Cerita ini
dimulai saat gue sadar gue suka sama dia. Gue mulai memerhatikan dia dan
terkadang sosoknya datang dalam mimpi gue. Terkadang juga, suaranya menggema di
dalam benak gue. Dari awal, gue udah ngerasa ini nggak bakal ada ujungnya kalo
nggak gue berhentiin sendiri. Tapi, gue terlalu terpikat untuk bahkan bilang
gue nggak suka dia. Dari awal juga gue udah punya firasat gue akan berakhir
sakit, patah, rusak, dan terparah gue akan menutup diri karena terlalu rentan
buat ngerasa sesuatu lagi. Tapi, karena hati gue nggak kenal takut, gue jatuh
cinta sama dia. Boleh gue bilang dia cinta pertama gue. Bukan Cuma cowok yang
gue taksir untuk pertama kali. Tapi, gue cinta, sayang, dan bener-bener nggak
mau kehilangan dia. Gue nggak mau ada orang milikin dia selain gue. Gue tau itu
selfish banget. Tapi, emang itu yang
gue rasain.
Untuk pertama
kalinya, gue ngerasa gue bener-bener naro hati buat someone. Dan untuk pertama kalinya, gue percaya sama orang yang
nggak pasti kenal sama gue. Semua naluri gue dan perasaan gue berkata kalo gue
bakal dapet yang ini. Gue hanya perlu perkuat tekad gue dan lebih nekad buat
ngadepin jawaban aslinya. Mungkin kalo jawabannya sama seperti naluri gue, gue
bakal jadi bahagia untuk waktu yang lama. Mungkin juga kalo jawabannya
bener-bener beda dari perkiraan, gue tau hati ini bakal nutup buat waktu yang
lama dan susah nemuin orang pas buat ngebuka lagi. Dan pasti juga, kalo
jawabannya satu di antara dua itu, bakal ada luka. Apapun yang terjadi. Cuma,
hati gue, diri gue, udah ngerasa gue mampu ngadepin rasa sakitnya.
Lalu, dimulailah
kisah gue. Kisah SMP. Masa SMP gue, dimana gue lagi mencari jati diri, dimana
gue lagi bermetamorfosa, dimana gue masih baru belajar. Gue ngeliat dia. Untuk
pertama kalinya. Yang gue tau, setiap kali gue ngeliat dia, sebagian besar
jantung gue melanggar peraturan dan dia berdetak lebih kencang dari biasanya.
Setiap gue ngeliat orang itu. Dan inilah disaat dimana semua bagian psikologis
dari gue ngerasa he’s yours. Tapi,
bagian lain dari sana juga mengatakan be
careful. Gue tau, di antara dua bagian itu, salah satu dari mereka ada yang
salah dan ada yang benar. Untuk sepersekian detik, gue setuju sama asumsi
pertama. Dia punya gue.
Kemudian,
hari-hari berikutnya, gue makin yakin sama perasaan gue ke dia. Lucu emang
awalnya. Kok, sok dewasa begini? Kok, terlalu dramatis? Kok begitu-begini.
Tapi, inilah yang gue rasa. Dari awal. Dari pertama kali gue tau kalo dia bakal
jadi orang asing yang bakal kasih bekas yang dalam di hati gue.
Gue dan dia
berpisah di awal tahun SMP. Dan saat itu, gue berniat move on. Walaupun gue tau bakal sesusah dan sesakit matahin tulang
kering sendiri. GUE HARUS NGELUPAIN DIA. SAAT ITU JUGA. Dan, ternyata gue
berhasil. Gue menyukai orang lain. Menyukai. Sekedar suka. Dan bahkan gue
sendiri nggak begitu yakin gue suka apa nggak. Gue maksa hati gue buat suka.
Berhenti tertarik ke magnet yang sama. Karena kadang, kalo kutub magnet
berbeda, hati gue bakal terlempar jauh. Hancur. Tapi, untuk sesaat, gue
bersyukur, gue bisa mengalihkan perhatian gue. Meskipun susah banget yang
namanya ngelupain.
Selama setahun,
gue berusaha mengubur perasaan gue ke dia dengan menyukai sederet cowok lain.
Bahkan gue sempet jadian selama 3 hari dengan cowok lain. Gue suka sama cowok itu
sebatas suka. Lalu gue putus. Gue balik ke titik 0. Kembali ke dia yang
pertama. Dan pertanyaan itu muncul untuk pertama kali, “Kenapa harus dia?”
Kemudian, tahun
berikutnya. Awalnya gue nggak pernah ngira gue bakal ketemu dia lagi. Karena,
sejak junior class, gue jarang malah
nggak pernah ngeliat dia. Gue Cuma inget dia ada disini. Cukup dekat sampe bisa
buat hati gue terus-terusan nempel sama dia.
