Thursday, April 3, 2014

A Sampai Z, Kita Punya Cerita (19)

Posted by Unknown 0 comments
Chapter 3

3.3 "We break promises; promises break us. We break ourselves."

Yang kulakukan selama Al bersekolah hanya satu. Mencari hobi baru tanpa perlu banyak bergerak. Aku meraih ponselku dan membuka aplikasi catatan. Ada hobi baru yang bisa kulakukan selama Al tidak di sini menemani kekosongan hariku yang kadang tak cukup hanya ditunggui Bunda seorang. Hobi itu adalah menuliskan beberapa kata dan prosa kecil buatanku sendiri dengan kalimat yang dilebih-lebihkan. Akhir-akhir ini, pikiranku selalu terbang dan membentuk sebuah wujud yang terlalu hangat di benakku, Al. Aku memang sudah sangat jatuh cinta padanya sampai setiap mimpiku di dua-tiga hari terakhir ini adalah semua tentang dia dan hal-hal manis yang kami lakukan.

Aku tak pernah mengira bahwa akhirnya dirimulah yang akan hadir mengisi kekosongan dalam diriku yang nyaris dirayapi berjuta laba-laba sakit hati dan debu-debu kekecewaan. Tak pernah kusangka jatuh cinta padamu, sahabatku sendiri, akan seindah ini tapi juga serumit ini. Cinta memang tak pernah menuntut solusi dan cinta tak akan pernah menuntut logika. Cinta tak butuh rumus dan tidak butuh dirumuskan. Cinta juga sering kali tak perlu dimengerti, hanya butuh diterima. Terlepas dari siapa yang dipilih atau memilih cinta. Dan saat ini, dua orang sahabat, aku dan kamu, adalah orang-orang pilihan cinta. Kuharap selamanya... Atau paling tidak sementara, sementara yang cukup lama...
Tanpa sadar aku mengetikkan dan mengarang semua bagian dari prosa kecil barusan. Kubaca ulang rangkaian kalimat-kalimat tadi dan  aku ucapkan kembali dalam hati. Cinta memang sebegitu indah dan mengejutkan. Aku tersenyum sambil mengulang dua kali bacaanku dan terbayang wajah Al. Bagaikan dalam sebuah film romantis, di otakku saat ini terjadi kilas balik yang memutarkan sejuta kenangan yang telah terukir antara aku dan Al. Kondisiku yang sakit dengan emosi yang tak stabil membuat seisi kantong airmataku seakan ingin tumpah. Kalau dipikir-pikir, aku benar-benar tak pernah merencanakan untuk jatuh cinta pada Al, yang notabene adalah sahabatku sendiri. Tak pernah sedikit pun aku membayangkan apa yang terjadi saat ini. Sedikit pun aku tak pernah, tak mau, dan tak berani. Aku selalu menganggap Al bagian dari hidupku yang bisa kupercaya, yang bisa membawaku pada diriku sendiri tanpa pura-pura. Dan karena hal itu serta terlalu lama bersama, aku mulai merasakannya. Mungkin di sisi Al, ia merasakan hal yang sama juga. Entahlah. Aku tak mau tahu. Yang kutahu, aku miliknya dan dia milikku. Kami masih bersahabat, masih saling menyayangi. Namun, kali ini, aku tak akan pernah melepasnya seegois apapun orang akan menilaiku.
Cemburu. Kehilanganmu tak hanya sebatas tak akan pernah melihatmu lagi. Kehilanganmu bisa berarti harus melepaskanmu bebas tanpa ada aku lagi di sisimu. Kehilanganmu bisa berarti membiarkanmu berpindah dari genggamanku ke genggamannya, atau genggaman dia, atau dia, atau dia. Entahlah. Kehilanganmu bukan hanya sebatas tak akan pernah melihatmu lagi. Kehilanganmu bisa berarti tidak berbicara padamu walaupun kita sedekat dua kelingking yang melingkari satu sama lain. Kehilanganmu bisa berarti memenangkan perdebatan konyol kita. Kehilanganmu tidak hanya sebatas tak akan pernah melihatmu lagi. Kehilanganmu bisa berarti aku cemburu. Sesederhana namun semenyakitkan itu....
Ah, kenapa harus tema ini?! Hal ini menguak sisi sensitifku perihal Al. Aku selalu tak bisa melihat Al dekat dengan Anita, walaupun aku tahu mereka tak menyembunyikan apa-apa dariku. Aku tak membenci Anita dan tidak juga memblokade perasaanku pada Al dan perasaannya padaku. Tidak. Aku hanya iri melihat mereka bisa berbicara dan tertawa bersama terkadang meskipun aku dan Al menghabiskan waktu jauh lebih banyak daripada 10 menit durasi tawa antara ia dan Anita. Entah mengapa juga, aku bahkan tidak mengerti. Aku cemburu, jujur saja. Aku tak tahu apa yang harus aku cemburui. Entah mungkin Anita yang supersupel sehingga Al bisa saja membuatnya ikut jatuh cinta pada dirinya. Atau mungkin Al yang selalu terlihat sangat baik, perhatian, dan penuh canda ke banyak teman-teman perempuanku sehingga membuatku tersingkir dan membuat mereka dengan mudah menggeserku dari posisiku di dekat Al. Aku benar-benar tak tahu. Yang kutahu satu, setiap kali Al dan Anita tertawa atau paling tidak berbicara saja, ada rasa takut akan kehilangan dalam hatiku sambil berharap Al dan Anita tak pernah bersatu. Jahat memang, namun aku mencintai Al dan kurasa Tuhan sudah meresmikan itu di suatu saat lampau.

Al datang dengan sebuket bunga dan satu kotak kue. Entah berapa kali ia berhasil membuatku tersenyum di hari-hari tidak menyenangkan seperti ini. Aku benar-benar menyayanginya. Namun, seketika di belakangnya terlihat Anita dengan senyumnya. Yang ada di pikiranku hanya satu, mereka pasti satu motor dan pasti Anita begitu dekat dengan Al. Mengapa hatiku panas?
"June! Gimana keadaan lo?" tanya Anita sambil membantu Al meletakkan buket bunga itu dan kotak kue tadi.
"Baik," jawabku dengan seulas senyum. Aku tak pernah membenci Anita, hanya saja aku tak suka kalau ia sudah terlalu sering bersama Al. Al milikku.
"Maaf ya, baru bisa datang. Gue benar-benar sibuk banget beberapa hari ini. Tadi sebenarnya Aqil sama Dadan mau ikut. Tapi, karena mereka masih ada ekskul, jadi katanya mereka nyusul," beber Anita seperti biasanya.
Al menarik kursi dan duduk di samping tempat tidurku. "Bunda mana?"
"Enggak tahu," jawabku berusaha menekan rasa kesalku sendiri.
"Gila ya, Rizal kalau bawa motor main terobos polisi tidur aja. Enggak sadar dia bawa penumpang sama barang-barang ini," komentar Anita kemudian. Ya, berarti benar mereka satu motor. Rasa takut akan kehilangan itu kembali menghampiriku.
***
"Gila ya, Rizal kalau bawa motor main terobos polisi tidur aja. Enggak sadar dia bawa penumpang sama barang-barang ini," ucap Anita membuatku berada dalam posisi teramat bersalah. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanya satu, tersenyum memaksa.
Aku memerhatikan raut wajah Une diam-diam sambil berharap hal ini tak lagi mengusik sisi sensitifnya. Aku tahu ia tak pernah suka aku berduaan dengan gadis lain, bahkan aku pun tak suka. Aku sadar ia milikku dan aku miliknya, namun terkadang Une bisa menjadi orang paling posesif dan sedikit menyebalkan karena itu. Tapi, kali ini benar-benar salahku. Akulah yang tadi menawarkan tumpangan pada Anita.
"Iya, Al emang gila," balas Une terdengar dipaksakan. Aku bisa merasakan sakit hatinya.
Aku terkekeh. "Enggak apa-apa, Nit. Latihan sebelum nanti di-bonceng beneran sama si..."
Anita memukul lenganku dan memaksaku untuk tetap diam. Une menaikkan kedua alisnya, penasaran. Namun, aku tahu Une semakin sakit melihat adegan ini. Tapi bagaimana lagi? Tak mungkin saja aku mengusir Anita padahal ia baru datang beberapa menit yang lalu.
"Assalamu'alaikum," ucap dua suara dari pintu ketika hening hendak mengisi ruangan ini.
Aku melihat Aqil dan Dadan berjalan beriringan memasuki ruangan rumah sakit ini. Di tangan Aqil ada sekeranjang buah-buahan yang sudah terbungkus rapi dengan plastik mika. Dadan membawa satu kotak kue yang berasal dari toko yang sama dengan kue yang aku dan Anita beli.
"June!" sapa Aqil sambil menghampiri Une dan membelai lengannya halus.
"Aqil, udah lama enggak ketemu," ucap Une diikuti sebuah senyum.
"June, gimana? Udah enakan?" tanya Dadan yang memang selalu perhatian pada semua perempuan di sekolah kami.
"Udah, alhamdulillah," jawab Une.
Pertemuan ini berlangsung sekitar dua jam sampai akhirnya Dadan pamit lebih dulu. Kemudian, aku mengantarkan Aqil dan Anita keluar ruangan Une, berharap Aqil mau menawarkan Anita tumpangan seperti yang pernah diceritakan Anita padaku.
"Nit, lo balik sama siapa?" tanyaku basa-basi.
"Enggak tahu," jawab Anita.
"Sama gue aja, deh. Udah sore banget, daripada lo sama ojek enggak jelas," ujar Aqil membuatku sedikit lebih lega karena dengan tawarannya itu aku tak perlu repot-repot mengantarkan Anita pulang dan meninggalkan Une sendirian.
"Ya udah, ya, Nit. Lo sama Aqil aja. Maaf banget, gue harus jagain Une lagi," ucapku.
Anita tersenyum, namun tatapan matanya mengutukku. "Ya udah. Padahal tadi gue mau nelpon ojek langganan."
"Mumpung masih ada temen pulang, Nit," olokku kemudian pamit permisi untuk kembali pada Une.
Seraya berjalan kembali ke kamar tempat Une dirawat, aku memikirkan reaksi apa yang akan dimuntahkan Une padaku. Aku tahu ia sudah menunggu nyaris dua setengah jam untuk marah padaku karena aku dan Anita berangkat ke rumah sakit bersama. Al, kali ini berusahalah mengalah...
***
"Boncengan, ya?" tanyaku sesaat setelah Al menutup pintu kamar rumah sakit.
"Hmm," jawab Al singkat seolah tak mau membahas perihal ini.
Aku mendiamkannya. Marah? Seharusnya mungkin tak seberlebihan ini. Namun, tetap saja. Bukankah baru kemarin aku marah padanya karena telepon singkat antara Anita dan Al? Lalu, kenapa ia mengulanginya lagi. Bahkan kali ini sudah sangat dekat sampai satu motor?
"Kamu mau marah, Ne?" tanyanya. Aku diam.
"Ne, tadi aku emang salah nawarin Anita bareng sama aku satu motor. Aku emang salah," jelas Al lagi. "Tapi, bukankah seharusnya kamu sadar kalau kamu jauh lebih istimewa daripada Anita buat aku? Bukankah seharusnya kamu enggak takut dan enggak marah dan mungkin enggak cemburu hanya karena aku mau berbuat baik ke teman kita? Apalagi, Anita cewek. Masa aku tega nyuruh dia sendiri ke sini padahal aku bawa motor?"
Une terkekeh sinis. "Aku sadar. Tapi, aku tetap perempuan, Al. Aku cemburu sama perlakuan kamu ke Anita. Terus, apa aku enggak berhak kayak gitu?"
"Enggak," ucap Al tegas. "Jujur Ne, padahal kamu yang waktu itu belum meresmikan status ini. Lagi pula, bukankah 'kita' ini hanya sebatas status palsu untuk dipamerkan ke teman-teman dan tameng untuk menghindar dari kekalahan dari tantangan yang dikasih Fian?"
Aku terdiam. Rasanya seperti ditusuk pisau yang teramat tajam. Perkataan Al memang tak ada yang salah. Kami memang belum resmi dikatakan pacaran. Namun, apakah selama ini hal itu yang terngiang di kepala Al? Ia melakukan ini semua hanya untuk dipamerkan? Lalu, apa guna tempo hari aku mengatakan aku ingin memilikinya dan ia memiliku? Aku sakit hati. Kali ini terlalu sakit untuk bisa berdamai dengan airmataku yang hendak turun dan orang yang saat ini berdiri menatapku lekat-lekat. Aku kecewa. Sangat kecewa.
"Pulang, Al," suruhku seiring dengan jatuhnya bulir-bulir airmata di pipiku.
"Ne..." panggil Al lirih. Sungguh, bahkan mendengar suaranya saja aku tak sanggup.
"Pulang. Biar Bunda aja yang hari ini, besok, lusa, dan sampai aku pulang nanti yang jagain aku. Kamu enggak usah. Kamu sekolah aja, pulang ke rumah," lanjutku parau diikuti tetes airmata berikutnya hingga seluruh pipiku sudah sepenuhnya basah.
Al meraih ranselnya yang ada di atas kursi di sebelahku. Ia mendekat padaku ingin melakukan kebiasaannya, mencium keningku. Namun, aku berpaling. Rasa sakit hati itu masih terlalu hangat di dalamku. Al menatapku lekat, tak kubalas. Aku merasakan setetes air hangat jatuh di atas jemariku. Aku menatap Al. Ia menangis...
***
Aku tahu kata-kataku tadi sudah keterlaluan. Une memintaku untuk tidak menemuinya lagi setelah ini. Baiklah, ini yang benar-benar harus kulakukan. Aku sudah membunuhnya kali ini. Benar-benar membuatnya sakit dan rusak sampai bahkan aku tak bisa memaafkan diriku sendiri. Seharusnya aku tak mengatakan itu pada Une. Aku menyayangi Une.
Kuraih ranselku dan mendekatkan wajahku ke keningnya. Ia berpaling, menolak kecup sayangku. Tak kuasa aku pun menangis di hadapannya. Kali pertama di depan Une. Melihatnya separau dan sesakit itu juga membunuhku. Dan aku bisa merasakan pedih luka yang baru saja kubuat untuknya dan untuk diriku sendiri.
"Kalau itu yang kamu mau..." ucapku sebelum benar-benar meninggalkan Une sendiri.

