUE PUNYA SOHIB KAYAK ELO, FEB! MAKAN TUH, 'MONYET' LO!" sambar Vera dan Wini sambil berlalu di hadapanku.
~~~
Aku terbangun. Mimpi. CUMA. MIMPI! Nggak nyata. Dan nggak bakal jadi nyata. Aku menatap sekelilingku. Terakhir kutatap, hanya ada bekas airmata di bantalku.
"Feb, elo nggak apa-apa?" tanya Alif yang kepalanya tiba-tiba nongol di pintu kemarku. Aku mengangguk. "Kalo ada apa-apa, panggil aja nyokap gue, atau nggak gue." Aku mengangguk lagi.
~~~
"Tante bakal pulang jam setengah 10 hari ini. Nanti, kalian jangan macem-macem," ujar Tante Vita. "Alif, jagain Febby."
Aku berangkat sekolah dengan keadaan yang lebih baik. Ternyata, Vera dan Wini masih belum masuk juga. Sesial apakah hari ini?! Aku menjalani hariku dengan elsu. Alif benar, nggak usah temenan sama yang itu-itu terus. Harus butuh pergaulan yang lebih luas.
~~~
"Assalamu'alaikum," salamku saat memasuki rumah. Di ruang tamu, ada Alif dan dua orang cewek. Satu nempel banget sama Alif, satu lagi cuma senyam-senyum ngeliatin Alif sama cewek tadi nempel.
"Wa'alaikumsalam," jawab Alif sambil nengok ke arahku, lalu melanjutkan kegiatannya. Dia sama cewek tadi tambah deket.
Aku menghentakkan kaki ke kamar dan melempar tasku. Alif vulgar! Lebih dari itu! KENAPA DIA MESRA BANGET?! Loh, aku kenapa? Kenapa aku jadi sewot?! Terserah Alif mau gimanain itu cewek! Tapi, nggak di depan aku juga, dong! Ah, persetan!
Aku mengganti baju dan menelpon Ricky. Ricky ini teman satu les-lesanku yang kebetulan deket sama aku dan enak diajak sekongkol. selain Vera-Wini, Ricky juga termasuk temanku. Ricky pernah jadi cowokku setahun yang lalu pas aku masih belum sensi sama yang namanya cinta monyet, tapi kita memutuskan untuk sahabatan aja.
"Pura-pura jadi pacar lo?" tanya Ricky kaget.
"Iya. Sehari aja," pintaku. "Elo lagi nggak jomblo, ya?"
"Err.. Aslinya lagi nggak. Ya udah. Gue jemput elo sekarang," jawab Ricky.
"Makasih, Ricky. Baik banget kau!" balasku, kemudian mengakhiri panggilan.
~~~
"Mau kemana, Feb?" tanya Alif.
"Pacaran," jawabku ketus.
"Emang punya?"
"Punya."
"Mana?"
"Ntar lagi dateng."
TOK! TOK! TOK!
"Nah, itu dia," ucapku. Ricky datang dengan lengan kemeja yang digulung sampai siku dan dua kancing paling atas di buka untuk memamerkan dadanya yang berbidang. Ia memakai celana jeans hitam dan sepatu Supra. Ricky memperlakukanku layaknya seorang pacar.
"Yuk!" ajak Ricky manis. Aku menggandeng lengannya dan nggak lupa manas-manasin Alif.
0 comments:
Post a Comment