Kemudian, satu
lagi hal sulit yang harus gue hadapi. Gue harus berjuang. Benar-benar
mematahkan beberapa bagian hati gue supaya gue nggak harus lebih patah lagi saat
gue kalah. Gue harus mengalah. Demi hati gue. Gue harus bisa lebih cepat gerak
sebelum airmata gue ditarik jatuh sama gravitasi. Terlalu sakit ngedenger satu
lagi tangisan gue buat dia. Dan saat itu, hati gue berhasil menimbun lagi.
Kekuatan magnetnya dia seakan terhalang sama timbunan besar. Tembok besar.
Tumpukan tanah liat besar. Dan hal-hal besar lainnya yang luar biasa besar yang
berhasil buat hati gue bertahan. Pulih.
Tapi, di suatu
saat, saat itu adalah dimana gue menyukai orang lain. Di saat selama beberapa
waktu yang lama, gue rasa gue bakal attached
sama orang yang lagi gue suka, timbunan-timbunan dan semua penghalang itu
runtuh. Dan saat itulah gue dihadapkan ke depan pilihan dimana gue harus bisa
bersikap lebih dewasa. Memilih dan mengklarifikasikan rasa suka gue terhadap
dua orang ini. Gue suka sama si yang ini karena apa dan gue suka sama si yang
satu lagi karena apa. Dan gue..gue berhasil menemukan satu jawaban yang bukan
jawaban. Tapi, lebih tepatnya sebuah pernyataan, gue suka sama orang itu tanpa
alasan. Sementara gue suka sama orang ini karena menurut mata gue dia eye-cathcing. Tapi, hati gue selalu
memilih pilihan yang gila, yang nggak masuk akal. Dia kembali ke orang itu. Orang
yang dari pertama udah genggam hati gue. Seakan nggak pernah dilepas.
Gue kembali ke
orang itu. Selama itu, gue merahasiakan perasaan gue. Sangat amat dirahasiakan
sampai kadang diri gue sendiri nggak sadar kalo jantung gue berdetak lebih
cepat setiap dekat dia. Kalo bisa gue uraikan satu-satu momen yang nempel di
otak gue tentang dia, mungkin bakal gampang ketebak. Dan gue nggak mau hal itu
terjadi. Bakal semakin menyakitkan buat gue di masa yang bakal datang. Selama
kira-kira hampir 3 bulan, gue merasakan hal yang kuat terhadap orang itu. Kali
ini, gue bakal hati-hati. Nggak sekanak-kanakan dulu. Gue harus dewasa. Gue
harus bisa menelan apa yang bener-bener harus ditelan, secara mentah. Gue harus
bisa menganyam waktu supaya kalo hati gue luka lagi, gue bisa ngebalut pake
anyaman waktu itu. Gue harus bisa seakurat mungkin mengira jarak yang bakal gue
sediakan buat dia, buat hati gue supaya nggak kedengeran berdetak cepat pas dia
ada di deket gue. Gue bakal dan harus lebih kuat dari sebelumnya.
Dan gue
menemukan satu kejadian unik dari usaha gue. Angka 3. Tiga. Mungkin untuk
kebanyakan orang, angka ini Cuma sekedar angka. Nggak ada yang spesial. Nggak
ada yang ‘wah’ di balik angka 3. Tapi, bagi gue, pada angka ini, gue bisa
berharap. Gue bisa, setidaknya, mempercayai angka 3 untuk jatuh cinta lebih
dalam tiap harinya. Dan setelah gue menemukan angka 3, gue bisa berharap.
Setinggi mungkin dan semau gue. Gue berasa nggak takut bakal jatuh. Karena,
seakan mata gue dibuka, gue ngerasa I’m
good at taking risks and I’m loving him because I took a risk on the first
place. Akhirnya, gue bersandar pada angka 3. Di balik angka 3 ini, gue
menyimpan semua hal-hal kecil yang gue inget dari dia. Di balik angka 3, ada
nama dia. Di balik angka 3, ada kejadian yang selalu berkaitan dengan angka 3.
Secara tidak sadar, nama dia, angka 3, dan seluruh kekuatan gue kadang menyatu
di kebetulan-kebetulan yang terkait dengan angka 3. Secara tidak sadar. Tanpa alasan.
Sama seperti gue jatuh hati pada orang ini. Tanpa alasan.
Kemudian, di
saat semua bertanya siapa si angka 3, gue tetap merahasiakannya. Gue nggak mau
seceroboh dulu. Membuka semuanya dan tidak menerima apa-apa lagi. Gue nggak mau
patah hati terlalu cepat kayak dulu. Tapi, emang badai itu selalu ikut dan satu
paket sama musim semi. Di saat gue ngerasa kalo gue bener-bener fine sama situasi ini, badai itu datang.
