Sunday, March 2, 2014

A Sampai Z, Kita Punya Cerita (17)

Posted by Unknown 0 comments
Chapter 3


3.1 "I watch every breath of his when he sleeps. It's heart-warming."

Aku menatap Une lembut kemudian mengusap keningnya tepat di mana tadi aku meletakkan kecupanku. Une tersenyum lemah, namun begitu tulus. Kami masih saling menggenggam satu sama lain seolah tak ada yang berniat ingin melepaskan.
"Kamu jangan terlalu capek, Al," ujar Une seraya mengelus punggung tanganku dengan ibu jarinya.
Aku tersenyum. "Enggak usah khawatir, Ne. Gue mana pernah sih, capek buat care sama lo."
Une terkekeh. "Kamu tuh, susah banget dibilangin Al. Nanti kalau aku sembuh terus kamu jadi sakit, gimana?"
"Ya, gantian, Ne," ucapku menghayati setiap kata 'kamu' yang keluar dari bibir Une. "Betewe nih, Ne, kok, ngomongnya jadi aku-kamu?"
"Emang salah, ya?" tanya Une polos.
"Enggak, sih. Unyu aja," jawabku jujur. Une tertawa. Melihatnya tertawa lagi adalah hal yang paling menyenangkan setelah beberapa jam terakhir dibuatnya khawatir.
"Kamu juga dong, manggil aku pakai panggilang unyu. Masa aku doang yang kayak gitu ke kamu?" pancing Une membuatku terkekeh.
"Iya, Une sayaaaang," balasku mengacak rambutnya. "Ya udah, kamu tidur aja. Aku bakal tetap di sini sampai Bunda sama Ayah kamu datang. Aku juga udah kabarin Mama sama Papa."
Une tersenyum. "Zeus mana?"
***
"Zeus mana?" tanyaku. Aku menanyakannya bukan karena aku ingin bertemu dengannya. Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih karena tadi sudah berkorban demi aku.
"Kok, nanyain dia sih, Ne?" balas Al sewot.
Aku tersenyum. "Kita harusnya berterima kasih sama dia, loh. Terutama aku. Coba tadi dia enggak sigap bawa aku ke rumah sakit. Pasti aku udah enggak tahu deh, kayak gimana."
Al menghembuskan nafas kesal. "Dia cuma cari kesempatan dalam kesempitan, Ne. Kamu gampang banget deh, percaya sama orang."
"Bukan gitu, Al. Aku enggak enak aja sama dia," jawabku. "You should learn something called thanking."
"Terus, kamu maunya gimana? Suruh dia masuk ke sini?" balas Al kesal, kini sudah tidak lagi menggenggam jemariku seperti tadi.
"Al," panggilku dengan nada bergetar. Melihat Al seperti ini menyiksaku. Mengapa ia jadi sangat sensitif setiap kali ada Zeus di dekatku? Bukankah ia sudah tahu dialah yang satu-satunya kusayangi saat ini? Apa dia tidak percaya?
"Apa?" jawab Al ketus. Wajahnya sudah sarat dengan amarah yang tertahan dan rasa gondok yang memuncak.
"Kamu marah?" tanyaku takut-takut.
Al menarik nafas panjang. "Enggak."
"Al?" panggilku lagi mencoba menguak jawaban yang lebih jujur dari Al.
"Iya, Ne. Aku marah," jawab Al akhirnya.
Aku menarik nafas panjang, lalu, "Oke, aku enggak akan nyuruh dia masuk ke sini. Aku enggak mau kamu marah. Aku cuma minta kamu temuin dia dan bilang makasih ke dia. Please, Al."
Al menghembuskan nafas. "Fine. Aku bakal ngasih dia lihat kamu. Tapi, aku juga mohon Ne, jangan lama-lama. Kamu sekarang tanggung jawab aku."
Aku tersenyum. Tak lama Al keluar menemui orang yang ingin aku temui saat ini. Mereka kembali berjalan berjauhan. Aku menatap Zeus.
"Ze, makasih, ya," ucapku.