Hari-hari setelah pertengkaran dahsyat itu, aku benar-benar menyiksa diriku sendiri. Bahkan semua orang melihat kesedihan yang begitu nyata dalam mataku. Ada yang salah denganku. Aku harus menahan rasa penasaranku tentang kabar Une sekarang sampai akhirnya aku memutuskan untuk izin sekolah dua hari. Mama bilang Une sudah balik dari rumah sakit. Aku cukup lega. Namun, kali ini kurasa akulah yang sakit. Aku mencoba menghubungi Une, berharap ia sudah memaafkanku. Dasar brengsek! Sudah kusakiti ia, tapi aku pulang yang berharap ia memaafkanku? Bodoh! Brengsek!
"Une, angkatlah!" pintaku dengan ponsel menempel di telinga.
Masih balasan yang sama dari sistem. Segitu bencikah Une padaku saat ini?
Aku mencoba mendatangi rumahnya di akhir pekan, berdoa agar Une membukakan pintu. Namun, Mbok Num selalu berkata Une sedang sibuk dan tidak mau diganggu setiap kali aku datang dan menunggu di teras rumahnya.
"Mas Al sama Non Une kenapa, toh?" tanya Mbok Num saat aku memaksa untuk menunggu di suatu sore pada hari Minggu.
"Gitu deh, Mbok. Aku tuh, brengsek banget ke Une. Aku nyakitin perasaannya dia pas dia masih di rumah sakit waktu itu. Kita berantem dan aku egois banget ke Une. Makanya Une jadi gini. Aku yakin pasti dia di kamarnya, nangis, marah, sensitif sambil maki-maki aku dalam hati sampai-sampai setiap aku nyoba datang ke sini selalu aja Mbok Num bilang Une lagi ini-lagi itu," ceritaku pada Mbok Num untuk mendapat sedikit pembelaan.
"Memangnya Mas Al bilang apa ke Non Une?" tanya Mbok Num penasaran.
"Aku bilang aku enggak benar-benar sayang ke dia. Tapi, bukan itu maksudku, Mbok. Aku cuma enggak mau dia cemburu berlebihan ke aku sama Anita, teman kami. Aku mau dia sadar aku benar-benar sayang sama dia dan aku mau dia enggak cemburu," jawabku lagi.
Mbok Num berdecak. "Ya, kalau begitu Non Une enggak salah, Mas. Mas kalau sayang sama Non Une, bukan gitu caranya. Non Une cemburu kan, juga karena dia sayang banget sama Mas Al. Ya, menurut Mbok sih, Non Une enggak salah. Non Une cuma mau Mas Al benar-benar buktiin kalau cuma Non Une-lah yang Mas Al sayang. Bukan malah ngomong kayak tadi."
"Gitu ya, Mbok?" tanyaku bingung dengan nada menyesal.
"Mbok!" panggil suara yang selama berhari-hari ini kutunggu. Aku mendengar suara Une semakin lantang dan jelas. Aku rindu suara itu. Sungguh.
"Ya, Non?" balas Mbok Num.
Une muncul di hadapan aku dan Mbok Num beberapa saat kemudian. Aku melihat ekspresi kaget dan dua mata yang bengkak di hadapanku. Gadisku ini pasti sudah terlalu sering menangis sejak hari itu. Ah, aku benci diriku sendiri.
Une mengacuhkan aku dan berusaha mengajak Mbok Num masuk dan memenuhi perintahnya. Sesaat sebelum membiarkannya kembali ke dalam rumah, aku menarik lengannya. Aku rindu padanya dan pertengkaran ini tak bisa lebih lama lagi kubiarkan.
"Ne, please," ucapku lirih. Une menyentak genggamanku, namun tak begitu kuat untuk membuatnya lepas. Seolah tahu, Mbok Num melarikan diri dari situasi ini dan membiarkan aku dan Une berdua.
"Al, kita kan, bukan apa-apa seperti yang kamu bilang waktu itu. Kita cuma sahabat. Aku memang harusnya enggak pantas cemburu, kok. Kamu benar," ucap Une akhirnya dengan suara bergetar. "Dan kamu, kamu seharusnya enggak perlu repot-repot ke sini dan nyoba hubungi aku dan bertingkah kayak kamu 'siapa'-nya aku. Kalau kita memang bukan apa-apa, maka bersikaplah seperti itu. Hanya seperti sahabat saja."
"Enggak," ucapku tegas. "Kamu pacar aku. Kamu berhak buat cemburu, kamu berhak buat membenci aku saat ini, kamu berhak buat teriak dan maki-maki aku. Kita bukan sahabat lagi. Aku pacar kamu, kamu pacar aku."
Une menatapku kemudian satu tamparan melayang ke pipiku. "Kamu egois!"
Lalu, aku melihat Une menangis dan terisak. Aku memeluknya. Ia memukul-mukul dadaku dan mencoba berontak. Aku menitikkan airmata. Pedih rasanya melihat orang yang paling kausayang menangis sehebat ini di pelukanmu dan menyadari bahwa kaulah penyebabnya. Aku mengeratkan pelukanku namun memberikan cukup ruang untuk Une menuangkan kemarahannya. Ia terus memukul dadaku hingga aku merasakan sakit dan sesak di bagian itu. Une berhenti dan membiarkan aku mendekapnya lebih erat lagi. Aku ingin memberhentikan waktu dan menikmati momen ini. Aku tak akan pernah bisa bertahan untuk tidak menemui gadis ini sekeras apapun aku berusaha. Sungguh.
Setelah Une mereda, aku mengendurkan pelukanku dan menatap Une. Matanya kembali merah dan wajahnya menyedihkan sampai-sampai menyayat hatiku sendiri.
"Udah?" tanyaku lembut sambil menghapuskan airmatanya.
"Kamu egois!" ucap Une di antara isak tangisnya sambil tetap menunduk menghindari tatapan mataku.
"Apa lagi?" pancingku menerima dengan pahit semua sumpah serapah dari Une. Aku pantas mendapatkannya.
"Kamu egois, jahat, brengsek! Al, kamu jahat!"  isak Une. Aku tersenyum pahit sambil mengangkat wajah Une untuk menatapku.
"Kamu baik, lucu, imut, ngangenin, cantik. Aku enggak tahu harus gimana lagi buat menghukum diri sendiri karena udah nyakitin gadis kayak kamu. Aku enggak tahu betapa bodoh dan brengseknya aku udah nyakitin kamu. Aku enggak pantas nerima maaf kamu. Tapi, aku terlalu egois buat rela ngelepas kamu begitu aja. Kamu milik aku dan itulah hal paling egois yang bisa kulakukan saat ini untuk tetap jadi orang yang selalu ada di pikiran kamu," ucapku lembut sambil menatap sedalam-dalamnya ke dua bola mata Une. Kemudian, aku menariknya dalam pelukanku dan setelah beberapa hari, Une membalasnya. Aku tersenyum dalam diam.

A Sampai Z, Kita Punya Cerita (18)

Posted by Unknown 0 comments
Chapter 3


3.2 "I don't wanna lose you now, I'm looking right at the other half of me." -Justin Timberlake.

Aku terbangun dari tidurku dan disambut oleh sebuah senyum dari seseorang yang baru saja kumimpikan. Une. Memang saat ini hanya dia yang berhasil menguak sisi sensitifku dan yang berhasil membuatku sadar akan arti memiliki, mencintai, dan menghargai cinta. Une masih menggenggam tanganku persis seperti sebelum tadi aku meninggalkannya tidur.
Aku menguap dan menggulat melepas kantuk yang masih tersisa sedikit di mataku. "Bunda masih belum balik?"
"Belum. Tapi, tadi udah nelpon, katanya kamu disuruh jagain aku sampai nanti dia balik," jawabnya. "Kamu bawa baju, kan?"
Aku mengangguk dan tersenyum. "Aku ganti baju dulu, deh. Numpang mandi ya, Ne. Kalau ada apa-apa panggil aku aja."
"Iya. Sana mandi, kamu mulai bau apek!" ledek Une diikuti tawa renyahnya yang tak akan pernah bosan kudengar.
Aku terkekeh. "Kalau enggak bau, bukan cowok namanya."
Une menggeleng-geleng dan melemparkan kaos dari tasku yang kuletakkan di kursi di samping tempat tidurnya tadi. Aku menangkapnya dan segera masuk ke kamar mandi. Tak mau berlama-lama meninggalkan Une, aku memutuskan untuk sekadar cuci wajah dan mengganti baju. Setelah usai, aku kembali keluar menemani Une.
"Cepat banget," komentar Une. Aku hanya tersenyum.
"Kamu mau ngapain, nih? Aku enggak ada ide," ucapku bingung. "Aku gombal aja, gimana?"
"Idih, males ah, digombalin terus," balas Une. "Mending kita rekaman apa kek, gitu di soundcloud. Terus kita share ke teman-teman yang lain."
Aku menautkan kedua alisku bingung. "Ne, aku kan, enggak bisa nyanyi."
"Aku juga enggak bisa, Al. Pede aja lagi!" seru Une.
"Oh, atau aku nyanyiin kamu lagu deh, di soundcloud. Biar kita lebih kelihatan unyu gitu," saranku yang menghasilkan satu pukulan ringan di lenganku dari Une.
"Ya udah, sini mana hp kamu," ucap Une. Aku menyerahkannya ponselku dan membiarkannya mengutak-atik isi ponselku. Kemudian, setelah ia temukan apa yang ia butuhkan, ia menyuruhku bernyanyi.
Kunyanyikan satu bait dari lagu cinta sederhana dari Bruno Mars "Just The Way You Are". Aku memang bukan seorang penyanyi, namun cinta tak perlu melodi yang merdu bukan? Cinta akan menerima kita apa adanya. Betul, kan? Apalagi Une, ia pasti maklum padaku.
"Oke, sebelumnya, maaf gue ngerusuh nih, di sini. Tapi, gue cuma mau bawain lagu spesial buat orang yang spesial juga, Une," ucapku di depan mikrofon ponselku sambil menatap Une. "Ini cuma satu bait aja, soalnya suara gue mahal. Nanti lo semua yang pada denger jadi naksir kan, kasihan cewek gue jadi tertekan."
"Baiklah, enggak pakai basa-basi lagi, ini dia..." beberku kemudian menyanyikan satu bait refrain dari lagu yang kumaksud tadi. Seusainya, Une tertawa dan tawanya terekam dalam rekaman ini. Aku ikut tertawa bersamanya. Tak lama, kami mengunggah klip suara ini dan menunggu sampai benar-benar selurugnya terunggah. Une langsung membeberkannya di berbagai media sosial lain. Nominal pengunjung pada situs Une itu semakin bertambah. Dari satu menjadi lima dab tumbuh menjadi sepuluh sampai nyaris terlalu banyak. Komentar-komentar juga masuk dan sebagian besar relatif sama. 'Duh, unyu bangeeetttt!!!!!', seperti itu rata-rata.

Camilan ringan untuk Une datang, kira-kira dua jam setelah aku dan Une sibuk bermain ponsel. Satu mangkuk bubur kacang hijau dan dua lembar roti tawar. Jenis makanan yang tak mungkin Une tolak. Akhirnya, aku memutuskan untuk menyuapi Une berhubung tangannya tak bisa seluruhnya berfungsi maksimal.
"Apa makanannya, Al?" tanya Une.
"Bubur kacang hijau sama roti tawar," jawabku. "Kamu kusuapin aja, ya."
"Ih, enggak usah. Aku bisa makan sendiri. Kayak anak kecil aja," balas Une. "Sini-sini."
Aku membawakan nampan berisi kedua jenis makanan itu dan meletakkannya ke meja makan khusus pasien.
"Disuapin aja," ujarku. Une tetap menggeleng. Aku menghembuskan nafas mengalah dan membiarkan Une berusaha makan sendiri.
Tak lama seseorang tiba-tiba masuk ke ruangan Une. Baik aku maupun Une sama-sama kaget melihat siapa yang datang. Zeus. Orang ini lagi. Mau apa dia ke sini? Mengganggu kenyamanan saja, terutama kenyamanan hatiku. Lagi pula, Une tak pernah mengharapkannya datang menjenguk. Langsung tekanan darahku naik.
"Ganggu ya, Ne?" tanyanya ketika sudah masuk ruangan.
Une buru-buru meneguk air yang tadi kuletakkan juga di meja itu dan membersihkan remah-remah roti yang ada di bajunya. Kemudian, ia menegakkan duduknya dan memberikan Zeus segaris lengkung senyumnya. Hal yang selalu bisa membuatku cemburu setengah mati. Melihat Une dan Zeus berdekatan di hadapanku, walaupun aku tahu mereka tak menyimpan apa-apa. Namun, perasaanku selalu tak pernah mau menerima dan memaafkan apa yang sudah Zeus lakukan pada Une. Lalu, kini ia datang lagi berusaha mengulang kisah yang dulu itu berharap akan menjadi semakin manis. Bukan aku tak percaya pada Une, tapi ini perihal Zeus. Harusnya, selain aku berusaha melindunginya, ia juga mau mencoba menutup diri untuk laki-laki itu. Aku sudah di sini.
"Enggak ganggu, kok. Cuma lagi makan aja," ucap Une. Tak ada ganjil yang menyelubungi ucapannya itu. Aku semakin merasa cemburu.
"Gimana? Udah baikan?" tanya Zeus masih seolah menghiraukanku dan menganggapku tak ada di sana.
Une tersenyum. "Udah. Ada Al yang jagain. Jadi, udah lumayan baik sekarang."
SKAKMAT, kawan. Gadis incaranmu baru saja mengakui dirinya lebih nyaman denganku di saat seperti ini. Aku merasa teramat bersyukur Une mengucapkan kalimat-kalimat itu. Setidaknya, aku tahu bahwa ia sudah benar-benar ingin menjaga jarak dari Zeus. Bahagia itu masih sederhana...
Zeus tersenyum. "Ini, gue bawain buah, bunga, sama roti buat lo, Ne."
Setangkai mawar putih yang nyaris sama persis dengan pemberianku. Une menyunggingkan senyumnya dan menyuruh Zeus meletakkan barang-barang itu di meja dekat kulkas dalam ruangan ini. Setelah meletakkannya, Zeus kembali berdiri di samping Une. Ia mendekat ke wajah Une. Kemudian, seolah tak sadar sudah melampaui batas, ia mengusap rambut Une lembut. Aku langsung menepis lengannya, nyaris menonjoknya. Emosiku sudah tak bisa kutahan lagi.
"Jaga tangan lo!" tegasku. "Dia cewek orang."
Une menggenggam lenganku. "Al, udah. Ze, lo lebih baik tarik kursi ke sini, biar enggak capek berdiri."
Zeus menepis balik tanganku. "Tapi, dia dulu cewek gue."
Aku tak mendengar ucapan Une. "Dulu. Sekarang dia bukan lagi. Silakan lo angkat kaki!"
Une menatapku berharap aku dapat meredam amarahku. Maaf Une, kali ini tak bisa. Zeus harus pergi.
Zeus berdehem. "Ne, gue balik dulu, ya. Istirahat. Jangan kebanyakan ngobrol sama ketawa. Biar cepat sembuh."
Sindirannya. Dia pikir aku mempan disindirnya? Permainan anak kecil!
"Iya. Makasih ya, Ze, udah jenguk. Salam buat sahabat lo yang dari Singapura itu," ucap Une seraya Zeus melangkah pergi.
Setelah manusia itu benar-benar tak terlihat lagi, Une menatapku kesal. Aku mendiamkannya, merasa sedikit marah padanya. Aku berhak, kan? Une milikku. Bukan lagi punya Zeus.
"Ini rumah sakit, Al. Dan aku lagi sakit," ucap Une. "Zeus datang aja, itu jadi doa kesembuhan buatku. Kamu enggak seharusnya bersikap kayak gitu ke dia."
Aku terkekeh. "Jadi, kalau nanti aku sakit kayak kamu, terus teman cewekku datang dan ngusap rambutku kayak tadi, kamu enggak akan marah? Walaupun kamu tahu, aku pacar kamu. Sahabat kamu."
Une terdiam. "Bukan gitu, Al. Oke, mungkin itu enggak pantas. Tapi, kamu seharusnya udah cukup dewasa buat jaga sikap. Seandainya, aku yang di posisi kamu, aku bakal jaga sikap. Enggak seemosi tadi. Sekali pun kamu pacar aku."
"Ya, Ne," balasku singkat. Tak ingin meneruskan pertengkaran ini karena jika aku yang menang, aku kehilangan Une. Jadi, sebaiknya aku kehilangan kemenanganku daripada harus kehilangan Une.
Kemudian, hening yang panjang. Aku tahu Une sakit hati dan sejujurnya, aku pun begitu. Aku menjauh darinya dan pindah ke sofa di depan televisi. Belum saatnya bermanis lagi pada Une. Kami butuh damai sesaat. Aku butuh berdamai dengan emosi yang memuncak di dalam batinku ini.
Ruangan hening dan hanya dipenuhi dengan suara orang bercakap-cakap dari dalam televisi. Aku pura-pura menikmati acara tanpa tujuan itu dan menahan rasa penasaranku akan apa yang sedang Une pikirkan. Ia masih membela Zeus tadi dan harusnya ia sadar di mana posisinya saat ini bagiku dan di mana posisiku saat ini untuknya. Aku marah, dan sekiranya aku berhak untuk marah.
Ponselku tak lama berdering. Nama Anita, lagi. Kenapa dia jadi terlalu sering menghubungiku?
"Halo?" aku mengangkat telepon dan menyapanya.
"Zal," panggilnya.
"Kenapa, Nit?" balasku.
Anita tertawa aneh. "Gue mau cerita sesuatu. Tadi enggak sempat karena masih ada June. Lo lagi enggak di dekat dia, kan?"
"Oh, enggak. Cerita aja," jawabku.
"Jadi, ceritanya adalah... Eh, tapi jangan gimana-gimana, ya," pinta Anita.
"Iya. Udah buruan cerita aja," balasku kesal.
"Salah enggak sih, tiba-tiba gue jadi ngerasa gimanaaaaaaaaa gitu ke Aqil?" tanya Anita nyaris membuatku tersedak. Aku tertawa mendengar ucapannya itu. Ternyata benar, akan ada kisah cinta lain di kelasku selain...selain aku-Une.
"Kok, bisa?" tanyaku.
Anita terkekeh. "Enggak tahu, Zal. Lagian juga, dianya aneh. Masa tiba-tiba tadi pas papasan pulang, justru nawarin pulang bareng. Kan, gue agak gimana gitu."
Aku tertawa. "Ya udah, santai aja. Gue enggak akan gimana-gimana. Tapi, lucu aja."
"Lucu apaan? Masa abis lo sama June, giliran gue sama Aqil yang jadian?" tanya Anita protes dan terdengar sangat defensif.
"Ya, memang kenapa? Enggak masalah kan, kita samaan," ucapku sambil tertawa-tawa. "Lagian, pasti keren juga kalau kita pergi bareng gitu. Jadi, enggak jomblo banget kan, lo?"
Anita tersedak. "Eh, sialan! Ya udah, cuma mau ngasih tahu itu aja. Gue mohon lo jangan bilangin Aqil. Toloooooooong banget, Zal. Jangan bilang dia."
"Iya, iya," balasku. "Ya udah. Thanks udah ngabarin, loh, Nit."
"Yoi! Diem-diem aja, ya!" serunya. Aku tersenyum kemudian berpamitan dan mengakhiri panggilan itu.
Aku menatap Une dan kini ia sudah terlelap tidur. Aku menghampirinya, ingin memberikan satu kecupan maaf di atas keningnya. Namun, ketika ingin melakukannya, Une mendadak pindah posisi. Aku mengurung niatku dan kembali duduk di depan televisi.
***
Pertengkaran kami menjadi cukup heboh. Aku bukan ingin membela Zeus. Namun, ini tetaplah rumah sakit di mana hal terakhir yang kubutuhkan adalah kerusuhan. Al baru saja hampir memulai kerusuhan. Dan, kupikir aku berhak marah atas tindakannya yang kekanak-kanakan. Apalagi caranya mengibaratkan tadi. Terdengar begitu egois dan sangat tidak pantas. Apa dia tidak sadar aku sakit hati dibuatnya? Terutama jawaban singkat darinya itu. Aku menarik nafas panjang saat ia berjalan menjauh menuju sofa di depan televisi ruanganku ini. Aku tak ingin berkeras kepala dengannya. Tak ingin memulai pertengkaran yang bisa mengakibatkan aku kehilangan dirinya. Lebih baik aku sakit hati sendirian daripada harus kehilangan Al dalam pertengkaran ini. Aku cukup mendiamkannya. Memperbolehkan setiap hening mengisi rongga-rongga udara ini.
Kemudian, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia menjawab panggilan itu. Semoga, bukan Anita. Aku tak mau dihujani perasaan cemburu di saat-saat seperti ini.
"Halo?" sapanya. "Kenapa, Nit?"
Ya Tuhan, kenapa harus Anita?! Rasa itu kembali muncul. Aku mencuri dengan ucapan-ucapan Al. Setiap responnya. Tawanya setelah Anita berkata sesuatu di seberang sana yang tak cukup keras untuk kudengar dari sini.
"Ya, memang kenapa? Enggak masalah kan, kita samaan," ucap Al di antara percakapannya. "Lagian,  pasti keren juga kalau kita bareng gitu. Jadi, enggak jomblo banget kan, lo?"
Maksud Al apa? Bersama berdua dengan Anita? Oh, setelah membuatku sakit hati, kini ia menginjak-injak perasaanku? Aku mencoba untuk tenang. Ucapan-ucapan Al setelah kalimat itu ibarat seperti angin lalu. Aku meredam emosiku sendiri. Kini, aku benar-benar tidak ingin berbicara dengannya. Tidak setelah ucapannya pada Anita itu. Terserah kini sekarang apa statusku dengannya, yang jelas aku belum mau lagi berurusan dengannya.
Aku berusaha menidurkan diriku sendiri sebelum Al selesai berbicara pada Anita. Kemudian, percakapannya usai. Aku memejamkan mataku secara paksa, mencoba membuat Al mengerti kalau aku sudah tidur. Padahal, nyatanya aku terlalu sakit untuk menatapnya setelah ucapannya pada Anita tadi. Kamu menyebalkan, Al! Sungguh menyebalkan!
Kemudian, aku merasakan deru nafas Al di atas keningku. Semakin dekat dan hangat. Aku mengganti posisi tidurku. Cukup. Aku butuh rehat dan aku belum mau berbicara padamu, Al. Tidak sekarang bahkan mungkin tidak sampai besok.

Ternyata usahaku untuk berpura-pura tidur malah membuatku benar-benar terlelap. Aku terbangun dan menemukan Al duduk di samping ranjangku. Tidak seperti kami yang berjarak tadi. Lalu, ucapan Al pada Anita terulang kembali di benakku. Seketika aku merasa tak ingin berbicara padanya. Rasa sakit hati memang butuh waktu untuk sembuh.
"Udah bangun?" tanya Al hendak merapikan rambutku. Aku berpaling. Terdengar hembusan nafas dari Al. Hembusan nafas kecewa.
Kemudian, hening kembali merasuki udara-udara di sekitarku. Al menunduk dan menutupi kepalanya dengan lengannya yang bertengger di atas pagar tempat tidurku. Pasti tadi ia menaikkan tiang-tiang ini. Aku melirik Al yang masih menunduk. Aku merasakan sakitnya lebih dalam lagi. Bahkan sampai terasa hingga menyentuh mataku layaknya aroma bawang seperti pada hari di mana kami memasak waktu itu. Airmataku nyaris tumpah sesaat sebelum aku mengusapnya diam-diam. Al masih dalam posisinya. Ne, kuat!
Al mengangkat kepalanya kemudian berdiri. Ia menatapku lirih merangsang kembali airmataku yang tadi nyaris tumpah. Damn it, Al! Dan tanpa basa-basi aku menitikkan airmata. Aku benar-benar tidak kuat. Bahkan tidur tadi terasa sangat berat. Bukan malah ringan. Kontan, Al menghampiriku dan memelukku erat. Aku menumpahkan segalanya di atas dadanya di dalam dekapan hangatnya. Lengannya yang kekar dan bisepnya yang senantiasa melindungiku kini melingkari tubuh mungilku. Aku masih dalam posisiku. Terduduk dengan dua tangan terkulai lemas dan tangis tersedu-sedu yang belum akan reda. Al mengelus-elus rambutku dan memelukku semakin erat. Hatiku sakit, Al. Kupikir kamu tak akan menyakitiku seperti ini. Namun, kamu tetap laki-laki. Dan kodrat laki-laki pasti akan menyakiti perempuan di suatu saat dalam hidupnya. Sialnya, perempuan yang kamu sakiti adalah aku saat ini.
Tanpa sadar, aku juga bisa merasakan rasa bersalah yang menjalari tubuh Al. Ia mengecup ubun-ubunku, masih belum mau melepaskan dekapannya. Seolah ia tak mau lagi membiarkan udara di antara kami terisi oleh hening yang mencekam. Namun, kalau ia benar-benar merasa bersalah, mana ucapan maaf itu? Al bukan orang yang menunda ucapan maafnya. Aku tahu betul soal Al dan sifatnya itu.
Tak lama, Al melepaskanku. Kemudian, menangkup wajahku dalam kedua telapaknya. Ia mengusap airmataku yang mengering. Aku tetap melihat ke bawah karena tahu betul jika aku menatap balik ke dalam mata Al, maka aku akan kembali menangis.
"I'm sorry. I'm really sorry and I mean it," ucap Al tulus dan lirih. "Aku bodoh, Ne. Harusnya aku enggak seanak-anak tadi. Aku minta maaf. Aku enggak mau lagi kita kayak tadi. Aku janji lain kali aku bakal nahan emosi aku."
Aku menarik nafas dan memaksakan senyum. Lalu, aku mengangkat wajahku dan menatap Al. Ya, selalu terlihat ketulusan dalam bola matanya. Aku tak pernah bisa melihat kebohongan di balik bola mata indah itu. Al yang selalu tulus dan selalu memegang janjinya. Al yang selalu ada buatku dan yang selalu takut mengecewakanku, membuatku nangis. Al yang selalu tak pernah mau kehilanganku.
"Aku juga minta maaf, ya, Al," balasku kemudian meraih jemari Al. "Aku akuin aku salah membela Zeus tadi. Aku akuin kamu sensitif soal Zeus dan aku. Tapi, aku akuin juga aku cemburu, Al. Aku cemburu sama kamu dan Anita. Apapun itu yang kalian bicarakan yang mungkin enggak pantas aku cemburui. Tapi, faktanya, aku cemburu. Egois, ya? Aku cuma mau kamu sadar posisi kamu sekarang sama aku."
Al tersenyum. "Anita? Kamu cemburu sama dia? Enggak perlu, Ne. Enggak ada yang perlu kamu cemburui. Aku sama Anita cuma teman. Aku sama kamu kan, bukan teman. Kita lebih dari itu dan aku enggak mungkin sayangnya malah ke Anita. Dan aku minta maaf kalau sikapku ke dia memang benar-benar bikin kamu cemburu. Aku minta maaf, Ne."
Kini akulah yang tersenyum. Aku mengalungkan lenganku di leher Al, berusaha memeluknya. Ya, aku tak mau kehilangan Al sebagaimana Al tak pernah mau kehilangan aku. Karena ketika Al hilang, maka Une akan hilang bersamanya. Al-lah yang membuatku bisa menemukan diriku sendiri dan menerima diriku sendiri dan memahami diriku sendiri. Aku tak mungkin mau kehilangan Al. Tidak sekarang, tak akan pernah.
"Kamu nginep aja ya, Al?" tanyaku setelah kondisi kami agak tenang. Al tersenyum.
"Aku sekolah, Ne. Kalau aku enggak sekolah, kamu enggak bisa dapat catatan. Aku juga sama," jawabnya. "Gini aja. Sampai kamu tidur, baru aku pulang. Mama pasti ngertilah aku habis dari mana."
Aku tersenyum. "Kalau gitu, enggak apa-apa, deh. Kamu pulang habis Maghrib aja. Nanti kamu kemaleman sampai rumah jadi kecapekan."
"Bener?" tanya Al. Aku mengangguk mantap dengan senyumku. Al kemudian mengacak-acak poniku. Arggghhhh!!!! Kebiasaannya yang ini kini mulai mengusikku.
"AL!" seruku. Al hanya tertawa.
"Kamu cantik kalau udah kesal. Nyebelin, tapi ngangenin," balas Al menyudahi kejahilannya.
"Gombal mulu. Bosen," ucapku. "Shalat sana! Udah Ashar."
"Siap, Une sayaaaang!" seru Al kemudian bergegas ke kamar mandi mengambil wudhu. Aku terkekeh sendiri. Ya, aku tak akan rela kehilangan Al. Tak akan.

Sunday, March 2, 2014

A Sampai Z, Kita Punya Cerita (17)

Posted by Unknown 0 comments
Chapter 3


3.1 "I watch every breath of his when he sleeps. It's heart-warming."

Aku menatap Une lembut kemudian mengusap keningnya tepat di mana tadi aku meletakkan kecupanku. Une tersenyum lemah, namun begitu tulus. Kami masih saling menggenggam satu sama lain seolah tak ada yang berniat ingin melepaskan.
"Kamu jangan terlalu capek, Al," ujar Une seraya mengelus punggung tanganku dengan ibu jarinya.
Aku tersenyum. "Enggak usah khawatir, Ne. Gue mana pernah sih, capek buat care sama lo."
Une terkekeh. "Kamu tuh, susah banget dibilangin Al. Nanti kalau aku sembuh terus kamu jadi sakit, gimana?"
"Ya, gantian, Ne," ucapku menghayati setiap kata 'kamu' yang keluar dari bibir Une. "Betewe nih, Ne, kok, ngomongnya jadi aku-kamu?"
"Emang salah, ya?" tanya Une polos.
"Enggak, sih. Unyu aja," jawabku jujur. Une tertawa. Melihatnya tertawa lagi adalah hal yang paling menyenangkan setelah beberapa jam terakhir dibuatnya khawatir.
"Kamu juga dong, manggil aku pakai panggilang unyu. Masa aku doang yang kayak gitu ke kamu?" pancing Une membuatku terkekeh.
"Iya, Une sayaaaang," balasku mengacak rambutnya. "Ya udah, kamu tidur aja. Aku bakal tetap di sini sampai Bunda sama Ayah kamu datang. Aku juga udah kabarin Mama sama Papa."
Une tersenyum. "Zeus mana?"
***
"Zeus mana?" tanyaku. Aku menanyakannya bukan karena aku ingin bertemu dengannya. Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih karena tadi sudah berkorban demi aku.
"Kok, nanyain dia sih, Ne?" balas Al sewot.
Aku tersenyum. "Kita harusnya berterima kasih sama dia, loh. Terutama aku. Coba tadi dia enggak sigap bawa aku ke rumah sakit. Pasti aku udah enggak tahu deh, kayak gimana."
Al menghembuskan nafas kesal. "Dia cuma cari kesempatan dalam kesempitan, Ne. Kamu gampang banget deh, percaya sama orang."
"Bukan gitu, Al. Aku enggak enak aja sama dia," jawabku. "You should learn something called thanking."
"Terus, kamu maunya gimana? Suruh dia masuk ke sini?" balas Al kesal, kini sudah tidak lagi menggenggam jemariku seperti tadi.
"Al," panggilku dengan nada bergetar. Melihat Al seperti ini menyiksaku. Mengapa ia jadi sangat sensitif setiap kali ada Zeus di dekatku? Bukankah ia sudah tahu dialah yang satu-satunya kusayangi saat ini? Apa dia tidak percaya?
"Apa?" jawab Al ketus. Wajahnya sudah sarat dengan amarah yang tertahan dan rasa gondok yang memuncak.
"Kamu marah?" tanyaku takut-takut.
Al menarik nafas panjang. "Enggak."
"Al?" panggilku lagi mencoba menguak jawaban yang lebih jujur dari Al.
"Iya, Ne. Aku marah," jawab Al akhirnya.
Aku menarik nafas panjang, lalu, "Oke, aku enggak akan nyuruh dia masuk ke sini. Aku enggak mau kamu marah. Aku cuma minta kamu temuin dia dan bilang makasih ke dia. Please, Al."
Al menghembuskan nafas. "Fine. Aku bakal ngasih dia lihat kamu. Tapi, aku juga mohon Ne, jangan lama-lama. Kamu sekarang tanggung jawab aku."
Aku tersenyum. Tak lama Al keluar menemui orang yang ingin aku temui saat ini. Mereka kembali berjalan berjauhan. Aku menatap Zeus.
"Ze, makasih, ya," ucapku.
"Anytime, Ne," balasnya singkat. "Bunda sama Ayah lo udah di luar. Gue juga harus balik lagi ke sekolah."
Aku tersenyum tulus. "Maaf ngerepotin, Ze."
"Enggak apa-apa. Cepat sembuh, ya," ujar Zeus kemudian berlalu.
Tak lama, kehadirannya digantikan oleh keadiran Bunda dan Ayah. Wajah mereka tak kalah khawatir dari wajah Al saat tadi menangkapku di sekolah ketika aku hampir pingsan. Bunda kaget hebat sampai-sampai langsung mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan aneh. Untung saja Dokter datang sebelum aku kembali kambuh karena rentetan pertanyaan Bunda. Aku sudah bisa dipindahkan ke kamar setelah Bunda menandatangani surat-surat administrasinya. Selama Bunda dan Ayah mengurusi itu, Al menemaniku mencoba membuatku tertawa.