Gue dipaksa menghadapi satu kebenaran dari salah satu teman gue. Dia menyukai
orang itu. Mungkin nggak separah gue. Mungkin nggak selama gue. Tapi mungkin,
dia bakal dapat kesempatan lebih bagus.
Dan hari ini,
setelah tanggal 13 april, gue nangis. Nangis bener-bener nangis. Semua perasaan
gue, harapan gue, hati gue yang akhirnya bisa balik mulus kayak dulu, semua
tetes airmata gue, semuanya menyatu. Saling perang. Saling menyalahkan. Saling
melukai. Saling nggak sadar kalo fisik gue dan emosi gue udah nggak bisa
menjelaskan lagi.
Untuk kesekian
kalinya, gue menangis karena alasan yang sama. Gue nggak sempet menganyam
waktu. Gue nggak sempet masuk ke dalam perlindungan gue pas badai itu datang.
Dan sekarang, gue dapet konsekuensinya. Gue hancur. Entah untuk
keberapakalinya. Tapi, saat ini, sakit yang gue rasa nggak bisa hilang lagi.
Gue sadar, 2
tahun udah cukup. Udah cukup buat semua tangis, buat semua galau, buat semua
kekuatan, buat semua pertahanan, buat semua waktu. CUKUP! Gue harus memaksa
diri gue buat bener-bener pindah. Pindah dari genggaman dia. Pindah. Pindah
dari dia. Terserah kemana, yang jelas gue harus pindah.
Disini, gue
nggak bisa menyalahkan siapa-siapa. Perasaan itu berasal dari hati. Bukan hasil
karya otak atau emosi. Gue nggak bisa bilang temen gue salah dia udah suka sama
orang itu. Gue nggak bisa menyalahkan orang itu, karena dia nggak tau apa-apa.
Gue nggak bisa menyalahkan diri gue sendiri, karena gue juga nggak salah. Yang
bisa gue salahkan Cuma satu, kenapa pertanyaan “Kenapa harus dia?!” nggak
pernah kejawab oleh gue. Pertanyaan itu nggak pernah ada jawabannya. Karena
ketika elo jatuh hati, elo naro hati lo ke seseorang, elo nggak bakal bisa
mengidentifikasikan alasannya. Kalo hal itu beralasan, saat orang itu dan
segala kenangan hilang, alasan itu pergi bersama orang itu. Tapi, bagi gue,
ketika orang itu pergi, ketika gue berusaha menghapus semua kenangan, rasa itu
nggak pernah hilang. Karena, hati gue jadi miliknya tanpa alasan. Bahkan dia
nggak tau kalo dia masih genggam hati gue.
Dan disini gue
belajar. Kadang kala, kita harus bisa melepaskan. Kadang kala, kita harus
memaksa. Mungkin paksaan bakal buat sakit. Tapi, setidaknya sakit itu Cuma dirasakan
sekali. Tapi, ada kalanya juga elo nggak bisa maksa. Elo nggak mampu maksa.
Karena elo berpegangan pada alasan kuat. Elo bertahan demi satu alasan; Gimana
kalo dia ternyata punya perasaan ke gue? Itu alasan elo bertahan. Elo berani.
Elo mampu. Elo kuat. Karena elo bisa berharap. Elo masih bisa mengira. Elo
masih yakin bahwa suatu saat, suatu hari, elo bakal ngeliat alasan itu menjadi
nyata. Elo berharap. Tapi, kalo kita berharap dan bertahan, kadang sakitnya
bakal dua kali lebih parah dari kalo kita melepaskan. Kita bakal ngeliat dia
ngancurin hati kita gitu aja. Kita bakal ngeliat dia mencintai orang lain kayak
kita mencintai dia. Bakal lebih banyak airmata. Tapi, gue salut sama mereka
yang bertahan dengan satu alasan. Mereka masih bisa berharap. Mereka kuat.
Buat orang itu,
satu hal… Elo datang di saat gue bermetamorfosa. Dan itu adalah hal terindah.
Meskipun gue harus mengeluarkan banyak airmata. Tapi, elo adalah alasan kesedihan
yang mengindahkan jatuhnya airmata gue. Dan saat ini, gue masih belum siap
ngelepasin harapan gue. Gue belum punya harapan baru. Gue masih mau berjuang. Entah
karena apa, gue nggak tau. Gue menyerahkan ini pada hati gue. Dan gue Cuma bisa
berkata, semoga besok hari, saat gue memperkuat pegangan gue, bakal ada lebih
sedikit airmata. Gue harus berjuang dan bertahan. Karena gue berani dan alasan
itu belum hilang. Dan gue masih harus nyari jawaban untuk pertanyaan gue dan
gue harus melihat apa yang ada di ujung jalan perasaan gue. You’re still mine in my wildest dream. And I
guess, you’ll be there for a while.
0 comments:
Post a Comment