"Anytime, Ne," balasnya singkat. "Bunda sama Ayah lo udah di luar. Gue juga harus balik lagi ke sekolah."
Aku tersenyum tulus. "Maaf ngerepotin, Ze."
"Enggak apa-apa. Cepat sembuh, ya," ujar Zeus kemudian berlalu.
Tak lama, kehadirannya digantikan oleh keadiran Bunda dan Ayah. Wajah mereka tak kalah khawatir dari wajah Al saat tadi menangkapku di sekolah ketika aku hampir pingsan. Bunda kaget hebat sampai-sampai langsung mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan aneh. Untung saja Dokter datang sebelum aku kembali kambuh karena rentetan pertanyaan Bunda. Aku sudah bisa dipindahkan ke kamar setelah Bunda menandatangani surat-surat administrasinya. Selama Bunda dan Ayah mengurusi itu, Al menemaniku mencoba membuatku tertawa.

Hari pertama di rumah sakit memang tak pernah menyenangkan. Aku harus menunggu kurang lebih delapan jam sampai bisa bertemu Al dan tugas-tugas yang ia salinkan untukku. Selain itu, paling hanya sarapan pagi dan makan siang serta makanan camilan di antaranya. Tak ada lagi yang bisa kulakukan dalam penjara infus ini. Bunda izin pulang ke rumah setelah aku selesai sarapan tadi. Aku dengan senang hati membiarkan Bunda kembali ke rumah karena aku tak ingin merepotkannya menungguiku di sini.
Ponselku bergetar di samping tempatku berbaring. Kulihat siapa orang yang berusaha mengisi kekosonganku di ruangan ini. Al. Memang selalu ia.
"Halo," sapaku ketika sudah mendengar suara di seberang sana lebih dulu memanggil namaku.
"Ne, hari ini pulang cepat, nih. Aku udah siap-siap mau jenguk kamu," beber Al dengan nada suara senang.
Aku tersenyum. "Iya, nih. Aku juga bosen banget sendirian di kamar cuma duduk, tidur, bengong, sama nungguin siapa gitu yang ngirimin pesan SMS atau paling nelpon."
"Cieee... Jadi, kamu kangen aku teleponin?" goda Al.
"Ih, kepedean banget sih, Al!" balasku malu-malu. Seandainya ia ada di sini, aku pasti tak berani mengangkat wajahku karena ada dua rona merah yang menghiasi kedua pipiku.
"Jam 11, insya Allah, aku ke sana. Kamu mau dibawain apa?" tanya Al.
"Terserah aja. Kamu ke sini nemenin aku juga aku udah senang," jawabku tulus.
Terdengar suara tawa Al. "Oke. Bentar lagi aku sampai sana. Nanti aku mau pamer sama suster-susternya kalau aku pacarnya kamu."
"Idih, ngapain? Malu-maluin tahu, Al! Nanti kalau susternya masuk ke kamarku terus setiap masuk jadi nanyain kamu gimana? Aku males banget jawab-jawab mereka," protesku.
"Enggak apa-apa," balas Al. "Biar lucu aja, Ne. Kita jadi pasangan romantis di seantero rumah sakit."
"Terserah, deh," balasku sambil terkekeh. "Buruan ke sini. Aku keburu kambuh gara-gara bosen sendirian, nih."
"Iya, iya," jawab Al. "Udah dulu, ya. Ini aku udah sampai motor. Kamu tunggu aja."
"Oke," jawabku kemudian kami mengucapkan sampai jumpa dan panggilan pun diputus.
Al memang tak pernah mengingkari janjinya. Aku tak perlu menunggu lama sampai ia datang dengan bunga. Ketika memasuki kamarku, beberapa suster menuntunnya seolah-olah ia tak tahu di mana kamarku berada. Mereka tersenyum sumringah melihat kedatangan Al dengan setangkai mawar putih untukku. Al! Mau diletakkan di mana wajahku yang mirip kepiting rebus ini?!