Hari pertama di rumah sakit memang tak pernah menyenangkan. Aku harus menunggu kurang lebih delapan jam sampai bisa bertemu Al dan tugas-tugas yang ia salinkan untukku. Selain itu, paling hanya sarapan pagi dan makan siang serta makanan camilan di antaranya. Tak ada lagi yang bisa kulakukan dalam penjara infus ini. Bunda izin pulang ke rumah setelah aku selesai sarapan tadi. Aku dengan senang hati membiarkan Bunda kembali ke rumah karena aku tak ingin merepotkannya menungguiku di sini.
Ponselku bergetar di samping tempatku berbaring. Kulihat siapa orang yang berusaha mengisi kekosonganku di ruangan ini. Al. Memang selalu ia.
"Halo," sapaku ketika sudah mendengar suara di seberang sana lebih dulu memanggil namaku.
"Ne, hari ini pulang cepat, nih. Aku udah siap-siap mau jenguk kamu," beber Al dengan nada suara senang.
Aku tersenyum. "Iya, nih. Aku juga bosen banget sendirian di kamar cuma duduk, tidur, bengong, sama nungguin siapa gitu yang ngirimin pesan SMS atau paling nelpon."
"Cieee... Jadi, kamu kangen aku teleponin?" goda Al.
"Ih, kepedean banget sih, Al!" balasku malu-malu. Seandainya ia ada di sini, aku pasti tak berani mengangkat wajahku karena ada dua rona merah yang menghiasi kedua pipiku.
"Jam 11, insya Allah, aku ke sana. Kamu mau dibawain apa?" tanya Al.
"Terserah aja. Kamu ke sini nemenin aku juga aku udah senang," jawabku tulus.
Terdengar suara tawa Al. "Oke. Bentar lagi aku sampai sana. Nanti aku mau pamer sama suster-susternya kalau aku pacarnya kamu."
"Idih, ngapain? Malu-maluin tahu, Al! Nanti kalau susternya masuk ke kamarku terus setiap masuk jadi nanyain kamu gimana? Aku males banget jawab-jawab mereka," protesku.
"Enggak apa-apa," balas Al. "Biar lucu aja, Ne. Kita jadi pasangan romantis di seantero rumah sakit."
"Terserah, deh," balasku sambil terkekeh. "Buruan ke sini. Aku keburu kambuh gara-gara bosen sendirian, nih."
"Iya, iya," jawab Al. "Udah dulu, ya. Ini aku udah sampai motor. Kamu tunggu aja."
"Oke," jawabku kemudian kami mengucapkan sampai jumpa dan panggilan pun diputus.
Al memang tak pernah mengingkari janjinya. Aku tak perlu menunggu lama sampai ia datang dengan bunga. Ketika memasuki kamarku, beberapa suster menuntunnya seolah-olah ia tak tahu di mana kamarku berada. Mereka tersenyum sumringah melihat kedatangan Al dengan setangkai mawar putih untukku. Al! Mau diletakkan di mana wajahku yang mirip kepiting rebus ini?!
"Nona June, ini pacarnya datang bawa bunga!" seru salah seorang perawat dengan senyum merekah di bibirnya. "So sweet banget kayak di sinetron."
Aku menunduk malu. "Suster apaan, sih? Dia tuh, sebenarnya udah tahu kamar aku di mana. Kenapa suster masih mau aja dijahilin suruh nunjukkin jalan?"
"Enggak apa-apa, dong. Habis nih, ya, June, dia tadi bilangnya benar-benar enggak tahu kamar kamu di mana. Ya udah, kita antar saja," jawab perawat yang satu lagi.
"Tahu, Ne. Kamu mau aku kesasar bawa-bawa bunga kayak orang galau?" tambah Al menyudutkanku.
"Ih, tahu, ah," balasku kalah. "Ya udah, Sus, makasih, ya."
"Iya. Selamat pacaran!" seru perawat yang pertama. Aku terkekeh bersama Al.
Setelah kedua perawat itu keluar, Al menutupkan pintu dan memberikan aku mawar putih itu. Aku tersenyum dan menerimanya. Al kemudian menarik kursi ke dekat tempat tidurku dan duduk di sana sambil memandangiku.
"Bosan, ya?" tanyanya sambil menopang dagunya dengan kedua lengan di atas pagar tempat tidurku.
"Iya," jawabku singkat. "Kerjaanku cuma basuh muka, tidur, duduk, makan, ke kamar mandi. Paling nonton tivi."
Al tersenyum lalu meraih jemariku. "Cuma lima hari kok, di sini. Asal kamu istirahat pasti cepat dibolehkan pulang. Trust me."
Aku membalas senyum itu. "Iya, Dokter Al."
Al terkekeh. "Aamiin."
Kemudian hening. Hanya kami yang tenggelam dalam tatapan satu sama lain. Menikmati setiap lingkaran sempurna bola mata kami dan larut terhipnotis olehnya. Mata Al memancarkan sinar lelah namun terdapat sejuta binar yang setia menatap balik ke dalam kedua bola mataku. Garis wajahnya yang tegas dan rahangnya yang nyaris tirus sempurna membuat orang yang cinta detail sepertiku akan mudah jatuh cinta. Hidungnya yang memang tidak begitu mancung, namun tidak pesek juga bertengger di antara kedua mata indahnya. Bibirnya tipis khas seorang laki-laki serta kumis tipis mulai menjalari bagian di sekitarnya. Alis yang tebal dan hitam kecokelatan menghiasi kedua matanya yang sudah sangat indah. Aku tak pernah sebahagia ini menatap Al. Tak pernah seteliti ini mempelajari setiap sudut wajahnya. Dan kini ketika aku merasakannya, aku tak mau mantra aneh yang mengelabuiku ini berakhir. Aku ingin selamanya bisa menatap Al seperti ini dan menghitung setiap garis baru atau bahkan garis lama sekali pun yang ada di wajahnya. Menjadikan itu sebuah hobi yang akan berubah menjadi kebiasaan. Agar aku tetap bisa selalu jatuh cinta padanya. Pada kedua bola matanya yang indah dan tata wajahnya yang di mataku akan selalu sempurna.
"Kenapa? Ganteng, ya?" ucap Al memecah hening.
"Kamu tuh, kalau aku lihat-lihat lagi, sebenarnya enggak jelek," jawabku jujur seperti biasa selalu terbuka pada Al. "Alis kamu tebal, ada kumis tipisnya, terus meski enggak mancung-mancung banget, tapi gara-gara mata kamu tuh, kalau cewek mau lihat lebih dekat aja, pasti bakal jatuh cinta."
"Kayak kamu, ya?" balasnya menyunggingkan senyum jahilnya.
"Iya," jawabku apa adanya.
Al tertawa. "Kamu juga. Nih, ya, aku bisa sebutin satu per satu hal yang udah aku hafalin dari wajah kamu selama ini. Alis kamu yang agak tebal tapi sangat simetris, bibir kamu yang kecil tapi kalau udah marah berubah jadi lebar, terus hidung kamu yang enggak mancung-mancung banget, pipi kamu yang agak chubby, poni kamu yang bikin aku serasa selalu mau ngacak-ngacak aja gitu, bentuk muka kamu yang bagi aku nih, ya, perfecto banget. Dan terakhir yang bikin aku paling enggak kuat sama kamu tuh, mata kamu. Bulu mata kamu lentik banget meski kadang berantakan. Terus bola mata kamu yang kalau kita udah tatap-tatapan bakal kelihatan warna cokelatnya. Dan bintik-bintik bekas jerawat yang kadang kamu tutupin pakai poni tapi selalu kelihatan sama aku. Semua aku hafal. Dan enggak ada yang aku enggak suka."
Aku menunduk malu mendengar ucapan Al. "But I'm not pretty."
Al menghembuskan nafas. "To yourself, you aren't. But to me, you are the prettiest."
"Kamu tuh, jago banget gombal," balasku sambil menoyor wajah Al. "Kenapa disia-siain buat aku sih, yang dulu enggak pernah sadar sama perasaan kamu?"
Al menarik nafas. "Cinta tuh, sederhana, Ne. Sesederhana bahagia. Ketika kamu udah ngelihat orang yang paling kamu sayang bahagia, itu kadang udah cukup. Itu kadang cinta yang kamu butuhkan. Cuma itu. Dan cuma dari kamu, aku belajar teori itu."
Aku tersenyum. "Aku enggak pernah tahu kamu sedewasa ini."
"Ini momen yang mahal, Ne," balas Al sambil menegakkan duduknya.
Hening lagi. Kali ini aku memainkan jemari Al yang masih menggenggam dan mengisi sela-sela antar jari-jariku. Tangannya yang kasar khas anak tinju. Al mengeratkan genggamannya.
"Kalau aku yang sakit, kamu mau kayak aku gini ke kamu, Ne?" tanya Al lagi-lagi memecah hening.
"Pasti. Tapi, sebisa mungkin aku enggak akan biarin kamu sakit," jawabku. "Bukan karena aku enggak mau ngerawat kamu, tapi karena ngebayangin kamu sakit aja udah enggak banget. Apalagi beneran kejadian."
Al terkekeh. "Nanti coba, ah. Aku sakit biar kamu nemenin aku kayak gini di rumah sakit."
Aku menoyor kepala Al. "Di mana-mana orang mah, minta sehat. Kamu kok, malah minta sakit."
Al tertawa. Ia meraih kepalaku dan mengusap rambutku. Disibakkannya poniku yang menjuntai menghalangi mataku. Aku tersenyum padanya dan Al membalasku. Momen ini... Al benar, bahagia itu sederhana.
Ponsel Al tiba-tiba berdering. Kami melihat bersama siapa yang menghubunginya. Anita. Rasa aneh yang tak wajar merasuki hatiku. Aku bukan orang yang gampang cemburu, percayalah. Namun, setiap kali bersangkutan dengan Anita, rasa itu muncul. Mungkin sama bagi Al pada saat Zeus berada di dekatku. Bukan aku membenci Anita atau Anita memiliki rasa terhadap Al. Namun, aku mengetahui ada sesuatu di antara mereka yang tidak pernah Al ceritakan padaku dan itu membuatku cemburu.
"Halo, Nit," sapa Al setelah mengangkat panggilan itu. "Eh, ini lo di speaker dan ada Une di samping gue."
"Halo, Rizal! June!" sapa Anita. "Kelas sepi banget enggak ada lo, June tadi. Gue ke kantin jadi bareng Aqil, Dadan, sama Rizal. Berasa jomblo banget, deh."
Aku terkekeh. "Memang enggak ada apa anak cewek yang mau nemenin lo ke kantin?"
"Ah, pada sibuk sendiri. Atau bahkan pada nitip-nitip. Males gue," jawab Anita jujur. "Tadi, Fian dan kawan-kawan kalian tuh, nyariin lo, June. Gue jawab aja dirawat di rumah sakit. Mereka mau jenguk besok, kata Fian."
"Oh iya?" balasku. "Lo kapan jenguk gue, Nit?"
"Lusa, deh. Gue sibuk, nih. Saman lagi intensifnya latihan," jawab Anita membuatku tersenyum maklum. "Pacar lo tuh, June, ampun deh, heboh banget tadi mintain gue nyebutin rekomendasi toko bunga yang bagus."
"Nit, lo kenapa buka kartu gitu, sih?!" protes Al.
"Mumpung June dengar," balas Anita. "Katanya dia mau beliin lo buket bunga mawar putih kesukaan lo. Sumpah, so sweet banget kedengarannya. Tapi, tekadnya itu loh, bikin semua orang yang ada di sekitar dia repot. Gue disuruh nyatetin nomor toko bunga bagus yang ada di dekat sini pagi-pagi baru masuk. Ngeselin!"
Aku tertawa dan menatap Al tak percaya. Yang ditatap menutup wajahnya dan tertawa. Aku memukul lengannya pelan kemudian membisikkan ucapan terimakasih. Al mengacak-acak poniku membuatku menggeram.
"Iya, Nit, dia emang ngeselin banget!" tambahku kesal setelah rambutku acak-acakan.
"Kangen lo, June. Buruan masuk ya! Jangan lupa istirahat. Kalau Rizal datang, tidur aja. Anggap aja dia enggak ada. Biar lo bisa istirahat," ujar Anita sinis namun sarat canda.
Aku tertawa. "Iya, Mama Anita. Makasih, ya, udah nelpon."
"Iya. Eh, Zal, presentasi agama sudah gue kirim ke email lo buat June, ya," ucap Anita sebelum mengakhiri panggilan. "Kalian pacaran lagi, deh. Gue pamit dulu. Bye!"
Aku dan Al tersenyum dan membalasnya lalu mematikan ponsel. Al menggeleng seolah tahu apa yang ingin kutanyakan. Perihal bunga tadi.
"Hmm... Kata Anita mau bawa sebuket. Itu kok, cuma satu tangkai? Sisanya ketiup angin, Al?" godaku.
Al menunduk malu. "Bukan gitu, beb. Jadi, tadi aku mampir di toko yang udah nyatet pesananku. Eh, tahunya mawar putihnya yang satu buket kupesen justru dibayar orang lain dan diambil duluan. Disisain enam tangkai tadi. Aku beliin kamu yang paling bagus aja di antara sisa itu. Maaf, ya. Besok, aku siapin benar-benar satu buket buat kamu. Serius, deh."
Aku tertawa mendengar penjelasan Al. "Enggak usah. Nanti layu, jadi mubazir, Al. Kamu datang aja bawa diri, aku benar-benar udah senang banget."
Al mengusap wajahku. "Aku sayang kamu, Ne. Sayaaaaaaang banget, beb. Cepat sembuh, terus nanti kamu bakal aku ajak jalan-jalan lagi."
Aku terkekeh. "Aku juga sayang sama kamu, Al. Doain aja."
Al tiba-tiba menguap. Sorot matanya semakin lelah. Aku mengelus lengannya kemudian memintanya untuk tegak sebentar agar aku bisa menurunkan pagar tempat tidurku.
"Kamu istirahat sini. Tidur di sebelah aku. Nanti, kamu kecapekan malah gantian sakit," ujarku sambil menepuk-nepuk tempat kosong di samping pahaku. "Tidur aja. Aku enggak akan ganggu. Tadi, aku udah tidur mulu. Gantian kamu istirahat."
Al tersenyum. "Enggak apa-apa? Kamu enggak bosan?"
"Enggak, kok," jawabku apa adanya. Aku menggenggam jemari Al dan menyuruhnya tidur. Masih menggenggam tanganku, Al pun begitu cepat terlelap di samping kakiku di atas tempat kosong tadi.
Aku kembali mempelajari wajahnya. Bahkan saat tidur saja, Al bisa menghipnotisku. Aku sayang kamu, Al. Sayang banget sama kamu.

Wednesday, February 19, 2014

A Sampai Z, Kita Punya Cerita (16)

Posted by Unknown 0 comments
Chapter 2

2.8 "We almost knew what love was." -Ariana Grande ft. Nathan Sykes.

Aku masih dalam dekapan Al ketika lagu baru terdengar di pengeras suara. Layaknya Al, aku belum mau melepaskan dekapan ini walaupun kami sudah berdansa sekali mengikuti lagu sebelumnya. Hangat yang disalurkan Al melalui pelukannya benar-benar melindungiku. Aku menenggelamkan wajahku di dadanya berharap tak mengotori jasnya. Ingin sekali rasanya bisa jujur pada Al. Namun, keraguan masih merayapi hati dan pikiranku.
Lagu selesai dan baik aku maupun Al sama-sama merenggangkan pelukan kami. Al menatapku lama membuat jantungku seperti biasa berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
"Gue harap gue sabar menunggu lo, Ne," ucapnya pelan dan lembut. Aku tersenyum dan diam-diam berharap hal yang sama.

Dua hari setelah Pesta Dansa XII itu, tak ada komunikasi antara aku dan Al. Tidak ada pesan masuk yang memborbardir ponselku seperti sebelum-sebelumnya saat Al menuntut harus bertemu denganku. Tidak ada kunjungan yang serba tiba-tiba hadir di depan pintu rumahku mengusik ketenangan akhir pekanku. Terlebih, tidak ada ajakan yang mendadak untuk pergi menemaninya ke mana pun ia inginkan. Dan baru dua hari saja, aku sudah merindukannya.
"Non, sarapan dulu disuruh Nyonya," ujar Mbok Num menyadarkan lamunanku.
"Nanti aja, Mbok. Aku belum lapar," jawabku.
Aku pun kembali meringkuk menatap ponselku yang sudah 48 jam tak bersuara. Biasanya, pagi-pagi seperti ini ia akan menelponku hanya untuk mengatakan sesuatu yang tidak penting. Lalu, setelah frustasi menunggu sesuatu yang tak kunjung terjadi, aku memutuskan untuk kembali tertidur. Setengah berharap, aku berdoa agar orang yang kutunggu akan hadir saat aku bangun dari mimpi buruk ini.
***
Hari-hari setelah pesta dan dansa terakhirku bersamanya terasa sangat sunyi dan sepi. Harusnya pagi-pagi seperti ini aku sudah menelponnya hanya untuk sekadar mendengar suaranya yang masih mengantuk. Harusnya aku sudah menerima pesan masuk darinya yang mencaci maki diriku karena mengganggu akhir pekannya. Terlebih kepasrahannya akan ajakan-ajakan egoisku yang menyuruhnya segera bersiap untuk kubawa pergi seharian tanpa tujuan yang jelas hanya agar aku dapat menghabiskan waktu dengannya. Apa lagi hari-hari seperti ini. Dan yang terakhir, harusnya aku sudah menyuruh pembantunya menyuruhnya makan pagi walaupun aku tahu ia tak pernah begitu suka dengan sarapan.
Namun, pagi ini berbeda. Ponselku kubiarkan mati tanpa baterai agar aku tak ada niat untuk menelponnya. Padahal hati ini serasa ingin berteriak mengusik tidurnya karena aku ingin mendengar kekesalan dalam suaranya. Seharusnya malam itu tak kuucapkan kata-kata egois yang menandakan keserakahanku akan perasaannya. Seharusnya...
"Al, mau ikut Mama lari pagi, enggak?" tanya Mama setelah mengetuk pintu kamarku.
"Enggak, Ma. Al masih ngantuk," jawabku dengan intonasi yang seakan-akan aku benar-benar mengantuk.
"Ya sudah," balas Mama. "Kalau kamu bosan, minta Une ke sini aja."
Aku tertawa dalam hati mendengar ucapan Mama. Aku belum menceritakan apapun padanya tentang malam itu. Mendengarnya berkata seperti itu sesungguhnya sangat menyakitkan. Apa mau Une kusuruh kemari setelah semua yang terjadi?
***
Pomselku berdering membangunkanku dari tidur pulasku selama dua jam terakhir. Kulihat siapa yang begitu menyebalkan yang telah mengusik tidurku. Nama itu... Nama yang kutunggu-tunggu sejak pagi tadi. Akhirnya ia menelponku juga setelah selama itu. Aku langsung benar-benar duduk tegak sambil mengatur nafasku dan berdehem sebelum menjawabnya.
"Hmm?" jawabku setelah di seberang sana terdengar suaranya memanggil namaku. Gengsi ini masih mengganggu.
"Mama nyuruh lo nemenin gue di sini biar enggak bosen," jawabnya tanpa ekspresi. Aku melongos kecewa. Hanya itu?
"Emang nyokap lo ke mana?" tanyaku berusaha memperpanjang percakapan ini.
"Lari pagi menjelang siang," jawabnya singkat.
Aku menarik nafas. "Al, lo masih mikirin kejadian waktu itu?"
Hening...
"Lo sendiri?" tanyanya balik seperti biasanya. Ia tak pernah rela tersudut dengan pertanyaanku yang terasa begitu tepat.
"A little..." jawabku. A little too much, a little too often... sambungku dalam hati.
Al tertawa renyah. "Dan lo masih butuh waktu?"
Aku terdiam. Pertanyaan inilah yang selama dua hari semenjak ia mengungkapkan perasaannya yang selalu terngiang di kepalaku. Apa aku masih butuh waktu setelah begitu sering memikirkan ucapannya yang nampaknya tak pernah luput dari benakku?
"Enggak tahu, Al," jawabku jujur. "Gue ke rumah lo, deh. Kita ngobrol lagi. Gue...kangen lo usilin."
Iya, Al, aku kangen kamu usilin dengan berbagai perlakuanmu yang entah mengapa walaupun menyebalkan tapi begitu manis. Aku juga kangen caramu mengacak-acak rambutku tiap kali aku meledek atau mengucapkan sesuatu hal tentang dirimu. Aku kangen berada di sampingmu tanpa merasa secanggung malam itu. Aku kangen kamu dan ya, aku mencintaimu. Namun, aku juga butuh bantuanmu untuk menjawab keraguanku ini.
Al tertawa. "Ya udah ke sini aja, Ne. Lo mau dimasakkin apa?"
"Emang lo bisa masak?" tanyaku kaget.
"Enggak bisa. Makanya lo ke sini dulu bantuin gue masak," ujarnya seperti tak pernah ada kecanggungan di antara kami.
Aku terkekeh. "Okelah. Tunggu, ya."
Dan, aku pun dengan semangatnya bersiap-siap. Kuikat rambutku sekenanya dan kupakai baju yang tak muluk-muluk. Ini hanya Al dan ia tak akan mengejekku jelek.
***
Aku memutuskan untuk menelponnya setelah bertengkar dengan diriku sendiri. Aku kangen suaranya dan keputusan untuk membiarkan ponselku mati adalah pilihan bodoh! Kami bercakap seperti biasa lewat panggilan singkat ini. Akhirnya, aku bisa mendengarnya bicara lagi. Ia bertanya padaku perihal kejadian malam itu. Aku terdiam tak dapat banyak berbicara akan hal itu. Aku masih memikirkannya. Dari mulai insiden kecil di depan rumahnya hingga larut malam saat kuantar ia pulang. Aku masih mengingat dan mengulang semuanya sejak hari itu. Perkataanku dan keegoisanku. Gerakan kami di atas lantai dansa yang sangat lambat, namun begitu menghayati. Dekapanku yang dibalasnya dengan mantap. Serta kecupanku di keningnya saat selesai memberi tahunya rahasia besarku. Aku mengingat semuanya bahkan sampai di saat ia menangis di dalam mobilku. Semuanya... Tapi, yang kukatakan pada Une hanya pertanyaan balik yang menandakan betapa pengecutnya diriku.
"Lo sendiri?" tanyaku padanya.
"A little," jawabnya singkat. Ya, untuk apa dia memikirkan semua itu seperti aku?
Aku memaksakan tawaku dan melanjutkan obrolan kami. Ia memutuskan akan pergi ke rumahku siang ini. Kehadirannya di sini, apakah akan membawa perasaan canggung dan bersalah itu lagi?
"... Gue...kangen lo usilin," ucapnya di antara perbincangan kami.
Ya, ia tak pernah tahu betapa aku selalu lebih rindu pada dirinya dan pada kebiasaan usilku yang sering kutumpahkan padanya. Ia tak pernah tahu betapa aku ingin sekali selalu membuatnya kesal karena aku bisa melihat pesona aneh yang terpancar darinya setiap ia memukul lenganku atau menyipitkan matanya. Ia tak pernah tahu aku selalu lebih rindu padanya saat ia tak ada di dekatku walaupun hanya sekadar untuk meninggalkanku ke toilet atau untuk mengurusi kepentingannya yang lain. Ia tak pernah tahu.
Aku membiasakan diri dengan keadaan ini. Kupersilakan ia datang siang ini untuk mendiskusikan perasaannya padaku. Aku berjanji pada diriku sendiri tidak akan memaksakan apapun. Biarkan ia mencintai siapa pun, aku atau orang lain, karena cinta itu tak pernah berniat untuk menyakiti hati satu orang pun. Cinta itu bebas dan sederhana... Sesederhana melihat orang yang kita cintai bahagia walaupun tidak karena kita atau pun tidak untuk kita. Dan inilah yang harus kuyakini pada diriku sendiri. Aku mencintai Une dan apapun yang ia katakan nanti, aku akan membiarkannya memilih kebahagiaannya sendiri.
Une terkekeh. "Okelah. Tunggu, ya."
Always, Ne. Gue akan selalu menunggu lo...

Une datang tak lama setelah memutus panggilanku. Wajahnya kali ini lebih natural tanpa riasan apapun. Jenis cantik yang kusukai. Aku menyunggingkan ssenyum padanya ketika ia memasuki rumahku.

"Makan dulu ya, baru ngobrol," ucapku mengelakkan niat Une untuk membicarakan kejadian malam itu.
"Tadi kan, bilang ngobrol dulu," protesnya. "Kenapa? Lo risih sama gue? Lo enggak enak sama gue?"
Aku menautkan kedua alisku. "Tapi, itu udah gue siapin bahan masaknya."
"Al, lo gimana, sih? Sekali aja Al, gue minta lo serius sama perkataan lo," pinta Une. "Lo pikir gue enggak ngerasa gimana-gimana waktu lo ngomong gitu?"
Aku mengulang perkataan Une barusan dalam hatiku. Oke, satu hal yang terungkap kini bahwasannya Une risih padaku. Baiklah, Al, ini akan menjadi hari yang melelahkan.
"Kalau gitu, ngapain lo datang ke rumah gue?" balasku kesal. Kenapa pula aku kesal? Bukannya aku tak ingin memaksakan Une?
Une terkaget dan terbesir di matanya tatapan kecewa. "Lo masih sahabat gue. Mau gimana pun perasaan gue nanti, atau perasaan lo nanti, kita masih bersahabat, Al. Apa lo enggak menganggap gue seperti itu lagi?"
Aku menarik nafas panjang. "Oke, kita ngobrol dulu."
Une tersenyum lalu berjalan menuju meja makan. Ditariknya salah satu kursi makan agar ia bisa duduk di sana. Aku mengambil posisi berhadapan dengan Une. Santai saja, Al. Kau jujur bukan untuk merasa canggung...
"Gue juga suka sama lo," ucap Une sambil menundukkan kepalanya. Aku nyaris tak bernafas mendengarnya berkata seperti itu.
Une memendam rasa yang sama padaku. Ini bukan mimpi, kan? Kucoba menahan senyum bahagia dari wajahku agar aku tetap terkesan keren di hadapan Une. Aku hanya memberinya anggukan kecil. Sejujurnya, sama seperti orang yang jatuh cinta lainnya, hatiku bersorak bahagia.
"Tapi, gue enggak berani buat melepas persahabatan kita demi status yang bisa jadi enggak bertahan lama," sambung Une.
Aku tersenyum. "Sejujurnya, gue juga enggak berani. Pacaran sama cewek secantik lo."
Une tertawa lalu menendang kakiku yang berada tak jauh dari kakinya di bawah meja makan ini. Aku pura-pura meringis kesakitan. Une mendiamkanku, tahu kalau aku sedang berakting.
"Jadi, lo mau gimana sekarang?" tanyaku menyudahi gurauan singkat itu. Une mengangkat kedua bahunya memberikan jawaban yang begitu abu-abu.
"Enggak tahu, Al," jawabnya. "Lo sendiri?"
Aku menatap Une lalu lagi-lagi tersenyum. "Teman-teman kita udah tahu ini kita 'pacaran'. Kita lanjutin aja. Kali ini sepantasnya. Enggak ada canggung-canggung lagi."
Une mengangkat salah satu alisnya. "Dasar cowok! Modus!"
Aku tertawa. "Bukan gitu, Ne."
"Terus?" tanyanya.
"Di mata mereka, kita memang berpacaran. Tapi, lagi-lagi, ini bakal jadi rahasia," ucapku. "Di antara kita, cuma butuh satu. Dan itu adalah rasa saling memiliki. Gue enggak menuntut lebih."
Une tersenyum malu-malu. "Satu hal lagi."
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Enggak jadi," jawabnya semakin menambah rasa penasaranku.
"Ne, apaan?" tanyaku lagi.
Une tersenyum lagi kali ini dengan dua rona merah menghiasi pipinya. "Lo mungkin suka sama gue sejak pertama kali kita temenan. Jahatnya gue adalah gue selalu menyangkal perasaan suka gue ke lo, Al, selama kurang lebih beberapa bulan terakhir ini."
Aku terkekeh. "Cewek kalau udah jatuh cinta sama cowok ganteng tuh, pasti ngumpet-ngumpet."
"Idih, sok kegantengan banget sih, lo!" ledek Une. "Geli."
"Harusnya lo bersyukur, Ne," balasku. "Mantan lo aja enggak sesetia gue. Ubanan nih, nunggu empat tahun."
Une menyengir. "Ini kenapa gue sampai saat ini enggak mau berganti status sama lo. Gue takut kehilangan hal-hal kayak gini saat nanti kemungkinan buruk terjadi. Gue enggak siap kehilangan lo."
"Gue udah ngerasain kehilangan sahabat dan cewek yang gue sayang dua tahun lalu," ucapku. "Lo dan Zeus. Itu rasanya nyesek banget, Ne. Harusnya lo ganti rugi hati gue, nih."
Une mendengus kesal. "Enggak usah lihat-lihat uang lalu, Al. Lo mau gue gimana buat membetulkan hati Hello Kitty lo itu? Mau gue elus-elus? Atau gue peluk? Atau dicium?"
Aku tertawa. "Cium aja."
"Jangan, ah. Rabies," jawab Une. "Al, laperrrr..."
Aku tergelak mendengar jawaban Une barusan. "Masak, yuk! Kita masak bareng biar romantis."
Une tersipu, namun tetap mengindahkan perkataanku. Ia mulai sibuk pergi ke dapur mengumpulkan bahan-bahan yang akan dipakainya. Aku memerhatikan gerak-geriknya sampai ia sadar bahwa aku tak terlihat ada niat untuk membantunya. Ia menarik lenganku dan memaksaku untuk turun ke dapur bersamanya.
***
"Ne, masak sih, masak. Tapi, kenapa lo nangis gini?" tanya Al menatapku cemas. Bawang yang kuiris ternyata mengiris mataku jauh lebih parah. Bodohnya, aku mengusap airmataku dengan punggung tangan yang beraroma bawang. Bisa dibayangkan betapa perihnya...
"Ini bawangnya," ucapku lemah. "Pedih banget."
Al mendekat padaku dan melepaskan pisau dari tanganku. Ia menampung wajahku yang berlumur airmata dalam telapak tangannya. Kedua ibu jarinya mengusap lembut pipiku. Aku mengedip-kedipkan mata menyisakan rasa perih lainnya yang semakin menusuk-nusuk.
"Jangan dikedipin dulu," pinta Al. "Ini muka lo semua aromanya bawang. Kalau lo kedip, ya aroma itu lagi yang masuk ke mata."
"Abis perih banget, Al," rengekku.
"Ya udah, kita istirahat dulu masaknya," ucap Al. "Lo duduk dulu, gue ambil air dingin sama handuk kecil dulu buat bersihin aroma bawangnya dari muka lo."
Lalu, Al begitu saja pwrgi meninggalkanku. Iya, lebih baik dimanjanya seperti ini daripada harus mesra dan selalu bermanis-manis. Jika memang takdir kami disatukan, maka waktu itu akan datang. Bukan sekarang mungkin, namun pasti waktu yang tepat akan datang.
"Jangan protes apapun yang gue lakukan, ya," ujar Al membawa semangkuk air berisi es dan sehelai handuk kecil. "Merem!"
Aku melakukan yang diperintahkannya. Kupejamkan mataku dan memasrahkan wajahku pada Al. Terdengar perasan air. Al berdesis sesekali karena dingin.
"YA ALLAH! AL, INI DINGIN BANGET!" teriakku ketika handuk kecil yang ditangan Al menyentuh wajahku. Aku menepis tangannya.
"Gue bilang, jangan protes!" tegas Al.
"Tapi, ini dingin banget," rengekku nyaris menangis karena dingin yang mencubit ini. "Al, udaaaaahhhh..."
Al meletakkan handuknya itu, kemudian menangkup wajahku dalam telapaknya yang juga terasa dingin. "Hei, mau pedih lo hilang, kan? Enggak usah manja!"
Aku merengut, mengutyk Al dalam setiap hembusan nafasku. "Lo jahat banget. Sumpah."
"Gue jahat demi kebaikan lo," ucap Al diikuti sehelai handuk dingin yang mendarat di pipiku. Aku meringis kedinginan. Namun, aku tak dapat banyak berprotes. Al akan semakin marah dan malah tak kunjung jera akan rengekkanku.

Setelah insiden bawang itu, Al tak lagi memperbolehkan aku memasak di dapurnya apalagi mendekati bawang-bawang sialan ity. Ia memutuskan untuk memesan makanan cepat saji saja dan meninggalkan kerusuhan bsar di dapurnya. Ini bukan salahku dapur Al menjadi seberantakan itu. Ini murdi ide anehnya.
***
Tak lama setelah menyantap pesanan cepat saji pengganti kegagalan sesi masak kami, Une tertidur di sampingku sehabis kami menghabiskan waktu menonton film bersama. Wajah Une begitu lembut dan lugu. Pose tidurnya juga tidak berantakan. Aku menyingkirkan helai-helai rambut yang mengganggu matanya yang sudah tertutup ini. Une mulai bergerak mengagetkanku. Kukira ia akan bangun, tapi ternyata tidak. Aku tersenyum dan berjalan menuju kamarku untuk mengambilkan jaket agar tubuh Une dapat kututupi. Kuambil jaketku dan kembali turun untuk melakukan niatku. Di sebelah Une, aku perlahan-lahan diserang kantuk yang sama. Dan kami pun larut dalam mimpi masing-masing.

Kejadian setelah tidur siang kami hanya sekadar kedatangan Mama dan Papa. Une tak lama pulang dan aku menikmati malamku. Esoknya, hari baru tiba dan suasana hati baru juga datang menyambutku. Aku menjemput Une seperti biasa.
"Mas Al duduk dulu aja. Non Une masih siap-siap," ucap Mbok Num sesampainya aku di depan pagar rumah Une.
"Suruh cepetan dikit, Mbok," ucapku iseng.
"Loh, ini kan, baru jam setengah tujuh toh, Mas. Kenapa disuruh cepat-cepat?" tanya Mbok Num dengan ekspresi bingung membuatku tertawa.
"Biar Une panik," jawabku singkat.
Mbok Num menggelengkan kepalanya. "Mas Al ini ada-ada saja. Suka banget usil sama Non Une."
Aku tersenyum. "Une kalau diusilin lucu, Mbok. Al suka banget kalau dia udah ngambek."
Mbok Num terkekeh. "Pacaran kok, malah suka bikin ngambek? Eh, tapi kalian itu beneran pacaran, toh?"
"Menurut Mbok Num gimana?" tanyaku balik sambil mengedipkan sebelah mata.
"Wah, Mbok mah, setuju banget, Mas Al. Kalian cantik dan ganteng, jadi Mbok Num bilang sih, cocok," jawab Mbok Num memberikan senyum di wajahku. "Langgeng yo, Mas sama Non Une. Mbok panggil Non Une dulu."
Kemudian, aku ditinggal Mbok Num dengan senyum yang masih membekas di bibirku. Ya, Mbok, semoga kami benar-benar langgeng dalam hubungan ini. Beberapa menit setelah terdengar seruan Mbok Num untuk Une, orang yang dipanggil akhirnya muncul dengan wajah penasaran di hadapanku. Aku menatapnya tak mengerti.
"Itu Mbok Num kenapa senyam-senyum kayak gitu?" tanya Une seraya memakai helm.
Aku tersenyum simpul kemudian memakai helmku. "Kepo banget."
Une melayangkan tinjunya di lenganku. "Oh, jadi main rahasia-rahasiaan lagi. Oke, baiklah. Gue juga bakal main rahasia-rahasiaan."
Aku pun menaiki motorku dan menyuruh Une untuk bergegas naik juga. Setelah ia siap di posisinya, aku menarik kedua lengannya agar melingkar di perutku. Une terkesiap, namun tak ada tolakan darinya. Aku tersenyum di balik kaca helmku.
"Tapi, lo enggak bisa ngerahasiain perasaan lo sekarang, kan?" tanyaku dengan senyum puas yang tak bisa dilihat Une.
Une kini berusaha melepas pelukannya. Aku menahan tangannya seraya menghidupkan mesin motorku. Ia masih tetap berusaha hingga akhirnya menyerah. Lagi-lagi aku tersenyum puas. Kutancapkan gas agar kami lekas sampai di sekolah.
Tempat parkir sudah sarat dengan motor-motor lain. Sialnya, aku jadi harus memarkirkan motorku tepat di posisi yang tidak strategis. Aku menyalahkan Une yang superlelet untuk masalah ini. Ia menoyorku tapi kemudian meminta maaf. Aku mengacak-acak rambutnya seperti biasa membuat kekesalannya semakin menjadi. Une berusaha meraih rambutku, tapi kegagalan menghampirinya. Ia pun meninggalkanku seolah-olah marah padaku. Aku mengejarnya setelah menyimpan rapi helmku dan helmnya di motor.
Kurangkul Une yang sedang berjalan sendirian. "Jomblo banget ya, jalan sendirian."
Une mencoba melepaskan diri. "Apaan sih, lo?"
Aku menyengir. "Itu rambut makanya ditata yang rapi banget biar gue ngerasa bersalah udah ngacak-ngacak."
"Rambut-rambut gue juga! Lo aja tuh, resek banget," balas Une.
"Jangan marah, dong, Ne. Jelek," ucapku sambil merangkulnya lebih erat.
"Lo tuh, jelek!" ledek Une. "Jauh-jauh lo! Gue mau cari cowok lain aja yang enggak resek."
"Resek-resek kayak gini setia loh, Ne!" seruku ketika Une berhasil lepas dari rangkulanku dan sudah jauh berlari. "Jarang ada cowok yang kayak gitu!"
Une memberhentikan langkahnya lalu menoleh ke arahku. Ia menyipitkan matanya kemudian kembali meninggalkanku. Aku tersenyum puas. Lalu, kuputuskan untuk mengejarnya.
Kelasku saat ini ramai dengan berbagai cerita tentang malam Pesta Dansa itu. Une dan aku terdiam menikmati canggung kami lagi. Sesekali aku berani mengusilinya selagi ia tampak serius merapikan buku-bukunya. Kesempatanku menjadi semakin besar untuk mengganggu Une ketika aku sudah duduk di sampingnya.
"Al! Sana-sana! Gue mau belajar," erang Une seraya mendorong tubuhku menjauh darinya.
"Kok, gue-elo sih, Ne? Yang unyu, dong," protesku. "Kita kan, udah pacaran."
Une menoleh ke arahku dan meninju lenganku cukup kuat. Aku meringis kesakitan, namun tak cukup sakit untuk membuat Une khawatir. Ia hanya kembali menyibukkan dirinya sementara aku kembali memikirkan cara lain untuk mengganggunya.
"Ne, ajarin, dong. Enggak ngerti, nih. Kita belajar bareng aja, yuk!" ajakku sambil memohon-mohon pada Une.
Une menghembuskan nafas kesal. "Oke, tapi enggak ada iseng-isengan!"
Aku tersenyum lalu memberi Une hormat. "Siap, Komandan!"
Une membalasnya dengan menoyor kepalaku. "Katanya pacar, kok, jadi 'Komandan'?"
"Cieeeeeee! Akhirnya mau diakui juga, Ne," ledekku lalu melayangkan senyum pada Une sambil menyenggol lengannya. Une tersenyum malu-malu.
Aku mendengar suara Anita berdehem dari bangku yang ada di belakangku. Wajahnya tersenyum penuh arti. Une dibuatnya salah tingkah sehingga terus menunduk memendam wajahnya. Aku sendiri menyengir bahagia.
"Duh, bikin iri deh, yang pacaran sekelas," goda Anita. "Silakan, lanjutin aja. Biar gue mupeng di sini kayak orang galau."
"Makanya, Nit, harusnya lo jadiannya sama Aqil. Jangan sama yang lain biar enggak mupeng," ucapku asal. Tak lama yang dibicarakan datang sambil mengucapkan salam yang lantang.
"Assalamu'alaikum!" sapanya ketika memasuki kelas.
"Wa'alaikumsalam," balas anak-anak sekelas.
"Panjang umur, Nit. Pangeran lo datang," ucap Une mewakilkanku.
Anita bergidik kesal. "Lo jahat, June. Lama-lama kalian ngeselin, ya. Makin pacaran bukannya malah makin bikin happy."
"Qil," sapaku saat Aqil berjalan mendekatiku.
"Pasangan baru, ye? Bahagia banget," ucap Aqil seraya mengambil tempat duduk yang sudah diduduki Anita.
"AQIL! Please, deh! Lo enggak lihat apa gue udah duduk di sini?!" bentak Anita yang nyaris tertimpa Aqil.
Aqil menyumbat telinganya. "Maaf, Nit! Enggak lihat, santai aja, dong. Lo masih pagi udah jelek aja."
Kemudian kekesalan Anita meningkat karena Aqil menoyor kepalanya. Aku dan Une berbagi tawa. Anita memukul-mukul Aqil mencoba menghindar dari perlakuan temanku itu. Aqil justru dengan senang hati menjauhi Anita.
"Jauh-jauh lo dari gue, Qil! Alergi!" seru Anita tidak memperbolehkan Aqil duduk di bangkunya.
"Apa-apaan lo! Ini bangku gue juga," protes Aqil.
"Gini aja. Kalian buat perjanjian duduk," ujarku. "Jatah Anita cuma sebatas bangkunya dan kolong meja bagian dia. Aqil juga gitu. Kalau ada yang melebihi itu, berarti kalian harus sharing laci dan kolong meja selama tiga hari."
Aqil menyipitkan matanya. "Bro, lo jadi kenapa jahat gitu sama gue?"
Anita menganga. "Ogah banget, deh, Zal. Sharing laci sama anak ini?! Ya Allah Gusti! Bisa-bisa barang-barang gue tuh, lewat semua. Kandas!"
"Makanya, kalian coba dulu," tambah Une mendukungku. "Ini namanya permainan kepercayaan, Nit. Lo harus mempercayai Aqil buat enggak ngambil jatah lo. Dan Aqil juga begitu. Itu kalau kalian enggak mau sharing."
Aku tersenyum. "Benar banget nih, my baby cantik."
Une menatapku jijik. "Apaan sih, Al!"
Aku mencolek dagu Une. "Jangan salting gitu, ah. Lama-lama mirip Anita."
"Oke, FINE!" ucap Anita. "Kita coba ide gila lo ya, Zal."
Aqil menghembuskan nafas kecewa. "Oke, gue enggak takut. Sampai lo yang ternyata duluan menyentuh teritori gue, gue cium lo!"
Anita menampar Aqil. "GELI!"
Aku dan Une lagi-lagi tertawa melihat tingkah teman-teman kami. Aqil menyengir pada Anita yang wajahnya penuh dengan kekesalan dan rasa jijik yang memuncak. Cinta itu sederhana, namun bisa menjadi rumit ketika menabrak pasangan yang salah...
***
Jam pelajaran keempat baru saja dimulai setelah sempat terpotong pengumuman berdurasi limas belas menit dari kepala sekolah. Kepalaku mendadak pusing hebat dan membuatku tak bisa berkonsentrasi belajar. Aku terus menunduk di samping Al sambil sesekali memijat keningku sendiri. Al memerhatikanku. Sesekali mau bertanya ada apa, namun aku menjawab bahwa aku masih baik-baik saja. Kami lewati dua jam pelajaran bersama di mana selama itu juga aku berusaha sekuat tenaga menahan pusing yang tiba-tiba itu.
Istirahat akhirnya datang. Anita mengajakku pergi ke kantin. Mencoba menghiraukan rasa sakit kepalaku, aku menurutinya. Tak lama aku melihat Al dan Aqil mengekor dari belakang. Selagi aku berjalan, sekelilingku terasa seperti bergetar layaknya sedang gempa hebat. Aku tak kuat lagi menahan dan tubuhku lunglai. Kesadaranku masih ada, hanya saja kepalaku terasa sangat berat.
"Une!" terdengar suara Al berteriak di belakangku dan langkah kakinya yang panjang. Lengannya menangkapku ketika aku nyaris terhuyung jatuh menyentuh tanah.
"June," panggil Anita ketika Al berhasil menangkapku di tangannya. Aqil mengulang panggilan Anita dengan wajah yang khawatir.
"June, muka lo pucat banget," ucap Aqil yang segera membantu Al memegangiku.
"Ne, lo gue antar pulang sekarang," ujar Al tegas. "Qil, lo tolong dong, ke BK minta surat izin buat Une dan gue. Bilang aja Une pingsan."
Aku menarik nafas yang terasa sesak. "Al, tapi kan, tadi kita berangkat pakai motor."
"Oh, iya!" seru Al kesal. "Qil, lo bawa mobil, enggak?"
"Enggak. Tapi, tadi gue lihat Dadan bawa," beber Aqil. "Gue sekalian ke dia, deh. Pinjam kunci sama STNK dan sebagainya."
"Enggak perlu!" ucap seseorang lainnya. "Une biar gue aja yang bawa ke rumah sakit. Gue tadi bawa mobil, kok."
Al menoleh ke arah sumber suara. Aku melihat Zeus berdiri gagah tak jauh dari posisiku saat ini. Wajah Al mengeras dan memelukku lebih erat seakan tak mau kehilangan diriku pada orang yang sama lagi. Aku terlalu lemas untuk membalas pelukan itu.
"Enggak," bantah Al. "Une cewek gue sekarang. Enggak ada hak buat lo dekat sama dia apalagi sampai nyentuh dia. Ne, lo pulang sama gue pakai mobil Dadan."
Zeus menghembuskan nafasnya lalu mendekat. "Lo masih mau buat dia nunggu jawaban dari teman lo itu dengan kondisi dia yang kayak gini? Sementara gue dengan sangat terbuka mau memberikan dia tumpangan pulang?"
"Al," rintihku.
"Une, please, lo masih kuat, kan?" tanya Al khawatir. Aku menggeleng bukan untuk membuat Al tersudut karena ucapan Zeus, melainkan karena aku sudah benar-benar tidak sanggup untuk menunggu. Al menghembuskan nafasnya.
"Gue pulang sama Une," tegas Al pada Zeus.
Lalu, setelah perdebatan singkat yang membuatku semakin susah bernafas itu, Al menggendongku sampai ke mobil Zeus. Ia bersikeras menopang kepalaku di jok belakang sedan Zeus ini selagi pemilik mobil membawa kami ke rumah sakit terdekat. Nafasku semakin pendek dan kepalaku seolah-olah penuh dengan udara yang terasa berat. Kaki dan tanganku dingin. Aku meremas jemari Al memintanya berbagi rasa dingin yang menjalari tubuhku ini.
Al mencium buku-buku jemariku. "Ne, stay with me."
Aku berusaha menyunggingkan senyum lemah pada Al. "Al...susah na...fas."
"Coba lo tegakin badannya," ujar Zeus sambil mengemudi. "Biar udara di tubuhnya ngalir."
Al melakukan saran Zeus dan menegakkan tubuhku dan menyenderkanku di dadanya. Setengah memelukku, ia ikut membantuku mengatur nafasku yang semakin sesak. Pandanganku sudah abu-abu dan kunang-kunang. Tak lama semua menghitam.
***
"Al...susah na...fas," keluhnya dengan senyum menghadapku. Rasa khawatir dalam diriku memuncak melihat gadis yang teramat kusayang kesakitan seperti ini. Andai ia dapat membagi sakitnya padaku yang insyaAllah lebih kuat...
"Coba lo tegakin badannya," ujar Zeus yang nyaris kuanggap tak ada sejak tadi. "Biar udara di tubuhnya ngalir."
Aku menegakkan tubuh Une dan membiarkannya bersender di dadaku tanpa peduli beban yang akan menimpa bagian depan tubuhku. Aku memeluknya, namun berhati-hati untuk tidak menahannya untuk bernafas. Dalam hati aku berdoa agar Une tetap bersamaku, dalam keadaan sadar, sampai ia menjumpai ranjang rumah sakit. Namun, Tuhan berkata lain. Une tak lama memejamkan mata dan aku tahu Une sudah tak sadarkan diri.
"Ne," panggilku sambil menepuk-nepuk lengan Une. Rasa panik menjalari sekujur tubuhku.
"Ne! Une bangun," ucapku sekali lagi. "Zeus, berapa lama lagi?"
"Satu belokan lagi," jawabnya.
Setelah melewati belokan yang dimaksud, kami pun sampai. Baik aku maupun Zeus sama-sama tak ambil pusing dan langsung membawa Une ke IGD. Dengan sigap perawat beserta satu satpam mengangkat Une dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang rumah sakit. Aku dan Zeus ikut bersama mereka. Dalam kondisi apapun, aku tetap memegang janjiku untuk tak membiarkan Zeus mendekati Une, sekali pun itu darurat. Aku harus menjaga Une karena kini Une tanggungjawabku sebagai sahabat dan orang yang memiliki hatiku. Bukan Zeus lagi.

Tiga puluh menit menunggu di luar ruang gawat darurat rumah sakit bersama seseorang yang paling kau benci adalah hal teramat tidak menyenangkan bagi seseorang. Namun, aku menjalaninya sedari tiga puluh menit yang lalu. Wajah Zeus tak kalah cemas dengan wajahku. Setelah Une masuk dan dijalari infus tadi, aku langsung menelpon kedua orangtuanya beserta orangtuaku. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda kehadiran mereka.
"Udah lo hubungi orangtuanya?" tanya Zeus memecah hening yang lama menyelimuti kami. Aku cukup mengangguk.
"Kalau mereka datang, gue harap lo pulang," ujarku tegas. Zeus menghembuskan nafasnya yang sarat dengan rasa kesal.
"Oke," jawabnya singkat.
Dokter yang saat ini menangani Une akhirnya keluar lagi setelah sebelumnya sempat memintai keterangan tentang Une dan hubunganku beserta Zeus dengan Une. Ia memperbolehkan kami masuk. Seolah mengerti atau mungkin hanya gestur kesopanan, Zeus mempersilakan aku melihat Une terlebih dahulu. Aku pun masuk ke bilik tempat Une masih beristirahat. Une sudah sadar.
"Kamu boleh di sini, temani dia. Tapi, jangan bikin dia capek atau jangan bikin ribut, ya," ujar sang Dokter.
Aku tersenyum lemah. "Une sakit apa, Dok?"
"Dia mengalami shock karena diduga tadi kondisi lambungnya kosong dan seperti orang maag. Sakitnya itu sudah di batas kekuatan si pasien," jelas Dokter itu. "Karena tidak sanggup menahan sakitnya lagi, nafas dan tekanan darahnya semakin sesak dan semakin turun hingga tadi tak sadarkan diri sebentar. Nah, makanya kamu jangan banyak ajak dia bicara atau berpikir dulu. Nanti bisa memicu lagi."
Aku mengangguk-angguk, sedikit banyak mengerti semua penjelasan Dokter itu. Kulihat wajah Une yang saat ini sudah tidak sepucat sebelumnya. Ia masih bisa menyunggingkan senyum untukku dan sang Dokter dalam kondisinya seperti itu. Mau tak mau aku menggelengkan kepala dan merasa ingin tertawa. Gadis ini...
"Ya sudah, kamu silakan temani dia," ucap Dokter. "Kalau ada apa-apa, kasih tahu perawatnya saja."
Aku memberikan Dokter itu senyumku. "Makasih ya, Dok."
Setelah itu, kudekati Une dan duduk di kursi kecil sebelah ranjang Une. Aku meraih jemarinya dan tanpa ragu ia membalas genggamanku. Aku memperlihatkan Une senyumku yang sudah sangat lemah. Melihatnya terbaring dengan segala macam selang dan tusukan infus serta alat-alat lainnya sungguh menyiksa diriku sendiri. Apalagi harus menunggu setengah jam bersama kabut dalam kepalaku sendiri tanpa bisa mengetahui keadaannya. Tuhan, syukurlah Une sudah sadar.
"Al," panggil Une lemah. Aku mendekatkan wajahku dan menenggerkan daguku di tiang ranjang.
"Apa, Ne?" balasku lembut seraya mengelus-elus punggung tangannya.
Sebelum menjawab, ia tersenyum. "Maaf ya, jadi ngerepotin dan ngebuat kamu khawatir."
Giliranku tersenyum. "Ne, enggak usah dipikirin. Gue direpotin, ngehawatirin, bahkan kalau perlu ngejagain lo tuh, udah jadi agenda gue. Lo enggak perlu minta maaf, Ne. Gue sayang sama lo."
Une menarik nafasnya yang masih terdengar sesak. "Gue... Aku juga sayang sama kamu, Al. Makasih, ya."
Aku tersenyum mendengar ucapan Une. Khawatirku, resahku, panikku, semua kabut dalam benakku terasa seperti telah diangkat setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Une itu. Aku menatap Une tulus dan mencari dusta yang mungkin tersimpan di sana di balik kata-kata manis itu. Tidak ada. Kali ini Une benar-benar mengucapkan kata-kata itu apa adanya.
"Lo kan, sudah pasti dirawat nih, Ne," beberku. "Jadi, nanti pas dirawat, lo enggak perlu khawatir sama tugas dan ulangan atau catatan. Gue bakal nge-back-up semuanya buat lo dan setiap hari gue bakal pulang ke sini nemenin lo. Janji."
Une tersenyum lemah. "Iya, iya. Sekali lagi, makasih banyak ya, Al."
Aku mencium punggung tangan Une. Kemudian, aku mendekat ke wajahnya dan mengecup keningnya lama. Cepat sembuh, Ne. Melihat lo sakit sebenarnya juga menyakitkan. Namun, di antara kita, harus ada yang lebih kuat. Dan saat ini, itu tugas gue.

Blog List

 

Re-A-Lis-Tic Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos