Jihan tahun ini sudah resmi menjadi siswi SMA Jaya Harapan Indah (JHI). Sebagai murid yang termasuk kalangan 'lumayan' pintar, nama Jihan jadi dikenal oleh banyak orang di sekolah maupun di rumahnya. Orangtua Jihan terkenal biasa-biasa saja. Jihan anak pertama sekarang. Dulu, dia anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya meninggal karena kecelakaan motor bersama dengan temannya waktu masih SMP kelas 3.
"Han, bengong aja! Dari tadi elo gue panggilin nggak ngejawab. Ada apaan, sih?" tanya Elin, teman seperjalanan Jihan. Elin dari TK sampai SMA selalu satu sekolah dengan Jihan. Bahkan, rumah mereka pun dekat-dekatan. Jadi, dua cewek ini sering disebut 'teman seperjalanan' atau 'kembar siam, beda ibu' oleh teman-teman yang lain.
"Eh, elo. Ngagetin aja. Gue lagi kangen banget sama abang gue, Lin. Udah satu tahun aja dia pergi dari kehidupan gue dan keluarga gue," jawab Jihan dengan tatapan kosong.
Elin mengelus-elus punggung Jihan. "Kita do'a sama-sama aja. Tiap shalat, gue bakal do'ain kakak lo. Lo juga harus gitu. Biar dia tenang disisi-Nya. Gimanapun juga, Rendi kan, pernah jadi mantan terindah gue, Han. Gue juga kangen sama dia."
"Hahaha... Elo bisa aja. Siplah, gue bakal do'ain kakak gue setiap selesai shalat. Bakal do'ain elo supaya ketemu lagi sama dia," jawab Jihan sambil bergurau.
Elin menempeleng kepala 'kembaran'-nya. "Kampret, ye. Lo pengen banget gue cepet mati? Tegaaaaaaaa.... TER... LA... LU! Elo. Gue. Udahan, ye?!"
Jihan tertawa terbahak-bahak. "Ya udah, kalo udahan, gue nggak mau traktir magnum."
"Eh, eh, eh, kagak ada ancam-mengancam. Magnum tetep jalan! Kalo elo nggak mau traktir magnum, elo kagak boleh nebeng gue," ancam Elin balik.
"Nebeng naek apa? Naek bemo?! Elo aja pulang paling kece naek bajaj, pake segala ngancem kagak bolehin nebeng. Elin... Udah dah, masuk kelas, yuk!" ajak Jihan sambil mengisi langkahnya dengan cekikikan geli melihat bimoli (bibir monyong lima centi) Elin.
BRUUUKKKK!!!
"Oww!" teriak Jihan kesakitan saat terjatuh karena tertabrak kakak-kakak kelas cowok yang sedang lari mengitari lapangan.
"Eh, sori, sori, Dek. Sumpah, sori banget. Gue nggak sengaja. Maap banget, ye.." mohon kakak kelas yang tadi tidak sengaja menabrak Jihan. Jihan menatap dengkul dan sikunya yang sekarang sudah berlumuran darah. "Duh, berdarah, ya? Ntar, sebentar. Gue izin sama Pak Muhid dulu buat nganterin elo ke PMR."
"Kak, nggak usah. Saya aja yang nganterin temen saya ke PMR," sela Elin.
"Udah, nggak apa-apa. Elo mending masuk ke kelas, terus lapor sama guru elo kalo temen lo ini lagi di PMR gara-gara nggak sengaja gue tabrak. Sono, gih. Nggak bakal gue apa-apain, kok, temen lo ini," jawab kakak itu sambil membantu Jihan berdiri.
Elin menatap Jihan. Jihan mengangguk dan dalam sekejap, Elin sudah berlari menuju kelas karena bel sudah tiga kali berbunyi.
Sampai di PMR, ternyata, ruang PMR lagi ditutup karena anggotanya masih berlatih di lapangan belakang sekolah untuk lomba tingkat provinsi beberapa bulan lagi. Alhasil, Jihan bersama kakak kelas tadi istirahat di kantin. Jihan masih terus-menerus meringis kesakitan, sementara kakak itu mencari betadine, kapas, dan handiplas untuk luka Jihan.
"Jangan teriak, ya. Ini rada sakit, tapi biar nggak infeksi," ujar kakak itu sambil mengusap luka Jihan di dengkul dengan kapas yang sudah dibasahin air hangat.
Jihan merapatkan gigi dan mengeratkan pegangannya di sisi-sisi bangku kantin. Kakak itu dengan hati-hati membersihkan bekas darah di bagian luka dan akhirnya menempelkan handiplas. Hal yang sama dialami siku Jihan saat kakak itu selesai mengobati luka di kaki Jihan.
"Ma... Makasih ya, Kak," ucap Jihan sangkin tidak tahu lagi apa perasaannya sekarang. Sakit, perih, senang, kaget, terlebih bingung.
"Iya, sama-sama. Lain kali, gue janji nggak bakal nabrak orang sembarangan. Terus, gue bakal lebih hati-hati sama cewek," jawab kakak itu sambil membuang sampah handiplas dan kapas ke tempat sampah. "Elo anak kelas 10, ya?"
"I-iya, Kak," jawab Jihan terbata-bata, malu.
Kakak itu tersenyum. "Oalah, pantes nggak protes dan ngamuk-ngamuk pas ditabrak. Kalo cewek kelas 11, kelas 12, biasanya langsung ngebales dan bentak-bentak. Apalagi, kalo sampe luka begini. Pasti, seminggu setelah insiden apapun itu, langsung buat aksi bales dendam."
Jihan tersenyum kaku. "Segitunya ya, Kak?"
"Elo belum tau aja," jawab kakak itu. "Nama lo siapa, sih?"
"Jihan, Kak," jawab Jihan tambah kaku lagi.
"Oh. Oh iya, nama gue Kelvin," ucap kakak itu. "By the way, itu lukanya masih sakit?"
Jihan mengangguk.
"Kalo gitu, elo disini dulu aja. Gue temenin. Pasti, temen elo yang tadi udah bilang kan, jadi, elo disini aja ngeredam perihnya. Lagian, Pak Muhid tadi udah ngasih izin ke gue, kok," ujar Kelvin sambil mengambil posisi duduk di sebelah Jihan.
"Tapi, nanti saya ketinggalan pelajaran, Kak," ucap Jihan gelisah.
"Eh, ntar, deh. Elo Jihan yang dapet beasiswa masuk sini, ya? Jihan yang pinter itu?" tanya Kelvin seolah sadar akan ketidak-ngeh-annya.
"I-iya, Kak," jawab Jihan memerah.
"Pantesan, ngebet banget harus ngikutin pelajaran. Orang pinter juga butuh isirahat. Elonya sih, nggak bakal kenapa-napa. Tapi, otak lo bakal jadi mail-functioned kalo terus-terusan digunain," ujar Kelvin tenang.
Jihan jadi melongos sedikit kesal. "Kakak mah, enak. Masuk sini udah lengkap. Ada duit, ada otak, ada semuanya. Saya? Ibu-bapak saya biasa-biasa aja. Masuk sini cuma kebagian anugerah otak yang kebetulan dikenal pinter. Duitnya? Beasiswa, gratis! Jadi, saya itu nggak mau jadi orang yang suka menyia-nyiakan kenikmatan yang udah dikasih Tuhan, Kak. Beasiswa ini penting buat saya. Makanya, saya NGEBET balik ke kelas buat belajar."
Kelvin tercengang. "Susah emang, nasehatin orang pinter. Lo tau, elo itu mirip Rendi. Otak, gaya, penampilan, bahkan tampang elo mirip sahabat gue itu."
Jihan tersentak kaget. "Rendi?"
"Iya. Kenapa? Elo kenal?"
"Rendi siapa, Kak?"
"Rendi Arrahman."
"..."
"Elo kenal?"
"I-itu ka-kakak sa-saya, Kak."
Kelvin yang sebelumnya santai, jadi tiba-tiba mengubah posisi duduknya menghadap Jihan. Berjuta-juta rasa menghujam jantungnya dan pikirannya serta hatinya.
"Boong aja. Setau gue, Rendi nggak punya adek, nggak punya kakak, nggak ada ortu," kilah Kelvin tidak percaya.
"Rendi mandiri. Jadi, dia jarang kelihatan kumpul sama keluarga, Kak. Aku orang paling deket sama dia. Tapi..." Jihan membuang wajah. "Kak Rendi pulang lebih cepat dari dugaan semua orang."
Kelvin ingin merangkul Jihan, tapi kesannya tidak sopan. Akhirnya, Kelvin hanya bisa mendekat dan berharap cewek itu membolehkannya untuk merangkul tubuh mungil yang sedang berduka ini.
"Rendi sahabat gue. Satu kos-kosan dari kelas 8. Bayangin, dia dari kelas 8 hidup sendiri sama gue di dalam kos. Nggak kerasa udah setahun, ya?" ucap Kelvin sambil menerawang.
Jihan terkekeh. "Kok, jadi curhat pake nangis gini, sih?"
"Hahaha... Iya, nih," tambah Kelvin. "Jihan, kalo nggak keberatan, sekaligus buat nebus kesalahan gue yang udah bikin elo bedarah-darah begini, ntar pulang sekolah gue mau ngajak elo jalan. Ke tempat favorit Rendi. Sekaligus ngenang kakak elo dan sahabat gue itu."
Jihan tersenyum "Boleh."
"Sip. Sekarang, anak pintar, elo balik ke kelas. Gue gendong. Soalnya, gue nggak bisa liat cewek pincang-pincang naik tangga sambil ngerengek kesakitan," ucap Kelvin.
"Nggak usah digendong, Kak. Nggak etis lagi di sekolah. Lagian, Kakak kan, bukan siapa-siapa aku. Kenal aja baru tadi. Masa udah pake digendong?" tolak Jihan hati-hati.
"Kalo gitu gue tuntun sampe kelas," jawab Kelvin langsung menawarkan tangannya untuk jadi pegangan selama naik tangga menuju kelas Jihan nanti.
@@@
"Rendi suka motor," ucap Jihan dan Kelvin berbarengan. Kemudian, mereka terkekeh.
Kelvin mengamati Jihan saat Jihan sibuk meneliti motor yang ada dipajangan musium ini. Melihat Jihan, bayangan Rendi muncul di benak Kelvin. Masa-masa kritis saat dia koma di rumah sakit selama enam hari. Sementara itu, sahabatnya tersayat dan mengalami pendarahan berat di sekujur tubuhnya. Di masa itu, Rendi dan Kelvin berteman dekat dan dengan gengsi yang tinggi, mereka rela trek-trekan melawan kawanan anak alumni SMA JHI. Sampai akhirnya, Kelvin harus kehilangan Rendi untuk selamanya.
"Kak, jadi makan, gak?" tanya Jihan mengejutkan lamunan Kelvin.
"Eh, oh, ya udah. Yuk!" ajak Kelvin gugup.
Kelvin yang sudah berumur 17 tahun baru saja menerima SIM-nya. Jadi, dia sudah bisa mengendarai mobil sendiri kemana-mana. Hari ini, Kelvin mengajak Jihan pulang sekolah bareng dengan mobilnya.
Lagu di radio saat ini adalah lagunya Micheal Jackson 'You Are Not Alone'. Lagu ini adalah lagu favorit Jihan. Jihan sering menampilkan lagu ini di beberapa acara RT dan acara lainnya.
"You are not alone... I am here with you..." Jihan menyanyikan lagu itu dengan merdu membuat Kelvin tercengang.
"Though you're far away... I am here to stay..." Kelvin melanjutkan syair berikutnya. Sekarang, giliran Jihan yang tercengang.
"Suara Kakak lumayan," komentar Jihan.
"Suara kamu, eh, maksud gue, suara elo juga lumayan," balas Kelvin.
"Lumayan jelek, ya?"
"Nggak. Lumayan luar biasa," jawab Kelvin diikuti senyum tebar pesonanya.
Jihan memerah dan tersenyum. "Suara Kakak lumayan keren juga, kok."
@@@
"Tante, saya pamit dulu, ya. Salam buat Oom sama Farhan," ucap Kelvin sebelum pulang.
"Iya. Makasih ya, Vin, udah nganterin Jihan pulang. Maaf banget kalo Jihan ngerepotin," ujar mama Jihan.
"Nggak, kok. Ya udah, Tan, Assalamu'alaikum," salam Kelvin.
"Wa'alaikumsalam," jawab mama Jihan dan Jihan serempak.
@@@
Setelah insiden tabrakan dan jalan-jalan ke tempat-tempat kesukaan almarhum Rendi, Jihan sama sekali tidak pernah bertegur sapa lagi dengan Kelvin. Kelvin sendiri sudah tidak mau ambil pusing dan terlalu mikirin kejadian itu. Jihan sedikit kecewa, tapi ia berusaha untuk meredam kekecewaannya dengan senyum.
"Duh!" teriak Jihan kesakitan saat salah seorang temannya tidak sengaja mendorongnya sampai jatuh ketika akan memasukkan bola ke dalam ring basket.
"Aduh, Han, maap, ya? Maaaaaaaap banget. Sumpeh, gue kagak sengaja, deh," ucap teman Jihan tadi.
"Iya, nggak pa-apa, kok," jawab Jihan berusaha menyembunyikan pedihnya luka.
Akhirnya, Pak Muhid--tidak lain, tidak bukan--guru olahraga, segera menyuruh Jihan ke ruang PMR. Jihan terpaksa menggotong dirinya sendiri ke ruangan itu.
Sampai disana, ia bertemu dengan petugas PMR yang kebetulan sedang seliweran di depan pintu ruangan. Saat memerhatikan luka di lutut dan cara jalan Jihan, petugas PMR itu segera masuk dan memberitahu orang yang sedang piket di dalam ruangan.
"Kamu duduk disana dulu, ya? Aku beli betadine sama ngambil air panas dulu," ujar orang tersebut. Jihan mengangguk.
Jihan sadar bahwa bukan hanya dia yang berada di ruangan itu saat ini. Ada seseorang, tepatnya cowok, yang sedang berbaring di atas ranjang PMR di balik tirai hijau.
"Jrit, pala gue pusing banget!" keluh orang tersebut. Jihan langsung mengenali suara itu.
Kak Kelvin?! tanya Jihan dalam hati.
"Eh, ambilin gue minum, dong," pinta suara Kelvin.
Jihan yang kebetulan masih bisa berjalan dan dekat dengan segelas air putih mengambil tindakan dan memberikan Kelvin minum.
"Thanks ya," ucap Kelvin. "Loh, elo?! Kok, bisa ada disini?!"
Jihan tidak menjawab dan hanya menunjuk bagian kaki sebelah kanannya.
"Oh. Kok, sama Diana nggak diobatin?" tanya Kelvin yang berteman dengan Diana, siswi yang piket di ruang PMR hari ini.
"Lagi beli betadine sama ngambil air panas," jawab Jihan singkat.
"Elo masih inget kan, sama gue?" tanya Kelvin lagi, seolah sakit kepalanya tadi sudah hilang dengan satu tegukan air. Jihan mengangguk. "Kok, dari tadi diem, tunjuk sana tunjuk sini, sama ngangguk-ngangguk aja, sih?"
"Emang aku harus jawab apa, Kak?" tanya Jihan sedikit sewot.
Kelvin kaget dengan ucapan Jihan, karena terdengar sangat judes di telinganya. "Ya udah."
Hening.
"Sini, Dek, aku obatin dulu," ujar Diana yang ternyata sudah datang kembali.
Kelvin memerhatikan raut wajah Jihan selama diobati Diana. Lucu, tapi juga menyakitkan melihat gadis itu meringis kesakitan. Diana sudah berusaha menahan, tapi tetap saja yang namanya SAKIT itu lebih gampang nggak ketahan!
"Udah, nih. Kalo kamu mau istirahat disini, istirahat aja. Soalnya, aku masih ragu kamu bisa balik lagi terus nerusin basket," ujar Diana dengan kelembutan suaranya.
"Saya istirahat aja, Kak," jawab Jihan mantap. Diana mengangguk dan mempersilakan Jihan duduk di ranjang sebelah ranjang yang ditempati Kelvin.
Kelvin menatap gadis yang sedang meringkuk di ranjang sebelahnya.
"Udah ngunjungin makan Rendi, Han?" tanya Kelvin seketikan.
Jihan memandang lantai dengan pandangan kosong dan mengangguk. "Kakak?"
"Gue hampir seminggu sekali ke makam dia," jawab Kelvin. Jawaban itu berhasil membuat Jihan mengangkat kepalanya.
"Kok?"
"Soalnya, gue banyak salah sama dia."
"Aku nggak ngerti, Kak."
"Elo lebih baik nggak usah ngerti. Gue nggak mau ngerusak semuanya untuk kedua kalinya lagi."
Jihan menyerah dan memutuskan untuk mengacuhkan Kelvin dengan cara berbaring menghadap tembok. Kelvin mengamati setiap gerakan Jihan dan tidak sadar menghela nafas perlahan. Berdo'a dalam hati semoga ia tidak mengulangi kesalahan dan kegengsian yang sama dan semoga gadis yang ada di hadapannya tidak mengalami nasib seburuk abangnya, Rendi.
@@@
Akhir-akhir ini, Kelvin jadi sering mendekati Jihan atas dasar menebus dosa. Entah itu hukumnya halal atau haram, Kelvin tetap akan mendekati Jihan dan menjaga gadis itu untuk Rendi, sahabatnya. Jihan merasa sedikit terobati dari rasa kecewanya yang dulu sempat muncul, bahkan belum hilang. Tapi, di saat yang sama Jihan masih bingung dengan perlakuan Kelvin yang terlalu tiba-tiba ini.
"Gue nggak bakal pulang, sampe elo mau gue anterin pulang," paksa Kelvin dengan nada yang jelas terdengar AGRESIF!
"Ih, maksa banget, sih. Kakak kan, bukan siapa-siapa saya! Kenapa saya harus setiap hari dianterin pulang?! Kakak mau jadi sopir pribadi saya?" lawan Jihan yang hari ini lagi serbasensitif alias PMS.
"Harus! Kalo nggak, elo nggak bakal pulang, karena gue nggak bakal pulang juga dan karena gue bakal jegat elo," jawab Kelvin yang sekarang terdengar seperti seorang kakak OSIS di MOS sedang membuat hidup salah seorang siswi baru menderita.
"Duh, Han, mending elo pulang bareng dia aja, deh. Gue pusing ngeliat elo bedua kagak selesai-selesai perang mulut. Udah hampir sore, gue ada les. Kalo elo kagak udahan, gue bisa kena libas sapu lidi sama nyokap gue dan guru les gue yang super-nggak-banget-deh!" ucap Elin ikutan sensitif. "Gue jodohin juga nih, ye, kalo elo bedua kagak saling akur. Serius nih, mumpung banyak yang nontonin."
Jihan menoyor kepala temannya itu. "Kampret! Udah deh, ah, elo sih, Lin! Kagak bisa diajak debat! Gue sama dia lagi, kan. Awas ye, besok elo yang gue libas sama sapu ijuk di kelas."
"Demi kemulusan badan gue dan kebenaran kerja telinga gue sebelum nyokap mencabik-cabik tubuh gue yang mulus dan guru les yang nyerocos kayak kaset rusak, Han. Oke? Si yu tumoro!" ucap Elin kemudian meninggalkan Kelvin yang tertawa melihat sikap Elin dan Jihan yang dongkol melihat temannya sendiri menjadi kawanan musuh.
"Gue utang terimakasih sama temen elo tadi," ucap Kelvin seraya membawakan tas dan merangkul Jihan.
"Gue utang cap sapu ijuk sama itu bocah," tambah Jihan berusaha melepaskan rangkulan Kelvin, tapi tidak berhasil dan menyerah.
@@@
Secara tidak sengaja, cinta datang. Itu yang dirasakan Kelvin. Perlahan tapi pasti, cinta mampir di hatinya dan membuat anak ini kelimpungan. Kelvin mencintai adik almarhum sahabatnya. Sementara itu, di lain tangan, Jihan merasakan kesal dengan perlakuan posesif, agresif, sensitif, dan overprotektif, serta segala macam '-tif' lainnya yang Kelvin miliki yang memaksa Jihan untuk selalu tunduk padanya.
Malam ini, sekolah mengadakan prom dance, yang menurut siswa adalah peristiwa yang terjadi sangat langka. Karena, guru-guru anti-dansa. Tapi, tahun ini, dengan segala macam tulisan persuasif, bujukan, dan paksaan siswa, akhirnya guru-guru menyerah dan mengadakan acara ini.
Kelvin sudah menanti ini sangat amat lama sekali. Jihan, sebagai yang lebih junior daripada Kelvin, merasa nggak ada istimewa-istimewanya kayak beginian. Kelvin sudah menyiapkan cara untuk mengajak Jihan sebagai pasangan dansanya.
"Han, elo jauhin Kelvin," paksa Elin saat tiba-tiba muncul di depan batang hidung Jihan di kelas.
"Kenapa?"
"Dia yang ada bersama abang elo sesaat sebelum abang lo pergi."
"Bohong!"
"Serius, Han! Dia sahabat deket abang elo. Mereka trek-trekan bareng, sampe akhirnya dua-duanya luka dan koma parah, dan abang elo pergi. Gue barusan denger dari anak-anak yang ternyata konconya Kelvin sama abang lo."
Jihan menundukkan kepala. Tidak percaya. Tidak mau, tidak bisa, dan tidak mampu percaya. Tapi, itu kenyataan. Secara tidak langsung, Kelvin sudah berhasil mengompori Rendi untuk menjemput ajalnya. Jihan kolaps dan pingsan.
@@@
"Han, bangun, Han," panggil Kelvin sambil menggenggam tangan Jihan di sebelah ranjang PMR.
Jihan bangun, lalu menarik jemarinya dari genggaman Kelvin. "Gue BENCI sama lo! Jangan pernah deketin gue lagi, maksa dan apapun itu yang berhubungan dengan gue lagi. Gue BENCI BANGET SAMA ELO!"
Kelvin kaget, lalu bertanya, "Maksud elo apa?"
"Elo berhasil buat Rendi jemput ajalnya sendiri pas trek-trekan. Elo nutupin semua ini dari gue. Yang lebih parah, elo deketin gue! Mau lo apa?! Elo mau gue ngejemput ajal gue kayak Rendi dulu?! Kalo itu mau elo, seharusnya, elo bunuh gue dari awal kita ketemu!"
Kelvin menunduk, menyesal. "E-elo udah tau, Han?"
Jihan diam.
"Gue minta maaf, Han. Tapi, gue selama ini deketin elo bukan buat itu. Gue mau ngegantiin posisi Rendi dan nebus kesalahan gue. Gue tau gue secara tidak langsung buat abang lo pergi. Karena itu, gue mau nebus semuanya. Gue nggak bakal nyakitin elo dan gue bakal nggak sanggup kalo sampe elo hilang dari gue kayak Rendi. Apalagi, kalo itu lagi-lagi karena diri gue sendiri. Gue bener-bener nyesel, Han. Gue mohon, maafin gue."
"Pergi, Vin!"
"Han..."
"Gue bilang, pergi!"
"Kalo itu yang terbaik yang bisa gue lakuin buat nebus semua kesalahan gue, gue bakal tinggalin elo sampai elo mau nerima gue lagi. Tapi asal elo tau, GUE. SAYANG. SAMA. ELO. Gue jatuh cinta sama adek almarhum orang yang udah berhasil gue buat mati."
Jihan tertawa sinis. "Elo nggak pantes jatuh cinta sama dia. Elo nggak pernah tau apa-apa tentang dia. Elo nggak tau sifat dia kayak gimana, keluarga dia kayak apa, dan yang paling penting, elo nggak tau perasaan dia ke elo. Jadi, mending elo jangan pernah ngomong atau deketin dia lagi. MULAI DARI DETIK INI!"
Kelvin memandang Jihan sekilas, kemudian dengan perasaan dan hati yang hancur ia meninggalkan ruangan PMR.
@@@
Rencana Kelvin untuk mengajak Jihan menjadi pasangan dansanya GAGAL TOTAL! Bahkan, kini semuanya jadi rancu, berantakan, dan tidak terkendali. Yang dapat Kelvin lakukan cuma menjauhi Jihan dan membunuh perasaannya kepada gadis itu. Tapi, Kelvin tetap akan mencari. Mencari tahu segalanya tentang Jihan kalau itu yang dijadikan Jihan syarat untuk pantes mencintai gadis itu.
Berbeda dengan Jihan, ia bisa semakin memaki dan membenci Kelvin kalau saja orangtuanya tidak menasehatinya.
"Kakakmu meninggal bukan karena Kelvin, Han. Itu udah jalan hidupnya." kata kedua orangtua Jihan.
Pada akhirnya, Jihan tetap saja menyalahkan sepersepuluh dari kecelakaan yang dialami Rendi, kakaknya, yang membuat cowok itu harus pergi di umur yang sangat belia.
@@@
"Jihan, ada yang dateng, tuh," ucap mama dari balik pintu kamar Jihan.
Yang dicari dan dikunjungi tidak bergerak. Jihan sibuk dengan curhatannya di laptop dan lagu-lagu yang sedang ia dengarkan.
"JIHAN!" panggil mama lebih kencang yang berhasil mencapai gendang telinga Jihan.
"Iya, Ma, sebentar," jawab Jihan dongkol.
Jihan berlari ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang. Tapi, orang yang sedang mencari dirinya malah tidak ada.
"Katanya ada yang dateng," ucap Jihan kesal pada mamanya yang berdiri dekat lemari tempat memajang barang pecah-belah yang menyekat ruang tamu dengan ruang keluarga.
"Ada di teras, tuh," balas mama sambil menunjuk ke arah teras dengan dagunya yang lancip.
Jihan berjalan ke teras. Setelah melihat siapa, raut mukanya berubah 180 derajat dalam waktu kurang dari dua detik. Jihan segera memutar langkah. Namun, orang tersebut menarik pergelangan tangannya dan meminta Jihan untuk tetap disana.
"Please, aku cuma pengen kamu kasih waktu sebentar buat aku. Setelah itu, kalo kamu tetep nggak mau ngambil pusing dan mikir dua kali, kamu bisa tinggalin aku," pinta orang tersebut.
Mama yang kebetulan tidak sengaja melihat kejadian itu, langsung menghampiri kedua remaja tersebut.
"Hmm.. Kalian mau jalan, ya? Kalo iya, boleh, kok. Jihan dari kemarin susah banget diajak keluar lagi. Kayaknya, kalo sama Kelvin dia mau, deh," ujar mama yang secara tidak sengaja menjerumuskan Jihan ke dalam keterpurukkannya lagi.
Jihan hanya bisa menarik nafas sambil menahan airmata. Kelvin yang memegang bendera kemenangan tersenyum dengan manisnya.
Alhasil, Jihan ganti pakaian dan pergi bersama Kelvin ke suatu tempat. Entah apa nama tempat itu, yang jelas Jihan tidak tahu dan tidak ingin tahu.
Suasana mobil Kelvin bisa ditandingi dengan suasana kuburan. Kelvin di kepalanya sudah beradu pedang dengan segala macam pikiran-pikiran dan usaha untuk mengajak gadis di sebelahnya bicara. Sedangkan Jihan di kepalanya sedang berusaha meyakinkan sejuta macam syaraf untuk mau bekerja dan mencari jalan agar ia bisa kembali pulang. Dan kedua makhluk di dalam mobil itu berusaha untuk menenangkan detak jantung dan perasaan yang berkelebat di hati mereka.
Sesampainya di semacam pantai, Kelvin turun, kemudian membukakan pintu Jihan. Jihan yang serasa dianggap lumpuh malah mendorong pintu itu sampai membuat tubuh Kelvin terdorong. Cowok itu membiarkan segala macam reaksi, bahkan ia bersedia dibuat koma lagi seperti dulu kalau itu diperlukan.
"Mau lo apa, sih?!" tanya Jihan yang berbicara sambil membelakangi Kelvin saat berjalan menuju kemanapun itu.
Kelvin diam, berusaha mencari jawaban yang sekiranya tidak akan membuat cewek yang sedang bersamanya itu menangis, pulang, ataupun malah semakin membencinya.
"Aku mau kamu ngebales aku dengan alasan bahwa aku udah buat Rendi pergi. Terserah dengan cara apa, bahkan kalo kamu mau aku pergi selamanya, aku siap," jawab Kelvin mantap.
Jihan tertawa, lagi-lagi sinis. "Nggak perlu. Gue bukan orang kayak gitu."
Kelvin menghembuskan nafas diam-diam. "Jadi?"
Jihan membalikkan badan dan tersenyum pada cowok itu. Ia sendiri belum paham kenapa dirinya jadi begitu open dan easy di hadapan Kelvin. Padahal, sedetik sebelum ini, ada berjuta macam makian yang akan disemburkannya pada Kelvin.
"Aku udah maafin, kok. Kata ortu dan... dan.. barangkali kata Rendi, kakak nggak salah," jawab Jihan yang akhirnya mengerti bahwa sekarang ia bermetamorfosa jadi semakin dewasa dalam waktu yang lumayan singkat.
Kelvin yang menunduk, yang sudah siap menerima apapun yang Jihan tahan, mengangkat kepalanya dan menatap Jihan. Ia tidak percaya. Masih belum bisa percaya.
"Kamu yakin?" tanya Kelvin. Jihan mengangguk. Kelvin bisa membaca perasaan gadis ini dari tatapan matanya yang mungkin akan berubah menjadi butir-butir airmata.
Jihan memejamkan mata sesaat dan berubahlah tatapannya tadi menjadi airmata. Kelvin mendekatkan diri dan rasa bersalah menghujam dirinya.
"Maafin aku, ya. Kenapa kamu nggak ngebales aku, sih? Aku mendingan dipukulin, dicacimaki, dan dibuat mati daripada harus ngeliat cewek yang aku sayang nangis di hadapan aku, karena aku," ucap Kelvin sambil memeluk sosok Jihan.
Jihan tertawa, tulus kali ini. "Karena kalo aku bales kamu, Rendi bakal dateng di setiap mimpi aku sambil ngomong, 'Elo tolol! Elo bego! Elo I-D-I-O-T!' karena dia tau kalo aku sebenernya nggak bisa ngebenci atau dendam sama orang. Terus, kupingku pasti kebakar dengerin Elin, mama, papa, dan semuanya bilang kalo Rendi pergi itu bukan karena kamu, melainkan takdir dan kehendak Tuhan. Terus, yang paling parah, kalo aku bales kamu, sama aja aku nyakitin diri aku sendiri."
Kelvin merenggangkan pelukannya dan menatap gadis yang ada di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. "Han, gue mau gantiin posisi Rendi. Ngegantiin dia, atau hanya jadi sosok yang mendekati dia buat elo. Gue mau jadi kakak lo, temen curhat lo, dan seseorang yang selalu elo anggep keluarga dan elo sayang."
Jihan tersenyum di balik airmatanya. "Kakak boleh kok, jadi orang yang hampir bisa kayak Rendi."
"Berarti, elo sayang sama gue?" tanya Kelvin kaget dan senang.
"Ge-er!" jawab Jihan gengsi, kemudian menyeka airmatanya. Ia membalikkan badan dan menatap hamparan laut di depannya.
"Han, elo itu baik, ramah, rendah hati, sabar, pinter, nggak mudah dendam, tapi juga egois, keras kepala, gengsian, dan yang terparah kadang elo nutup diri dari semua orang. Tapi, walaupun begitu, walaupun elo nutup diri dari semuanya, keluarga elo paham tentang elo, terutama Rendi. Keluarga elo bahagia. Sederhana, tapi bahagia. Elo selalu punya mama, papa, dan adek yang elo sayang. Terpenting, elo selalu nyimpen Rendi dan segala macem kenangan manis yang elo alami bersama anggota keluarga lo yang lengkap di pikiran dan hati lo. Elo nggak pernah memprioritaskan apapun, kecuali keluarga dan ibadah lo," ucap Kelvin yang saat ini berhasil merangkul cewek di sebelah kirinya. "Terakhir, gue, Elin, ortu, bahkan anak-anak SMA JHI, tau kalo elo itu cintaaaaaaaaaaaaa dan sayaaaaaaaaang banget sama gue. Tapi, elo gengsi buat ngakuin itu di depan kita. Elo beraninya ngakuin itu di buku harian lo, di depan temen lo yang tidak lain, tidak bukan adalah Elin. Itu buat gue senewen dan kecewa, tapi ketawa. Ternyata, perasaan lo ke gue nggak jauh beda sama perasaan gue ke elo."
Jihan yang mendengar semua itu terpana. Cowok yang ada di sebelah kanannya saat ini tahu sebagian besar tentang dirinya, padahal kemarin-kemarin mereka mengalami pertengkaran hebat.
"Sekarang, gue udah pantes kan, jatuh cinta sama lo?" sambung Kelvin.
Jihan memerah dan tersenyum. "Udah."
"Tapi, masalahnya, gue masih belum tau elo mau nggak gue jadiin pacar," balas Kelvin dengan senyum jahil.
Jihan tambah mirip kepiting rebus saat ini. "Aku nggak sengaja jatuh cinta sama kakak dari pertama kali kakak nabrak aku di lapangan basket dan ngobatin luka aku di siku dan di lutut."
Kelvin tertawa dan memeluk gadis yang ada di dekatnya. Jihan membalas pelukan itu.
@@@
"HAH?! JIHAN PACARAN SAMA KELVIN?!" tanya Elin kaget mendengar anak-anak menggosip tentang Jihan, temannya.
"Kenapa lo?" tanya salah seorang dari mereka.
"Itu anak tolol. Masa, baru sekarang dia nerima Kelvin," jawab Elin santai. Tapi, tetap saja, cewek ini dapet makian dan toyoran dari segala arah karena membuat orang-orang yang sedang bergosip kaget.