"Nona June, ini pacarnya datang bawa bunga!" seru salah seorang perawat dengan senyum merekah di bibirnya. "So sweet banget kayak di sinetron."
Aku menunduk malu. "Suster apaan, sih? Dia tuh, sebenarnya udah tahu kamar aku di mana. Kenapa suster masih mau aja dijahilin suruh nunjukkin jalan?"
"Enggak apa-apa, dong. Habis nih, ya, June, dia tadi bilangnya benar-benar enggak tahu kamar kamu di mana. Ya udah, kita antar saja," jawab perawat yang satu lagi.
"Tahu, Ne. Kamu mau aku kesasar bawa-bawa bunga kayak orang galau?" tambah Al menyudutkanku.
"Ih, tahu, ah," balasku kalah. "Ya udah, Sus, makasih, ya."
"Iya. Selamat pacaran!" seru perawat yang pertama. Aku terkekeh bersama Al.
Setelah kedua perawat itu keluar, Al menutupkan pintu dan memberikan aku mawar putih itu. Aku tersenyum dan menerimanya. Al kemudian menarik kursi ke dekat tempat tidurku dan duduk di sana sambil memandangiku.
"Bosan, ya?" tanyanya sambil menopang dagunya dengan kedua lengan di atas pagar tempat tidurku.
"Iya," jawabku singkat. "Kerjaanku cuma basuh muka, tidur, duduk, makan, ke kamar mandi. Paling nonton tivi."
Al tersenyum lalu meraih jemariku. "Cuma lima hari kok, di sini. Asal kamu istirahat pasti cepat dibolehkan pulang. Trust me."
Aku membalas senyum itu. "Iya, Dokter Al."
Al terkekeh. "Aamiin."
Kemudian hening. Hanya kami yang tenggelam dalam tatapan satu sama lain. Menikmati setiap lingkaran sempurna bola mata kami dan larut terhipnotis olehnya. Mata Al memancarkan sinar lelah namun terdapat sejuta binar yang setia menatap balik ke dalam kedua bola mataku. Garis wajahnya yang tegas dan rahangnya yang nyaris tirus sempurna membuat orang yang cinta detail sepertiku akan mudah jatuh cinta. Hidungnya yang memang tidak begitu mancung, namun tidak pesek juga bertengger di antara kedua mata indahnya. Bibirnya tipis khas seorang laki-laki serta kumis tipis mulai menjalari bagian di sekitarnya. Alis yang tebal dan hitam kecokelatan menghiasi kedua matanya yang sudah sangat indah. Aku tak pernah sebahagia ini menatap Al. Tak pernah seteliti ini mempelajari setiap sudut wajahnya. Dan kini ketika aku merasakannya, aku tak mau mantra aneh yang mengelabuiku ini berakhir. Aku ingin selamanya bisa menatap Al seperti ini dan menghitung setiap garis baru atau bahkan garis lama sekali pun yang ada di wajahnya. Menjadikan itu sebuah hobi yang akan berubah menjadi kebiasaan. Agar aku tetap bisa selalu jatuh cinta padanya. Pada kedua bola matanya yang indah dan tata wajahnya yang di mataku akan selalu sempurna.
"Kenapa? Ganteng, ya?" ucap Al memecah hening.
"Kamu tuh, kalau aku lihat-lihat lagi, sebenarnya enggak jelek," jawabku jujur seperti biasa selalu terbuka pada Al. "Alis kamu tebal, ada kumis tipisnya, terus meski enggak mancung-mancung banget, tapi gara-gara mata kamu tuh, kalau cewek mau lihat lebih dekat aja, pasti bakal jatuh cinta."
"Kayak kamu, ya?" balasnya menyunggingkan senyum jahilnya.
"Iya," jawabku apa adanya.
Al tertawa. "Kamu juga. Nih, ya, aku bisa sebutin satu per satu hal yang udah aku hafalin dari wajah kamu selama ini. Alis kamu yang agak tebal tapi sangat simetris, bibir kamu yang kecil tapi kalau udah marah berubah jadi lebar, terus hidung kamu yang enggak mancung-mancung banget, pipi kamu yang agak chubby, poni kamu yang bikin aku serasa selalu mau ngacak-ngacak aja gitu, bentuk muka kamu yang bagi aku nih, ya, perfecto banget. Dan terakhir yang bikin aku paling enggak kuat sama kamu tuh, mata kamu. Bulu mata kamu lentik banget meski kadang berantakan. Terus bola mata kamu yang kalau kita udah tatap-tatapan bakal kelihatan warna cokelatnya. Dan bintik-bintik bekas jerawat yang kadang kamu tutupin pakai poni tapi selalu kelihatan sama aku. Semua aku hafal. Dan enggak ada yang aku enggak suka."
Aku menunduk malu mendengar ucapan Al. "But I'm not pretty."
Al menghembuskan nafas. "To yourself, you aren't. But to me, you are the prettiest."
"Kamu tuh, jago banget gombal," balasku sambil menoyor wajah Al. "Kenapa disia-siain buat aku sih, yang dulu enggak pernah sadar sama perasaan kamu?"
Al menarik nafas. "Cinta tuh, sederhana, Ne. Sesederhana bahagia. Ketika kamu udah ngelihat orang yang paling kamu sayang bahagia, itu kadang udah cukup. Itu kadang cinta yang kamu butuhkan. Cuma itu. Dan cuma dari kamu, aku belajar teori itu."
Aku tersenyum. "Aku enggak pernah tahu kamu sedewasa ini."
"Ini momen yang mahal, Ne," balas Al sambil menegakkan duduknya.
Hening lagi. Kali ini aku memainkan jemari Al yang masih menggenggam dan mengisi sela-sela antar jari-jariku. Tangannya yang kasar khas anak tinju. Al mengeratkan genggamannya.
"Kalau aku yang sakit, kamu mau kayak aku gini ke kamu, Ne?" tanya Al lagi-lagi memecah hening.
"Pasti. Tapi, sebisa mungkin aku enggak akan biarin kamu sakit," jawabku. "Bukan karena aku enggak mau ngerawat kamu, tapi karena ngebayangin kamu sakit aja udah enggak banget. Apalagi beneran kejadian."
Al terkekeh. "Nanti coba, ah. Aku sakit biar kamu nemenin aku kayak gini di rumah sakit."
Aku menoyor kepala Al. "Di mana-mana orang mah, minta sehat. Kamu kok, malah minta sakit."
Al tertawa. Ia meraih kepalaku dan mengusap rambutku. Disibakkannya poniku yang menjuntai menghalangi mataku. Aku tersenyum padanya dan Al membalasku. Momen ini... Al benar, bahagia itu sederhana.
Ponsel Al tiba-tiba berdering. Kami melihat bersama siapa yang menghubunginya. Anita. Rasa aneh yang tak wajar merasuki hatiku. Aku bukan orang yang gampang cemburu, percayalah. Namun, setiap kali bersangkutan dengan Anita, rasa itu muncul. Mungkin sama bagi Al pada saat Zeus berada di dekatku. Bukan aku membenci Anita atau Anita memiliki rasa terhadap Al. Namun, aku mengetahui ada sesuatu di antara mereka yang tidak pernah Al ceritakan padaku dan itu membuatku cemburu.
"Halo, Nit," sapa Al setelah mengangkat panggilan itu. "Eh, ini lo di speaker dan ada Une di samping gue."
"Halo, Rizal! June!" sapa Anita. "Kelas sepi banget enggak ada lo, June tadi. Gue ke kantin jadi bareng Aqil, Dadan, sama Rizal. Berasa jomblo banget, deh."
Aku terkekeh. "Memang enggak ada apa anak cewek yang mau nemenin lo ke kantin?"
"Ah, pada sibuk sendiri. Atau bahkan pada nitip-nitip. Males gue," jawab Anita jujur. "Tadi, Fian dan kawan-kawan kalian tuh, nyariin lo, June. Gue jawab aja dirawat di rumah sakit. Mereka mau jenguk besok, kata Fian."
"Oh iya?" balasku. "Lo kapan jenguk gue, Nit?"
"Lusa, deh. Gue sibuk, nih. Saman lagi intensifnya latihan," jawab Anita membuatku tersenyum maklum. "Pacar lo tuh, June, ampun deh, heboh banget tadi mintain gue nyebutin rekomendasi toko bunga yang bagus."
"Nit, lo kenapa buka kartu gitu, sih?!" protes Al.
"Mumpung June dengar," balas Anita. "Katanya dia mau beliin lo buket bunga mawar putih kesukaan lo. Sumpah, so sweet banget kedengarannya. Tapi, tekadnya itu loh, bikin semua orang yang ada di sekitar dia repot. Gue disuruh nyatetin nomor toko bunga bagus yang ada di dekat sini pagi-pagi baru masuk. Ngeselin!"
Aku tertawa dan menatap Al tak percaya. Yang ditatap menutup wajahnya dan tertawa. Aku memukul lengannya pelan kemudian membisikkan ucapan terimakasih. Al mengacak-acak poniku membuatku menggeram.
"Iya, Nit, dia emang ngeselin banget!" tambahku kesal setelah rambutku acak-acakan.
"Kangen lo, June. Buruan masuk ya! Jangan lupa istirahat. Kalau Rizal datang, tidur aja. Anggap aja dia enggak ada. Biar lo bisa istirahat," ujar Anita sinis namun sarat canda.
Aku tertawa. "Iya, Mama Anita. Makasih, ya, udah nelpon."
"Iya. Eh, Zal, presentasi agama sudah gue kirim ke email lo buat June, ya," ucap Anita sebelum mengakhiri panggilan. "Kalian pacaran lagi, deh. Gue pamit dulu. Bye!"
Aku dan Al tersenyum dan membalasnya lalu mematikan ponsel. Al menggeleng seolah tahu apa yang ingin kutanyakan. Perihal bunga tadi.
"Hmm... Kata Anita mau bawa sebuket. Itu kok, cuma satu tangkai? Sisanya ketiup angin, Al?" godaku.
Al menunduk malu. "Bukan gitu, beb. Jadi, tadi aku mampir di toko yang udah nyatet pesananku. Eh, tahunya mawar putihnya yang satu buket kupesen justru dibayar orang lain dan diambil duluan. Disisain enam tangkai tadi. Aku beliin kamu yang paling bagus aja di antara sisa itu. Maaf, ya. Besok, aku siapin benar-benar satu buket buat kamu. Serius, deh."
Aku tertawa mendengar penjelasan Al. "Enggak usah. Nanti layu, jadi mubazir, Al. Kamu datang aja bawa diri, aku benar-benar udah senang banget."
Al mengusap wajahku. "Aku sayang kamu, Ne. Sayaaaaaaang banget, beb. Cepat sembuh, terus nanti kamu bakal aku ajak jalan-jalan lagi."
Aku terkekeh. "Aku juga sayang sama kamu, Al. Doain aja."
Al tiba-tiba menguap. Sorot matanya semakin lelah. Aku mengelus lengannya kemudian memintanya untuk tegak sebentar agar aku bisa menurunkan pagar tempat tidurku.
"Kamu istirahat sini. Tidur di sebelah aku. Nanti, kamu kecapekan malah gantian sakit," ujarku sambil menepuk-nepuk tempat kosong di samping pahaku. "Tidur aja. Aku enggak akan ganggu. Tadi, aku udah tidur mulu. Gantian kamu istirahat."
Al tersenyum. "Enggak apa-apa? Kamu enggak bosan?"
"Enggak, kok," jawabku apa adanya. Aku menggenggam jemari Al dan menyuruhnya tidur. Masih menggenggam tanganku, Al pun begitu cepat terlelap di samping kakiku di atas tempat kosong tadi.
Aku kembali mempelajari wajahnya. Bahkan saat tidur saja, Al bisa menghipnotisku. Aku sayang kamu, Al. Sayang banget sama kamu.

Blog List

 

Re-A-Lis-Tic Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos